Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang disingkat SVLK adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui sertifikasi penilaian PHPL, sertifikasi Legalitas Kayu dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). SVLK bertujuan untuk mendukung perbaikan tata kelola kehutanan dan peningkatan perdagangan kayu legal.
SVLK mulai berlaku pada Juni 2009 sejak Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 . Itu terjadi ketika Menteri Kehutanan pada saat itu, MS Kaban, menyetujui dan mengadopsi usulan parapihak menjadi mandatory Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Dalam perjalanannya SVLK terus disempurnakan dengan revisi P.38/Menhut-II/2009 menjadi Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 dan ditambah revisi Permenhut No. P.45/Menhut-II/2012 serta Permenhut No. P.42/Menhut-II/2013.
Tuntutan tentang legalitas produk dan bahan kayu sebenarnya bukan hal baru. SVLK hadir sebagai sebuah sistem yang bersifat wajib untuk memastikan dipenuhinya semua peraturan terkait dengan peredaran dan perdagangan kayu di Indonesia. Dan untuk perdagangan keluar/izin ekspor produk kayu salah satunya mensyaratkan penggunaan Dokumen V-Legal (Verified Legal), seperti disyaratkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/2012.
SVLK mulai berlaku pada Juni 2009 sejak Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 . Itu terjadi ketika Menteri Kehutanan pada saat itu, MS Kaban, menyetujui dan mengadopsi usulan parapihak menjadi mandatory Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Dalam perjalanannya SVLK terus disempurnakan dengan revisi P.38/Menhut-II/2009 menjadi Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 dan ditambah revisi Permenhut No. P.45/Menhut-II/2012 serta Permenhut No. P.42/Menhut-II/2013.
Tuntutan tentang legalitas produk dan bahan kayu sebenarnya bukan hal baru. SVLK hadir sebagai sebuah sistem yang bersifat wajib untuk memastikan dipenuhinya semua peraturan terkait dengan peredaran dan perdagangan kayu di Indonesia. Dan untuk perdagangan keluar/izin ekspor produk kayu salah satunya mensyaratkan penggunaan Dokumen V-Legal (Verified Legal), seperti disyaratkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/2012.
Dalam Websitenya, KLHK menegaskan, bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. SVLK disusun bersama oleh sejumlah pihak (parapihak). SVLK memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian yang disepakati parapihak.
Pemerintah RI menerapkan SVLK untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Dengan SVLK, konsumen di luar negeri pun tak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Dengan SVLK, para petani dari hutan rakyat dan masyarakat adat dapat menaikkan posisi tawar dan tak perlu risau hasil kayunya diragukan keabsahannya ketika mengangkut kayu untuk dijual. Para produsen mebel yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Indonesia memberlakukan langkah bertahap dalam penerapan SVLK. Ini sebagai langkah awal yang harus menunjukkan sertifikat legalitas sebelum menuju ke sertifikat pengelolaan hutan lestari (sustainability).
Pemberlakuan SVLK itu sendiri adalah untuk memberikan kepastian legalitas produk kayu Indonesia pada pasar global. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia, mengurangi praktek illegal logging dan perdagangan illegal. Lebih dari itu SVLK juga menyiratkan komitmen dalam upaya serius dan konsisten memperbaiki tata kelola kepemerintahan kehutanan Indonesia. SVLK memiliki prinsip-prinsip perbaikan tata kelola lebih baik (governance), keterwakilan para pihak dalam pengembangan sistem maupun pemantauan (representativeness) serta transparansi (transparent) yaitu sistem terbuka untuk diawasi oleh semua pihak. SVLK merupakan upaya soft approach yaitu perbaikan tata kelola pemerintahan atas maraknya penebangan dan perdagangan kayu liar.
SVLK merupakan pendekatan yang melengkapi upaya penindakan hukum (hard approach) yang lebih dulu dilakukan Pemerintah. Melalui pendekatan soft approach perbaikan atas tata usaha dan administrasi perkayuan diperbaiki melalui sistem yang dapat dipantau oleh semua pihak dan memiliki kredibilitas dalam implementasinya. SVLK juga dikembangkan di tengah tren dunia dalam perdagangan kayu yang legal. Pemerintah di beberapa negara importir memberlakukan peraturan untuk membuktikan legalitas produk kayu yang beredar, termasuk yang berasal dari impor, di masing-masing negara. Umpamanya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan Lacey Act, Uni Eropa (EU) dengan Timber Regulation, Australia dengan Illegal Logging Prohibition Act, dan Jepang dengan Green Konyuho (GoHo Wood).
Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) selama kurun waktu 2004-2010 menyatakan bahwa kerugian negara akibat pembalakan liar di Indonesia mencapai Rp 169,7 triliun. Kerugian ini belum termasuk kehilangan sumberdaya alam hayati, kerugian yang disebabkan oleh bencana yang dipicu karena rusaknya hutan, kerugian secara ekonomis langsung berupa menurunnya daya saing produk kayu kehutanan Indonesia, maupun rusaknya tata kepemerintahan kehutanan.
Korupsi dan lemahnya tata kelola kepemerintahan, termasuk juga lemahnya penegakan hukum telah membuat permasalahan penebangan liar dan perdagangannya seperti tidak kunjung terselesaikan.
Sejak tahun 2001, Indonesia mulai membangun dan mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memberikan jaminan bahwa kayu dan produk kayu yang dipanen, diangkut, diolah, serta dipasarkan berasal dari sumber yang legal dan lestari, serta memenuhi (comply) terhadap peraturan dan hukum yang berlaku.
Inisiatif SVLK merupakan buah dari proses partisipasi para pemangku kepentingan yang dimulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 hingga akhirnya pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia memberlakukan SVLK dengan dikeluarkannya Permenhut No P.38/Menhut-II/2009 yang dan mulai diterapkan pada bulan September 2010. Setelah melalui berbagai proses dalam kurun waktu 14 tahun, Parlemen Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia secara resmi telah menyepakati untuk memulai pemberlakuan Lisensi FLEGT pada 15 November 2016.
Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disingkat S-PHPL adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemegang hak pengelolaan yang menjelaskan keberhasilan pengelolaan hutan lestari. S-PHPL wajib dimiliki oleh :
SVLK merupakan pendekatan yang melengkapi upaya penindakan hukum (hard approach) yang lebih dulu dilakukan Pemerintah. Melalui pendekatan soft approach perbaikan atas tata usaha dan administrasi perkayuan diperbaiki melalui sistem yang dapat dipantau oleh semua pihak dan memiliki kredibilitas dalam implementasinya. SVLK juga dikembangkan di tengah tren dunia dalam perdagangan kayu yang legal. Pemerintah di beberapa negara importir memberlakukan peraturan untuk membuktikan legalitas produk kayu yang beredar, termasuk yang berasal dari impor, di masing-masing negara. Umpamanya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan Lacey Act, Uni Eropa (EU) dengan Timber Regulation, Australia dengan Illegal Logging Prohibition Act, dan Jepang dengan Green Konyuho (GoHo Wood).
Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) selama kurun waktu 2004-2010 menyatakan bahwa kerugian negara akibat pembalakan liar di Indonesia mencapai Rp 169,7 triliun. Kerugian ini belum termasuk kehilangan sumberdaya alam hayati, kerugian yang disebabkan oleh bencana yang dipicu karena rusaknya hutan, kerugian secara ekonomis langsung berupa menurunnya daya saing produk kayu kehutanan Indonesia, maupun rusaknya tata kepemerintahan kehutanan.
Korupsi dan lemahnya tata kelola kepemerintahan, termasuk juga lemahnya penegakan hukum telah membuat permasalahan penebangan liar dan perdagangannya seperti tidak kunjung terselesaikan.
Sejak tahun 2001, Indonesia mulai membangun dan mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memberikan jaminan bahwa kayu dan produk kayu yang dipanen, diangkut, diolah, serta dipasarkan berasal dari sumber yang legal dan lestari, serta memenuhi (comply) terhadap peraturan dan hukum yang berlaku.
Inisiatif SVLK merupakan buah dari proses partisipasi para pemangku kepentingan yang dimulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 hingga akhirnya pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia memberlakukan SVLK dengan dikeluarkannya Permenhut No P.38/Menhut-II/2009 yang dan mulai diterapkan pada bulan September 2010. Setelah melalui berbagai proses dalam kurun waktu 14 tahun, Parlemen Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia secara resmi telah menyepakati untuk memulai pemberlakuan Lisensi FLEGT pada 15 November 2016.
Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disingkat S-PHPL adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemegang hak pengelolaan yang menjelaskan keberhasilan pengelolaan hutan lestari. S-PHPL wajib dimiliki oleh :
a. Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam IUPHHK-HA;
b. Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT);
c. Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), dan
d. Pemegang Hak Pengelolaan.
Apabila perusahaan belum memiliki S-PHPL maka wajib memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK). SLK adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, IRT/Pengrajin atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, IRT/Pengrajin atau pemilik hutan hak telah memenuhi standar legalitas kayu. Namun setelah mendapatkan S-LK, maka selanjutnya pemegang izin dan Pemegang Hak Pengelolaan wajib mendapatkan S-PHPL.
Mekanisme Penilaian Kinerja PHPL dan VLK dilakukan dengan SVLK melalui penilaian, verifikasi, atau DKP, yakni pernyataan kesesuaian yang dilakukan oleh pemasok berdasarkan bukti pemenuhan atas persyaratan.
Penilaian kinerja PHPL dan VLK dilakukan oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI), yaitu perusahaan berbadan hukum Indonesia yang diakreditasi untuk melaksanakan penilaian kinerja PHPL dan/atau VLK.
Berdasarkan hasil penilaian atau verifikasi, LP&VI kemudian menerbitkan S-PHPL dan/atau S-LK kepada pemegang hak/izin, IRT/Pengrajin atau pemilik hutan hak, dan melaporkan kepada Direktur Jenderal. Sertifikat tersebut digunakan sebagai bahan pembinaan dan/atau perpanjangan IUPHHK oleh Direktur Jenderal.
Untuk tujuan ekspor, Dokumen V-Legal merupakan komponen dari penerapan penuh SVLK. Dokumen V-Legal digunakan sebagai pelengkap dokumen kepabeanan yang memberikan jaminan kepastian legalitas produk kehutanan yang dari Indonesia. Dokumen V-Legal diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) dalam perannya selaku Penerbit Dokumen V-Legal atau dikenal sebagai ‘licensing authority’ dalam Persetujuan FLEGT-VPA4.
Dokumen V-Legal adalah dokumen legalitas terhadap produk industri kehutanan Indonesia yang diangkut antar negara yang telah memenuhi ketentuan verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan Pemerintah Republik Indonesia. Makna huruf "V" berasal dari kata Verified, sehingga V Legal diartikan, bahwa telah diferivikasi secara hukum/legal.
Sumber :
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/1547
Untuk tujuan ekspor, Dokumen V-Legal merupakan komponen dari penerapan penuh SVLK. Dokumen V-Legal digunakan sebagai pelengkap dokumen kepabeanan yang memberikan jaminan kepastian legalitas produk kehutanan yang dari Indonesia. Dokumen V-Legal diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) dalam perannya selaku Penerbit Dokumen V-Legal atau dikenal sebagai ‘licensing authority’ dalam Persetujuan FLEGT-VPA4.
Dokumen V-Legal adalah dokumen legalitas terhadap produk industri kehutanan Indonesia yang diangkut antar negara yang telah memenuhi ketentuan verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan Pemerintah Republik Indonesia. Makna huruf "V" berasal dari kata Verified, sehingga V Legal diartikan, bahwa telah diferivikasi secara hukum/legal.
Sumber :
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/1547
No comments:
Post a Comment