Salah satu fauna yang menjadi penghuni Gua adalah kelelawar. Kelelawar adalah salah satu mamalia terbanyak di muka bumi (seperempat dari total seluruh mamalia).
Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama lokal yang diberikan untuk kelelawar. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut paniki (Dalam bahasa Kaili, bahasa suku Kaili, suku terbanyak di Sulteng, kalong ini disebut paniki), niki atau lawa; orang Sunda menyebutnya kampret, lalai; orang Jawa menyebutnya lowo, lawa, codot, kampret; Suku Dayak di Kalimantan menyebutnya hawa, prok, cecadu, kusing dan tayo (Suyanto, 2001). Kelalawar menjalani kehidupannya di malam hari dan hampir seluruhnya hidup di kawasan tropis, sehingga ilmuan barat "mungkin" tidak banyak mengetahui tentang ordo Chiroptera ini.
Kelelawar adalah Mamalia yang termasuk dalam ordo Chiroptera. Istilah yang berasal Yunani yaitu cheir yang berarti tangan dan pteiriga yang berarti sayap. Karenanya ciri khas ordo ini adalah tulang telapak tangan (metacarpal) dan tulang jari (digiti) mengalami pemanjangan sehingga berfungsi sebagai kerangka sayap. Sayap tersebut terbentuk dari selaput tipis (petagium) yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari tangan sampai sepanjang sisi tubuh (Nowak 1994; Altringham 1996). Sayap itulah yang membuat kelelawar mampu terbang dengan ciri khas tersendiri, bahkan dikatakan sebagai binatang yang memiliki kemampuan terbang terpandai diantara binatang lainnya yang mampu terbang.
Kemampuan terbang kelelawar semakin didukung dengan kemampuan panca inderanya, yang memungkinkan terbang dan mencari mangsa pada malam hari. Kelelawar merupakan contoh terbaik dalam penggunaan ekolokasi, dimana berfungsi sebagai panduan (sonar) dalam berpergian, mencari mangsa, berkomunikasi dengan sesama jenis atau (pada ngengat) dan membingungkan pemburunya.
Menurut Nowak ( 1994), kelelawar ditemukan di seluruh dunia atau seluruh permukaan bumi, kecuali di daerah yang beriklim sangat dingin/ kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain itu, jenis pakannya sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai tipe habitat. Lebih lanjut Kunz & Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar merupakan Mamalia paling berhasil, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl.
Dunia mencatat ada sekitar 977 jenis kelelawar. Di Indonesia ada sekitar 205 jenis dari 53 famili seperti Pteropopidae, Megadermotidae, dan Rhinolophidae. Dari jumlah itu 72 jenis pemakan buah dan 133 jenis pemakan serangga. Pemakan serangga tak melulu menetap di gua, 50 persen tinggal di pepohonan. Demikian pula pemakan buah, 80 persen tinggal di pohon atau mangrove, sisanya di dalam gua. (http://lipi.go.id/berita/kebajikan-sang-kampret/4136)
Dunia mencatat ada sekitar 977 jenis kelelawar. Di Indonesia ada sekitar 205 jenis dari 53 famili seperti Pteropopidae, Megadermotidae, dan Rhinolophidae. Dari jumlah itu 72 jenis pemakan buah dan 133 jenis pemakan serangga. Pemakan serangga tak melulu menetap di gua, 50 persen tinggal di pepohonan. Demikian pula pemakan buah, 80 persen tinggal di pohon atau mangrove, sisanya di dalam gua. (http://lipi.go.id/berita/kebajikan-sang-kampret/4136)
Sedangkan menurut Menurut Suyanto et al. (1998), di Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh kepulauan Indonesia. Sedangkan pada 2001, Suyanto menyatakan, bahwa terdapar 251 jenis kelelawar, dari sekitar 977 jenis kelelawar di dunia.
Meskipun banyak ditemukan populasi yang endemik. Beberapa kelelawar hidup sendirian, sementara yang lain hidup di koloni lebih dari satu juta. Hidup di koloni besar mengurangi risiko bagi individu pemangsaan. Sebagai hewan yang mitosnya atau tepatnya “fitnah”, karena selalu diidentikan dengan hal-hal yang negatif di hampir seluruh dunia, kelelawar secara populer telah dikaitkan dengan hal-hal negatif, seperti drakula atau vampir, kegelapan, kedengkian, sihir, dan kematian. Hal tersebut telah mengakibatkan perlakuan yang penuh kebencian terhadap hewan ini, sehingga mengancam kehidupannya.
Padahal kelelawar sangat diperlukan secara ekologis. Kelelawar memiliki peranan penting dalam penyerbukan bunga dan buah-buahan serta penyebaran atau distribusi benih tumbuhan. Beberapa Kelawar juga memiliki nilai komersial yang tinggi.
Dalam gua-gua kars di Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh) misalnya, Suyanto (1996) dalam Samodra (2001) menjumpai beberapa jenis kelelawar, yang sebagian bersifat endemi serta berfungsi sebagai penyebar bibit (chyropterochoria). Kelelawar pemakan tumbuhan di antaranya adalah Cynopterus brachyotis, C. Sphinx, C. Horsfieldi, Eonycteris spelaea dan Penthetor lucasi. Jenis kelelawar pemakan buah (codot), yang hanya memakan buah-buahan yang masak di pohon, akan menyebarkan biji buah ke segala wilayah jelajahnya.
Kelelawar yang hidup di Gua atau eonycteris spelaea (Codot Fajar Gua) memang, diketahui berperan penting dalam penyerbukan bunga pohon Durian; Petai; dan Petai liar, serta tumbuhan lainnya seperti Ketapang, Randu dan Bakau, yang sepenuhnya sangat bergantung pada kelelawar untuk penyerbukannya. (Ekologi Jawa Bali)
Kotoran kelelawar telah ditambang sebagai guano dari gua dan digunakan sebagai pupuk. Kelelawar yang memakan hama serangga, secara langsung dapat mengurangi kebutuhan akan penggunaan pestisida. Habitat dan keberadaan kelelawar cukup banyak telah dijadikan tempat wisata, dan digunakan sebagai bahan makanan di seluruh Asia dan Lingkar Pasifik.
Kelelawar adalah mamalia seperti manusia, yang telah memberi berbagai manfaat, namun juga memiliki potensi negatif. Mereka adalah reservoir alami dari banyak patogen zoonosis, seperti rabies dan mungkin virus ebola. Mobilitasnya yang tinggi (sangat mobile) dan meluas, cenderung berkelompok (sosial), dan berumur panjang, membuat kelelawar menjadi tuan rumah yang menguntungkan dan vektor penyakit. Dibandingkan dengan tikus, kelelawar membawa lebih banyak virus zoonosis per spesies, dan setiap virus dibagi dengan lebih banyak spesies.
Populasi kelelawar diyakini telah menurun dengan cepat di seluruh dunia. Manusia telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies kelelawar, yang terbaru adalah pipistrelle Pulau Natal (Pipistrellus murrayi), yang dinyatakan punah pada tahun 2009. Salah satu pemilik restoran Manado di Jakarta, dilaporkan telah menjual sebanyak 2.000 ekor kelelawar setiap tahunnya. Hati kelelawar dianggap sebagai obat yang baik untuk penyakit Asma. Sehingga mengakibatkan kelelawar diburu untuk pengobatan, untuk diambil hatinya lalu dijual. Banyak jenis kelalawar buah yang ditembak mati oleh para pemiliki perkebunan buah, seperti rambutan, apel dan langsat. Meskipun umumnya kelelawar hanya mengambil buah yang paling matang, yang sesungguhnya memiliki nilai yang rendah atau tidak terlalu layak untuk dijual dipasar oleh para perkebun. Selain itu, serangan kelelawar dapat dengan mudah diatasi, hanya dengan menggunakan pencahayaan atau dengan menyalakan api yang berasap. (Ekologi Jawa Bali)
Konvensi Perdagangan Internasional untuk Perdagangan Flora dan Fauna yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species/CITES) pada 1989 memasukkan kalong dalam kategori spesies yang perdagangannya dibatasi secara ketat. Ini karena populasinya di dunia, terutama di hutan daerah tropis, kian terancam.
Hilangnya atau terganggunya habitat juga menjadi salah satu ancaman serius bagi kelelawar yang hidup di Gua. Kelelawar memilih hibernacula mereka di gua, yang sebagian besar sama setiap tahunnya, dimana berdasarkan suhu dan kelembabannya menjadi tempat hibernasinya. Banyak kelelawar yang bertengger di gua di daerah sedang berhibernasi sendirian atau dalam kelompok kecil. Sebaliknya, kelelawar tropis lebih cenderung membentuk koloni besar.
Peranan dan Urgensi Konservasi Kelelawar Dalam Gua
Kelelawar merupakan salah satu jenis mamalia yang dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian suatu ekosistem. Sebagai hewan troglozene, kelelawar mensuplai energi ke ekosistem gua dengan guano (feses kelelawar) dan bangkainya sehingga berperan terhadap keseimbangan ekosistem Gua. Tanpa kehadiran kelelawar, aliran energi ke dalam ekosistem gua akan terhenti dan keanekaragaman biota gua akan hilang.
Kehadiran kelelawar yang diiringi dengan Guano tersebut adalah salah satu penunjang kehidupan invertebrata di dalam Gua. Guano juga diyakini menjadi salah satu sumber makanan bagi spesies vertebrata di dalam Gua. Beberapa penelitian telah membuktikan, Guano menjadi santapan beberapa jenis spesies di dalam Gua, seperti ikan dan salamander jenis tertentu. Suhu Gua juga terpengaruh dengan kehadiran Guano, dimana selaras dengan meningkatnya suhu menjadi lebih hangat sehingga meningkatkan kenyamanan bagi kelelawar untuk berkembang biak.
Selain berperan penting dalam kestabilan ekosistem gua, kelelawar juga memegang fungsi ekologi penting bagi ekosistem luar gua. Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua.
Peran kelelawar bagi ekosistem luar gua adalah sebagai pemencar biji, penyerbuk berbagai jenis tumbuhan dan pengendali/predator serangga hama tanaman. Penelitian Tan et al. (1998) membuktikan kelelawar Cynopterus brachyotis (Subordo: Megachiroptera) di Bangi Malaysia memakan buah dan menyebarkan biji 17 famili tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan. Penelitian Razakarivony et al. (2005) di Malagasy membuktikan beberapa kelelawar subordo Microchiroptera yang bersarang di gua (Hipposideros commersoni, Miniopterus manavi dan Myotis goudoti) memakan serangga ordo Isoptera, Hymenoptera, Cooleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, dan Homoptera. Anggota ordo serangga tersebut tercatat sebagai serangga hama tanaman. Oleh sebab itu, hilangnya komunitas kelelawar di dalam gua karst tidak hanya dapat menghancurkan ekosistem dalam gua, tetapi juga dapat mempengaruhi ekosistem luar gua.
Perlindungan Kelelawar Melalui Konservasi Gua
Gua sangat penting untuk kelangsungan hidup ratusan spesies kelelawar di seluruh dunia, karena mereka sering memberikan perlindungan bagi sebagian besar fauna kelelawar suatu negara. Di zona beriklim sedang, gua menyediakan tempat berteduh untuk hibernasi dan untuk beberapa spesies, berkembang biak di musim panas, sedangkan di daerah yang lebih hangat, mereka mendukung kekayaan spesies sepanjang tahun dan sebagai koloni besar yang dapat mempertahankan jasa ekosistem yang besar. (baca : Conservation Ecology of Cave Bats)
Sarang merupakan salah satu komponen penting dalam menunjang kehidupan kelelawar. Kebanyakan jenis kelelawar hidup berkoloni dalam bersarang dan mencari makanan. Setiap jenis kelelawar mempunyai beberapa alternatif dalam memilih lokasi sarang, di antaranya adalah pohon yang tinggi, di balik batu, di atap rumah, dan di dalam gua.
Semua kelelawar bersayap bengkok Miniopterus sangat bergantung pada gua (Payne et al. 1985). Kelelawar ekor bebas juga sering bertengger di dalam gua. Selain itu, diketahui, bahwa kebanyakan jenis Microchiroptera bersarang di gua dalam jumlah besar.
Sebagai contoh di Missouri Amerika misalnya, dimana sekitar 800.000 kelelawar abu-abu, yang bertengger di gua sepanjang tahun, mengonsumsi 490 metrik ton serangga per tahun (Departemen Konservasi Missouri, 2010). Begitupula kelelawar ekor bebas berbibir keriput (Tadarida plicata) yang hidup dalam koloni besar hingga satu juta individu atau lebih, dan membentuk kawanan besar dan spektakuler yang dapat dilihat muncul dalam formasi pita dari gua Gomantong di Sabah dan Gua Rusa di Mulu (Francis 1987) .
Sedangkan di daerah tropis, kelelawar yang memakan buah dan menyerbuki tanaman sering bertengger di gua. Jadi, meskipun beberapa kelelawar tidak menggunakan gua, namun jaringan keterkaitan diatara kelelawar dan ekosistem gua itu penting.
Salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan untuk membantu melindungi dan menjaga kelelawar adalah dengan meninggalkan mereka tanpa gangguan (just leave it). Ini adalah masalah besar bagi para cavers atau kegiatan wisata Gua, dimana secara sengaja atau tidak sengaja, mungkin saja telah mengganggu masa hibernacula kelelawar. Padahal, apabila kelelawar terganggu, maka akan membangunkan kelelawar dari hibernasinya. Akibatnya, kelelawar terbang, kemudian mengurangi atau menghabiskan cadangan lemak penting yang dibutuhkan untuk melewati masa hibernasinya, sehingga mungkin saja menyebabkan kematian karena kelaparan.
Tingginya tingkat kematian kelelawar adalah akibat terganggu dan dipaksa untuk terbang saat makanan tidak tersedia (pada saat musim dingin/ bukan musim buah-buahan) telah mengganggu siklus hibernasinya.
Selain itu, kelelawar memiliki kebutuhan habitat yang terjaga untuk membesarkan anaknya, dimana gangguan yang tidak semestinya dapat menyebabkan mereka meninggalkan habitat hibernasinya secara permanen. Kematian anak atau kesulitan untuk berkembang biak adalah salah satu pendorong utama kepunahan spesies. (Burung Dodo dan Merpati, yang diduga punah karena adanya pemangsa telur)
Hibernasi kelelawar yang merupakan upaya menghemat energi selama makanan sulit ditemukan, menjadi berubah akibat ganguan hibernasinya. Dampak terburuknya adalah kelelawar terkuras energinya saat gangguan hibernasi dan kemudian akan mati kelaparan. Dalam kasus yang tidak terlalu parah, mungkin kelelawar dapat bertahan, namun akan kesulitan untuk berkembang biak di musim berikutnya. Dampak tersebut mungkin akan tegak lurus dan semakin membesar terhadap koloni kelelawar yang semakin besar.
Menurut Altringham (1996) dan Zahn & Hager (2005) beberapa jenis kelelawar memilih gua sebagai tempat bersarang karena kondisi gua yang lembap, suhu stabil, dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi demikian, kelelawar kelompok Microchiroptera dapat meminimalkan kekurangan air akibat evaporasi, dapat memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat menghindari kebisingan yang dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut Ruczynsi et al. (2007) kelelawar Microchiroptera memiliki alat pendengaran yang sangat sensitif pada gelombang suara, terutama gelombang pantul (echolokasi) berfrekuensi ultrasonik ( > 20 KHerzt).
Oleh karena itu, apabila cavers hendak memasuki gua yang berpotensi mengganggu hibernasi koloni kelelawar, maka sebaiknya janganlah memasuki gua saat itu...
Kelompok-kelompok seperti Bat Conservation International bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan peran ekologis kelelawar dan ancaman lingkungan yang mereka hadapi. Di Inggris, semua kelelawar dilindungi di bawah Undang-Undang Margasatwa dan Pedesaan, dan mengganggu kelelawar atau sarangnya dapat dihukum dengan denda berat. Begitupula dengan sebagian besar negara Eropa, dimana semua spesies kelelawar dan sarangnya dilindungi secara ketat oleh hukum. Sedangkan di Sarawak, Malaysia, "semua kelelawar" dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar 1998, tetapi spesies seperti kelelawar tak berbulu (Cheiromeles torquatus) masih dimakan oleh masyarakat setempat.
Begitupula di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang berkeyakinan, bahwa komsumsi kelelawar merupakan obat dari berbagai macam jenis penyakit, asma misalnya. Sehingga perburuan terhadap kelelawar masih terus berlangsung. Menurut IUCN, diketahui dari 143 spesies dari kawasan karst di dunia yang terancam secara global, terdapat 31 spesies yang berasal di Asia Tenggara.
Foto : Pembangunan pagar supaya mencegah akses masuk untuk Konservasi kelelawar. (Bats, Smithsonian)
Menurut Medellin dan Wiederholt, maka meskipun penelitiannya secara khusus membahas gua kelelawar, namun mengingat pentingnya semua gua dan statusnya yang berbahaya, maka sudah saatnya sekarang untuk menarik perhatian para pembuat kebijakan atau pengambil keputusan tentang kebutuhan mendesak untuk meluncurkan inisiatif konservasi gua di seluruh dunia. Sehingga keberadaan Gua yang ada saat ini tetap terjaga untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Semoga...
Sumber
Disertasi - Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong
Encyclopedia Caves/ Karst
Sumber
Disertasi - Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong
Encyclopedia Caves/ Karst
Buku Jenis-jenis Kelelawar Khas Agroforest Sumatera, World Agroforestry Centre
Kelelawar Si Mamalia Terbang
Kelelawar Si Mamalia Terbang
Dokumentasi Perencanaan Lingkungan Partisipatif - KASUS KAWASAN KARST GOMBONG SELATAN
Baca juga :
Kompas.com, "Melestarikan Kalong di Tepi Teluk Tomini", Rabu, 02 November 2016
MELESTARIKAN KALONG DI TEPI TELUK TOMINI
Empat bulan lalu, Moh Tanda (65) dengan inisiatif sendiri memotong tiang "pancang" kalong di sekitar hutan mangrove di Teluk Tomini. Setelah lama memburu binatang yang peredarannya dibatasi itu, ia akhirnya bertobat. Semangat yang sama terus digelorakan agar kalong lestari di hutan bakau di tepi Teluk Tomini di Sulawesi Tengah. Tanda turut menggaet orang lain dalam langkah maju itu, ia berhasil meyakinkan dua anaknya dan empat warga Desa Tomoli, Kecamatan Toribulu, Kabupaten Parigi Moutong, untuk berhenti memburu kalong. "Seringnya orang dari kampus dan wisatawan datang ke tempat ini membuat saya sadar bahwa kalong ini istimewa dan karena itu perlu dijaga," ujar Tanda, Selasa (20/9). Dahulu, setiap hari Tanda berburu kalong dan mendapatkan rata-rata 15 ekor. Hasil buruannya tersebut dijual untuk konsumsi. Kini, dia bertanggung jawab memegang buku tamu untuk mencatat pengunjung ke habibat kalong. Kalong merupakan anggota bangsa kelelawar (Chiroptera). Di Desa Tomoli, kalong kapauk (Pteropus vampyrus) telah ada sejak sekitar 25 tahun lalu. Kalong jenis ini bisa berbobot 1,5 kilogram, lebar sayap 17 sentimeter, dengan bagian dalam sayap berwarna hitam dan kemerahan. Dalam bahasa Kaili, bahasa suku Kaili, suku terbanyak di Sulteng, kalong ini disebut paniki. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Perdagangan Flora dan Fauna yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species/CITES) pada 1989 memasukkan kalong dalam kategori spesies yang perdagangannya dibatasi secara ketat. Ini karena populasinya di dunia, terutama di hutan daerah tropis, kian terancam. Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong melalui Dinas Kelautan dan Perikanan serta Badan Lingkungan Hidup telah menetapkan kawasan itu sebagai daerah konservasi pesisir pada 1999. Penetapan kawasan konservasi itu sekaligus untuk melindungi kalong dari perburuan atau penangkapan. Desa Tomoli berjarak 100 kilometer dari Palu, ibu kota Provinsi Sulteng, atau 40 km dari Parigi, ibu kota Kabupaten Parigi Moutong. lokasi habibat kalong hanya 100 meter dari jalan Trans-Sulawesi menuju Provinsi Gorontalo. Di daerah itu, kalong menetap di pohon bakau/mangrove. Kawanan kalong biasanya keluar dari habitatnya untuk mencari makan pada pukul 18.15-18.30 Wita saban hari. Para pemburu kalong menancapkan tiang di sekitar kawasan hutan. Tali dibentangkan di antara dua tiang untuk menggantung mata pancing. Jerat itu menjebak kawanan kalong yang kembali ke habibat pada dini hari sepulang mencari makanan di pegunungan. Saat Kompas berkunjung ke tempat tersebut, terdapat banyak tiang dipancang dengan gelantungan mata pancing pada seutas tali. Ada tiang yang didirikan berjarak 10 meter dari hutan mangrove, ada pula yang ditancapkan langsung di antara pohon bakau. Tanda mengatakan, satu pemburu bisa mendapatkan 15 kalong setiap hari. Kalong dijual Rp 15.000 per ekor. Saat Tanda berada di pangkalan perahu nelayan yang juga akses menuju habibat kalong, pemburu yang kebanyakan warga Tomoli itu tidak berani pergi menangkap kalong. Sebaliknya, saat bapak enam anak tersebut tak ada di sana, pemburu dengan bebas beraksi. "Saya tidak jera untuk menghalau dan melarang orang menangkap kalong meski itu tidak sanggup menyelesaikan masalah," ujar Tanda. Bersama salah seorang anaknya, ia pernah memotong dua tiang yang dipakai untuk menambatkan tali guna menjerat kalong. Pemburu kalong itu mengamuk. Meskipun begitu, Tanda tidak kapok sembari meyakinkan orang itu bahwa kalong menjadi ikon Desa Tomoli yang harus dijaga agar suatu saat terkenal luas. Terus berkurang Maraknya perburuan mengakibatkan populasi kalong terus berkurang. Saat ini populasi kalong yang menetap di 5 hektar hutan mangrove di Tomoli diperkirakan berjumlah 1.000 ekor. Lima tahun lalu, populasi kalong sekitar 10.000 ekor. Meski tidak menyebutkan angka pasti, Tanda menuturkan, empat tahun silam, saat kalong berputar-putar mengitari kawasan hutan mangrove, langit berubah sangat gelap. Binar matahari senja ditutupi sayap kawanan kalong. Kemewahan itu tidak pernah disaksikan lagi. Terancamnya hewan itu juga bisa dilihat dari migrasi habibat. Sebelum menetap di kawasan hutan mangrove yang membentuk tanjung saat ini, kawanan kalong menghuni pulau kecil yang juga dipenuhi mangrove. Jarak pulau itu sekitar 100 meter dari habibat kalong saat ini atau 75 meter dari tepi pantai. Tanda khawatir jika langkah tegas terhadap penangkapan kalong tidak segera diambil kawanan kalong itu bisa punah atau bermigrasi ke tempat lain. "Kami tentu tidak mau ini terjadi," ucapnya. Albert Yusuf (42), warga Tomoli, yang mengaku tidak pernah memburu kalong, pernah mengusulkan kepada pemerintah desa setempat untuk menempatkan petugas khusus mengawasi perburuan kalong. Hingga saat ini usulan itu belum terwujud. "Kami menghormati inisiatif orang tua seperti Pak Tanda. Akan tetapi, karena tidak ada kekuatan untuk melarang, orang dengan gampang tidak menghiraukan," katanya. Kepala Desa Tomoli Akib Halama mengatakan, dirinya mengantongi nama-nama pemburu atau penangkap kalong. Jumlahnya sekitar 10 orang. "Saya sudah dekati secara pribadi agar mereka mencabut tiang dan alat tangkap lainnya di sekitar hutan mangrove. Kalau cara lunak ini tidak diindahkan, saya akan panggil polisi untuk memasukkan mereka ke sel," katanya. Bagi pengunjung seperti Riko Henriko (26), kalong harus dijaga kelestariannya. "Kalong di tempat ini istimewa. Gampang dijangkau dan unik karena hidup di hutan mangrove," katanya. Untuk menjaga kelestarian kalong dan habitat kalong, warga setempat menanam 16.000 bibit mangrove di pantai kawasan habitat kalong. Bibit mangrove tersebut diberikan oleh pemerintah pusat. Selain untuk menjaga populasi ikan dan ancaman abrasi, mangrove tersebut diharapkan menjadi "jaminan" bagi kalong untuk terus menetap di sana. Dengan catatan besar, warga berhenti memburu atau menangkap kalong. Keberadaan kalong di Tomili menjadi daya tarik wisata karena kalong jarang berhabitat di mangrove seperti di Tomoli. Keberadaan kalong juga penanda masih utuhnya hutan bakau yang melindungi permukiman warga......................SUMBER, KOMPAS, RABU 2 NOPEMBER 2016, HALAMAN 22
No comments:
Post a Comment