Monday, 17 February 2020

Dampak Lingkungan Kegiatan Arung Jeram (Rafting)

Wisata arung jeram atau rafting yang lazim menjadi salah satu kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) dan masyarakat pada umumnya telah berkembang dengan pesat selama satu dekade terakhir di Indonesia.
Khususnya di jawa tengah dan Yogyakarta, yang saat ini semakin banyak dijumpai peminat kegiatan wisata ini.
Beberapa contoh sungai yang saat ini, hampir di setiap akhir pekannya, selalu dijumpai kegiatan arung jeram, antara lain yaitu sungai Elo, Sungai Progo dan Sungai Serayu.
Sebagai suatu kegiatan, maka kegiatan Arung Jeram tentunya tidak akan lepas dari dampak positif dan negatif yang mengiringinya.
Salah satu dampak positif dari kegiatan arung jeram bagi masyarakat sekitar umumnya adalah meningkatnya kegiatan perekonomian warga yang berada di sekitar lokasi wisata. Mungkin masih banyak dampak positif lainnya, namun tulisan ini hanya akan mengulas dampak negatif akibat kegiatan wisata arung jeram.


Sedangkan potensi dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kegiatan olahraga air terhadap lingkungan mencakup tiga bidang utama: dampak fisik (mencakup dampak yang timbul akibat gelombang air dan timbulnya kekeruhan pada air sungai), dampak biologis (terhadap satwa liar, ikan, invertebrata, tanaman), serta dampak kimia (logam berat, bahan bakar, dan tumpahan minyak dari mesin serta pembuangan sampah).
Mungkin saja beberapa dampak negatif tersebut tidak terlalu signifikan atau tidak bersifat berdampak besar (hanya terbatas pada areal tertentu saja). Apalagi apabila kita bandingkan dengan kegiatan pertambangan pasir di sungai atau pembangunan pemukiman atau berbagai bentuk okupasi lahan sempadan sungai lainnya. Namun alangkah baiknya sebagai komunitas pencinta alam, kita dapat dibekali pengetahuan untuk mengenali dampak negatif yang berpotensi kita timbulkan dari berbagai kegiatan kita.

Dampak fisik yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan ini, yaitu terjadinya perubahan bentang alam atau vegetasi. Dampak lanjutannya adalah timbulnya potensi terjadinya erosi pada daerah sempadan sungai yang menjadi pusat kegiatan ini. Kerumunan aktivitas serta jejak para rafter atau wisatawan, akan selalu berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan vegetasi tanaman khususnya di beberapa titik yang menjadi persinggahan perahu arung jeram. Dalam hal ini, yaitu titik start, rest dan finish dalam suatu rute arung jeram.
Pada lokasi yang menjadi titik start untuk memulai kegiatan arung jeram misalnya, telah banyak berubah fungsi menjadi sarana prasarana untuk menunjang kegiatan ini. Bahkan di beberapa lokasi telah tumbuh subur berbagai fasilitas wisata seperti rumah makan dan penginapan. Begitupula di titik yang menjadi lokasi "Rest Area" dan titik "Finish" saat berlangsungnya kegiatan arung jeram. Tak lepas dari pembangunan sarana dan prasarana penunjang wisata. Intensitas kehadiran manusia pada lokasi tersebut juga menimbulkan kerusakan vegetasi akibat jejak atau aktivitas para wisatawan. Hilangnya vegetasi tersebut yang kemudian meningkatkan potensi terjadinya erosi tanah.
Komunitas Mapala misalnya, yang selalu bermain-main seperti anak-anak sekolah dasar di tepian atau badan air sungai, seperti latihan flip flop, portaging, dan berbagai jenis pendidikan pecicilan lainnya di sungai (wkakakaka), telah secara langsung meningkatkan intensitas jejak langkah dan merusak vegetasi sempadan sungai. Selain itu, timbulnya gelombang atau percikan yang juga mengakibatkan timbulnya kekeruhan air sungai.

Potensi dampak negatif berikutnya yang bersumber dari kehadiran pengunjung wisata adalah timbulnya sampah yang dihasilkannya. Semakin besar pengunjung wisata di sungai, maka potensi timbulan sampah yang dihasilkan akan turut serta semakin membesar.
Mungkin akan diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah kehadiran wisata arung jeram telah menyebabkan penurunan kualitas air di badan air yang terletak di dekat lokasi perkemahan atau basecamp serta fasilitas mandi bilas yang diperuntukan bagi para pengunjung wisata arung jeram.

Potensi dampak negatif lainnya pada kegiatan arung jeram adalah dampak biologis, yaitu terjadinya gangguan terhadap flora dan fauna atau kehidupa liar di sungai. Mungkin dampak ini tidak selalu menjadi perhatian bagi komunitas Mapala, dan sampai saat ini memang belumlah ada penelitian ilimiah yang menunjukan keterkaitan antara kegiatan arung jeram dan dampaknya terhadap flora atau fauna sungai. Namun, potensi negatif tentunya bukannya tidak ada.
Peningkatan terhadap sampah atau limbah beracun seperti sabun atau deterjen yang ditimbulkan akibat kehadiran pengunjung wisata misalnya, tentu akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap habitat flora dan fauna sungai. Penurunan kualitas air akan secara langsung berdampak terhadap flora dan fauna.

Selain itu, Steven et al. (2011) melakukan tinjauan dampak rekreasi berbasis alam pada burung terhadap literatur ekologi rekreasi yang diterbitkan dalam jurnal akademik bahasa Inggris mengidentifikasi ada 69 makalah dari tahun 1978 hingga 2010 yang meneliti efek dari kegiatan ini terhadap burung. Enam puluh satu makalah (88%) menemukan dampak negatif, termasuk perubahan fisiologi burung (semua 11 makalah), perilaku langsung (37 dari 41 makalah), serta perubahan kelimpahan (28 dari 33 makalah) dan reproduksi sukses (28 dari 33 makalah).
Kehadiran manusia saja yang ditambah dengan kebisingan yang ditimbulkannya juga akan membuat fauna seperti ikan, dan burung, atau buaya, biawak, ular serta hewan lainnya yang mirip dengan komunitas rafter (wkwkwkwk), akan sangat terganggu.
Belum lagi dampak ganguan ketenangan terhadap ikan atau fauna tertentu yang timbul karena terjadinya riakan air atau gelombang akibat aktivitas saat arung jeram, laju perahu, dan gerakan mendayung saat arung jeram. Beberapa ikan atau fauna di sekitar sungai tentunya akan merasa terganggu, dan kemudian menghabiskan energi untuk pergi menghindari keramaian yang bersumber dari kehadiran perahu rafting.
Akibat lanjutannya tentu dapat menimbulkan masalah terhadap habitat dan mungkin saja perkembangbiakan hewan di sekitar sungai. Mungkin saja perkembangbiakannya akan terhambat atau parahnya lagi, dapat membuat fauna tersebut mengabaikan sarangnya serta lanjutannya menjadi terganggu dan kemudian terusir dari habitatnya.

Ironisnya sebagian besar dari pengunjung termasuk komunitas Mapala karena ketidaksadarannya, biasanya malah terobsesi untuk melihat lebih dekat apabila di saat pengarungan menjumpai adanya fauna sungai. Keingin-tahuan dan rasa penasaran yang besar disertai ketidaktahuan terhadap dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, telah membuat para pencinta alam mengambil tindakan yang keliru atau mungkin saja salah apabila melihat biawak atau ular dan ikan duyung pada saat pengarungan. Yakni dengan berupaya untuk mendekati mencoba melihat lebih dekat fauna yang dijumpai ketika pengarungan sehingga secara langsung telah menggangu kehidupan liar.
Mungkin layak dipertimbangkan adanya pendidikan dan pedoman bagi komunitas Mapala agar selalu berhati-hati dan berupaya seminimal mungkin untuk menimbulkan gangguan terhadap kehidupan satwa liar yang ada di sungai.


No comments:

Post a Comment