Thursday, 5 March 2020

Landasan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia

Teori berlakunya hukum Islam di Indonesia.
Hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya (teori receptie a contrario). Secara Konstitusionil, sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama. Maka Negara dalam produk hukum yang dikeluarkannya harus selaras dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh warga negara. Karenanya, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa negara tidak diperbolehkan mengeluarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh penduduk. 
Sedangkan hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia itu bukan hanya Hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain tersebut. Hukum agama di bidang hukum perdata dan hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.

Selain itu, menurut Von Savigny, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan pada semua waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat tadi dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
Secara filosofis, maka hukum hanya mungkin berlaku efektif dalam masyarakat, apabila hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang secara filosofis diyakini kebenarannya oleh masyarakat tempat hukum itu diberlakukan (Usman, 2001: 7). Hukum Islam merupakan hukum yang hidup dan sudah barang tentu diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang beragama Islam. Sedangkan bagi agama lainnya, maka hukum yang berlaku efektif tentunya sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.

Tambahan penjelasan.
Penulis di sini tidak akan mengemukakan perdebatan seputar istilah hukum, melainkan mengambil definisi sederhana bahwa hukum adalah kaidah atau norma yang mempunyai daya paksa secara eksternal (external power) dan terhadap pelanggarnya akan dikenakan sanksi tertentu. Hukum tidak semata buatan penguasa, melainkan termasuk hukum yang tidak tertulis yang lahir, tumbuh, berkembang dan diyakini oleh masyarakat sebagai hukum yang hidup (living law). Masuk dalam kategori ini dalam konteks Indonesia adalah hukum Adat dan hukum yang bersendikan pada agama, yakni hukum Islam. Apabila Islam dan Hukum dirangkai menjadi frase Hukum Islam, maka akan berarti seperangkat kaidah atau norma (body of rule) yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Al-Quran dan Sunah, serta kemudian diterapkan secara nyata oleh pemeluknya, yang mana pelanggarannya diancam dengan sanksi baik dunia maupun akhirat. Keseluruhan norma dimaksud dalam rangka mencapai suatu kedamaian, kesejahteraan, keselamatan dunia dan akhirat.
Salah satu ahli hukum Belanda Christian van Den Berg mencetuskan teori receptio in compelxu. Inti dari teori tersebut, yakni bahwa hukum mengikuti agama yang dianut oleh setiap pemeluk agama. Artinya, bahwa apabila seseorang beragama Islam, maka hukum Islam menjadi hukum yang akan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Materi Teori Pemberlakuan Hukum Islam
Teori pemberlakuan hukum ISLAM
Teori Receptio in Complexu (Christian van Den Berg)
Teori Recepti (Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven)
Teori Receptio Exit (Hazairin)
Teori Receptio a Contrario (Sajuti Thalib).

Teori Klasik: Receptio in Complexu (Van den Berg) dan Receptie (Snouck Hongroje)
Pada masa Hindia Belanda menempatkan hukum Islam pada dua keadaan dalam dua periode, yakni periode penerimaan hukum Islam secara penuh (Receptie In Complexu), dan periode penerimaan hukumIslam oleh hukum adat (Receptie). 

Teori Kontemporer: Receptie exit (Hazairin) dan Teori Kodifikasi

Pertama kita memulai dari teori yang dikemukakan oleh Christian van Den Berg dengan teori yang disebutnya teori receptio in complexu. Penerimaan Hukum Islam sepenuhnya, yang disebut juga dengan receptio in complexu adalah periode ketika Hukum Islam diberlakukan sepenuhnya bagi orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam.

Kedua, yakni era dimana hukum Islam dianggap berlaku manakala diterima oleh hukum Adat. Penerimaan hukum Islam oleh Hukum Adat yang disebut juga teori receptie, menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. 
Pendapat Snouck Hurgronje ini diberi dasar hukum dalam Undang-undang Dasar Hindia Belanda sebagai pengganti RR yang disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (IS). (Afdol, 2006:77) 
Dalam IS yang diundangkan dengan Stbl. 1929. 212, Hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 menentukan: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila Hukum Adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.” 
Setelah berlakunya UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat.

Ketiga, yakni bahwa Anda akan melihat bahwa konsepsi yang menyatakan bahwa berlakunya Hukum Islam digantungkan pada penerimaan hukum Adat dianggap tidak benar dan menyesatkan. Ahli hukum pertama yang mengkritik teori receptie ala Snouck Hurgronje, yakni Hazairin.

Keempat, yakni era dimana teori receptie ala Snouck Hurgronje dapat diterapkan sebaliknya (receptie a contrario). Teori receptie a contrario, yaitu teori yang dikemukakan oleh Sayuthi Thalib. Sesuai dengan semangat namanya, ia merupakan kebalikan dari teori receptie. 
Menurutnya bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Agama (Thalib, 1982: 58). Ini sejalan dengan Maxim yang dikenal dalam hukum Islam, yakni Adat yang baik dianggap sebagai hukum (al-Adatu Muhakammah) atau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Kelima, yakni era berlakunya teori Eksistensi. Teori Eksistensi merupakan teori yang dikemukakan oleh Ichtijanto, teori ini pada dasarnya mempertegas teori receptie a contrario dalam hubungannya dengan hukum nasional. 
Menurut teori ini, hukum Islam mempunyai spesifikasi: (a) telah ada sebagai bagian integral dari hukum nasional; (b) telah ada dengan kemandirian dan kewibawaannya, bahkan ia telah diakui oleh hukum nasional, serta diberi status sebagai hukum nasional; (c) norma hukum Islam telah ada dan berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional; (d) telah ada dalam arti sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional (Ichtijanto, 1990: 86).

No comments:

Post a Comment