Thursday 29 April 2021

Ajaran Islam dan Kelestarian Lingkungan

Indonesia adalah salah satu negara Islam terbesar di Dunia.

Agama Islam menjadi Pedoman hidup bagi umat Islam untuk dapat menentukan mana yang baik dan yang batil.

Tak dapat dipungkiri kiranya, bahwa terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti halnya banjir, tanah longsor, kepunahan flora dan fauna serta bencana lingkungan lainya, adalah akibat ulah atau perilaku manusia. 

Islam merupakan agama yang menganjurkan, bahkan mewajibkan seluruh manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ar-Rum ayat 41, yang artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Surat tersebut dapat menjadi peringatan bagi umat Islam, agar menjaga kelestarian lingkungan hidup yang ada di muka bumi, sebagai bentuk pelaksanaan atas apa yang Allah perintahkan dan juga menjauhi segala larangan-Nya. 

Allah SWT yang maha kuasa atas alam semesta (Al Hajj 22: 65) adalah pencipta segala sesuatu yang ada di muka bumi (Al Baqarah 2 : 29). Tidak ada sesuatu di alam ini kecuali mereka tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum dan qadar Tuhan serta berserah diri dan memuji-Nya (Q.S. An-Nur: 41).

Manusia telah dianugerahi kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya, yakni kesempurnaan ciptaan dan akal budi.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tanggung jawab kepada Tuhan atas segala tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan di muka bumi. Manusia juga bertanggung jawab atas seluruh makhluk hidup yang menjadi ciptaan Allah SWT yang ada di muka bumi. Bertanggung jawab berarti berperan serta untuk menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia, sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.


Konsep Kawasan Lindung Menurut Ajaran Islam

Dalam khasanah Islam, dikenal suatu kawasan atau areal konservasi yang diberi nama al-harim. Harim ini merupakan areal konservasi mata air, tanaman dan hewan yang dilindungi dan tidak boleh diganggu oleh siapapun. Walaupun dalam sejarahnya terdapat areal harim yang merupakan milik perorangan, dan pemiliknyalah yang menentukan atau menetapkan areal yang bersangkutan sebagai areal perlindungan dan konservasi. Pada umumnya harim merupakan milik komunitas atau masyarakat atau suku tertentu.

Pada masa Rasulullah masih hidup dan pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin pernah ditentukan beberapa areal tertentu yang dinyatakan sebagai areal perlindungan dan konservasi (harim), dan diumumkan kepada semua masyarakat kaum muslimin ketika itu. Sayangnya bukti-bukti sejarah tentang ditetapkannya kawasan tertentu sebagai areal harim ini tidak tercatat, kecuali kawasan hima (kawasan lindung).


Sunday 25 April 2021

Sosialisasi Kekerasan Untuk Pembangunan - Bentrokan WADAS

Maaf jika judul yang diberikan terdengan Provokatif. Namun itulah kalimat yang pantas untuk memberikan gambaran atas terjadinya bentrokan antara warga yang di dampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dan aparat kepolisian di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Bagaimana mungkin kegiatan sosialisasi pembangunan yang akan dilaksanakan berujung bentrokan. Pembangunan seperti apakah yang akan disosialisasikan oleh pemerintah. 

Patut diingatkan, bahwa aksi penolakan tambang batu andesit adalah HAK warga negara. Meskipun aparat berkilah, bahwa tindakan tersebut karena adanya penutupan jalan oleh penolak tambang. Namun, tak perlu diragukan lagi, bahwa kehadiran aparat di lokasi tersebut adalah bagian dari upaya sosialisasi pembangunan.

Dengan demikian, maka penyataan dari pejabat pemerintah, tentang adanya Jaminan keamanan dan ketertiban di desa wadas, sungguh dirasakan sebagai suatu "ancaman", terhadap berbagai bentuk penolakan tambang. 

Warga sesungguhnya tak bisa disalahkan karena menggunakan fasilitas umum sebagai ekspresi penolakannya. Sebab, nyaris tak ada kata "SEPAKAT" di sana.

Sepakat untuk menghentikan berbagai bentuk kegiatan administrasi dan fisik di wilayah tersebut, sampai adanya persetujuan. 

Sepakat menghentikan sosialisasi.

Sepakat menghentikan upaya pematokan.

Apa yang perlu disosialisasikan jika masih terdapat penolakan. Sehingga timbul pertanyaa, sejatinya pembangunan yang akan dilaksanakan sebenarnya untuk siapa?. 

Kemudian apakah pilihan yang dimiliki oleh para penolak tambang. Berdiam diri dan hanya melihat sosialisasi dan pematokan berjalan begitu saja. 

Dengan kata lain, sebelum aparat membahas lebih lanjut tentang penutupan jalan, maka aparat harus adil. Dengan meminta para pihak untuk menghentikan segala bentuk kegiatan terkait pematokan lahan kegiatan penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk material pembangunan Bendungan Bener.

Thursday 22 April 2021

Hari Bumi, Green Building dan Penaatan Hukum Lingkungan

Peringatan Hari Bumi yang jatuh setiap tanggal 22 April merupakan sebuah momentum dalam rangka menyadarkan dan memberikan pendidikan lingkungan kepada kepada masyarakat sebagai refleksi makna peringatan hari bumi. Sehingga semakin meningkatkan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan di Bumi.

Kompleksitas Perilaku Ramah Lingkungan 

Aspek-aspek lingkungan hidup sangatlah luas. 

Antara lain pengaturan terkait pengelolaan sampah, limbah domestik dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), pengendalian pencemaran udara, pengelolaan dan pengendalian pencemaran air, pemanfaatan air hujan, perlindungan lapisan ozon, penataan ruang dan penyediaan ruang terbuka hijau, dan konservasi sumber daya alam hayati, serta banyak lagi aspek-aspek perilaku ramah lingkungan lainnya. 

Berbagai aspek yang menelurkan berbagai permasalahan lingkungan tersebut  tentunya diatur dalam banyak peraturan perundangan. Dimana sampai saat ini terus bertambah. 

Sebagai gambaran umumnya, tengoklah pasal-pasal yang terdapat dalam landasan hukum utama pengaturan lingkungan hidup di Indonesia, yang sampai saat ini sudah bertambah lebih dari 5 kali lipat jumlahnya. Awalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dikenal dengan sebutan UULH hanya berisi 24 Pasal. Kemudian direvisi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan (UUPLH) yang berisi 52 Pasal. Terakhir, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kembali bertambah menjadi 127 Pasal.

Karena jumlahnya itulah, tentu akan sangat sulit, bahkan mustahil kiranya dideskripsikan secara sederhana dan komprehensif sehingga mudah dipahami oleh masyarakat. Adalah suatu kewajaran adanya, apabila masyarakat belumlah menyadari berbagai perilaku ramah lingkungan yang telah diamanatkan dalam ratusan PUU lingkungan.     

Bahkan, meskipun masyarakat telah mengetahuinya, namun masih banyak yang tidak memiliki kesadaran untuk merealisasikannya. Salah satu bentuk kewajiban hukum masyarakat yang masih sangat minim dilaksankan di masa pandemi misalnya, yaitu mengelola sampah bekas masker.  Data ??

Green Building 

Langkah awal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah kembali mensosialisasikan berbagai bentuk peran serta masyarakat dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terutama hal-hal yang sesungguhnya tidaklah tepat dikatakan sebagai suatu inisiatif atau kesukarelaan. Sebab banyak diantara perilaku ramah lingkungan, pada prinsipnya telah ditetapkan menjadi suatu kewajiban hukum kepada masyarakat. Harapannya adalah, dapat semakin mendorong perilaku ramah lingkungan oleh masyarakat. 

Pemerintah dan Masyarakat dapat memulai dengan memfokuskan perilaku ramah lingkungan masyarakat di tempat tinggalnya atau tempat kerjanya masing-masing. Sebuah ungkapan “Think globally and act locally” (berpikir secara global dan bertindak secara lokal) sesungguhnya menyerukan, agar setiap orang maupun setiap negara untuk peduli, ikut memikirkan dan bertindak dalam melestarikan lingkungan hidup dunia di tempatnya masing-masing (locally). 

Konsep Green Building muncul sebagai respon dalam rangka mengelola dampak lingkungan yang timbul dari kegiatan di lingkungan bangunan/ gedung. 


Tuesday 20 April 2021

Ekofeminisme (Ecofeminism)

Ekofeminisme (Ecofeminism), juga disebut feminisme ekologi, cabang feminisme yang mengkaji hubungan antara perempuan dan alam. Namanya diciptakan oleh feminis Prancis Françoise d'Eaubonne pada tahun 1974. Ekofeminisme menggunakan prinsip dasar feminis tentang kesetaraan antara gender, penilaian kembali struktur non-patriarkal atau nonlinier, dan pandangan dunia yang menghormati proses organik, koneksi holistik, dan manfaat intuisi dan kolaborasi. Pada gagasan ini, ekofeminisme menambahkan komitmen terhadap lingkungan dan kesadaran akan asosiasi yang dibuat antara perempuan dan alam. Secara khusus, filosofi ini menekankan cara baik alam dan perempuan diperlakukan oleh masyarakat patriarki (atau berpusat pada laki-laki). Ekofeminisme menguji pengaruh kategori gender untuk menunjukkan cara norma sosial memaksakan dominasi yang tidak adil atas perempuan dan alam. Filosofi tersebut juga berpendapat bahwa norma-norma itu mengarah pada pandangan dunia yang tidak lengkap, dan para praktisinya menganjurkan pandangan dunia alternatif yang menghargai bumi sebagai sesuatu yang suci, mengakui ketergantungan manusia pada dunia alami, dan merangkul semua kehidupan sebagai sesuatu yang berharga.

Asal usul ekofeminisme

Gerakan ekofeminis modern lahir dari serangkaian konferensi dan lokakarya yang diadakan di Amerika Serikat oleh koalisi perempuan akademisi dan profesional selama akhir 1970-an dan awal 1980-an. Mereka bertemu untuk membahas cara-cara di mana feminisme dan lingkungan dapat digabungkan untuk mempromosikan rasa hormat terhadap perempuan dan alam dan dimotivasi oleh gagasan bahwa preseden sejarah panjang yang mengaitkan perempuan dengan alam telah menyebabkan penindasan terhadap keduanya. Mereka mencatat bahwa perempuan dan alam sering digambarkan sebagai kacau, irasional, dan membutuhkan kontrol, sementara laki-laki sering dicirikan sebagai rasional, teratur, dan dengan demikian mampu mengarahkan penggunaan dan pengembangan perempuan dan alam. Ekofeminis berpendapat bahwa pengaturan ini menghasilkan struktur hierarkis yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki dan memungkinkan eksploitasi perempuan dan alam, terutama sejauh keduanya terkait satu sama lain. Dengan demikian, ekofeminis awal menentukan bahwa memecahkan kesulitan salah satu konstituen akan membutuhkan penghapusan status sosial keduanya.

Pekerjaan awal tentang ekofeminisme sebagian besar terdiri dari pertama-tama mendokumentasikan hubungan historis antara perempuan dan lingkungan dan kemudian mencari cara untuk memutuskan hubungan tersebut. Salah satu pendiri ekofeminisme, teolog Rosemary Ruether, bersikeras bahwa semua wanita harus mengakui dan bekerja untuk mengakhiri dominasi terhadap alam jika mereka ingin bekerja menuju pembebasan mereka sendiri. Dia mendesak perempuan dan pemerhati lingkungan untuk bekerja sama untuk mengakhiri sistem patriarki yang mengutamakan hierarki, kontrol, dan hubungan sosial ekonomi yang tidak setara. Tantangan Ruether diambil oleh para cendekiawan dan aktivis feminis, yang mulai mengkritik tidak hanya teori ekologi yang mengabaikan efek sistem patriarki tetapi juga teori feminis yang tidak menginterogasi hubungan antara perempuan dan alam juga.

Pada akhir 1980-an, ekofeminisme telah tumbuh dari lingkungan akademisnya yang sebagian besar dan menjadi gerakan populer. Banyak cendekiawan menyebut teori feminis Ynestra King sebagai penyebab mempopulerkan itu. Pada tahun 1987 King menulis sebuah artikel berjudul “Apa itu Ekofeminisme?” (What Is Ecofeminism) yang muncul di The Nation. Di sana dia menantang semua orang Amerika untuk mempertimbangkan cara-cara di mana sistem kepercayaan mereka memungkinkan penggunaan bumi secara eksploitatif dan penindasan lebih lanjut terhadap perempuan. Dengan bantuan artikel King, konsep ekofeminisme tumbuh baik dalam lingkup dukungan maupun filosofis.

Ekofeminisme radikal dan ekofeminisme budaya

Ketika ekofeminisme terus berkembang, ia menyaksikan pecahan pertama dari beberapa. Pada akhir 1980-an, ekofeminisme mulai bercabang menjadi dua aliran pemikiran yang berbeda: ekofeminisme radikal (radical ecofeminism) dan ekofeminisme budaya (cultural ecofeminism). Ekofeminis radikal berpendapat bahwa masyarakat patriarki yang dominan menyamakan alam dan perempuan untuk menurunkan keduanya. Untuk itu, ekofeminisme radikal dibangun di atas penegasan para ekofeminis awal bahwa seseorang harus mempelajari dominasi patriarki dengan tujuan mengakhiri asosiasi antara perempuan dan alam. Yang menarik bagi para teoretikus tersebut adalah cara-cara di mana baik perempuan maupun alam telah diasosiasikan dengan atribut-atribut negatif atau yang dapat dikomodifikasi sementara laki-laki dipandang mampu membangun keteraturan. Pembagian karakteristik tersebut mendorong eksploitasi perempuan dan alam untuk tenaga kerja dan sumber daya yang murah.

Ekofeminis budaya, di sisi lain, mendorong asosiasi antara perempuan dan lingkungan. Mereka berpendapat bahwa perempuan memiliki hubungan yang lebih intim dengan alam karena peran gender mereka (misalnya, pengasuh keluarga dan penyedia makanan) dan biologi mereka (misalnya, menstruasi, kehamilan, dan menyusui). Akibatnya, ekofeminis budaya percaya bahwa asosiasi semacam itu memungkinkan perempuan untuk lebih peka terhadap kesucian dan degradasi lingkungan. Mereka menyarankan bahwa kepekaan ini harus dihargai oleh masyarakat sejauh ia membangun hubungan yang lebih langsung dengan dunia alami yang dengannya manusia harus hidup berdampingan. Ekofeminisme budaya juga berakar pada agama berbasis alam dan dewi dan pemujaan alam sebagai cara untuk menebus spiritualitas alam dan peran instrumental perempuan dalam spiritualitas itu.

Tidak semua feminis menyukai bifurkasi ekofeminisme (bifurcation of ecofeminism). Beberapa perempuan, misalnya, khawatir bahwa ekofeminisme budaya hanya memaksakan stereotip gender dan dapat mengarah pada eksploitasi lebih lanjut. Yang lain menginginkan penekanan yang lebih besar pada agama berbasis alam, sementara yang lain bersikeras bahwa perayaan agama-agama terorganisir Barat dapat mengakomodasi ibadah berbasis alam. Kelompok-kelompok yang sama juga berbeda dalam hal romantisasi alam dan peran yang harus dimainkan oleh berbagai praktik (seperti vegetarianisme atau pertanian organik) dalam penerapan prinsip-prinsip ekofeminis. Akibatnya, gerakan terus tumbuh dan berkembang untuk mengakomodasi variasi tersebut, dan sebagian besar ekofeminis yang mengidentifikasi diri mereka merayakan berbagai definisi dan aplikasi yang tersedia di bawah rubrik umum ekofeminisme.

Masa depan ekofeminisme

Banyak wanita tetap tidak puas dengan batas-batas gerakan. Perhatian khusus adalah kegagalan perempuan di negara-negara maju untuk mengakui cara-cara di mana gaya hidup mereka sendiri mengarah pada degradasi lebih lanjut dari rekan-rekan mereka di negara-negara kurang berkembang dan Bumi secara keseluruhan. Wanita dari negara berkembang menunjukkan efek dari produksi makanan komersial, buruh pabrik, dan kemiskinan pada keluarga dan lanskap mereka. Mereka menuduh ekofeminis kulit putih mempromosikan eksploitasi itu dengan membeli barang-barang yang diciptakan sebagai akibat dari ketidakadilan. Mereka juga mempermasalahkan perampasan budaya dan agama asli untuk tujuan memajukan posisi filosofis. Dengan demikian, ekofeminisme kontemporer harus dikembangkan untuk mengakui efek yang sangat nyata dari ras, kelas, etnis, dan seksualitas pada posisi sosial perempuan. Perempuan yang terlibat dalam masalah keadilan lingkungan dan perempuan yang mewakili budaya minoritas telah bekerja untuk membangun rasa ekofeminisme mereka sendiri untuk memasukkan budaya dan spiritualitas lokal, perayaan peran mereka sebagai ibu dan pengasuh, dan pengakuan atas cara-cara di mana penjajahan Barat mengkompromikan keyakinan tersebut. .

Banyak ekofeminis juga prihatin dengan apa yang mereka lihat sebagai bias heteroseksual dalam gerakan sejauh ekofeminisme tampak lebih mengutamakan pengalaman perempuan heteroseksual daripada perempuan homoseksual. Untuk memperbaiki masalah itu, aliran ekofeminisme yang baru muncul menekankan perlunya memasukkan prinsip-prinsip teori queer ke dalam ajaran ekofeminisme. Mereka berpendapat bahwa jika ekofeminisme memang berkomitmen untuk memerangi sistem penindasan dan dominasi, maka gerakan tersebut juga harus mengakui cara-cara di mana seksualitas—dan, lebih khusus lagi, tanggapan terhadap seksualitas itu—juga berperan sebagai mekanisme yang menindas. Dengan demikian, penebusan peran dan peluang perempuan juga harus mencakup penilaian terhadap perbedaan seksual serta perbedaan ras, kelas, dan gender.

Sarjana ekofeminis sering berpendapat bahwa pluralitas besar keyakinan dalam ekofeminisme adalah salah satu kekuatan terbesar gerakan. Mereka mencatat bahwa banyak sekali definisi dan penerapan, yang terkadang saling melengkapi dan terkadang bertentangan satu sama lain, menunjukkan aspek-aspek gerakan yang membebaskan dan inklusif. Mereka juga menunjuk pada kesamaan-kesamaan penting yang dimiliki bersama dalam berbagai aliran ekofeminisme. Semua ekofeminis, kata mereka, bekerja menuju pengembangan teori dan tindakan yang mengakui masalah yang melekat dalam sistem patriarki dan hierarkis. Mereka menganjurkan penilaian kembali sains untuk mengakui peran subjektivitas dan intuisi. Mereka juga mendukung penciptaan pandangan dunia baru yang menghargai semua sistem biologis sebagai sesuatu yang berharga secara inheren. Akhirnya, mereka bersikeras untuk memecahkan masalah-masalah itu melalui cara-cara yang tegas dan tanpa kekerasan.


Sumber :

https://www.britannica.com/topic/ecofeminism 

Sunday 18 April 2021

Sertifikasi Lingkungan BREEAM Untuk Bangunan/ Gedung

Sertifikasi BREEAM  atau the Building Research Establishment Environmental Assessment Method (Metode Penelitian dan Penilaian Lingkungan Pendirian Bangunan) mungkin merupakan pondasi awal lahirnya berbagai bentuk sertifikasi lingkungan untuk bangunan atau gedung, yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1990 di Inggris.

Sampai saat ini, BREEAM telah menjadi salah sertifikasi yang paling populer untuk menilai aspek lingkungan pada bangunan/ gedung. Sampai dengan 29 Juni 2021, jumlah bangunan yang teregistrasi untuk memperoleh BREEAM mencapai 2.313.475 bangunan. Sedangkan jumlah sertifikasi yang telah terbit mencapai 594.011 sertifikat yang ada di 89 negara di seluruh dunia.

Wednesday 14 April 2021

Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasca UUCK

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lengkap lampiran dapat Download disini)

Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

PP ini Mencabut :

PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air

PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut


Perlindungan lingkungan adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan penyelenggaraan penataan ruang. Karenanya, perlu juga diketahui pengaturan Penataan Ruang Pasca Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yang ditetapkan dalam PP 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

(Download PP 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disini)


Wednesday 7 April 2021

Kasus Hewan dan Tumbuhan Asing Invasif di Indonesia

Kebun Raya Bogor merupakan sumber utama tumbuhan asing yang telah dinaturalisasikan dan kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. 

Kesalahan termahal dan terkenal adalah pembuangan kelebihan eceng gondok atau Eichhornia crassipes (sejenis bunga bakung air) pada awal abad ini yang kemudian memasuki aliran sungai Ciliwung yang mengalir di tengah tengah kebun raya bogor. Tumbuhan berbunga biru yang menarik ini merupakan tumbuhan asli brazil dan dibawa ke kebun raya pada tahun 1894 melalui perantara isteri duta besar Brazil. Tumbuhan yang hanyut tersebut segera terdampar, digunakan oleh masyarakat untuk kolam hias, sampai akhirnya tersebar dimanadi seluruh Indonesia.

Tumbuhan lainnya yang menyebar dari kebun raya bogor adalah Semanggi SagittariaPlatyphylla; Gulma sejenis Braja wangi Micrania micracantha; pohon kecil seuseureuhan (S) piper aduncum (Pipe.); Pohon perintis neotropis Cecropia peltata (Cecr.)

Pusat tumbuhan asing lainnya terdapat di Kebun Raya Cibodas dan Purwodadi, Kebun raya dekat Nongkojajar, pusat-pusat pertanian dan pusat pemasaran tumbuhan seperti di Lembang, Bogor, Salatiga, dan Dieng dimana tumbuhan tersebut diujicoba.

Spesies Asing Invasif Menimbulkan Ancaman Global yang Besar terhadap Alam, Perekonomian, Ketahanan Pangan dan Kesehatan Manusia. Spesies invasif merugikan dunia setidaknya $423 miliar setiap tahun dan telah menjadi ancaman utama terhadap keanekaragaman kehidupan di Bumi. Menurut laporan baru yang diterbitkan oleh Platform Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem (IPBES), lebih dari 37.000 spesies asing telah dibawa oleh banyak aktivitas manusia ke wilayah dan bioma di seluruh dunia. Perkiraan konservatif ini kini meningkat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 3.500 di antaranya merupakan spesies asing invasif yang berbahaya – sangat mengancam alam, kontribusi alam terhadap manusia, dan kualitas hidup yang baik. 

Tiga spesies invasif teratas termasuk eceng gondok, tanaman air asli Amerika Selatan tropis yang menghalangi saluran air dan merusak perikanan, semak berbunga lantana, dan tikus hitam. Contoh lain termasuk spesies nyamuk invasif, seperti Aedes albopictus dan Aedes aegypti , yang menyebarkan virus West Nile dan virus Zika.

 

Tuesday 6 April 2021

Polemik Kelapa Sawit Nasional - ISPO - draft

Polemik terkait komoditas kelapa sawit masih terus berlangsung. Lahirnya Perpres ISPO dan Permentan ISPO diharapkan menjadi solusi dalam rangka mewujudkan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Pada dasarnya pemerintah bersikukuh, bahwa Kelapa Sawit adalah komoditas strategis nasional, sehingga harus dibela. Pemerintah dan pendukungnya saat ini selalu menegaskan, bahwa dengan adanya ISPO atau diterbitkannya suatu Peraturan Perundangan, maka berbagai permasalahan sosial atau lingkungan telah diatasi. 

Sementara kelompok kontra seolah menyatakan, bahwa telah dijumpai fakta-fakta lapangan berbagai permasalahan lingkungan dan sosial yang terkait dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit. Dengan kata lain, kelompok kontra menegaskan, bahwa kehadiran Peraturan Perundangan atau ISPO belumlah menjamin adanya suatu solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi. 

Kedua kelompok pro kontra tersebut, entah sampai kapan akan berpolemik..

Thursday 1 April 2021

Kelelawar, Corona dan Laporan WHO

Polemik hasil Laporan WHO atas keterkaitan antara penyebaran awal Virus Corona dan Kelelawar patut ditanggapi oleh pemerintah secara responsif. Laporan yang ditulis bersama dengan para ilmuwan China, dimana tim pimpinan WHO menyatakan, bahwa virus itu kemungkinan ditularkan dari kelelawar ke manusia melalui hewan lain.

Laporan tersebut juga berpotensi memicu timbulnya kekahawatiran masyarakat terhadap kelelawar, yang dituding sebagai penyebar virus corona. Kekahawatiran yang dapat saja, kembali memicu gerakan pemusnahan terhadap satwa kelelawar di Indonesia. 

Patut diingatkan kembali, bahwa pada bulan maret 2020 di awal masa pandemi, beberapa pemerintah daerah mengambil inisiatif yang keliru, dengan menggerakan pemusnahan satwa kelelawar di daerahnya, karena dikhawatirkan menjadi binatang pembawa (vector) virus corona.

Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kota Surakarta bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jateng memusnahkan kelelawar di Pasar Depok, Solo. Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan, Evi Nur Wulandari menyampaikan, pemusnahan kelelawar di Pasar Depok Solo sebagai langkah antisipasi agar virus tersebut tidak mutasi dan menyerang kepada manusia. 

Sumber : Artikel Kompas.com dengan judul "Solo KLB Corona, 193 Kelelawar di Pasar Depok Dimusnahkan", Penulis : Kontributor Solo, Labib Zamani dan Editor : Khairina; Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/03/14/21175101/solo-klb-corona-193-kelelawar-di-pasar-depok-dimusnahkan?page=all.