Bencana Konservasi
Keberadaan sumber daya alam hutan seharusnya memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya. Namun, apabila kelestarian hutan mengalami kerusakan, alih-alih memberikan dampak positif, keberadaan hutan justru menimbulkan bencana banjir, tanah longsor. Selain itu juga terdapat bencana lainnya, yaitu bencana akibat amukan satwa liar dilindungi seperti Gajah atau Harimau seperti yang sering terjadi di pulau Sumatera dan bencana Orang Utan di pulau Kalimantan.
Salah satu bencana yang masih terus berlangsung adalah bencana Gajah.
Bencana gajah menggambarkan seolah terjadi konflik antara masyarakat dan satwa gajah selama puluhan tahun. Bencana yang terjadi setiap tahun sejak 1980-an ini, bahkan tak jarang menimbulkan korban jiwa, baik dari warga sekitar areal habitan konservasi Gajah sumatera.
Gajah yang diketahui berasal dari TNWK baru-baru ini menyerang desa di Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur. Selama lima bulan terakhir, tercatat terjadi 17 kali bencana gajah yang mengakibatkan ratusan hektar lahan pertanian padi, jagung, singkong dan perkebunan warga rusak dimakan dan diinjak-injak gajah. Tumbalnya, dua gajah penghuni TNWK tewas akibat tindakan aparat dan warga.
Lucunya, selama ini solusi dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat cenderung bersifat reaktif dan tidak komprehensif.
Sementara pihak legislatif (DPRD) setempat, umumnya hanya datang, meninjau, dan lalu diakhiri dengan hearing dan hearing. Sedangkan tindak lanjut yang nyata hanyalah sebatas harapan.
Akibatnya, bencana yang telah berlangsung selama puluhan tahu tidak pernah terselesaikan.
Berbagai pendapat menyakini, bahwa solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan bencana akibat satwa liar dilindungi adalah segera merehabilitasi kawasan konservasi di Indonesia.
Bencana Gajah di Provinsi Lampung misalnya, diakibatkan karena kerusakan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) sebagai rumah perlindungan bagi 350-an gajah Sumatera.
TNWK diketahui telah mengalami kerusakan, yang mencapai 72% (2007). Kerusakan itulah yang menyebabkan makanan bagi gajah di areal TNWK berkurang.
Kecenderungan gajah untuk menyerbu tanaman pertanian dan perkebunan warga menegasikan, dugaan perubahan perilaku gajah akibat minimnya ketersediaan makanan di TNWK. Terlebih gajah Sumatera terkenal mempunyai rute yang jarang berubah, artinya gajah hanya makan ditempat ia biasanya makan, dan lewat ditempat ia biasanya lewat. Hal tersebut didukung dengan kemampuan penciuman gajah, yang mampu mencium keberadaan tanaman padi dan tanaman lain dari jarak jauh sekalipun.
Rehabilitasi TNWK bukanlah hanya menjadi tanggung jawab dan kepentingan balai TNWK saja, namun sangat erat dengan kepentingan berbagai instansi lainnya. Oleh karena itu, wacana untuk menyalahkan Balai Pengelola TNWK bukanlah sebuah solusi bijak mengatasi bencana gajah.
Seluruh instansi yang berkepentingan harus ambil bagian secara terpadu, dengan tujuan utama mengembalikan kelestarian fungsi TNWK. Pemprov Lampung, dan Pemkab Lampung Timur dan Lampung Tengah sangat berkepentingan mempertahankan daerah penyangga kehidupannya.
Sedangkan BKSDA Lampung bertanggung jawab melestarikan keberadaan satwa yang terancam punah. Kemudian Balai TNWK wajib mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan TNWK. Terakhir, Kemenhut selaku pihak yang mengklaim wewenang dan tanggung jawab terhadap 133 juta hektar hutan Nusantara, bertanggung jawab agar menjaga kelestarian sekaligus memperkaya manfaat hutan di taman nasional.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Daerah juga harus berperan aktif mengatasi serbuaan gajah. Sebab, bencana gajah terkait erat dengan pengertian bencana non-alam yang terjadi akibat ulah manusia akibat kerusakan lingkungan, sebagaimana diatur di dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Seandainya berbagai intansi terkait dapat bersatu sebagaimana ketika membakar pemukiman Kualakambas dan Kualasekapuk, tentu bukanlah hal yang sulit untuk merehabilitasi TNWK. Apalagi kalau hanya sekedar mengatasi serbuan kawanan gajah di sepanjang jalan lintas timur dan daerah lainnya.
Apalagi, potensi Gajah sebagai ikon propinsi Lampung sangatlah sinergis dengan program pembangunan pariwisata di Lampung. Fungsi TNWK sebagai tempat perlindungan hewan langka khas Sumatra seperti Gajah, Harimau, dan Badak dan penyangga kehidupan adalah potensi besar untuk menunjang pembangunan.
Berbagai manfaat TNWK untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata rekreasi, mekanisme REDD dan perdagangan karbon segeralah untuk dikembangkan. Kemauan, kemampuan, dan profesionalisme sangat menentukan terwujudnya optimalisasi pemanfaatan TNWK secara berkelanjutan, berhasil guna dan berdaya guna.
Hak dan kewajiban masyarakat untuk berperan serta harus diwujudkan. Sebab, di satu sisi masyarakat adalah korban bencana gajah dan di lain sisi, kerusakan TNWK diduga erat akibat minimnya kesadaran lingkungan masyarakat dengan melakukan perambahan dan pengalihfungsian hutan.
Pemerintah harus mengakomodir kepentingan masyarakat melalui suatu solusi yang akan disepakati, dilaksanakan dan diawasai secara bersama. Fungsi representasi dan advokasi lembaga legislatif (DPRD) harus berjalan optimal, agar aspiratif dan dapat membina kesadaran lingkungan masyarakat.
Kesadaran lingkungan masyarakat harus ditingkatkan. Sadar bahwa setiap orang wajib menjaga kelestarian ekosistem TNWK. Sadar bahwa mengalih fungsikan lahan di areal TNWK adalah suatu pelanggaran hukum yang dapat memicu terjadinya bencana gajah serta kekeringan, banjir, dan tanah longsor.
Selain itu, ganti rugi terhadap korban bencana gajah wajib direalisasikan. Kerugian masyarakat tidak pantas direspon dengan drama lempar tanggung jawab berbagai instansi pemerintah. Jajaran pemerintah pantang mengeluh tanpa diiringi langkah konkrit untuk menyelesaikan persoalan. Kekompakan Kemenhut, Pemkab, dan Pemprov dengan melepar kesalahan pada balai TNWK, yang disambut oleh balai TNWK dengan peryataan, bahwa pemberian ganti kerugian menunggu petunjuk lebih lanjut dari Menhut, sangatlah berputar-putar.
Namun yang penting untuk diketahui oleh masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu “mengemis” untuk mengharapkan penyelesaian bencana gajah. Sebab, pemenuhan atas hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, serta hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal adalah tanggung jawab pemerintah, untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya.
Semakin lama waktu penyelesaian, gajah yang terancam dibunuh warga semakin banyak. Akibatnya potensi kepunahan gajah semakin tinggi. Kepunahan tersebut mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Kedepannya, Lampung yang sangat terkenal dengan Gajah hanya menjadi sebuah kenangan. Ironis.
No comments:
Post a Comment