Tuesday 15 March 2022

Kasus Hukum Lingkungan - Pencemaran Debu Batubara

Adanya keluhan tentang terjadinya pencemaran debu batubara yang bersumber dari aktivitas Pelabuhan Marunda, di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara tentu saja berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup di sekitarnya. Apalagi terhadap kesehatan anak-anak yang lokasi sekolahnya berada di sekitar kawasan Pelabuhan Marunda.  

Cuaca cerah dan berangin membuat debu batubara mengotori sekolah yang hanya beberapa ratus meter dari pelabuhan. Menurut Nurziah, petugas kebersihan di sekolah satu atap yang terdiri dari SDN Marunda 05, SMPN 290 dan SLB Negeri 08 Jakarta Utara, "Ini kadang-kadang nggak ada beberapa hari, misalnya habis hujan. Tapi, kalau cuaca lagi bagus, apalagi lagi angin musim barat begini makin banyak debunya. Bisa tebal banget sampai item. Ini padahal Jumat udah dibersihin," tuturnya.

Pekerjaan membersihkan sekolah belakangan sering ia lakukan sejak pembelajaran tatap muka (PTM) kembali diterapkan. Namun, menjadi lebih sering lagi karena debu mengotori sekolah hampir setiap hari. Debu berbentuk kristal halus berwarna hitam itu terlihat mengotori ubin warna putih di sekolah berlantai empat tersebut.

Selain di sekolah, dampak pencemaran debu batubara juga dirasakan oleh warga Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda pada Jumat malam (11/3). Data pengelola Rusunawa Marunda, ada 10.158 penghuni Rusun Marunda di lima tower. Sebanyak 344 orang usia balita, sebanyak 1.457 orang anak-anak usia 5-13 tahun, 762 remaja usia 14-17 tahun, dan mayoritas usia dewasa 18 tahun ke atas dengan jumlah 7.595 orang.

Mengutip warga, pencemaran akibat aktivitas logistik yang membawa batubara itu kian memburuk dan berdampak pada kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak. Kisah ibu empat anak di rusun itu, kata Retno, salah satu anaknya berkebutuhan khusus dan sensitif dengan udara kotor. Ibu itu terpaksa menitipkan anaknya ke neneknya demi kesehatan. Sebab, debu batubara kerap masuk rumah, sampai mengontaminasi makanan. Kisah lain yang disampaikan penghuni rusun adalah seputar gatal-gatal dan gangguan pada bagian mata. Bahkan, ada yang harus dibawa ke rumah sakit.

(Tiang-tiang pendukung aktivitas bongkar muat di sebuah pelabuhan terlihat di samping sekolah satu atap yang terdiri dari SDN 05, SMPN 290 dan SLB Negeri 08, di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Pelabuhan itu kerap menerima muatan abu batubara yang mengotori lingkungan sekolah dan pemukiman sekitarnya.)

Langkah Penegakan Hukum Lingkungan Akibat Pencemaran 

Purwanto, Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah 2 Jakarta Utara mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti Suku Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta Utara dan DLH DKI Jakarta.

Koordinasi itu dilakukan bersamaan dengan kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Fraksi PDIP Jhonny Simandjuntak, terkait dampak kesehatan dari pencemaran abu batubara pada 4 Maret 2022.

Pada kesempatan itu, ia mencatat ada dua sekolah yang mengalami masalah sama di daerah Marunda, yaitu sekolah satu atap SDN Marunda 05, SMPN 290 dan SLB Negeri 08, kemudian SDN 02. "Penjelasan dari pihak DLH, waktu dekat mereka akan kasih peneguran ke perusahaan (yang mengakibatkan paparan abu batubara)," katanya melalui telepon.

Menunggu tindak lanjut tersebut, pihaknya sudah menyarankan sekolah menutup jendela yang berhadapan langsung dengan pelabuhan. Warga sekolah pun diminta tetap memakai masker, selain dalam rangka mencegah penularan Covid-19 selama kegiatan PTM yang aktif mulai Januari 2022.

KPAI juga mendorong pelibatan laboratorium independen melakukan uji laboratorium pada air dan tanah, serta uji medis terkait dampak kesehatan yang dirasakan warga, khususnya anak-anak.


Kasus Hukum Lainnya

Batubara banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dan menghasilkan listrik. Adapun limbah hasil pembakarannya atau fly ash dan bottom ash (FABA) yang berbentuk abu tidak masuk kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bahan itu dikecualikan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, karena dinilai mampu memberikan manfaat karena dapat digunakan sebagai bahan baku pengecoran, bahan baku semen, batako, hingga paving. FABA juga dinilai tidak berbahaya jika dihasilkan dari pembakaran menggunakan temperatur tinggi.

Sumber: Erika Kurnia, "Permukiman dan Sekolah di Marunda Terpapar Debu Batubara", 13 Maret 2022, sumber (https://www.kompas.id/baca/metro/2022/03/13/sekolah-di-marunda-terpapar-debu-batubara?utm_source=newsletter&utm_medium=mailchimp_email&utm_content=utama_judul_pagi_paid-act&utm_campaign=konten-harian)


Saturday 5 February 2022

Rangkuman Baca Lagi

Regulation Without Legislation: Basic Principles and the Common Law (Asas-asas Dasar dan Common Law)

Di bawah hukum Romawi, pemilik properti diperingatkan untuk menggunakan tanah mereka dengan cara yang tidak merugikan orang lain (Sic utere tuo ut alienum non laedas: Gunakan properti Anda sedemikian rupa agar tidak melukai orang lain). Hukum umum Inggris dan undang-undang gugatan negara bagian A.S. mengharuskan pemilik properti tidak membuat gangguan pada properti mereka; ganti rugi diberikan kepada penggugat yang dirugikan oleh kelalaian pemilik lain. Kewajiban untuk tidak merugikan juga dapat dilihat dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972, di mana negara-bangsa seharusnya melihat bahwa kegiatan di wilayah mereka tidak menyebabkan kerugian bagi negara tetangga.
Prinsip ekonomi yang mendasari undang-undang dan prinsip-prinsip ini adalah bahwa eksternalitas negatif harus dicegah secara aktif. Dalam bahasa ekonomi, eksternalitas adalah biaya atau manfaat dari beberapa aktivitas yang mempengaruhi orang-orang yang tidak terlibat langsung dengan aktivitas tersebut. Eksternalitas bisa negatif (fasilitas industri baru dapat menurunkan nilai properti rumah di sekitar) atau positif (pengecatan ulang rumah Anda dapat memberikan manfaat estetika atau ekonomi bagi tetangga Anda). Eksternalitas polusi selalu negatif; mereka membebankan biaya pada seseorang yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan tersebut. Salah satu strategi bisnis yang dihormati waktu adalah menggunakan "uang orang lain"; menciptakan eksternalitas negatif pada dasarnya melakukan hal itu. Dengan tidak adanya aturan hukum dan kompensasi yang memadai bagi pihak-pihak yang terkena dampak, sistem hukum mendorong eksternalitas negatif dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.
Tindakan gugatan hukum umum berpotensi mencegah orang dan perusahaan menghasilkan polusi sebagai semacam eksternalitas negatif. Tetapi tindakan gugatan di Amerika Serikat belum secara sistematis dan efisien mendorong pencemar untuk membayar biaya pencemaran mereka kepada mereka yang menderita kerugian. Misalnya, dalam persidangan “tox tort beracun”, yang terkenal dalam A Civil Action karya Jonathan Harr, keluarga penggugat di Woburn, Massachusetts, dirugikan oleh bahan kimia yang masuk ke pasokan air karena aktivitas manufaktur di sekitar dua perusahaan. Bagi beberapa keluarga, kerugiannya adalah kematian seorang anak. Dalam akun Harr, keluarga beruntung menemukan pengacara untuk menangani kasus ini—bahkan dengan kerugian besar dan para terdakwa perusahaan memiliki “kantong tebal”—karena tanggung jawab jauh dari jelas. Kesulitan membuktikan bahwa trikloretilena atau perkloretilena telah menyebabkan luka yang dikeluhkan cukup berat, begitu pula kesulitan membuktikan bahwa bahan kimia tersebut benar-benar berasal dari fasilitas tergugat. Juri awam diliputi oleh kesaksian ahli yang kontradiktif, undang-undang pembatasan memotong klaim yang dinyatakan sah dari beberapa keluarga, proses penemuan tampaknya ditumbangkan oleh satu pengacara terdakwa, dan firma hukum kecil penggugat bangkrut saat mencoba membuktikan kasusnya. .
Dalam kasus Woburn, serta kasus tort beracun lainnya, ketidakpastian ilmiah, berbagai potensi penyebab kerusakan lingkungan, dan praktik ekonomi hukum membuat "hak" orang dalam diri dan properti mereka sulit untuk ditegaskan. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan oleh para terdakwa dan pemerintah (dalam penyelidikan dan gugatan Superfund) cukup besar; bahwa setiap perusahaan akan mengeluarkan sedikit biaya untuk mencegah kerugian pada awalnya menggambarkan kecenderungan yang agak alami untuk membiarkan orang lain membayar. Dorongan untuk memaksimalkan keuntungan sering kali mengarah pada keputusan yang menekankan manfaat jangka pendek daripada pencegahan biaya jangka panjang. A Civil Action juga mengilustrasikan pemborosan waktu, bakat, dan uang manusia yang sangat besar yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di ruang sidang. Karena tindakan gugatan merupakan cara yang tidak pasti dan mahal untuk mengatasi eksternalitas negatif, satu peran undang-undang lingkungan yang benar dilihat sebagai mencegah bahaya dengan mendorong produk dan proses yang lebih aman.

Dengan demikian, pencegahan kerusakan pencemaran pada awalnya harus menjadi tujuan hukum dan peraturan lingkungan. Di Amerika Serikat, dekade 1960-an dan 1970-an membawa undang-undang federal utama untuk udara bersih dan air bersih, mendirikan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), dan mengizinkannya untuk menetapkan standar wajib (peraturan) untuk udara bersih dan air bersih. . Inspeksi dan penegakan peraturan merupakan bagian dari proses pencegahan. Pada bagian berikut, kita akan melihat bahwa undang-undang federal berpotensi dibatasi oleh mandat konstitusional. Kita juga akan melihat bahwa negara bagian tidak boleh membuat undang-undang tanpa memperhatikan undang-undang federal dan tidak boleh membuat undang-undang dengan cara yang mendiskriminasikan “barang dagangan” yang berasal dari negara bagian lain. Kami juga akan mencatat bahwa metode perintah dan kontrol dari hukum lingkungan preventif (melibatkan inspeksi, ajudikasi administratif, dan perintah yang dapat ditegakkan terhadap pencemar) tidak disukai; perundang-undangan dan peraturan yang lebih “berorientasi pasar” menjadi lebih populer, meskipun penggunaan larangan dan peraturan perencanaan juga terus berlanjut.
Di arena internasional, semakin banyak perjanjian multilateral yang dinegosiasikan dan diratifikasi, termasuk perjanjian tentang spesies yang terancam punah, perpindahan limbah berbahaya melintasi batas-batas negara, penipisan lapisan ozon, perlindungan Antartika, larangan polutan organik persisten, dan, yang paling terkenal, Protokol Kyoto (menerapkan Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim 1992). Bangsa, perusahaan, dan organisasi non-pemerintah juga mulai menghargai antarmuka yang sulit antara “perdagangan bebas” dan lingkungan yang sehat. Aturan perdagangan bebas dalam Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) tampaknya mendukung pergerakan barang yang tidak dibatasi melintasi batas-batas nasional, sementara kelompok dan kepentingan lingkungan sering kali lebih menyukai pembatasan spesies invasif, pembatasan organisme hasil rekayasa genetika (GMO), dan hak negara-negara anggota GATT untuk membatasi masuknya produk yang telah diproduksi atau dipanen dengan cara yang membahayakan spesies tertentu atau lingkungan.

 


Pages from Encyclopedia-of-Business-Ethics-and-Society, Robert W. Kolb-box Environmental Protection Legislation and Regulation

Thursday 20 January 2022

Rangkuman Buku - Sadeller, Polluters Pay Principle

Berhubung belum bisa diserap sama otak ane yang gak seberapa, jadi dirangkum dulu aja...

Selama lebih dari satu abad, masyarakat industri telah memandang alam sebagai cadangan sumber daya yang kaya dan sebagai tempat pembuangan sampah yang dihasilkan oleh eksploitasi sumber daya. Sumber daya alam tampak tidak ada habisnya, mengikuti hukum Lavoisier: 'Tidak ada yang hilang.' (Lavoisier’s law: Nothing is lost) Alam tampaknya diberkahi dengan kapasitas yang hampir tak terbatas untuk mengasimilasi dan memurnikan limbah yang dihasilkan oleh masyarakat manusia. Seperti yang sering dikatakan oleh para pembuat keputusan Anglo-Saxon, 'Solusi untuk polusi adalah pengenceran.' (The solution to pollution is dilution) Fenomena alam, mengikuti jalannya, akan menghilangkan residu produksi dan konsumsi. Alam dengan demikian menyediakan semua kebutuhan manusia dan mengurangi ekses yang dilakukan atas nama pembangunan. Diperbarui terus-menerus, dengan sabar dapat menanggung kesalahan aktivitas manusia. Hutan yang ditebangi tumbuh kembali; zat pencemar terbawa oleh angin dan air. Dan jika karena alasan tertentu polusi tidak dapat diserap dengan segera, selalu ada kemungkinan regenerasi pada akhirnya. Jika tidak, pembersihan dapat dilakukan di masa depan, menggunakan peningkatan kekayaan dan perbaikan sarana teknis yang akan menjadi konsekuensi tak terelakkan dari pertumbuhan. Berkat kemajuan, degradasi lingkungan tampaknya tidak hanya perlu tetapi juga kejahatan yang dapat diperbaiki.

Sekarang waktu manusia telah mengejar waktu alami, bagaimanapun, visi indah ini sudah ketinggalan zaman. Butuh lima juta tahun bagi Homo sapiens untuk muncul, tetapi hanya lima ribu tahun bagi mereka untuk menciptakan peradaban dan hanya satu abad bagi mereka untuk bermetamorfosis menjadi Homo economicus. Kemajuan ilmiah dan teknis telah memungkinkan manusia dengan cepat mendominasi alam, Prometheus Unbound yang sesungguhnya. Dominasi itu tercermin dalam sistem ekonomi yang bertumpu pada head-long growth, disertai dengan percepatan degradasi ekosistem. Tetapi pada saat yang sama serangkaian bencana lingkungan mulai memperjelas bahwa alam tidak dapat terus bertahan dalam pembangunan yang tidak terkendali. Ekosistem mempertahankan ritme, siklus, dan periodisitas kuno mereka; kemajuan kilat abad kedua puluh telah mengguncang sistem ini ke fondasinya. Kita sekarang menyaksikan tabrakan antara tatanan alam yang abadi dan tidak dapat diganggu, tetapi semakin terancam, dan sistem aktivitas manusia yang sedang mengalami perubahan dramatis. Tidak ada pertanyaan sistem mana yang akan menjadi pemenang terakhir.

Otoritas publik, dengan cara tertentu, mencoba membendung ancaman yang ditimbulkan oleh laju pertumbuhan yang cepat ini. Intervensionist di beberapa bidang lain, Negara tidak bisa terus mengabaikan ketidakseimbangan ekologis yang mengancam tidak hanya kualitas hidup, tetapi kehidupan itu sendiri. Kebijakan lingkungan dengan demikian berkembang sebagai reaksi terhadap ekses yang menyertai kemajuan.

Para pembuat kebijakan telah melakukan berbagai intervensi, bahkan sebelum mereka melihat bayangan terjadinya berbagai malapetaka akibat kerusakan lingkungan. Intervensi mereka berlangsung secara bertahap, mencerminkan tiga model pemikiran yang berurutan.

Model kuratif alam mencirikan tahap awal kebijakan lingkungan: dimana alam tidak bisa lagi menyembuhkan dirinya sendiri; sehingga harus dibantu untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan padanya. Untuk alasan pemerataan dan kelayakan, pihak berwenang berusaha untuk membagi biaya ekonomi dari intervensi tersebut dengan mewajibkan pencemar untuk membayar biaya pencemaran.

Akan tetapi, segera menjadi jelas bahwa model ini dapat diterapkan hanya jika disertai dengan kebijakan pencegahan yang dimaksudkan untuk membatasi reparasi hingga apa yang dapat dikompensasikan. Ini menandai tahap kedua dari tindakan Negara untuk perlindungan lingkungan, di mana risiko masih dapat diprediksi.

Munculnya risiko yang semakin tidak terduga saat ini menyebabkan otoritas mendasarkan kebijakannya pada model antisipatif ketiga. Meskipun masih dalam tahap awal, model ini harus memungkinkan untuk memperlambat langkah di mana kita mendekati risiko besar, namun masih belum pasti.

Model Kuratif (Curative)

Model kuratif melawan konsep alam sebagai cadangan/reservoir sumber daya yang tidak habis-habisnya. Perspektifnya adalah bahwa sumber daya alam itu langka dan luka yang menimpanya tidak akan sembuh tanpa bantuan. Model ini bertujuan untuk menghilangkan efek buruk dari eksploitasi berlebihan, dengan dekontaminasi, penggunaan kembali, pembersihan, dan pemulihan. Jika tindakan tersebut secara teknis tidak mungkin, perusakan yang dilakukan atas nama kemajuan harus dikompensasikan dengan memberikan atau meningkatkan perlindungan yang diberikan kepada aset yang belum rusak.

Dalam model ini, segala sesuatu dipandang mampu untuk diberi ganti rugi, diganti, dilunasi, dikompensasikan. Dengan demikian apa yang telah tercemar dapat dibersihkan; apa yang telah dihancurkan dapat dipulihkan; apa yang tidak dapat dijaga dapat diganti, baik dengan proses alam atau melalui tindakan manusia. Setelah terbukti tidak mampu melindungi beberapa sumber daya, manusia selalu dapat mengkompensasi kerugian dengan melindungi sumber daya lainnya.

Dalam model ini, intervensi otoritas Negara agak terbatas. Gagasan reparasi kerusakan lingkungan bersifat individualistis daripada kolektif. Prinsip pertanggungjawaban adalah sentral: pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan harus membayar perbaikannya. Tanggung jawab jelas terkait dengan prinsip pencemar-membayar, karena orang yang bertanggung jawab atas pencemaran dibuat untuk membayar biaya kerusakan yang diakibatkannya. Dengan mewajibkan pencemar untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat atas kerusakan yang ditimbulkan, prinsip tersebut menciptakan kondisi ekonomi untuk reparasi. Hal ini juga memungkinkan pihak berwenang untuk mendapatkan sumber daya keuangan yang diperlukan dalam kasus di mana mereka harus menggantikan pencemar yang gagal bayar.

Model ini mau tidak mau terbuka untuk kritik, yang pada dasarnya mengatakan :Kotori, lalu bersihkan” (Pollute, then clean up). Ini hanyalah respons a posteriori terhadap masalah sosial. Dianggap terpisah, ia dengan cepat mencapai batasnya: logika kompensasi muncul di tengah sulitnya membebankan biaya pembersihan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab. Segera setelah dampak lingkungan menjadi terlalu menyebar atau pemulihan/reparasi terbukti menjadi terlalu mahal, otoritas publik merasa sulit untuk mengidentifikasi individu yang bertanggung jawab atau meminta mereka untuk mengganti biaya yang telah mereka keluarkan.

Institusi hukum yang khas dari model pertama ini juga dicirikan oleh ambiguitas yang serius. Ini jelas dibawa keluar dalam teori bertetangga yang baik (théorie des troubles de voisinage), pendahulu hukum lingkungan. Menurut teori ini, mereka yang bertanggung jawab atas kerusakan bertanggung jawab atas reparasi meskipun mereka telah diberikan otorisasi yang diperlukan untuk melakukan kegiatan pencemaran. Dibandingkan dengan langkah-langkah khas kebijakan pencegahan, teori ini memiliki daya tarik untuk menetapkan sedikit kendala pada kegiatan produksi, karena polusi ditoleransi selama tidak menyebabkan kerusakan abnormal. Dengan kata lain, pencemar hanya memberi kompensasi kepada korban setelah kerusakan terjadi dan dipandang berlebihan. Karena itu, tanpa adanya korban individu, lingkungan menjadi korban.

 

Model Pencegahan (Preventive)

Agar praktis, model kuratif harus dilengkapi dengan kebijakan administratif yang menetapkan standar yang ditujukan untuk mencegah kerusakan. Mengandalkan pepatah 'mencegah lebih baik daripada mengobati' (prevention is better than cure) tampaknya hanya kembali ke akal sehat. Perbaikan fisik kerusakan lingkungan adalah operasi yang tidak pasti, mengingat kemungkinan teknis dan ekonomi yang tersedia saat ini. Seringkali, apalagi, perbaikan terbukti lebih mahal daripada pencegahan. Oleh karena itu, akal sehat menyatakan bahwa masalah harus dicegah agar tidak terjadi sejak awal dan, begitu terjadi, harus dicegah agar tidak menyebar. Model pencegahan menjadi penting dalam kasus di mana kerusakan bisa tidak dapat diubah (irreversible).

Pada kenyataannya alam bukanlah sumber kekayaan yang terus diperbarui dan tidak habis-habisnya yang dibayangkan oleh liberalisme abad kesembilan belas—kekuatan yang tak tertahankan yang selalu kembali ke keadaan aslinya. Berbagai tindakan menimbulkan konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki: hutan tropis yang telah dibuka dihancurkan secara permanen; spesies endemik yang telah punah tidak dapat tergantikan, karena unik; iradiasi tanah di sekitar Chernobyl tidak akan hilang selama ribuan tahun. . . Dalam setiap kasus ini, pembalikan kehancuran secara definitif dikecualikan. Jika beberapa bentuk kompensasi secara umum dapat dipertimbangkan (misalnya melindungi satu hutan di tempat hutan lain yang telah ditebangi) pemulihan seperti itu selalu tidak pasti dan sementara, serta mahal: hilangnya ekosistem tertentu tidak dapat diperbaiki. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa generasi mendatang akan memiliki sarana untuk menghapus luka akibat harga yang harus dibayar untuk kemajuan. 'Hindari yang tidak dapat diperbaiki' (Avoid the irreparable) harus menjadi slogannya.

Meskipun dipecah menjadi mosaik kebijakan umum dan khusus, model pencegahan mengklaim efektif dalam meminimalkan risiko sementara pada saat yang sama menoleransi tingkat gangguan tertentu. Meskipun alam rentan, harus dimungkinkan di bawah model pencegahan untuk mengeksploitasinya tanpa menyalahgunakannya. Hal ini membutuhkan eksploitasi sumber daya alam secara hati-hati untuk menghindari risiko kerusakan tak terduga yang mungkin tidak dapat diperbaiki, baik karena sifatnya yang tidak dapat diubah atau batas-batas yang melekat pada rezim kompensasi. Dalam model preventif, kerusakan ekologi seharusnya tidak lagi dapat terjadi kecuali secara tidak sengaja—sisi gelap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menjadi kejadian langka, kerusakan harus mudah diperbaiki. Bahkan jika tindakan pencegahan tidak sepenuhnya menghindari kerusakan ekologi, tindakan tersebut setidaknya memiliki manfaat untuk mengurangi risiko ke tingkat yang dapat dikendalikan.

Dalam upaya untuk membatasi kerusakan lingkungan seoptimal mungkin, model pencegahan harus sangat bergantung pada ilmu pengetahuan dan keahlian ilmiah untuk menetapkan beberapa jenis penilaian objektif dari risiko yang dijalankan. Skema ini benar-benar didasarkan pada gagasan bahwa sains dapat menentukan dengan pasti dan tepat tingkat kerusakan apa yang tidak akan membahayakan pemulihan ekosistem dan spesiesnya. Di bawah pendekatan 'asimilatif' ini, pembaruan sumber daya alam dapat dipastikan meskipun eksploitasi terus berlanjut; kerugian hanya akan terjadi setelah kapasitas pembersihan diri ekosistem terlampaui. Jika seseorang tidak dapat menghilangkan semua risiko, setidaknya risiko tersebut telah dikurangi ke titik di mana risiko tersebut dapat ditangani secara kolektif melalui dana ganti rugi.

Namun jika pencegahan menarik kekuatannya dari pengetahuan ilmiah, itu juga muncul melawan batas-batas yang melekat di dalamnya. Jika risiko diketahui, tindakan pencegahan mungkin cukup efektif, karena mengatasi penyebabnya. Namun, kita hanya dapat mencegah apa yang kita pahami; sulit untuk mencegah masalah yang tidak dipahami, dan bahkan lebih sulit untuk mencegah yang tidak diketahui. Dan di sana, tepatnya, adalah gesekannya (rub). Model pencegahan memiliki keyakinan buta pada sains; karena itu tidak dapat mencegah kerusakan lingkungan.

 

Model Antisipatif (The Anticipatory Model)

Munculnya model ketiga dapat dilacak pada kekecewaan terhadap budaya ilmiah klasik, yang, yakin akan sifat linier alam semesta, yang dapat diprediksi seperti jalur bola meriam, dapat menemukan solusi untuk masalah apa pun. Prediktabilitas ilmiah muncul melawan batas mengejutkan di bidang lingkungan.

Efek destruktif zat kimia, seperti DDT dan PCB pada satwa liar atau CFC pada lapisan ozon, misalnya, tidak dapat dipahami sampai zat ini ditemukan. Apalagi, dalam banyak kasus, para ilmuwan hanya bisa mengakui ketidaktahuan. Seiring kemajuan ilmu klimatologi, menjadi semakin sulit untuk menjelaskan tren pemanasan global; ketika para ilmuwan menemukan fakta baru tentang bagaimana ekosistem beroperasi, mereka merasa semakin sulit untuk mengevaluasi cakupan dan tempo hilangnya keanekaragaman hayati. Ilmu pengetahuan kontemporer tidak dapat memberikan kepastian; pada akhirnya itu memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada memecahkannya. Sampai batas tertentu, semakin banyak sains belajar, semakin ia memahami batasan pengetahuannya.

Pada akhirnya, satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian (Eventually, the only certainty is uncertainty). Apa yang benar di masa lalu belum tentu benar lagi; apa yang akurat di tingkat lokal belum tentu begitu di tingkat global; prediksi hari ini belum tentu terjadi. Bermetamorfosis menjadi 'faktor untuk mengungkapkan ketidakpastian', sains menimbulkan kecurigaan dan keraguan sesering ia menawarkan pengetahuan. Bagaimanapun, pemahaman kita tentang lingkungan tidak lagi mampu mengimbangi kemampuan kita untuk memodifikasinya, dan kesenjangan ini semakin lebar dalam hal pengendalian dampak lingkungan. Seluruh fondasi pendekatan 'asimilatif', yang bertumpu pada kepercayaan buta pada sains, dengan demikian runtuh di bawah tekanan ketidakpastian.

Model perilaku baru ini hanya berlaku setelah kerusakan lingkungan menjadi lingkup planet. Terbuai oleh janji-janji dunia yang semakin pasti, peradaban Barat secara brutal dibangunkan pada awal 1980-an oleh bukti kerentanan yang tak terduga. Sejak itu ancaman global telah mengambil bentuk yang lebih jelas dan lebih tepat. Kerusakan serius dan tidak dapat diubah yang sebenarnya dapat dihindari telah terjadi. Perubahan tidak tertandingi dalam tingkat keparahannya. Litani mengkhawatirkan: perubahan iklim, penghancuran lapisan ozon stratosfer, kenaikan permukaan laut, keracunan sumber daya air tawar, pengasaman ekosistem, penghancuran keanekaragaman hayati, eksploitasi berlebihan sumber daya laut, peningkatan risiko teknologi, kelebihan populasi, penggurunan . . . Hipotesis ilmiah sampai saat ini, efek ini dalam waktu beberapa tahun menjadi subjek perhatian global.

Ketakutan yang kami pikir dapat kami hilangkan dengan mengadopsi pendekatan pencegahan yang dikombinasikan dengan mekanisme jaminan telah kembali dengan kedok baru. Ancamannya bukan lagi lokal, tapi global; itu bukan individu, tetapi kolektif dan tak terhindarkan. Sejarah manusia mengganggu sejarah alam; sekarang yang terakhir—ditulis ulang oleh tangan malapetaka—pada gilirannya dapat mengubah arah sejarah manusia. Kepastian bahwa kita akan menyaksikan fajar zaman yang cerah di mana risiko telah sepenuhnya dikuasai telah digantikan oleh momok masa depan yang genting. Keraguan menutupi mimpi positivis tentang masyarakat yang diatur oleh kepastian tentang apa yang benar dan apa yang salah. Dunia kontemporer sedang menemukan usia risiko.

 


Tuesday 18 January 2022

Penghargaan Proper 2020-2021 (Hasil Penilaian Peringkat Perusahaan 2021)

Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) kembali mengumumkan hasil penilaian Proper untuk periode 2020-2021 pada 28 Desember 2021.

Lihat selengkapnya hasil penilaian dalam 

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Kehutanan -1307 Thn 2021 - Keputusan Peringkat PROPER periode 2021 (download SK disini)

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Kehutanan tentang peringkat Proper 2021 Nomor 1307 Tahun 2021 - Keputusan Peringkat PROPER periode 2021 (download SK disini)

SK Menteri Lingkungan Kehutanan -1307 Thn 2021 - Keputusan Peringkat PROPER periode 2021 (download SK disini)

Surat Keputusan Menteri tentang Peringkat Proper Perusahaan Tahun 2021 Nomor 1307 Tahun 2021 - Keputusan Peringkat PROPER periode 2021 (download SK disini)

 

Dasar Hukum Pelaksanaan Proper 2021

PermenLHK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Program PROPER_Lingkungan (Download Permenlhk disini)


 

Surat Keputusan Pencabutan izin Perusahaan Pertambangan dan Perkebunan 2022

Pada tanggal 6 Januari 2022 Presiden Jokowi yang didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengumumkan pencabutan 2.078 izin pertambangan, 192 izin kehutanan, dan 137 izin perkebunan di Istana Kepresidenan Bogor. 

Alasannya karena izin-izin yang diterbitkan itu tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan.

Kemudian tak lama berselang, barulah diketahui adanya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.01/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi.

Selengkapnya, baca secara lengkap dan download SK MenLHK No 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan-Hutan (SK.01/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2022) di link berikut ini (klik disini)

Download SK.01/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2022 di link berikut ini (klik disini)

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan No 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan-Hutan di link berikut ini (klik disini)

Baca terbaru, SK MenLHK No 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan berikut ini (klik disini)

 

Isi SK Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan Tahun 2022 yang ditetapkan pada tanggal 5 Januari 2022.

KESATU: Izin konsesi kawasan hutan yang menjadi obyek kegiatan evaluasi, penertiban dan pencabutan meliputi:

a. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut HPH/IUPHHK-HA, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu yang tumbuh alami;

b. PBPH atau sebelumnya disebut HTI/IUPHHK-HT, merupakan pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pemanfaatan kayu tanaman budi daya;

c. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sebelumnya disebut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan (antara lain pertambangan, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, kelistrikan);

d. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, merupakan perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi menjadi bukan kawasan hutan serta tukar menukar kawasan hutan; dan

e. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA)/Ekowisata atau sebelumnya disebut Hak/Izin Pengusahaan Pariwisata Alam merupakan pemanfaatan berupa izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam pada Kawasan Konservasi

KEDUA: Keputusan Menteri Kehutanan dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dicabut selama periode September 2015 s/d Juni 2021 sebanyak 42unit perizinan/perusahaan seluas 812.796,93 Ha sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.

KETIGA: Keputusan Menteri Kehutanan dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dicabut terhitung mulai tanggal 6 Januari 2022 sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan ini sebanyak 192unit perizinan/perusahaan seluas 3.126.439,36 Ha, sebagaimana tercantum dalam lampiran II Keputusan ini.

KEEMPAT: Memerintahkan kepada: a. Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan; dan c. Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, untuk: a. atas nama Menteri menerbitkan Keputusan tentang Pencabutan Izin Setiap Perusahaan Pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Amar KETIGA. b. menyusun dan menetapkan peta arahan pemanfaatan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

KELIMA : Tim Pengendalian Perizinan Konsesi, Penertiban dan Pencabutan Izin konsesi Kawasan hutan bersama Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, dan Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem melakukan Evaluasi dan Penertiban Izin Usaha keseluruhan dimulai dengan izin-izin setidaknya sebanyak 106 unit perizinan/perusahaan, seluas 1.369.567,55 Ha, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

KEENAM: Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dan akan dilakukan perbaikan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan.

Selengkapnya, baca dan download SK MenLHK No 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan-Hutan (SK.01/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2022) di link berikut ini (klik disini)

Download SK.01/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2022 di link berikut ini (klik disini)

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan No 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan-Hutan di link berikut ini (klik disini)

Baca terbaru, SK MenLHK No 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan berikut ini (klik disini)