Lapisan ozon, lapisan gas yang rapuh, melindungi bumi dari sinar matahari yang berbahaya, sehingga membantu melestarikan kehidupan di planet ini. Ozon hanya merupakan bagian kecil dari atmosfer kita, namun keberadaannya sangat penting bagi kesejahteraan manusia. Kebanyakan ozon berada jauh di atmosfer, antara 10 dan 40 km di atas permukaan bumi. Wilayah ini disebut stratosfer dan mengandung sekitar 90% dari seluruh ozon di atmosfer.
Penghapusan penggunaan bahan perusak ozon secara terkendali dan pengurangan terkait tidak hanya membantu melindungi lapisan ozon untuk generasi sekarang dan mendatang, namun juga memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya global untuk mengatasi perubahan iklim; lebih jauh lagi, hal ini telah melindungi kesehatan manusia dan ekosistem dengan membatasi radiasi ultraviolet yang berbahaya mencapai bumi.
Dalam konteks perubahan iklim, kegiatan produksi dan konsumsi manusia dapat berdampak pada pemanasan global sekaligus menyebabkan penipisan lapisan ozon, seperti penggunaan HCFC dan CFC yang dikategorikan sebagai Bahan Perusak Ozon (BPO). Untuk mengatasi dampak tersebut, Indonesia berperan aktif di tingkat global melalui Protokol Montreal tentang Pengendalian Bahan Perusak Ozon (BPO).
Ozon di stratosfer menyerap sebagian radiasi ultraviolet Matahari yang berbahaya secara biologis. Karena perannya yang bermanfaat ini, ozon stratosfer dianggap sebagai ozon “baik”. Sebaliknya, kelebihan ozon di permukaan bumi yang terbentuk dari polutan dianggap ozon “buruk” karena dapat membahayakan manusia, tumbuhan, dan hewan. Ozon yang terbentuk secara alami di dekat permukaan dan di lapisan bawah atmosfer juga bermanfaat karena ozon membantu menghilangkan polutan dari atmosfer.
Ozon di stratosfer berperan sangat penting untuk melindungi bumi dari masuknya sinar UV-B secara langsung. Menipisnya lapisan ozon di stratosfer menyebabkan meningkatnya radiasi UV-B yang dapat meningkatkan terjadinya kasus katarak mata, kanker kulit dan menurunnya kekebalan tubuh. Intensitas yang tinggi sinar UV-B juga menghambat pertumbuhan tanaman dan pengurangan produksi fitoplankton yang akan memengaruhi rantai makanan. Lain halnya dengan ozon di lapisan troposfer, keberadaannya bersifat mengganggu karena terbentuk dari polutan yang berasal dari pencemaran udara.
Penyebab penipisan lapisan ozon di stratosfer adalah senyawa kimia halokarbon yang mengandung klorin dan bromin sintetis yang terlepas ke udara yang kemudian dikenal sebagai bahan perusak ozon (BPO). CFC, CTC, TCA, HCFC, halon dan metil bromida merupakan senyawa kimia halokarbon yang mengandung klorin dan bromin.
BPO banyak digunakan manusia pada sektor kegiatan pembuatan busa (foam), pendingin (refrigerant), pelarut (solvent), aerosol, pemadam api dan fumigasi. Guna memperbaiki kondisi lapisan ozon, masyarakat dunia pada tahun 1985 menyepakati Konvensi Wina sebagai kerangka kerja sama terkait perlindungan lapisan ozon. Pada tahun 1987, langkah-langkah aksi perlindungan lapisan ozon tersebut dijabarkan dalam Protokol Montreal.
Protokol Montreal
Konfirmasi ilmiah mengenai menipisnya lapisan ozon mendorong masyarakat internasional untuk membentuk mekanisme kerja sama dalam mengambil tindakan untuk melindungi lapisan ozon. Hal ini diresmikan dalam Konvensi Wina untuk Perlindungan Lapisan Ozon, yang diadopsi dan ditandatangani oleh 28 negara, pada tanggal 22 Maret 1985. Pada bulan September 1987, hal ini mengarah pada penyusunan Protokol Montreal tentang Zat yang Merusak Lapisan Ozon.
Protokol Montreal, yang mulai berlaku lebih dari 30 tahun lalu, dibuat untuk mengatasi penipisan lapisan ozon di stratosfer bumi yang semakin mengkhawatirkan. Ini adalah perjanjian pertama dalam sejarah PBB yang diratifikasi oleh 197 negara. Sejak diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1989, lebih dari 99% gas yang menyebabkan masalah ini telah diberantas.
Pada tanggal 16 September 2009, Konvensi Wina dan Protokol Montreal menjadi perjanjian pertama dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mencapai ratifikasi universal.
Pada tahun 1994, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tanggal 16 September sebagai Hari Internasional untuk Pelestarian Lapisan Ozon (International Day for the Preservation of the Ozone Layer), memperingati tanggal penandatanganan Protokol Montreal tentang Zat yang Merusak Lapisan Ozon (resolusi A/RES/49/114) pada tahun 1987.
Tujuan utama Protokol Montreal adalah untuk melindungi lapisan ozon dengan mengambil tindakan untuk mengendalikan total produksi global dan konsumsi bahan-bahan yang dapat merusaknya, dengan tujuan akhir untuk menghilangkannya berdasarkan perkembangan pengetahuan ilmiah dan informasi teknologi. Hal ini disusun berdasarkan beberapa kelompok zat perusak ozon. Kelompok bahan kimia diklasifikasikan menurut kelompok bahan kimianya dan tercantum dalam lampiran teks Protokol Montreal. Protokol ini mensyaratkan pengendalian hampir 100 bahan kimia, dalam beberapa kategori. Untuk setiap kelompok atau lampiran bahan kimia, Perjanjian ini menetapkan jadwal penghentian produksi dan konsumsi bahan-bahan tersebut, dengan tujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersebut sepenuhnya.
Larangan bertahap terhadap CFC dan puluhan gas perusak ozon lainnya merupakan pukulan ekonomi bagi perusahaan-perusahaan kimia, produsen lemari es, dan produsen semprotan aerosol. Negara-negara kaya mengatasi hilangnya lapangan kerja, peningkatan teknologi dan dampak ekonomi lainnya secara internal, namun juga memberikan dukungan kepada negara-negara miskin untuk mengelola transisi.
Beberapa BPO yang diatur dalam Protokol Montreal tak hanya menyebabkan penipisan lapisan ozon, namun juga memiliki kemampuan pemanasan global. Penghapusan BPO akan berkontribusi tidak saja untuk perlindungan lapisan ozon, namun juga dalam reduksi CO2 ekuivalen yang secara langsung dan tidak langsung melindungi sistem iklim.
Pertemuan ke-24 Meeting of the Parties to the Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer (MOP-24) diselenggarakan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 12–16 November 2012. Pertemuan dibagi menjadi dua bagian yaitu Preparatory Segment pada tanggal 12–14 November 2012, dan High Level Segment, pada tanggal 15–16 November 2012.
Pertemuan secara umum masih didominasi oleh pembahasan mengenai teknologi alternatif BPO (dalam hal ini HFC) yang memiliki dampak terhadap pemanasan global. Di satu sisi, negara-negara maju didukung Small Island Developing States (SIDS) serta beberapa negara lain mendorong amendemen Protokol agar dapat melakukan phase-down penggunaan HFC. Di sisi lain, India, Tiongkok, dan Brasil bersikeras bahwa pengendalian HFC, yang bukan merupakan BPO, bukan berada di bawah cakupan Protokol Montreal, melainkan Protokol Kyoto mengenai perubahan iklim.
Permasalahan tersebut telah dibahas selama lima tahun berturut-turut dan masih belum dapat menghasilkan keputusan karena adanya batasan terhadap mandat Protokol Montreal. Dalam High-Level Segment, Indonesia menyampaikan pernyataan yang menekankan bahwa Indonesia saat ini berusaha keras menurunkan penggunaan HCFC menuju angka baseline yang harus dipenuhi pada 1 Januari 2013.
Untuk hal tersebut, pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan percepatan penghapusan HCFC dan menerapkan sistem kuota impor sebagai aspek kunci untuk mencapai target pembekuan (freeze) atau kembali ke angka baseline pada tahun 2013.
Indonesia juga mengangkat kembali dua pendekatan utama yang terdapat dalam Deklarasi Bali. Pada pertemuan ini, jumlah dukungan terhadap Deklarasi Bali sebanyak 109 negara pihak.
Lebih lanjut, mayoritas negara pihak menyetujui pendekatan yang terkandung dalam Deklarasi Bali sebagaimana yang telah disampaikan melalui pernyataan Ketua Delegasi Indonesia. Pendekatan yang dilakukan dalam Deklarasi Bali diharapkan dapat menjembatani posisi tiap negara pihak dalam transisi penggunaan alternatif teknologi BPO menuju kepada bahan alternatif yang memiliki potensi pemanasan global yang rendah.
Dengan mengikuti konvensi ini, Indonesia berhasil mendapatkan pendanaan bidang ozon yang tergabung dalam Kegiatan the Implementation of Indonesia Ozone Layer Protection Project melalui program Institutional Strengthening Phase (ISP) untuk peningkatan kapasitas untuk upaya penghapusan Bahan Perusak Ozon, program penghapusan CFC untuk sektor Refrigerator, serta program penghapusan HCFC untuk sektor AC dan Refrigerator.
Protokol Montreal telah diperbarui berkali-kali seiring dengan semakin tajamnya ilmu pengetahuan dan dimasukkannya tujuan-tujuan iklim baru. Para Pihak dalam Protokol Montreal tentang Zat yang Merusak Lapisan Ozon
mencapai kesepakatan pada Pertemuan Para Pihak ke-28 pada tanggal 15
Oktober 2016 di Kigali, Rwanda untuk mengurangi hidrofluorokarbon (HFC).
Implementasi Ratifikasi Protokol Montreal
Indonesia meratifikasi Konvensi Wina dan Protokol Montreal beserta amendemennya dengan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1992. Dengan demikian, Indonesia wajib melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh Protokol Montreal dan amendemennya.
Sejak 1 Januari 2008, Indonesia telah melarang impor beberapa jenis BPO, yaitu jenis CFC, CTC, TCA, halon dan metil bromida untuk keperluan nonkarantina dan prapengapalan. Sementara itu, HCFC dan metil bromida untuk keperluan karantina dan prapengapalan masih diperkenankan diimpor dengan pengaturan melalui sistem lisensi dan kuota.
Pemerintah Indonesia telah berhasil melakukan penghapusan BPO jenis chlorofluorocarbons (CFC), Halon, Carbon tetrachloride (CTC), Methyl chloroform (TCA), dan Methyl bromide (MBr) untuk keperluan non-karantina dan prapengapalan sejak 31 Desember 2007 atau dua tahun lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan Protokol Montreal.
Untuk itu, pada tahun 2011, UNEP dan Sekretariat Montreal Protokol memberikan pengakuan dan apresiasi terhadap pemerintah Indonesia karena keberhasilannya dalam melaksanakan perlindungan lapisan ozon. Pemerintah Indonesia berhasil menghapuskan 8.989 metrik ton BPO dan kembali ke angka baseline “nol” pada tahun 2007. CFCs memiliki nilai potensi pemanasan global yang sangat tinggi. Sebagai contoh, CFC-12 memiliki nilai global warming potential (GWP) sebesar 10.890 berdasarkan WMO’s Scientific Assessment of Ozone Depletion: 2006.
Bahan alternatif pengganti CFCs yang banyak digunakan di Indonesia adalah Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs). Akan tetapi, karena HCFCs masih merupakan BPO, negara-negara yang terlibat dalam penyusunan Protokol Montreal sepakat untuk mempercepat penghapusan HCFCs secara gradual dalam pertemuan Meeting of Parties ke-19 pada tahun 2009.
Dalam upaya pencapaian target Protokol Montreal dalam percepatan penghapusan HCFCs, pemerintah Indonesia telah menyusun strategi percepatan penghapusan HCFCs melalui HCFC Phase-out Management Plan (HPMP) dengan bantuan dana hibah dari multilateral fund.
Untuk menjamin keberhasilan penghapusan HCFCs, pemerintah Indonesia telah melakukan revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/M-DAG//PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon menjadi Peraturan Menteri Perdagangan No. 3/M-DAG/PER/1/12 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon.
Dalam regulasi tersebut telah ditetapkan jenis BPO yang dilarang dan dikendalikan. Impor hanya boleh dilakukan oleh importir terdaftar dan/atau importir produsen BPO serta kewajiban verifikasi/penelusuran teknis impor di negara asal muat barang (sebelum barang dikapalkan).
Kementerian Lingkungan Hidup juga didaulat untuk menetapkan kuota impor BPO nasional. Penetapan kuota impor nasional HCFCs bertujuan menjamin pencapaian target penghapusan HCFCs yang telah ditetapkan Protokol Montreal.
Selain itu, untuk mendukung keberhasilan HPMP, pemerintah Indonesia akan menetapkan regulasi pelarangan penggunaan HCFC pada industri manufaktur dan larangan impor barang yang mengandung HCFC. Regulasi ini diharapkan akan berlaku pada tahun 2015, sehingga pemerintah Indonesia dapat mencapai target penurunan konsumsi HCFC sesuai target yang ditetapkan Protokol Montreal.
Selain pengaturan melalui regulasi, pemerintah Indonesia akan melaksanakan alih teknologi penggunaan HCFC menjadi non-HCFC pada sektor industri manufaktur air conditioning (AC), refrigerasi, dan foam. Bahan alternatif pengganti HCFCs yang dipilih adalah bahan yang tidak memiliki kemampuan merusak ozon dan dapat digunakan secara teknis untuk menggantikan fungsi CFCs dan HCFCs dalam banyak aplikasi. Bahan alternatif pengganti HCFC yang akan digunakan adalah jenis Hydrofluorocarbons (HFC) dan Hydrocarbons (HC).
Program penghapusan HCFC ini dapat berkontribusi dalam pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca 26% dari level business as usual pada tahun 2020 yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia. Berdasarkan perhitungan dalam proposal HPMP, kontribusi penghapusan HCFC dapat menurunkan jumlah CO2-eq sebesar dari 1,954,170 ton CO2-eq menjadi 385,640 ton CO2-eq. Berikut ini perhitungan emisi CO2-eq yang dihasilkan sebelum dan setelah konversi penggunaan HCFC menjadi non-HCFC.
Hambatan dan tantangan yang akan dihadapi dalam melaksanakan program penghapusan HCFCs ini adalah kesiapan standar dan teknologi alternatif pengganti HCFC. Untuk itu, perlu dukungan dan kerja sama antar-kementerian dan lembaga terkait dan pihak industri serta kerja sama bilateral dengan negara-negara yang mengembangkan teknologi alternatif dalam menjamin keberhasilan program HPMP.
No comments:
Post a Comment