Peningkatan jumlah kendaraan bermotor pada kisaran 10% (BPS, 2012) memberikan konsekuensi pada peningkatan konsumsi bahan bakar fosil. Pada akhirnya. Hal ini akan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dan pencemar udara lainnya. Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota besar pada tahun 2012 menunjukkan beberapa parameter pencemaran udara cenderung meningkat, namun relatif masih di bawah baku mutu.
Upaya pengendalian pencemaran udara untuk sumber bergerak yang dikemas dalam Program Langit Biru meliputi hal-hal sebagai berikut.
• Penetapan baku mutu emisi.
• Penggunaan bahan bakar bersih.
• Manajemen kebutuhan transportasi (transport demand management)
• Pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor.
Implementasi kebijakan dalam rangka pengendalian pencemaran dari emisi kendaraan bermotor antara lain sebagai berikut.
• Penetapan Baku Mutu Emisi Sepeda Motor (EURO3) yang akan mulai diberlakukan pada Agustus 2013. Pemberlakuan peraturan menteri ini diperkirakan akan menurunkan emisi dari sepeda motor untuk parameter CO sebesar 5,5%, HC =2,7%, dan NOx 4,04% pada tahun 2014.
• Evaluasi kualitas udara perkotaan (EKUP) yang dilaksanakan di 45 kota meliputi 14 kota metro, 14 kota besar, serta 17 ibu kota provinsi yang termasuk kategori kota sedang dan kecil. Kegiatan ini mengevaluasi upaya pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan oleh pemerintah kota yang diharapkan bisa menjadi pemicu (trigger) bagi pemkot untuk menurunkan beban pencemaran udara.
• Evaluasi penaatan baku mutu emisi kendaraan bermotor tipe baru sebanyak 28 kendaraan 27 roda empat berbahan bakar bensin, 5 kendaraan roda empat berbahan bakar solar, dan motor sebanyak 10. Kegiatan ini bertujuan mengevaluasi kekonsistenan dari produk yang lulus uji emisi dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kendaraan bermotor ramah lingkungan.
• Pedoman pengendalian pencemaran udara dari transportasi air, udara, kereta api, dan alat berat. Selain itu, adanya pedoman merupakan acuan bagi pemangku kepentingan dalam mengendalikan pencemaran udara.
Subsidi BBM
Lebih dari separuh bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat bergantung pada impor, baik crude oil maupun BBM murni. Sementara itu, pertumbuhannya meningkat setiap tahun hampir 10%. Di samping itu, beban subsidi yang ditanggung negara mencapai Rp 200 triliun pada tahun 2014. Bahkan, saat ini diperkirakan konsumsinya sudah melebihi kuota. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan kebijakan penghematan anggaran pada tahun 2014 sebesar 30% setiap kementerian/lembaga.
Subsidi BBM ini menjadi persoalan yang sangat serius bagi masalah ekonomi dan ketahanan energi Indonesia. Persoalan ini selalu ditulis oleh media-media nasional sebagai pekerjaan rumah utama bagi pemerintahan berikutnya. Untuk menekan persoalan yang mahaserius dan berat tersebut, Bapak Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengimbau untuk melakukan gerakan puasa subsidi BBM. Gerakan ini, kalau dilakukan secara masif dan massal, tentu akan ada penghematan sebesar Rp 48 triliun setiap tahun.
Sebenarnya, gerakan puasa subsidi BBM sejalan dengan gerakan menggunakan bahan bakar rendah sulfur. Pada dasarnya, BBM yang bersubsidi memiliki kandungan sulfur (belerang) yang lebih tinggi dibanding BBM nonsubsidi. Misalnya, kandungan sulfur BBM Premium lebih tinggi dibanding BBM Pertamax dan Pertamax plus. Begitu juga untuk BBM solar. Kandungan BBM solar Pertamina DEX terbaik adalah 200 ppm, sedangkan BBM solar biasa kandungan sulfur bisa mencapai 3.500 ppm. Apabila kita bandingkan dengan negara-negara tetangga lain, misalnya Singapura, untuk BBM diesel (solar) terbaiknya kandungan sulfurnya 10 ppm, Tiongkok 50 ppm, Thailand 50 ppm, serta Jepang dan Korea 10 ppm. Singkat kata, BBM nonsubsidi adalah merupakan BBM yang relatif lebih bersih dibanding BBM bersubsidi, sehingga akan menghasilkan emisi (gas buang) yang lebih bersih pula tentunya.
Persoalan mendasar berikutnya adalah konsumsi BBM bersubsidi tersebut yang notabene akan menghasilkan emisi jauh lebih kotor dibanding BBM nonsubsidi. Konsumsinya secara nasional mencapai 96%-97% per tahun. Hanya kurang lebih 3%-3,5% yang mengonsumsi BBM nonsubsidi yang notabene akan menghasilkan emisi yang lebih bersih. Data-data nasional yang dikeluarkan terus menunjukkan penurunan tren kualitas udara perkotaan nasional. Misalnya, dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 2012, terjadi tren penurunan kualitas udara secara nasional dari tahun-tahun sebelumnya. Lebih dalam lagi, data tersebut menunjukkan kualitas parameter SOx (sulfur dioksida), NOx (nitrogen dioksida), dan PM10 (partikulat) di kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan kualitas yang signifikan.
Kandungan sulfur yang relatif tinggi berpotensi meningkatkan parameter-parameter pencemar udara seperti SOx, NOx, dan PM10. Hal ini akan berdampak pada menurunnya tingkat kualitas kesehatan masyarakat, seperti penyakit pneumonia, stroke, jantung, paru-paru kronis, dan kanker paru-paru. Baru-baru ini, WHO merilis setiap tahun 7 juta jiwa meninggal akibat pencemaran udara. Hal itu merupakan seperdelapan dari kematian di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 60.000 jiwa terjadi di Indonesia. Di samping itu, sebenarnya kandungan sulfur yang relatif tinggi akan berdampak pada meningkatnya pembiayaan pemeliharaan kendaraan. Hasil studi UNEP menunjukkan pada tahun 2012, cost of illness yang disebabkan oleh pencemaran udara di Kota Jakarta mencapai angka Rp 38,5 triliun. Ini merupakan angka-angka yang sangat fantastis dan di luar kesadaran kita semua.
Gerakan gunakan bahan bakar rendah sulfur akan menjadi sangat efektif apabila dilakukan dengan perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan (eco-driving). Hasil riset menunjukkan perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan dapat menghemat penggunaan bahan bakar mencapai 10%-20%. Artinya, apabila masyarakat melakukan perilaku eco-driving, Indonesia dapat mengurangi penggunaan BBM sebesar 140.000-200.000 bph. Angka ini jauh lebih besar dibanding angka pertumbuhan kebutuhan bahan bakar setiap tahun. Oleh sebab itu, gerakan puasa subsidi BBM yang dilontarkan Bapak Wakil Menteri ESDM harus kita dukung dan sukseskan secara nasional. Hal ini karena gerakan tersebut adalah gerakan yang sejalan untuk menggunakan bahan bakar yang rendah sulfur dengan perilaku mengemudi ramah lingkungan. Gerakan puasa subsidi BBM merupakan gerakan lingkungan yang dapat menghasilkan emisi yang lebih bersih. Emisi yang lebih bersih akan menghasilkan kualitas udara perkotaan yang lebih baik. Pada gilirannya, hal ini akan menghasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang lebih berkualitas.
Kebijakan Penerapan Standar Emisi Euro-4
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saat ini sedang melakukan upaya pembahasan dengan lembaga/kementerian serta pemangku kepentingan terkait untuk mendorong penerapan standar emisi Euro-4. Penerapan standar emisi ini akan memberikan jaminan bahwa emisi gas buang kendaraan relatif akan lebih bersih. Ini karena implikasi diterapkannya kebijakan tersebut adalah peningkatan kualitas BBM dan peningkatan teknologi kendaraan. Sebagaimana diketahui salah satu penyebab utama emisi gas buang kendaraan bermotor berasal dari kualitas bahan bakarnya.
Salah satu parameter penting terhadap kualitas bahan bakar standar Euro-4 berkaitan dengan kandungan sulfur (sulfur content) maksimal sebesar 50 ppm, baik untuk jenis BBM gasolin maupun diesel. Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa kualitas BBM di Indonesia masih jauh untuk memenuhi standar Euro-4. Oleh sebab itu, penerapan standar emisi Euro-4 akan mendorong peningkatan kualitas emisi gas buang serta sekaligus memberikan jaminan peningkatan kualitas bahan bakarnya.
Penerapan standar emisi Euro-4 menjadi sangat signifikan, karena tingginya angka pertumbuhan kendaraan di Indonesia. Pertumbuhan sepeda motor mencapai 7,7 juta unit per tahun, sedangkan kendaraan lain di luar sepeda motor mencapai 1,3 juta unit per tahun. Untuk itulah kebijakan tersebut diterapkan guna mengantisipasi emisi gas buang dari pertumbuhan kendaraan (mobil dan sepeda motor) yang baru agar tidak menambah beban emisi dan subsidi bahan bakar.
No comments:
Post a Comment