Wednesday, 1 April 2020

Kisah Orang Utan - Nasib Tragis Orangutan Hope di Indonesia

Pada hari Juma'at tanggal 5 Juli 2019, harian berita The New York Times menerbitkan artikel dengan judul "A mother shot 74 times'. Isinya adalah kisah tragis dari Orangutan betina bernama Hope di Subulussalam Aceh, yang mengalami luka tembak dan diketahui memiliki 74 peluru yang bersarang di dalam tubuhnya dari tembakan senapan angin. Akibat peristiwa yang dialami, kini Hope menjadi trauma ketika berhadapan dengan manusia. Ia pun sudah sepenuhnya buta lantaran peluru senapan angin mengenai kedua indera penglihatannya. 
Orangutan disebut hanya hidup di dua pulau di dunia, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Sejak 1999 sampai 2015, populasi orangutan di Kalimantan mengalami penurunan lebih dari 100.000, seperti dilaporkan dalam Curret Biology, sebuah jurnal ilmiah. Sedangkan di Sumatera, New York Times menulis populasi orangutan kurang dari 14.000 ekor saja.


The New York Times dalam ulasannya menyebut, Indonesia dan Malaysia merupakan pemasok 80 persen dari minyak sawit yang bermanfaat untuk membuat minyak goreng, lipstik, cokelat, dan biofuel. September tahun lalu, di tengah kekhawatiran tentang habitat orangutan yang terancam punah dan bahaya karbon emisi dari pembakaran massal lahan untuk perkebunan sawit, Indonesia berhenti mengeluarkan izin untuk perkebunan baru. Namun, seperti kasus yang dialami Hope, kebijakan dari pemerintah nampaknya tidak berjalan di desa-desa miskin. "Mereka mengatakan ada moratorium, tetapi saya dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tanah hilang setiap hari,” kata Krisna, koordinator untuk Unit Respons Konflik Orangutan Manusia, sebuah kelompok yang berbasis di Sumatera yang telah menyelamatkan lebih dari 170 orangutan terluka sejak 2012, seperti dikutip dari The New York Times.
Alih fungsi lahan mungkin menjadi faktor utama hilangnya habitat orangutan. Pembukaan lahan untuk dijadikan perkebunan, hutan tanaman industri atau kawasan budidaya lainnya telah mengkibatkan orangutan terusir dari habitatnya. Orangutan yang beruntung dan selamat dari kehancuran habitat atau karena pembakaran lahan bisa tersingkir di sekitar tempat-tempat kecil di antara pepohonan kelapa sawit. Karena putus asa mencari makanan, orangutan ini mencari makan di daerah-daerah yang dihuni manusia. Mereka menyerang tanaman dan memancing penduduk bertindak, seperti melakukan penembakan. Tidak ada tindakan hukum atas penembakan terhadap orangutan. Kelapa sawit merupakan sumber penghasilan bagi petani di Sumatera. Orangutan dianggap sebagai hama. Namun, bayi orangutan sering ditangkap untuk diperjualbelikan meskipun menjual spesies yang terancam punah adalah ilegal. Seperti diberitakan sebelumnya, kasus yang menimpa Hope terjadi di Subulussalam, Aceh. Penyiksaan itu mengakibatkan bayi Hope berjenis kelamin jantan yang berusia satu bulan mati.


Pelaku penembakan
Dua remaja asal Aceh yang menjadi pelaku penembakan orangutan betina bernama Hope dengan 74 peluru beberapa waktu lalu, dikenai sanksi yang relatif ringan. Kedua remaja yang masih berusia 16 dan 17 tahun itu dikenai sanksi sosial berupa kewajiban mengumandangkan azan Maghrib dan Isya selama satu bulan. Tragisnya, Pelaku diketahui menembak Hope menggunakan senapan angin, karena ingin merebut anaknya, yang dikemudian juga mati.
Namun memang patut dipertimbangkan, bahwa seluruh peluru mungkin tidaklah berasal dari kedua pelaku tersebut. Keberadaan orangutan yang dianggap hama telah menjadikan satwa ini lazim mengalami penyiksaan atau pengusiran secara paksa apabila ditemukan dalam kebun atau ladang milik masyarakat atau perusahaan. Hal ini tidaklah hanya dialami orangutan. Mungkin banyak satwa lain yang mengalami nasib serupa, yakni terusir dan disiksa agar meninggalkan habitatnya.
Padahal di Provinsi Aceh saja, menurut BKSDA Aceh, peristiwa orang utan ditembaki dengan senapan angin sudah kali keempat terjadi. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 2018, ada 53 kali evakuasi satwa yang telah ditangani oleh BKSDA Aceh. Laporan terbanyak adalah kejadian konflik satwa gajah. Sementara, untuk satwa orang utan di wilayah Lhokseumawe dan Subulusalam, ada tiga individu yang berhasil dievakuasi. Bagaimanakah dengan provinsi lainnya??
Tak pantaslah bagi kita untuk hanya melihat persoalan penjatuhan sanksi hanya sebatas kasus kedua pemuda Aceh tersebut. 
Karenanya mungkin akan lebih baik untuk melihat persoalan secara menyeluruh, yakni bagaimanakah kinerja pengelolaan dan penyediaan kawasan konservasi yang telah diimplementasikan di Indonesia.


Baca dalam :
Kompas.com, "Hope, Induk Orangutan yang Diberondong 74 Peluru, di Sampul Depan The New York Times", https://regional.kompas.com/read/2019/07/05/14543861/hope-induk-orangutan-yang-diberondong-74-peluru-di-sampul-depan-the-new-york?page=all#page3.
baca juga
https://jogja.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/kronologi-orang-utan-hope-ditembak-dua-remaja-aceh-hingga-buta-regional-jogja/full

Tragedi tersebut sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia. Penyiksaan dan pembantaian terhadap orang utan kerap terjadi dan bukan cerita baru.
Pada tahun 2011 misalnya terungkap Pembantaian puluhan di Desa Puan Cepak, Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, selama 2008-2010. Pembantaian itu diduga dilakukan oleh orang suruhan PT Khaleda Agroprima Malindo (KAM), perusahaan perkebunan sawit. Sebagai tanggapannya, saat itu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) memutuskan akan mengevaluasi seluruh perizinan perkebunan dan pertambangan di daerah itu. Berdasarkan peryataan Wakil Gubernur Kaltim, Farid Wadjdy saat itu, di Balikpapan "Pasti kita akan evaluasi se muanya, perkebunan dan pertambangan, setelah kasus ini tuntas oleh pihak kepolisian agar tidak terjadi lagi kasus serupa di masa datang,’’. Sayangnya peryataan di bulan November tahun 2011 tersebut hanyalah angin lalu.
Sumber : Syahrul Karim, Kaltim akan Evaluasi Izin Perkebunan, Koran media Indonesia Sabtu, 26 November 2011. 

No comments:

Post a Comment