Wednesday, 29 April 2020
Tuesday, 28 April 2020
Kisah Kepunahan Burung DODO
Tak banyak dokumentasi terkait kepunahan burung dodo. Karena kepunahannya terjadi berabad-abad lalu, yaitu sekitar tahun 1600-an di Kepulauan Mauritius yang menjadi Habitat utamanya. Spesies ini punah di masa kependudukan Belanda, dimana saat itu armada VOC (Dutch East India Company) Belanda di bawah Wakil Laksamana Wybrandt Warwijck yang pada September 1598 mengklaim Mauritius untuk Belanda (Barnwell 1948; Moree 1998), pada saat itu sejarah pulau mulai terdokumentasi.
Menurut catatan Admiral Jacob van Neck (1599) :
There are also other birds there which are as big as our swan, with large heads, and on the head a veil as though they had a small hood on their head; they have no wings but in their place there are three or four black quills, and where there ought to be a tail; there are four or five small curled plumes of a greyish colour. We called these birds Walghvogels [nauseous bird], partly because although we stewed them for a very long time, they were very tough to eat, yet the stomach and the breast were extremely good, but also because we could get a profusion of the turtledoves, which we thought had a rather better taste.
Selama 40 tahun berikutnya, pulau itu secara teratur digunakan sebagai stasiun pemugaran kapal-kapal yang melakukan perjalanan ke dan dari Hindia Timur, tetapi tidak ada pemukiman permanen yang dibuat. Karena meningkatnya kehadiran pedagang Inggris dan Prancis yang bersaing, Belanda mendirikan benteng di Vieux Grand Port, tenggara Mauritius pada tahun 1638, dan mempertahankan pemukiman yang hampir terus menerus sampai tahun 1710, setelah itu mereka meninggalkan pulau itu (Moree 1998). Selama periode Belanda, Dodo dan sebagian besar vertebrata darat besar lainnya punah (Cheke & Hume 2008).
Belanda menduduki kembali Mauritius pada 1664 dan dua komandan yang ditempatkan di sana (Hubert Hugo dari 1673–1677, dan Isaac Lamotius dari 1677–1692) keduanya mencantumkan Dodos sebagai masih ada (Moree 1998; Hume et al. 2004). Namun telah disarankan bahwa telah terjadi perubahan nama, dan bahwa penyebutan Dodos sebenarnya mengacu pada Mauritius Red Rail Aphanapteryx bonasia (Cheke 2006; lihat hlm. 126). Siapapun yang benar-benar melihat Dodo terakhir, baik itu pada tahun 1662 atau 1693, bukanlah akibat yang nyata, karena pada saat ini burung tersebut telah punah dalam hal apapun. Perburuan langsung oleh manusia telah lama disebut-sebut sebagai penyebab kepunahan dodo, tetapi hampir pasti ini bukan penyebab utamanya. Populasi manusia abad ke-17 di Mauritius kecil, tidak pernah lebih dari 100 orang, menempati sebuah pulau dengan panjang 61 km kali lebar 47 km, dan meliputi area seluas 1.860 km2 (Hume & Winters 2015). Namun, pengenalan Tikus Hitam Rattus rattus, babi, kambing, dan mungkin monyet, yang semuanya akan menjadi ancaman langsung bagi telur dan anak ayam, dan pesaing untuk sumber makanan yang terbatas, kemungkinan merupakan penyebab kematian Dodo.
Kasus kepunahan burung DODO merupakan salah satu contoh kepunahan akibat pencemaran trans genetik. Dimana kemungkinannya, bahwa Dodo mati karena hadirnya predator pemakan telur mereka. Sehingga Dodo sulit untuk berkembang biak.
Prinsip Ekoregion dan Prinsip Partisipatif dalam UUPPLH
Konsep ekoregion memandang bahwa pengelolaan lingkungan dan SDA tidak dapat didekati dengan pendekatan wilayah administrasi yang selama ini digunakan dalam pembagian kekuasaan wilayah pemerintahan, melainkan dengan mengedepankan kesatuan ekosistem. Hal ini untuk menjamin kesatuan kebijakan dan tindakan atas suatu ekosistem. Prof. Hariadi Kartodihardjo menjelaskan bahwa ekoregion yang dalam penggunaannya seringkali dipertukarkan dengan istilah bioregion muncul sebagai bentuk kerangka pemikiran atau paradigma akibat ketidakpuasan sekelompok ahli, peneliti dan penggiat lingkungan, terhadap paradigma pembangunan yang sedang berjalan. Pada intinya, paradigma bioregion/ekoregion memandang perhatian pada skala regional atas berjalannya pembangunan dan skala regional tersebut tertuju pada ruang hidup dengan berbagai karakteristik yang ada di dalamnya. Adapun kelemahan paradigma pembangunan yang disasar adalah aspek-aspek ekonomi dan politik yang lebih memperhatikan produksi komoditas dan skala wilayah pemerintahan yang ditetapkan tanpa memperhatikan aspek-aspek karakteristik ruang hidup tersebut.
Menurut UUPPLH, pengertian Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
Sedangkan yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal.
Kongres pertama mengenai bioregion di Amerika Utara tahun 1984, John Davis (editor jurnal lingkungan hidup yang cukup radikal, Earth First) mengatakan bahwa bioregionalisme sangat dekat dengan paradigma deep ecology. Sementara itu dikatakan oleh Judith Plant bahwa deep ecology sejalan dengan paradigma ecofeminism.
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara teknis, pelaksanaan prinsip partisipatif dalam UU No. 32 Tahun 2009 diatur lebih lanjut dalam Pasal 65 yang mengatur mengenai hak-hak setiap orang (individu) dan Pasal 70 yang mengatur mengenai hak-hak masyarakat (kelompok) untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pengaturan tentang asas ini memberikan implikasi bahwa setiap pengambilan keputusan terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus melalui proses partisipasi yang memadai. Oleh karena itu, untuk melaksanakan asas ini pemerintah perlu mengatur mekanisme partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan sehingga masyarakat sadar terhadap resiko dari setiap pengambilan keputusan yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan.
Prinsip ke-10 Deklarasi Rio mengenai Pembangunan dan Lingkungan Hidup pada tahun 1992 telah mengakui bahwa pengelolaan lingkungan hidup akan lebih baik jika dilakukan dengan mendorong partisipasi publik seluas-luasnya.
Monday, 27 April 2020
Konservasi Bunga Anggrek - Pengantar
Saturday, 25 April 2020
Wisata Pantai
Wisata Pantai saat ini telah menjadi salah satu penggerak utama perekonomian hampir di seluruh dunia. Amerika misalnya, diperkirakan ekonomi wisata pantainya menghasilkan ekonomi 25 kali lipa daripada wisata taman nasionalnya. Asal mula pariwisata pantai dikaitkan dengan Inggris abad kesembilan belas, di mana resor tepi laut menggantikan kota spa sebagai tempat rekreasi modis untuk orang kaya (Walton 1983).
Karena pantai secara sosial dibangun secara "alami" dan "sehat" oleh industri pariwisata yang sedang berkembang, ia semakin populer sebagai pelepas untuk tekanan dan polusi yang terkait dengan kehidupan modern atau sebagai pelarian dari rutinitas sehari-hari yang menjemukan. Berbeda dengan resor pantai borjuis, wisata pantai mulai dinikmati oleh perpaduan kelas, etnis, jenis kelamin, dan usia.
Praktik wisata pantai terkadang dipertanyakan dan diperebutkan. Inilah yang terjadi, ketika video pengusiran keluarga dari pantai oleh aparat keamanan sebuah Hotel Wisata di Bali, yang mengklaim memiliki Pantai disana.
Friday, 24 April 2020
Resensi film : Cowspiracy
Film dokumenter Cowspiracy the Sustainability Secret) yang dibuat oleh Kip Andersen dan Keegan Kuhn menceritakan, dampak lingkungan dari Kegiatan Peternakan Sapi.
Film ini mendeskripsikan perasaan pembuatnya, yang merasa aneh terhadap gerakan lingkungan yang seolah tidak peduli terhadap dampak lingkungan dari peternakan sapi, yang dianggap sebagai penghasil emisi terbesar sekaligus menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global.
Secara rinci film ini juga telah mendeskripsikan dampak-dampak yang ditimbulkan dari peternakan sapi dari hulu sampai dengan hilir.
Bahkan film ini juga memperbandingkan, dampak yang ditimbulkan antara peternakan sapi dan perkebunan kelapa sawit serta perkebunan kedelai.
Wednesday, 22 April 2020
Kasus Ken Saro Wiwa
Pada tahun 1995 aktivis tersebut digantung oleh pemerintah Nigeria, atas tuduhan pembunuhan berencana. Kematiannya menimbulkan tekanan kepada perusahaan SHELL, akibat sikap SHELL yang diyakini memiliki pengaruh yang kuat dalam proses penegakan hukum Ken Saro WIwa, malah bersikap pasif dan memposisikan dirinya seolah-olah tidak berkaitan dengan langkah penegakan hukum yang diambil oleh pemerintah Nigeria.
Wisata Keagamaan di Gunung dan Pegunungan
Monday, 20 April 2020
Perlindungan lapisan OZON
Lapisan ozon, lapisan gas yang rapuh, melindungi bumi dari sinar matahari yang berbahaya, sehingga membantu melestarikan kehidupan di planet ini. Ozon hanya merupakan bagian kecil dari atmosfer kita, namun keberadaannya sangat penting bagi kesejahteraan manusia. Kebanyakan ozon berada jauh di atmosfer, antara 10 dan 40 km di atas permukaan bumi. Wilayah ini disebut stratosfer dan mengandung sekitar 90% dari seluruh ozon di atmosfer.
Penghapusan penggunaan bahan perusak ozon secara terkendali dan pengurangan terkait tidak hanya membantu melindungi lapisan ozon untuk generasi sekarang dan mendatang, namun juga memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya global untuk mengatasi perubahan iklim; lebih jauh lagi, hal ini telah melindungi kesehatan manusia dan ekosistem dengan membatasi radiasi ultraviolet yang berbahaya mencapai bumi.
Dalam konteks perubahan iklim, kegiatan produksi dan konsumsi manusia dapat berdampak pada pemanasan global sekaligus menyebabkan penipisan lapisan ozon, seperti penggunaan HCFC dan CFC yang dikategorikan sebagai Bahan Perusak Ozon (BPO). Untuk mengatasi dampak tersebut, Indonesia berperan aktif di tingkat global melalui Protokol Montreal tentang Pengendalian Bahan Perusak Ozon (BPO).
Ozon di stratosfer menyerap sebagian radiasi ultraviolet Matahari yang berbahaya secara biologis. Karena perannya yang bermanfaat ini, ozon stratosfer dianggap sebagai ozon “baik”. Sebaliknya, kelebihan ozon di permukaan bumi yang terbentuk dari polutan dianggap ozon “buruk” karena dapat membahayakan manusia, tumbuhan, dan hewan. Ozon yang terbentuk secara alami di dekat permukaan dan di lapisan bawah atmosfer juga bermanfaat karena ozon membantu menghilangkan polutan dari atmosfer.
Ozon di stratosfer berperan sangat penting untuk melindungi bumi dari masuknya sinar UV-B secara langsung. Menipisnya lapisan ozon di stratosfer menyebabkan meningkatnya radiasi UV-B yang dapat meningkatkan terjadinya kasus katarak mata, kanker kulit dan menurunnya kekebalan tubuh. Intensitas yang tinggi sinar UV-B juga menghambat pertumbuhan tanaman dan pengurangan produksi fitoplankton yang akan memengaruhi rantai makanan. Lain halnya dengan ozon di lapisan troposfer, keberadaannya bersifat mengganggu karena terbentuk dari polutan yang berasal dari pencemaran udara.
Penyebab penipisan lapisan ozon di stratosfer adalah senyawa kimia halokarbon yang mengandung klorin dan bromin sintetis yang terlepas ke udara yang kemudian dikenal sebagai bahan perusak ozon (BPO). CFC, CTC, TCA, HCFC, halon dan metil bromida merupakan senyawa kimia halokarbon yang mengandung klorin dan bromin.
BPO banyak digunakan manusia pada sektor kegiatan pembuatan busa (foam), pendingin (refrigerant), pelarut (solvent), aerosol, pemadam api dan fumigasi. Guna memperbaiki kondisi lapisan ozon, masyarakat dunia pada tahun 1985 menyepakati Konvensi Wina sebagai kerangka kerja sama terkait perlindungan lapisan ozon. Pada tahun 1987, langkah-langkah aksi perlindungan lapisan ozon tersebut dijabarkan dalam Protokol Montreal.
Protokol Montreal
Konfirmasi ilmiah mengenai menipisnya lapisan ozon mendorong masyarakat internasional untuk membentuk mekanisme kerja sama dalam mengambil tindakan untuk melindungi lapisan ozon. Hal ini diresmikan dalam Konvensi Wina untuk Perlindungan Lapisan Ozon, yang diadopsi dan ditandatangani oleh 28 negara, pada tanggal 22 Maret 1985. Pada bulan September 1987, hal ini mengarah pada penyusunan Protokol Montreal tentang Zat yang Merusak Lapisan Ozon.
Protokol Montreal, yang mulai berlaku lebih dari 30 tahun lalu, dibuat untuk mengatasi penipisan lapisan ozon di stratosfer bumi yang semakin mengkhawatirkan. Ini adalah perjanjian pertama dalam sejarah PBB yang diratifikasi oleh 197 negara. Sejak diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1989, lebih dari 99% gas yang menyebabkan masalah ini telah diberantas.
Pada tanggal 16 September 2009, Konvensi Wina dan Protokol Montreal menjadi perjanjian pertama dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mencapai ratifikasi universal.
Pada tahun 1994, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan tanggal 16 September sebagai Hari Internasional untuk Pelestarian Lapisan Ozon (International Day for the Preservation of the Ozone Layer), memperingati tanggal penandatanganan Protokol Montreal tentang Zat yang Merusak Lapisan Ozon (resolusi A/RES/49/114) pada tahun 1987.
Tujuan utama Protokol Montreal adalah untuk melindungi lapisan ozon dengan mengambil tindakan untuk mengendalikan total produksi global dan konsumsi bahan-bahan yang dapat merusaknya, dengan tujuan akhir untuk menghilangkannya berdasarkan perkembangan pengetahuan ilmiah dan informasi teknologi. Hal ini disusun berdasarkan beberapa kelompok zat perusak ozon. Kelompok bahan kimia diklasifikasikan menurut kelompok bahan kimianya dan tercantum dalam lampiran teks Protokol Montreal. Protokol ini mensyaratkan pengendalian hampir 100 bahan kimia, dalam beberapa kategori. Untuk setiap kelompok atau lampiran bahan kimia, Perjanjian ini menetapkan jadwal penghentian produksi dan konsumsi bahan-bahan tersebut, dengan tujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersebut sepenuhnya.
Larangan bertahap terhadap CFC dan puluhan gas perusak ozon lainnya merupakan pukulan ekonomi bagi perusahaan-perusahaan kimia, produsen lemari es, dan produsen semprotan aerosol. Negara-negara kaya mengatasi hilangnya lapangan kerja, peningkatan teknologi dan dampak ekonomi lainnya secara internal, namun juga memberikan dukungan kepada negara-negara miskin untuk mengelola transisi.
Beberapa BPO yang diatur dalam Protokol Montreal tak hanya menyebabkan penipisan lapisan ozon, namun juga memiliki kemampuan pemanasan global. Penghapusan BPO akan berkontribusi tidak saja untuk perlindungan lapisan ozon, namun juga dalam reduksi CO2 ekuivalen yang secara langsung dan tidak langsung melindungi sistem iklim.
Pertemuan ke-24 Meeting of the Parties to the Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer (MOP-24) diselenggarakan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 12–16 November 2012. Pertemuan dibagi menjadi dua bagian yaitu Preparatory Segment pada tanggal 12–14 November 2012, dan High Level Segment, pada tanggal 15–16 November 2012.
Pertemuan secara umum masih didominasi oleh pembahasan mengenai teknologi alternatif BPO (dalam hal ini HFC) yang memiliki dampak terhadap pemanasan global. Di satu sisi, negara-negara maju didukung Small Island Developing States (SIDS) serta beberapa negara lain mendorong amendemen Protokol agar dapat melakukan phase-down penggunaan HFC. Di sisi lain, India, Tiongkok, dan Brasil bersikeras bahwa pengendalian HFC, yang bukan merupakan BPO, bukan berada di bawah cakupan Protokol Montreal, melainkan Protokol Kyoto mengenai perubahan iklim.
Permasalahan tersebut telah dibahas selama lima tahun berturut-turut dan masih belum dapat menghasilkan keputusan karena adanya batasan terhadap mandat Protokol Montreal. Dalam High-Level Segment, Indonesia menyampaikan pernyataan yang menekankan bahwa Indonesia saat ini berusaha keras menurunkan penggunaan HCFC menuju angka baseline yang harus dipenuhi pada 1 Januari 2013.
Untuk hal tersebut, pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan percepatan penghapusan HCFC dan menerapkan sistem kuota impor sebagai aspek kunci untuk mencapai target pembekuan (freeze) atau kembali ke angka baseline pada tahun 2013.
Indonesia juga mengangkat kembali dua pendekatan utama yang terdapat dalam Deklarasi Bali. Pada pertemuan ini, jumlah dukungan terhadap Deklarasi Bali sebanyak 109 negara pihak.
Lebih lanjut, mayoritas negara pihak menyetujui pendekatan yang terkandung dalam Deklarasi Bali sebagaimana yang telah disampaikan melalui pernyataan Ketua Delegasi Indonesia. Pendekatan yang dilakukan dalam Deklarasi Bali diharapkan dapat menjembatani posisi tiap negara pihak dalam transisi penggunaan alternatif teknologi BPO menuju kepada bahan alternatif yang memiliki potensi pemanasan global yang rendah.
Dengan mengikuti konvensi ini, Indonesia berhasil mendapatkan pendanaan bidang ozon yang tergabung dalam Kegiatan the Implementation of Indonesia Ozone Layer Protection Project melalui program Institutional Strengthening Phase (ISP) untuk peningkatan kapasitas untuk upaya penghapusan Bahan Perusak Ozon, program penghapusan CFC untuk sektor Refrigerator, serta program penghapusan HCFC untuk sektor AC dan Refrigerator.
Protokol Montreal telah diperbarui berkali-kali seiring dengan semakin tajamnya ilmu pengetahuan dan dimasukkannya tujuan-tujuan iklim baru. Para Pihak dalam Protokol Montreal tentang Zat yang Merusak Lapisan Ozon
mencapai kesepakatan pada Pertemuan Para Pihak ke-28 pada tanggal 15
Oktober 2016 di Kigali, Rwanda untuk mengurangi hidrofluorokarbon (HFC).
Implementasi Ratifikasi Protokol Montreal
Indonesia meratifikasi Konvensi Wina dan Protokol Montreal beserta amendemennya dengan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1992. Dengan demikian, Indonesia wajib melaksanakan ketentuan yang ditetapkan oleh Protokol Montreal dan amendemennya.
Sejak 1 Januari 2008, Indonesia telah melarang impor beberapa jenis BPO, yaitu jenis CFC, CTC, TCA, halon dan metil bromida untuk keperluan nonkarantina dan prapengapalan. Sementara itu, HCFC dan metil bromida untuk keperluan karantina dan prapengapalan masih diperkenankan diimpor dengan pengaturan melalui sistem lisensi dan kuota.
Pemerintah Indonesia telah berhasil melakukan penghapusan BPO jenis chlorofluorocarbons (CFC), Halon, Carbon tetrachloride (CTC), Methyl chloroform (TCA), dan Methyl bromide (MBr) untuk keperluan non-karantina dan prapengapalan sejak 31 Desember 2007 atau dua tahun lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan Protokol Montreal.
Untuk itu, pada tahun 2011, UNEP dan Sekretariat Montreal Protokol memberikan pengakuan dan apresiasi terhadap pemerintah Indonesia karena keberhasilannya dalam melaksanakan perlindungan lapisan ozon. Pemerintah Indonesia berhasil menghapuskan 8.989 metrik ton BPO dan kembali ke angka baseline “nol” pada tahun 2007. CFCs memiliki nilai potensi pemanasan global yang sangat tinggi. Sebagai contoh, CFC-12 memiliki nilai global warming potential (GWP) sebesar 10.890 berdasarkan WMO’s Scientific Assessment of Ozone Depletion: 2006.
Bahan alternatif pengganti CFCs yang banyak digunakan di Indonesia adalah Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs). Akan tetapi, karena HCFCs masih merupakan BPO, negara-negara yang terlibat dalam penyusunan Protokol Montreal sepakat untuk mempercepat penghapusan HCFCs secara gradual dalam pertemuan Meeting of Parties ke-19 pada tahun 2009.
Dalam upaya pencapaian target Protokol Montreal dalam percepatan penghapusan HCFCs, pemerintah Indonesia telah menyusun strategi percepatan penghapusan HCFCs melalui HCFC Phase-out Management Plan (HPMP) dengan bantuan dana hibah dari multilateral fund.
Untuk menjamin keberhasilan penghapusan HCFCs, pemerintah Indonesia telah melakukan revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/M-DAG//PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon menjadi Peraturan Menteri Perdagangan No. 3/M-DAG/PER/1/12 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon.
Dalam regulasi tersebut telah ditetapkan jenis BPO yang dilarang dan dikendalikan. Impor hanya boleh dilakukan oleh importir terdaftar dan/atau importir produsen BPO serta kewajiban verifikasi/penelusuran teknis impor di negara asal muat barang (sebelum barang dikapalkan).
Kementerian Lingkungan Hidup juga didaulat untuk menetapkan kuota impor BPO nasional. Penetapan kuota impor nasional HCFCs bertujuan menjamin pencapaian target penghapusan HCFCs yang telah ditetapkan Protokol Montreal.
Selain itu, untuk mendukung keberhasilan HPMP, pemerintah Indonesia akan menetapkan regulasi pelarangan penggunaan HCFC pada industri manufaktur dan larangan impor barang yang mengandung HCFC. Regulasi ini diharapkan akan berlaku pada tahun 2015, sehingga pemerintah Indonesia dapat mencapai target penurunan konsumsi HCFC sesuai target yang ditetapkan Protokol Montreal.
Selain pengaturan melalui regulasi, pemerintah Indonesia akan melaksanakan alih teknologi penggunaan HCFC menjadi non-HCFC pada sektor industri manufaktur air conditioning (AC), refrigerasi, dan foam. Bahan alternatif pengganti HCFCs yang dipilih adalah bahan yang tidak memiliki kemampuan merusak ozon dan dapat digunakan secara teknis untuk menggantikan fungsi CFCs dan HCFCs dalam banyak aplikasi. Bahan alternatif pengganti HCFC yang akan digunakan adalah jenis Hydrofluorocarbons (HFC) dan Hydrocarbons (HC).
Program penghapusan HCFC ini dapat berkontribusi dalam pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca 26% dari level business as usual pada tahun 2020 yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia. Berdasarkan perhitungan dalam proposal HPMP, kontribusi penghapusan HCFC dapat menurunkan jumlah CO2-eq sebesar dari 1,954,170 ton CO2-eq menjadi 385,640 ton CO2-eq. Berikut ini perhitungan emisi CO2-eq yang dihasilkan sebelum dan setelah konversi penggunaan HCFC menjadi non-HCFC.
Hambatan dan tantangan yang akan dihadapi dalam melaksanakan program penghapusan HCFCs ini adalah kesiapan standar dan teknologi alternatif pengganti HCFC. Untuk itu, perlu dukungan dan kerja sama antar-kementerian dan lembaga terkait dan pihak industri serta kerja sama bilateral dengan negara-negara yang mengembangkan teknologi alternatif dalam menjamin keberhasilan program HPMP.
Sunday, 19 April 2020
GREEN BANKING
Green Banking sangat penting dalam mengatasi berbagai risiko sektor perbankan: risiko kredit (credit risk), risiko hukum (legal risk), dan risiko reputasi (reputation risk); serta mendukung keberlanjutan usaha dan/atau kegiatan ramah lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting bagi kalangan perbankan untuk dapat menganalisis berbagai risiko pembiayaan berbagai industri terkait risiko kegiatannya terhadap lingkungan hidup melalui pemahaman yang lebih mendalam mengenai berbagai tools Green Banking meliputi Amdal, UKL-UPL, Izin lingkungan, Izin PPLH, dan PROPER.
Sejalan dengan UU 32 Tahun 2009, KLH dan Bank Indonesia (BI) melakukan langkah-langkah konkrit dengan menandatangani Nota Kesepahaman Nomor 15/MENLH/12/2010 atau Nomor 12/84/KEP.GBI/2010 pada tanggal 17 Desember 2010, tentang Koordinasi Peningkatan Peran Sektor Perbankan dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nota Kesepahaman ini mencakup penyiapan perangkat hukum dan sinkronisasi peraturan yang mendukung kebijakan, penyediaan informasi, penyelenggaraan sosialisasi dan edukasi, dan penelitian bersama.
Pada bulan Desember tahun 2012, telah dilaksanakan Training Analis Lingkungan Hidup untuk kalangan perbankan yang dihadiri oleh 30 peserta perwakilan dari 13 bank yakni Bank Indonesia, Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Muamalat, Bank Permata, Bukopin, BCA, BSM, BNI, BRI, BRIS, BTN, dan BJB. Adapun narasumber dalam training ini berasal dari KLH, KESDM, Kemenperin, BI, ICED-USAID, PLN, dan Indonesia Power. Materi yang disampaikan meliputi Kebijakan dan Pengaturan di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH); Kebijakan dan Pengaturan Green Banking; Dokumen Lingkungan (Amdal, UKL, dan UPL) dan Izin Lingkungan; Pengawasan dan Baku Mutu Lingkungan serta Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan (Udara, Air, Limbah B3, lahan dan kerusakan lingkungan, PROPER); Potensi Bisnis Ekonomi Hijau (Hydropower, Ekolabel, Geotermal, dll); Analisis Risiko yang Terkait Lingkungan Hidup; Monitoring Kredit/Pembiayaan Pada Aspek PPLH; Penanganan Kredit/Pembiayaan Bermasalah Pada Aspek PPLH; dan kunjungan lapangan ke PLTA.
Dalam rangka mewujudkan visi green economy, peran perbankan dan lembaga keuangan dalam menjadikan dirinya sendiri (perbankan) lebih ramah lingkungan dan sekaligus mendorong kalangan dunia usaha lebih ramah lingkungan sangatlah penting.
Oleh sebab itu, praktik perbankan termasuk pembiayaan pembangunan yang prolingkungan hidup atau yang lebih dikenal dengan Green Banking adalah merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam merubah perilaku dalam berproduksi dan berkonsumsi kearah yang berkelanjutan.
Pengendalian Pencemaran Udara - Emisi Kendaraan (Sumber Bergerak)
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor pada kisaran 10% (BPS, 2012) memberikan konsekuensi pada peningkatan konsumsi bahan bakar fosil. Pada akhirnya. Hal ini akan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dan pencemar udara lainnya. Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota besar pada tahun 2012 menunjukkan beberapa parameter pencemaran udara cenderung meningkat, namun relatif masih di bawah baku mutu.
Upaya pengendalian pencemaran udara untuk sumber bergerak yang dikemas dalam Program Langit Biru meliputi hal-hal sebagai berikut.
• Penetapan baku mutu emisi.
• Penggunaan bahan bakar bersih.
• Manajemen kebutuhan transportasi (transport demand management)
• Pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor.
Implementasi kebijakan dalam rangka pengendalian pencemaran dari emisi kendaraan bermotor antara lain sebagai berikut.
• Penetapan Baku Mutu Emisi Sepeda Motor (EURO3) yang akan mulai diberlakukan pada Agustus 2013. Pemberlakuan peraturan menteri ini diperkirakan akan menurunkan emisi dari sepeda motor untuk parameter CO sebesar 5,5%, HC =2,7%, dan NOx 4,04% pada tahun 2014.
• Evaluasi kualitas udara perkotaan (EKUP) yang dilaksanakan di 45 kota meliputi 14 kota metro, 14 kota besar, serta 17 ibu kota provinsi yang termasuk kategori kota sedang dan kecil. Kegiatan ini mengevaluasi upaya pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan oleh pemerintah kota yang diharapkan bisa menjadi pemicu (trigger) bagi pemkot untuk menurunkan beban pencemaran udara.
• Evaluasi penaatan baku mutu emisi kendaraan bermotor tipe baru sebanyak 28 kendaraan 27 roda empat berbahan bakar bensin, 5 kendaraan roda empat berbahan bakar solar, dan motor sebanyak 10. Kegiatan ini bertujuan mengevaluasi kekonsistenan dari produk yang lulus uji emisi dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kendaraan bermotor ramah lingkungan.
• Pedoman pengendalian pencemaran udara dari transportasi air, udara, kereta api, dan alat berat. Selain itu, adanya pedoman merupakan acuan bagi pemangku kepentingan dalam mengendalikan pencemaran udara.
Subsidi BBM
Lebih dari separuh bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia sangat bergantung pada impor, baik crude oil maupun BBM murni. Sementara itu, pertumbuhannya meningkat setiap tahun hampir 10%. Di samping itu, beban subsidi yang ditanggung negara mencapai Rp 200 triliun pada tahun 2014. Bahkan, saat ini diperkirakan konsumsinya sudah melebihi kuota. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan kebijakan penghematan anggaran pada tahun 2014 sebesar 30% setiap kementerian/lembaga.
Subsidi BBM ini menjadi persoalan yang sangat serius bagi masalah ekonomi dan ketahanan energi Indonesia. Persoalan ini selalu ditulis oleh media-media nasional sebagai pekerjaan rumah utama bagi pemerintahan berikutnya. Untuk menekan persoalan yang mahaserius dan berat tersebut, Bapak Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengimbau untuk melakukan gerakan puasa subsidi BBM. Gerakan ini, kalau dilakukan secara masif dan massal, tentu akan ada penghematan sebesar Rp 48 triliun setiap tahun.
Sebenarnya, gerakan puasa subsidi BBM sejalan dengan gerakan menggunakan bahan bakar rendah sulfur. Pada dasarnya, BBM yang bersubsidi memiliki kandungan sulfur (belerang) yang lebih tinggi dibanding BBM nonsubsidi. Misalnya, kandungan sulfur BBM Premium lebih tinggi dibanding BBM Pertamax dan Pertamax plus. Begitu juga untuk BBM solar. Kandungan BBM solar Pertamina DEX terbaik adalah 200 ppm, sedangkan BBM solar biasa kandungan sulfur bisa mencapai 3.500 ppm. Apabila kita bandingkan dengan negara-negara tetangga lain, misalnya Singapura, untuk BBM diesel (solar) terbaiknya kandungan sulfurnya 10 ppm, Tiongkok 50 ppm, Thailand 50 ppm, serta Jepang dan Korea 10 ppm. Singkat kata, BBM nonsubsidi adalah merupakan BBM yang relatif lebih bersih dibanding BBM bersubsidi, sehingga akan menghasilkan emisi (gas buang) yang lebih bersih pula tentunya.
Persoalan mendasar berikutnya adalah konsumsi BBM bersubsidi tersebut yang notabene akan menghasilkan emisi jauh lebih kotor dibanding BBM nonsubsidi. Konsumsinya secara nasional mencapai 96%-97% per tahun. Hanya kurang lebih 3%-3,5% yang mengonsumsi BBM nonsubsidi yang notabene akan menghasilkan emisi yang lebih bersih. Data-data nasional yang dikeluarkan terus menunjukkan penurunan tren kualitas udara perkotaan nasional. Misalnya, dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 2012, terjadi tren penurunan kualitas udara secara nasional dari tahun-tahun sebelumnya. Lebih dalam lagi, data tersebut menunjukkan kualitas parameter SOx (sulfur dioksida), NOx (nitrogen dioksida), dan PM10 (partikulat) di kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan kualitas yang signifikan.
Kandungan sulfur yang relatif tinggi berpotensi meningkatkan parameter-parameter pencemar udara seperti SOx, NOx, dan PM10. Hal ini akan berdampak pada menurunnya tingkat kualitas kesehatan masyarakat, seperti penyakit pneumonia, stroke, jantung, paru-paru kronis, dan kanker paru-paru. Baru-baru ini, WHO merilis setiap tahun 7 juta jiwa meninggal akibat pencemaran udara. Hal itu merupakan seperdelapan dari kematian di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 60.000 jiwa terjadi di Indonesia. Di samping itu, sebenarnya kandungan sulfur yang relatif tinggi akan berdampak pada meningkatnya pembiayaan pemeliharaan kendaraan. Hasil studi UNEP menunjukkan pada tahun 2012, cost of illness yang disebabkan oleh pencemaran udara di Kota Jakarta mencapai angka Rp 38,5 triliun. Ini merupakan angka-angka yang sangat fantastis dan di luar kesadaran kita semua.
Gerakan gunakan bahan bakar rendah sulfur akan menjadi sangat efektif apabila dilakukan dengan perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan (eco-driving). Hasil riset menunjukkan perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan dapat menghemat penggunaan bahan bakar mencapai 10%-20%. Artinya, apabila masyarakat melakukan perilaku eco-driving, Indonesia dapat mengurangi penggunaan BBM sebesar 140.000-200.000 bph. Angka ini jauh lebih besar dibanding angka pertumbuhan kebutuhan bahan bakar setiap tahun. Oleh sebab itu, gerakan puasa subsidi BBM yang dilontarkan Bapak Wakil Menteri ESDM harus kita dukung dan sukseskan secara nasional. Hal ini karena gerakan tersebut adalah gerakan yang sejalan untuk menggunakan bahan bakar yang rendah sulfur dengan perilaku mengemudi ramah lingkungan. Gerakan puasa subsidi BBM merupakan gerakan lingkungan yang dapat menghasilkan emisi yang lebih bersih. Emisi yang lebih bersih akan menghasilkan kualitas udara perkotaan yang lebih baik. Pada gilirannya, hal ini akan menghasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang lebih berkualitas.
Kebijakan Penerapan Standar Emisi Euro-4
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saat ini sedang melakukan upaya pembahasan dengan lembaga/kementerian serta pemangku kepentingan terkait untuk mendorong penerapan standar emisi Euro-4. Penerapan standar emisi ini akan memberikan jaminan bahwa emisi gas buang kendaraan relatif akan lebih bersih. Ini karena implikasi diterapkannya kebijakan tersebut adalah peningkatan kualitas BBM dan peningkatan teknologi kendaraan. Sebagaimana diketahui salah satu penyebab utama emisi gas buang kendaraan bermotor berasal dari kualitas bahan bakarnya.
Salah satu parameter penting terhadap kualitas bahan bakar standar Euro-4 berkaitan dengan kandungan sulfur (sulfur content) maksimal sebesar 50 ppm, baik untuk jenis BBM gasolin maupun diesel. Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa kualitas BBM di Indonesia masih jauh untuk memenuhi standar Euro-4. Oleh sebab itu, penerapan standar emisi Euro-4 akan mendorong peningkatan kualitas emisi gas buang serta sekaligus memberikan jaminan peningkatan kualitas bahan bakarnya.
Penerapan standar emisi Euro-4 menjadi sangat signifikan, karena tingginya angka pertumbuhan kendaraan di Indonesia. Pertumbuhan sepeda motor mencapai 7,7 juta unit per tahun, sedangkan kendaraan lain di luar sepeda motor mencapai 1,3 juta unit per tahun. Untuk itulah kebijakan tersebut diterapkan guna mengantisipasi emisi gas buang dari pertumbuhan kendaraan (mobil dan sepeda motor) yang baru agar tidak menambah beban emisi dan subsidi bahan bakar.
Friday, 17 April 2020
Kriteria Penilaian Terhadap Satwa Liar
Thursday, 16 April 2020
Kasus Pembunuhan Gajah Yongki
Kementerian Lingkungan Hidup juga turun tangan, dengan memerintahkan "tim di lapangan untuk mencari pelakunya sampai dapat. Gajahnya sendiri sudah diautopsi,” kata Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK, Tachrir Fathoni.
Namun kematian Yongki telah meninggalkan kesedihan bagi banyak kalangan, termasuk petugas jaga yang tinggal sekitar 200 meter dari posko. Berita kematian Yongki pun segera tersebar. Tagar #RIPYongki langsung merebak di dunia maya. Sejumlah petugas Taman Nasional Bukit Barisan segera datang melayat. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung Subakir yang sedang berada di Bandar Lampung segera menempuh jarak sekitar 250 kilometer untuk melihat Yongki terakhir kalinya. Ketua Forum Mahout Indonesia yang juga mahout (pawang gajah) pertama, Nazarudin, pun datang dari Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Di Taman Nasional Way Kambas yang luasnya 125.621 hektare, didirikan pada 1985, Yongki yang punya kepandaian mencari jejak gajah liar beberapa kali berhasil menghalau kawan-kawannya yang belum ‘menyentuh bangku sekolahan’ itu. Pada 2009, ia diperbantukan di TNBBS. Di situ, ia mengukir banyak prestasi. Para mahout (pawang gajah) yang pernah menangani Yongki amat nyaman bekerja sama dengan gajah pintar itu.
Wednesday, 15 April 2020
Ekowisata - Ecotourism DRAFT
Sedangkan dalam perspektif bisnis, ekowisata merupakan sebuah bisnis yang harus bersaing sebagaimana bisnis lainnya. Perspektif neoliberal ini tentunya dapat menimbulkan masalah terhadap kebijakan konservasi lingkungan.
Namun dalam perjalanannya ekowisata juga menghasilkan dampak negatif.
Tuesday, 14 April 2020
Prinsip Kehati-Hatian Dalam Hukum Lingkungan (Precautionary Principle)
Monday, 13 April 2020
"Magnesium Lestari" dan "Save Magnesium"
Saturday, 11 April 2020
Friday, 10 April 2020
draft Etika Panjat Tebing - Prinsip Leave No Trace dari REI
Gunakan tas kapur dan simpan di dekat Anda untuk mencegah tumpahan.
Gunakan kapur sesedikit mungkin, dan gunakan warna yang kompatibel dengan batu.
Jika ada kapur yang tumpah, cobalah untuk membersihkannya.
Jika memungkinkan, hindari menggunakan pohon untuk jangkar.
Saat menggunakan pohon diperlukan, hindari melukai kulit pohon dengan menggunakan sling dan carabiner untuk menjalankan tali, alih-alih melilitkan tali di sekitar pohon.
Hati-hati di mana Anda meletakkan tangan untuk menghindari satwa liar. Sarang burung bisa berada di wajah tebing, dan hewan lain juga menggunakannya untuk tempat berteduh.
Jika mengambil rute baru, cobalah untuk tidak meninggalkan jalur yang nyata. Hindari vegetasi dan area yang perlu "dibersihkan."
Gunakan anyaman yang kencang.
Tempatkan baut atau piton dengan benar untuk rute yang tidak terlalu terpengaruh.
Gunakan perlindungan yang bisa dilepas kapan pun memungkinkan
Thursday, 9 April 2020
Pendekatan Atur dan Awasi (Command and Control) dalam Hukum Lingkungan
Wednesday, 8 April 2020
Penembakan Satwa Dilindungi - Buaya dan Ular
Tuesday, 7 April 2020
Pengaturan Sampah dan Limbah Medis Infeksius di Masa Darurat Corona
Limbah Medis Infeksius.
Limbah medis atau yang secara hukum disebut dengan istilah limbah yang berasal dari Fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas yang wajib terdaftar di instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Fasilitas pelayanan kesehatan meliputi:
a. pusat kesehatan masyarakat;
b. klinik pelayanan kesehatan atau sejenis; dan
c. rumah sakit.
Sampah Medis berupa sampah yang timbul dan bersumber dari masyarakat umum. Sampah tentunya berbeda dari limbah, dimana limbah medis yang umumnya dimaksud adalah sisa dari suatu proses produksi dari kegiatan perusahaan, seperti fasilitas pelayanan kesehatan rumah sakit, puskesmas, dan laboratorium medis.
Pengelolaan Limbah Medis
Pengelolaan Limbah B3 yang timbul dari fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi tahapan:
a. Pengurangan dan pemilahan Limbah B3;
b. Penyimpanan Limbah B3;
c. Pengangkutan Limbah B3;
d. Pengolahan Limbah B3;
e. penguburan Limbah B3; dan/atau
f. Penimbunan Limbah B3.
Pengurangan dan pemilahan Limbah B3
Pengurangan dan pemilahan Limbah B3 wajib dilakukan oleh Penghasil Limbah B3,
Pengurangan Limbah B3 dilakukan dengan cara, antara lain:
a. menghindari penggunaan material yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun jika terdapat pilihan yang lain;
b. melakukan tata kelola yang baik terhadap setiap bahan atau material yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan dan/atau pencemaran terhadap lingkungan;
c. melakukan tata kelola yang baik dalam pengadaan bahan kimia dan bahan farmasi untuk menghindari terjadinya penumpukan dan kedaluwarsa; dan
d. melakukan pencegahan dan perawatan berkala terhadap peralatan sesuai jadwal.
Pemilahan Limbah B3 dilakukan dengan cara antara lain:
a. memisahkan Limbah B3 berdasarkan jenis, kelompok, dan/atau karakteristik Limbah B3; dan
b. mewadahi Limbah B3 sesuai kelompok Limbah B3.
Penyimpanan Limbah B3 (Pasal 7)
Penyimpanan Limbah B3 wajib dilakukan oleh Penghasil Limbah B3, yang dilakukan dengan cara antara lain:
a. menyimpan Limbah B3 di fasilitas Penyimpanan Limbah B3;
b. menyimpan Limbah B3 menggunakan wadah Limbah B3 sesuai kelompok Limbah B3;
c. penggunaan warna pada setiap kemasan dan/atau wadah Limbah sesuai karakteristik Limbah B3;
d. pemberian simbol dan label Limbah B3 pada setiap kemasan dan/atau wadah Limbah B3 sesuai karakteristik Limbah B3.
Warna kemasan dan/atau wadah Limbah B3 berupa warna:
a. merah, untuk Limbah radioaktif;
b. kuning, untuk Limbah infeksius dan Limbah patologis;
c. ungu, untuk Limbah sitotoksik; dan
d. cokelat, untuk Limbah bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan, dan Limbah farmasi.
Penggunaan simbol pada kemasan dan/atau wadah Limbah B3 dilakukan di dalam wilayah kerja kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan, yang berupa simbol:
a. radioaktif, untuk Limbah radioaktif;
b. infeksius, untuk Limbah infeksius; dan
c. sitotoksik, untuk Limbah sitotoksik.
Ketentuan mengenai simbol pada kemasan dan/atau wadah Limbah B3 diatur dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Sedangkan penggunaan label pada kemasan dan/atau wadah Limbah B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai simbol dan label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Dalam hal Penghasil Limbah B3 tidak melakukan Penyimpanan Limbah B3, Limbah B3 yang dihasilkan wajib diserahkan paling lama 2 (dua) hari sejak Limbah B3 dihasilkan kepada pemegang Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Penyimpanan Limbah B3 yang tempat penyimpanan Limbah B3nya digunakan sebagai depo pemindahan.
Pengangkutan Limbah B3
Pengangkutan Limbah B3 dilakukan oleh:
a. Penghasil Limbah B3 terhadap Limbah B3 yang dihasilkannya dari lokasi Penghasil Limbah B3 ke:
1. tempat Penyimpanan Limbah B3 yang digunakan sebagai depo pemindahan; atau
2. pengolah Limbah B3 yang memiliki izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3; atau
b. Pengangkut Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Kegiatan Pengangkutan Limbah B3, jika Pengangkutan Limbah B3 dilakukan di luar wilayah kerja fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengangkutan Limbah B3 dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor:
a. roda 4 (empat) atau lebih; dan/atau
b. roda 3 (tiga).
Pengangkutan Limbah B3 wajib:
a. menggunakan alat angkut Limbah B3 yang telah mendapatkan Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengangkutan Limbah B3 dan/atau persetujuan;
b. menggunakan simbol Limbah B3; dan
c. dilengkapi manifes Limbah B3.
Pengolahan Limbah B3
Pasal 17
(1) Pengolahan Limbah B3 dilakukan secara termal oleh:
a. Penghasil Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3; atau
b. Pengolah Limbah B3 yang memiliki Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3.
Pengolahan Limbah B3 secara termal harus memenuhi persyaratan:
a.lokasi; dan
b. peralatan dan teknis pengoperasian peralatan Pengolahan Limbah B3 secara termal.
Konservasi Lingkungan Gua Mammoth
Monday, 6 April 2020
Prinsip Hukum Lingkungan Polluters Pays Principle - Pencemar Membayar
Saturday, 4 April 2020
Sengkarut Sampah dan Limbah Infeksius Akibat Pandemi Covid-19
Sejak awal tahun 2020, pandemi Covid-19 yang telah merajalela dari kota Wuhan, China, telah menyebar ke seluruh dunia. Wabah penyakit ini telah menyebar di lebih dari 200 negara di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia yang positif terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, juga terus bertambah.