PENDAHULUAN
Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan penunjang keberlangsungan kehidupan manusia. Seluruh aktivitas ekonomi, baik produksi, konsumsi dan jasa secara langsung dan tidak langsung akan memanfaatkan unsur-unsur sumber daya dan lingkungan hidup (SDALH) dalam kegiatannya. Sumber daya alam dan lingkungan hidup juga merupakan modal utama bagi pembangunan.
Pemanfaatan SDA kemudian menjadi tidak terkendali serta mengakibatkan menurunnya kualitas SDA dan fungsi lingkungan hidup karena terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan dari kegiatan usaha atau proses produksi. Oleh karena itulah, akibat komulatifnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, yang juga bergantung terhadap kualitas SDA atau lingkungan hidup.
Hal tersebut dikarenakan selama ini pemanfaatan SDA dianggap milik bersama, sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin atau tak terbatas. Menurut Hardin, apa yang disebut “the commons” itu dipandang sebagai sesuatu hal yang “gratis”, sehingga segala kegiatan pemanfaatannya tidak disertai dengan biaya pemulihan untuk menjaga kesinambungannya. Di dalam pemanfaatan SDA yang dapat diakses secara terbuka ini, berpeluang terjadi tragedy of the commons, kerusakan SDA, konflik antarpelaku, dan kesenjangan ekonomi. (Caritas Woro M.R., 358).
Dalam perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antara berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antarkegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam persoalan. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar itulah yang disebut dengan eksternalitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan, maupun yang merugikan. (Joseph E. Stiglitz, 1989, dalam Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 159)
Eksternalitas positif adalah tindakan seseorang yang memberikan manfaat bagi orang lain, tetapi manfaat tersebut tidak dialokasikan di dalam pasar. Jika kegiatan dari beberapa orang menghasilkan manfaat bagi orang lain dan orang yang menerima manfaat tersebut tidak membayar atau memberikan harga atas manfaat tersebut maka nilai sebenarnya dari kegiatan tersebut tidak tercermin dalam kegiatan pasar. Contohnya adalah ada sebuah keluarga yang memperbaiki rumahnya sehingga keluarga tersebut membuat keseluruhan lingkungan sekitar menjadi bagus sehingga menghasilkan keuntungan eksternal kepada para tetangga. Manfaatnya adalah lingkungan mereka sekarang menjadi lebih menyenangkan, selain itu tetangga juga mungkin bisa mendapat keuntungan financial dari keluarga yang memperbaiki rumahnya tersebut. Dilingkungan yang bagus sebuah rumah akan lebih laku dijual daripada di lingkungan yang kumuh sehingga manfaat eksternal dapat berubah menjadi keuntungan finansial bagi penerima eksternalitas.
Sedangkan, Eksternalitas negatif adalah biaya yang dikenakan pada orang lain di luar sistem pasar sebagai produk dari kegiatan produktif. Contoh dari eksternalitas negatif adalah pencemaran lingkungan. Di daerah industri, pabrik-pabrik sering mencemari udara dari produksi output, misalnya, dan orang-orang di sekitarnya harus menderita konsekuensi negatif dari udara yang tercemar meskipun mereka tidak ada hubungannya dengan memproduksi polusi.
Eksternalitas hanya terjadi apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain (atau segolongan orang lain), tanpa adanya kompensasi apa pun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.
Dalam perkembangan keilmuan, secara konsep sederhana, para ekonom berpendapat eksternalitas dapat diinternalisasi secara optimal dengan menerapkan pajak pada setiap aktivitas yang mengakibatkan pencemaran. Teori tersebut didasarkan pada hasil pemikiran Arthur Cecil Pigou, seorang ekonom dari Cambridge University, Inggris, sehingga terkenal dengan nama Pigouvian Tax. (Pigou 1920, dalam Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 160).
Dalam konteks ekonomi, eksternalitas ini merupakan salah satu bentuk kegagalan pasar (market failures). Pasar sebagai tempat bertemunya keseimbangan dalam siklus perekonomian tidak dapat mencegah satu biaya (inefisiensi) yang timbul di luar aktivitas produksi tersebut. Kegagalan pasar ini perlu diantisipasi dan dicegah.
Menurut pakar ekonomi, John Maddox bahwa pencemaran akan dapat dipecahkan dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul (price) dan merupakan masalah ekonomi. Lebih lanjut diuraikan bahwa ”we can reduce pollution if we are prepared to pay for it“, yang dapat dipahami bahwa seberapa besar kemampuan membayar baik dengan program untuk menciptakan alat pencegah pencemaran (anti pollution) maupun secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran (Silalahi 1996 :12).
Inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya Prinsip Pencemar Membayar.
(Sub Bab ini menjelaskan tentang latar belakang lahirnya prinsip pencemar membayar. Dimana terdapat keterkaitan antara Sifat SDA yang gratis, tragedy of commons, externalitas serta upaya internalisasi biaya SDA Lingkungan dalam kegiatan produksi)
PENGERTIAN POLLUTER PAYS PRINCIPLE
Prinsip berasal dari kata latin principium, dalam bahasa inggris principle, dalam bahasa perancis principe. Prinsip sering kali diterjemahkan dalam kata asas. Demikian dengan hukum lingkungan, prinsip hukum lingkungan (asas hukum lingkungan) berarti pokok dasar atau landasan hukum lingkungan (Danusaputro 1981:6).
Pada awal tahun 1972 mulai dianut oleh Negara anggota OECD (Rangkuti 2000 :238). Penelitian selama bertahun-tahun mengenai the polluter-pays principle menghasilkan rekomendasi OECD Council pada tanggal 26 Mei 1972 tentang Guiding Principles concerning the international economic aspects of environmental policies yang diterima oleh pemerintah negara-negara anggota, berupa penerapan antara lain the polluter-pays principle dan rekomendasi mengenai penyesuaian norma-norma yang berkaitan, yaitu yang mempunyai pengaruh ekonomi internasional dan lalu lintas perdagangan.
Masyarakat Eropa pertama kali menerapkan rekomendasi PPP OECD pada Program Aksi Lingkungan pada tahun 1973-1976. Perkembangan selanjutnya, melalui Rekomendasi tanggal 3 Maret 1975 tentang alokasi biaya dan tindakan oleh otoritas publik pada masalah lingkungan (regarding cost allocation and action by public authorities on environmental matters). Sejak tahun 1987 prinsip juga telah diabadikan dalam Perjanjian Masyarakat Eropa dan di berbagai peraturan perundang-undangan nasional di seluruh dunia.
Secara historis organisasi The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan European Communities (EC) banyak berperan dalam pengembangan the polluter-pays principle sebagai pangkal tolak berpikir kebijaksanaan lingkungan. (Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 54-55).
Bank Dunia (World Bank) juga menganut pandangan the willingness to pay pada tahap awal pemberian petunjuk mengenai masalah lingkungan. Hal ini tentu erat kaitannya dengan rekomendasi dan penerapan the polluter-pays principle oleh negara anggota OECD dan EC. (Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 54-55).
Prinsip pencemar membayar (PPP) telah diadopsi di beberapa konvensi internasional, di antaranya: Protokol Athena tahun 1980 untuk Perlindungan Laut Mediterania terhadap Polusi dari Sumber dan Aktivitas di Daratan, Konvensi Helsinki 1992 Pengaruh Kecelakaan Industri Lintas Batas, Konvensi Lugano 1993, tentang Pertanggungjawaban Sipil untuk Kerusakan akibat hasil dari Kegiatan Berbahaya bagi Lingkungan, Konvensi Helsinki 1992 tentang Perlindungan dan Penggunaan Lintas Batas sungai dan Danau Internasional, Protokol London 1996 atas Konvensi tentang Pencemaran Laut Akibat Pembuangan Limbah dan Bahan Lainnya (London Dumping Convention 1972).
Prinsip ini juga telah dimasukkan dalam Prinsip 16 Deklarasi Rio, yang berbunyi sebagai berikut: otoritas nasional harus berusaha untuk mempromosikan internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan pendekatan bahwa pencemar harus, pada prinsipnya, menanggung biaya pencemaran, dengan memperhatikan kepentingan umum dan tanpa mengganggu perdagangan internasional dan investasi. (Enviromental Law In Development Country, Faure, Hlm. 27)
Menurut Simons dalam bukunya Het beginsel ‘de vervuiler betaalt’ en de Nota Milieuheffingen, prinsip ini semula diajukan oleh ahli ekonomi E. J. Mishan dalam The Cost of Economic Growth pada tahun 1960-an. Dikatakan bahwa prinsip pencemar membayar yang bersumber pada ilmu ekonomi berpangkal tolak pada pemikiran bahwa pencemar (Rangkuti, h.256) semata-mata merupakan seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Begitu pula norma hukum dalam bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran yang sebenarnya dielakkan. (Rangkuti, h.238, 244)
Pengertian lainnya yaitu setiap orang yang kegiatannya berpotensi menyebabkan dampak penting terhadap lingkungan, harus memikul biaya pencegahan (preventive) atau biaya penanggulangan (restorative) (Siswanto 2005:89-91).
Pada awal tahun 1972 mulai dianut oleh Negara anggota OECD yang pada intinya menyebutkan bahwa pencemar harus membayar biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkan (Rangkuti 2000 :238).
OECD memberikan definisi : “the polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by publik authorities to ensure that the environment is in “acceptable state” or in other words the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and or in consumption.”
Secara sederhana, pengertian asas pencemar membayar (polluter pays principle) adalah, bahwa setiap pelaku kegiatan/ usaha yang menimbulkan pencemaran, harus membayar biaya atas dampak pencemaran yang terjadi.
Jika dalam konteks tradisional, prinsip pencemar membayar diartikan sebagai suatu kewajiban yang timbul terhadap pencemar untuk membayar setiap kerugian akibat pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. Dalam konteks modern prinsip pencemar membayar diterapkan tanpa menunggu adanya akibat dari suatu pencemaran, tetapi diinternalisasikan dalam operasional perusahaan melalui upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang harus diterapkan. Dengan kata lain, Internalisasi biaya lingkungan identik sebagai penjabaran atas prinsip pencemar membayar dalam perspektif yang lebih modern. (Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 178)
PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI
Asas pencemar membayar (polluter pays principle) ini lebih menekankan pada segi ekonomi daripada segi hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai kerusakan lingkungan serta pembebanan upaya pemulihan lingkungan yang rusak. (Rangkuti, h.244)
OECD menerima the polluter-pays principle, tidak saja sebagai pangkal tolak kebijaksanaan lingkungan nasional yang efisien, tetapi juga prinsip yang dapat menunjukkan keserasian internasional. Biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran merupakan kunci masalah lingkungan yang penting, sehingga pada sidang pertamanya, tanggal 15 dan 16 Juni 1971 / Sub commitee of economic experts OECD menetapkan:
a. that the internalization of external effect connected with the environment obeyed an economics efficiency principle which provide a basis for a pollution control policy,
b. that such internalization should be based as possible on the overriding principle that “the polluter should be the payers”,
c. that exception may have to be meet to the principle which ought to be defined analyzed.
Fungsi utama asas pencemar membayar menurut rekomendasi OECD, yaitu specify the allocation “Of costs of pollution prevention and control measures to encourage rational use of scarce environmental resources and to avoid distortions in international trade and investment.” The polluter should bear the expense of carrying out the measures “decided by public authorities to ensure that the environment is in an acceptable state” (OECD 1972).
menentukan alokasi "Dari biaya pencegahan polusi dan langkah-langkah pengendalian untuk mendorong pemanfaatan sumber daya yang langka lingkungan dan untuk menghindari distorsi dalam perdagangan internasional dan investasi. "pencemar harus menanggung biaya melaksanakan langkah-langkah" diputuskan oleh otoritas publik untuk memastikan bahwa lingkungan dalam keadaan diterima "(OECD 1972) .
The PPP is normally implemented through two different policy approaches: command-and-control and market-based. Command-and-control approaches include performance and technology standards. Market-based instruments include pollution taxes, tradable pollution permits and product labeling. The elimination of subsidies is also an important part of the application of the PPP.
PPP biasanya diimplementasikan melalui dua pendekatan kebijakan yang berbeda: pendekatan Command-and-control termasuk kinerja dan teknologi standar. instrumen berbasis pasar termasuk pajak pencemaran, izin polusi yang bisa diperdagangkan dan pelabelan produk. Penghapusan Of subsidi juga merupakan bagian penting dari penerapan PPP.
Secara teoritis tujuan prinsip pencemar-membayar dapat dicapai melalui penggunaan berbagai instrumen, seperti instrumen ekonomi, standar atau liability rules (Faure, Environmental Law In Development Coutry, Hlm 28).
Penerapan Polluters Pays Principle oleh OECD
Laporan OECD mengenai the Polluter-pays Principle (1975) juga mengemukakan pemikiran tentang: “Who Pays For What?” Dalam laporan tersebut, dibahas mengenai hubungan pencemaran dan pertanggungjawaban: pencemar tidak selalu bertanggung jawab terhadap pencemaran ditimbulkannya. Misalnya: seorang pengendara motor mencemarkan dan berbuat bising tidak bertanggung jawab sendiri, tetapi secara kolektif bersama produsennya. Jelaslah, bahwa menentukan pencemar mungkin tidak sulit, tetapi kadangkala keliru untuk membebankan biaya semata-mata kepada the physical polluters.
Selanjutnya, laporan OECD menghubungkan pencemaran dan kekuasaan, dalam arti menemukan siapa pihak yang menemukan ekonomis dan teknis mempunyai daya kekuasaan menanggulangi pencemaran. Pengusaha mempunyai kemampuan membuat produksinya bebas pencemaran dengan cara memasang alat pencegahan pencemaran, sehingga tidak layak untuk membebani “Korban” semata-mata. Dengan lain perkataan, the polluterpays principle berbeda hasilnya, tergantung pada penerapan terhadap produsen atau konsumen. Laporan, OECD di atas membahas pula mengenai actual polluters. Pencemar yang secara potensial menimbulkan risiko pencemaran dibebani pajak yang di peruntukkan bagi dana pembayaran ganti kerugian terhadap korban pencemaran, apabila pihak yang bertanggung jawab tidak dapat ditemukan. Misalnya: kasus pencemaran laut, dibiayai dari pajak atas minyak yang diimpor atau diangkut melalui laut. (Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (h. 256) dalam Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 54)
Studi yang dilakukan OECD dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran, menyimpulkan terdapat dua aliran utama, yaitu:
1) Golongan yang menginginkan pengendalian langsung dengan satu-satunya strategi adalah diberlakukannya peraturan terhadap para pencemar, terutama mengenai standar emisi, dan
2) Golongan yang lebih menyukai pendekatan ekonomi. Golongan ini mengemukakan, berbagai sumber daya alam terbuang sia-sia karena dianggap gratis atau kurang dipertimbangkan. Mereka menganggap perlu ditetapkannya “harga wajar“ yang meliputi pula pungutan pencemaran .
Pasal 4 Lampiran Rekomendasi OECD tersebut berbunyi : “The principle to be used for allocation cost of pollution prevention and control measures to encourage national use of scarce environmental resources and to avoid distortion in international trade and investment is the so-called “Polluter-Pays Principle”. The principle means that the polluter should bears the expenses of caring out the above mentioned measures they decide by public authorities to ensure that the environment is in an acceptable state. In other words, the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and service which cause pollution in production and for consumption. Such measures should not be accompanied by subsidies that would create significant distortion in international trade and investment”. Menyatakan agar negara anggota tidak membantu pencemar dalam menanggung biaya pengendalian pencemaran, baik dengan sarana subsidi, keringanan pajak atau lainnya. Subsidi dan bantuan keuangan lainnya dengan kombinasi pungutan pencemaran ditetapkan juga di negara maju, seperti Prancis dan Belanda.
Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya lingkungan. Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini mengandung makna bahwa pencemar wajib bertanggung jawab untuk menghilangkan atau meniadakan pencemaran tersebut. Ia wajib membayar biaya-biaya untuk menghilangkannya. Oleh karena itu, prinsip ini menjadi dasar pengenaan pungutan pencemaran. Realisasi prinsip ini, dengan demikian menggunakan instrumen ekonomi, seperti pungutan pencemaran (pollution charges) terhadap air dan udara serta uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (deposit fees).
Studi yang dilakukan OECD dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran, menyimpulkan terdapat dua aliran utama, yaitu:
1) Golongan yang menginginkan pengendalian langsung dengan satu-satunya strategi adalah diberlakukannya peraturan terhadap para pencemar, terutama mengenai standar emisi, dan
2) Golongan yang lebih menyukai pendekatan ekonomi. Golongan ini mengemukakan, berbagai sumber daya alam terbuang sia-sia karena dianggap gratis atau kurang dipertimbangkan. Mereka menganggap perlu ditetapkannya “harga wajar“ yang meliputi pula pungutan pencemaran.
Dari sudut pandang ekonomi pungutan merupakan instrumen pengendalian pencemaran paling efektif. Karena pungutan merupakan insentif permanen guna mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangan. Namun anggapan tersebut dibantah, yang menganggap biaya pungutan sama dengan biaya pembelian hak untuk mencemari. Dengan kata lain, dengan membayar, maka pencemar berhak untuk melakukan kegiatan mencemarkan, asalkan dia membayar ganti kerugian. Tafsiran ini dikenal dengan ungkapan the right to pollute, license to pollute, paying to pollute dan de betaler vervuilt.
Argumen tersebut disanggah dengan adanya kenyataan bahwa pungutan pencemaran yang diperhitungkan secara tepat dapat mendorong pencemar untuk mengurangi emisi, karena dengan jalan tersebut penanggulangan limbah akan lebih murah daripada mencemarkan dan kemudian membayar tuntutan ganti rugi akibat pencemaran.
Mengenai pertanyaan apa yang harus dibayar pencemar, OECD juga memberikan saran petunjuk:
a. pencemar selayaknya dibebani kewajiban membayar akibat pencemaran yang ditimbulkan. Namun penyelesaian ini tidak memuaskan, bahkan berbahaya dengan alasan berikut:
• pemulihan lingkungan tidak ada artinya dalam hal terjadinya kerusakan hebat yang dampaknya tidak dapat diselesaikan dengan ganti kerugian murni,
• pemulihan kerusakan mengandung banyak kesulitan, misalnya dampak jangka panjang dan penemuan dampak tidak langsung,
• perkiraan biaya kerusakan terhadap biaya pemulihan,
• perbaikan kerusakan seringkali sia-sia dari segi ekonomi; mencegah lebih baik daripada mengobati.
b. pencemar membayar, dengan membebaninya biaya kegiatan yang perlu untuk mencegah pencemaran, dalam bentuk pungutan insentif yang sama dengan biaya pembersihan limbah, atau hanya menetapkan kriteria yang mengharuskan mengambil upaya pencegahan.
Selanjutnya OECD mengemukakan bahwa di samping upaya tersebut di atas pengendalian pencemaran meliputi pula biaya lain berupa biaya alternatif penerapan kebijaksanaan antipencemaran, biaya pengukuran dan pemantauan pengelolaan, biaya riset dan pengembangan teknologi antipencemaran, sumbangan untuk memperbarui instansi out-of-date dan sebagainya. Jika pencemar harus membayar masih perlu ditetapkan dengan pasti apa yang harus dibayarnya.
c. Kenyataannya, pencemar harus membayar berarti bahwa dia merupakan pembayar pertama, atau dia berada pada tahap internalisasi biaya eksternal. Dalam hal ini, meneruskan biaya kepada konsumen tidak melemahkan prinsip tersebut. Menurut laporan OECD tersebut di atas dianggap tidak realistik bahwa keseluruhan penanggulangan pencemaran dibebankan kepada pencemar. Pemikiran yang dianut OECD mengenai masalah ini dirumuskan sebagai berikut:
“The polluter-pays principle of compensation for damage caused by pollution. Nor does it mean that the polluter should merely pay the cost of measures to prevent pollution. The Polluter-pays Principle means that the polluter should be charged with the cost of whatever pollution prevention and control measures are determined by the public authorities, whether preventive measures, restoration, or a combination of both. … in other words the Polluters-pays Principle is not in itself a principle intended to internalize fully the cost of pollution”.
Di bidang kebijaksanaan lingkungan telah dikemukakan sejumlah instrumen ekonomi yang masing-masing manfaatnya bersifat relatif terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan.43 Mengenai sarana kebijaksanaan lingkungan OECD mengenal jenis berikut:
1. direct control, 2. taxes, 3. payments, 4. subsidies, 5. various incentives (tax benefits, accelerated amortization, credit facilities), 6. the auction of pollution rights, 7. charges.
Pada umumnya sarana kebijaksanaan lingkungan menekankan kepada ketentuan larangan dan persyaratan perizinan, sebagai sarana langsung dan efektif terhadap tujuan yang hendak dicapai, apabila hal itu berhubungan dengan penanggulangan faktual pada sumber pencemaran. Baik pengendalian langsung atau sarana fisik, maupun pembebanan pungutan dapat dianggap sebagai penerapan dari the polluter-pays principle, yang juga dinyatakan dalam laporan OECD: The polluter-pays principle may be implemented by various means raging from process and product standards, individual regulation and prohibition to levying various kinds of pollution charges. To or more of these instruments can be used together. The choice of instruments is particularly important as the effectiveness of a policy depends on it. This choice can only be made by public authorities at central or regional level, in the light of a number of factors such as the amount of information require for the efficient use of these various instruments, their administrative cost, etc.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa penerapan the polluter-pays principle dilaksanakan melalui berbagai cara, mulai dari baku mutu proses dan produk, peraturan, larangan sampai kepada bentuk pembebanan bermacam-macam pungutan pencemaran atau kombinasinya. Pilihan antara berbagai alternatif sarana ini berada di tangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang bersangkutan. (BAB 2 EVOLUSI KEBIJAKAN DAN PRINSIP-PRINSIP LINGKUNGAN GLOBAL HUKUM LINGKUNGAN TEORI, LEGISLASI DAN STUDI KASUS, Hlm. 60)
The principle as laid down in the Principle 16 Rio Declaration .
If environmental costs are not internalized (or if state subsidies are given to polluting industries or if preventive measures are paid by the state) this could lead to distortion of international trade and investment. Thus, due application of the principle also protects economic interests. (but: no excessive application of principle, which may again lead to distortions.)
Prinsip 16 Deklarasi Rio berbunyi: “National authorities should endeavour to promote the internalization of environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with the due regard to the public interest and without distorting international trade and investment”.
“Otoritas nasional harus berusaha untuk mempromosikan internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan pendekatan bahwa pencemar harus, pada prinsipnya, menanggung biaya pencemaran, dengan memperhatikan kepentingan umum dan tanpa mengganggu perdagangan internasional dan investasi.
Selain itu PPP, diatur dalam Pasal 34 Ayat (1)UUPPLH. Pasal 34 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.
•The polluter pays principle (PPP) was first mentioned in the recommendation of the OECD of 26th May 1972 and reaffirmed in the recommendation of 14th November 1974.
•In the 1972 Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment in Stockholm the principles did not feature, but in 1992 in Rio PPP was laid down as Principle 16 of the UN Declaration on Environment and Development.
PRINSIP PENCEMAR MEMBAYAR DALAM UUPPLH
Pasal 2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: j. pencemar membayar.
Menurut Penjelasan Huruf j UUPPLH, yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
Pasal 87, Ayat 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 merupakan realisasi dari “polluter pays principle”, yang dirumuskan dalam prinsip ke-16 Deklarasi Rio. Prinsip ini juga seringkali disebut sebagai prinsip internalisasi biaya.
Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Penjelasan Pasal 87 Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk:
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pasal 43 ayat (1) huruf (d) menyebutkan “internalisasi biaya lingkungan hidup” adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan). Bentuk dari asas pencemar membayar sebagai upaya pencegahan (prefentif) adalah seperti pembangunan instalasi pembuangan limbah, pembuatan dokumen AMDAL, pembuatan UKL-UPL sebagai pengelolaan lingkungan dan sebagainya.
Rangkuman dari bahan
BPHN - implementasi_prinsip_pencemar_membayar_uu_32 2014_ttg_kelautan
Penerapan asas pencemar membayar (polluter pays principle) dalam penyelesaian sengketa lingkungan sebagai upaya penegakan hukum lingkungan, dalam konteks ganti rugi akibat pencemaran telah diakomodir dengan lahirnya Peraturan Menteri lingkungan hidup nomor 13 tahun 2011 mengenai ganti rugi akibat pencemaran lingkungan.
Pada tahun 1972, OECD mengenalkan sebuah prinsip penting untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan hidup tersebut, yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Prinsip ini pada awalnya hanya mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar semua biaya untuk mengikuti aturan dan standar lingkungan hidup yang berlaku. Hal itu tentu saja menimbulkan sikap negatif, karena banyak negara atau kalangan swasta yang dengan seenaknya melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan dengan dalih bahwa mereka telah membayar biaya tertentu untuk mengikuti berbagai macam peraturan lingkungan. Dengan kata lain, jika mereka telah mengikuti sebuah standar tertentu lingkungan, maka jika terjadi kerusakan atau pencemaran akibat aktivitasnya, ia dibebaskan dari tanggung jawab untuk ganti rugi pada korban, misalnya.
Pelaku pencemaran atau yang diindikasikan mempunyai kontribusi besar pada terjadinya kerusakan lingkungan global, tentu saja dan sudah menjadi keharusan, mempunyai kewajiban lebih besar daripada korban pencemaran atau yang tidak melakukan upaya-upaya perusakan lingkungan hidup.
Melihat fenomena itu, prinsip ini kemudian diperluas dengan mewajibkan kepada pelaku pencemaran untuk membayar biaya tertentu terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitasnya. Prinsip ini mewajibkan kepada pelaku untuk membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah ia telah mengikuti standar lingkungan atau tidak. Prinsip pencemar membayar ini, dalam perkembangannya dan dalam dataran tertentu, mengatur masalah tanggung jawab sebuah negara ke negara lain atas kerusakan lingkungan hidup yang diperbuatnya. Prinsip ini lahir dari kewajiban negara untuk tidak merusak lingkungan negara lain atau teritorial di luar wilayahnya serta kewajiban tiap orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsip ini sekarang telah berlaku secara universal. Selain itu,dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih terkenal dengan sebutan KTT Bumi, yang terjadi pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil
TEORI PENCEMAR MEMBAYAR
Prinsip pencemar membayar adalah prinsip yang sering diucapkan dalam deklarasi internasional yang kemudian masuk ke dalam konvensi-konvensi internasional dan menjadi prinsip hukum lingkungan internasional.1 Instrumen internasional pertama yang mengacu pada pernyataan prinsip pencemar membayar secara tegas adalah Organisation for Economic Co-operation and Devlopment (OECD) 1872, yaitu sebuah organisasi ekonomi internasional yang didirikan oleh 34 negara pada tahun 1961, yang bertujuan untuk menstimulasi perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia. Badan ini mendukung prinsip pencemar membayar untuk mengalokasikan biaya pencegahan polusi dan tindakan kontrol untuk mendorong pengelolaan sumber daya lingkungan secara rasional dan menghindari penyimpangan pada perdagangan dan investasi internasional.2
Rekomendasi tersebut berisi definisi prinsip pencemar yang mewajibkan para pencemar untuk memikul biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka upaya-upaya yang diambil oleh pejabat publik untuk menjaga agar kondisi lingkungan berada pada kondisi yang dapat diterima atau dengan kata lain bahwa biaya yang diperlukan untuk menjalankan upaya-upaya ini harus mencerminkan harga barang dan jasa yang telah menyebabkan pencemaran selama dalam proses produksi atau proses konsumsinya.3
Prinsip ini menetapkan persyaratan biaya akibat dari polusi dibebankan kepada pelaku yang bertanggung jawab menyebabkan polusi.4 Penerapan nyata dari prinsip pencemar membayar ini adalah pengalokasian kewajiban ekonomi terkait dengan kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan dan secara khusus berhubungan dengan tanggunggugat (liability), penggunaan instrumen ekonomi, dan penerapan peraturan terkait persaingan dan subsidi.5
1 Elli Louka, International Environmental Law, Fairness, Effectiveness, and World Order, (United Kingdom :
Cambridge University Press, 2006), hlm. 51.
2Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, hlm. 281.
3 A. Boyle, Impact of International Law and Policy, dalam: Alan Boyle, ed., Environmental Regulation and Economic
Growth (Clarendon Press, 1994), hlm. 179-182. Lihat juga: Alan Boyle dan Patricia Birnie, International Law and
the Environment, Second Edition, (Oxford University Press, 2002), hlm. 92-95.
4Elli Louka, InternationalEnvironmental Law, Fairness, Effectiveness and World Order, hlm. 279.
5Philippe Sands, Ibid. hlm .280.
1. Penerapan prinsip pencemar membayar (polluters pays principles) dalam Undang-undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, tidak secara khusus diatur.
Undang-undang tersebut pada pasal 52 ayat (3) menyebutkan Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian. Hal tersebut tidak mengakibatkan prinsip tersebut tidak dapat diterapkan bila terjadi pencemaran dan/atau perusakan di laut.
Dasarnya adalah ayat (4) dari pasal 52 tersebut, yang menyebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap Pencemaran Laut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Peraturan perundangan yang dapat menerapkan prinsip pencemar membayar adalah UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pada pasal 87 dan 88, yaitu yang mengatur mengenai pertanggungjawaban perdata.
No comments:
Post a Comment