Friday, 7 February 2020

Tanggung Jawab Mutlak Pertamina Dalam Pencemaran di Teluk Balikpapan

Pada tanggal 31 Maret 2018 terjadi pencemaran di laut teluk balikpapan karena patah atau bocornya pipa distribusi minyak bawah laut milik PT. Pertamina Refinery Unit V Balikpapan. Diperkirakan sekira 40 ribu barrels minyak mentah tumpah mencemari perairan laut teluk balikpapan. Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), diketahui tanggal 2 April area tercemar minyak di Teluk Balikpapan seluas 120 Km², kemudian pada 5 April luas area tercemar meluas, menjadi 200 Km² atau 20.000 hektar.  Kerugian lingkungan yang timbul, antara lain enam ribu batang dan dua ribu bibit bakau, 53 hektare tambak udang, 40 petak tambak kepiting, 32 keramba jaring apung lobster, 15 Rengge, dan 200 bubu.  Selain itu, pencemaran juga mengancam ribuan hektar tanaman bakau serta menyebabkan kematian biota laut, misalnya pesut. 
Peristiwa tersebut menimbulkan adanya pertanggungjawaban Pertamina secara mutlak (strict liability). Penerapan strict liability dalam pertanggungjawaban hukum perdata diperkenalkan dalam UU No.4 Tahun 1982 (UULH), dan UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) dengan istilah ganti rugi secara langsung dan seketika.  Setelah lahirnya UUPPLH, strict liabilty diatur dalam Pasal 88 UUPPLH  dimana unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ruang lingkup pengaturannya mencakup jenis usaha yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3), menghasilkan dan/atau mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3) serta kegiatan yang dapat menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan.
Menurut Wibisana, bentuk pengadopsian strict liability ala Indonesia ditemukan dalam kasus tanah longsor Mandalawangi Garut 2003, dimana Majelis Hakim memutuskan tergugat Perum Perhutani bertanggung jawab secara mutlak (strict liability), tanpa perlu membuktikan unsur kesalahannya atas tragedi longsor di Mandalawangi.  Sedangkan, Putusan terbaru, yakni putusan PN Jakarta Selatan No.456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel, yang menegaskan, bahwa dalam strict liability tidak perlu lagi dipertentangkan apakah Tergugat telah melakukan kesalahan atau tidak, dengan adanya kebakaran diatas lahan perkebunan sawitnya.  Dalam Strict liability, pada dasarnya mewajibkan pencemar memberikan kompensasi, tanpa memperdulikan langkah yang telah dilaksanakannya. 
Sesuai dengan Kep.Ketua MA No.36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, ancaman serius yaitu terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali atau komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan. Secara “faktual” peristiwa tumpahan minyak yang mencapai 40 ribu barrels dan pencemaran seluas 20 ribu Ha telah menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan laut di teluk Balikpapan.
Menariknya, setelah sebelumnya membantah, tanggal 4 April 2018 Pertamina mengakui tumpahan minyak berasal dari Pipa Bawah Laut miliknya. Selain itu, kepolisian juga mendalami keterangan dari Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP), Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dan Kapal KM Ever Judger. Meskipun terdapat dugaan penyebab patahnya pipa Pertamina disebabkan pihak ketiga,  baik Kapal KM Ever Judger atau kelalaian operator pelabuhan, namun keberadaan pihak ketiga dapat diabaikan. Karena unsur strict liability semakin jelas ketika Pertamina mengakui, bahwa sumber pencemaran yang menimbulkan kerugian lingkungan berasal dari instalasinya. 
Menurut Hinteregger sebagaimana dikutip Wibisana, di negara di Perancis pengadilan biasanya menolak dalih adanya perbuatan pihak ketiga dalam kasus strict liability, sedangkan di Jerman, Portugal, Inggris dan Irlandia, maka pengadilan akan menguji dalih perbuatan pihak ketiga dalam konteks force majeur. Dalam arti, bahwa perbuatan pihak ketiga haruslah merupakan sesuatu yang tidak bisa diperkirakan (unforeseeable) sehingga tidak bisa dicegah.  Pertanyaannya kemudian, apakah insiden bocor/patahnya pipa yang menimbulkan pencemaran tidak dapat diprediksi?.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 11 Peraturan Presiden No.109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, dimana setiap pimpinan tertinggi pengusahaan minyak dan gas bumi, yang karena kegiatannya mengakibatkan tumpahan minyak, bertanggung jawab mutlak atas biaya penanggulangan, dampak lingkungan, kerugian masyarakat dan lingkungan akibat tumpahan minyak di laut. 
Dengan kata lain, tanpa bermaksud menyederhanakan kompleksitas permasalahan, maka kausalitas strict liability dapat dimaknai, bahwa pencemaran minyak mentah akibat patahnya pipa minyak dan menimbulkan kerugian lingkungan “tidak terjadi” di perairan laut teluk Balikpapan, seandainya “tidak ada” kegiatan PT. Pertamina yang berpotensi menyebabkan ancaman serius di perairan laut teluk Balikpapan.  Tanpa perlu mengetahui lebih lanjut, apakah peristiwa tersebut terjadi karena kesengajaan, kelalaian atau adanya keterlibatan pihak ketiga.
Lebih lanjut menurut Rangkuti, sungguh tidak layak mewajibkan penderita untuk membuktikan secara ilimiah gugatannya dalam kasus pencemaran lingkungan, karena korban umumnya awam soal hukum dan seringkali berada dalam keadaan sekarat, karenanya dengan adanya beban pembuktian mengakibatkan, korban enggan berperkara dan merasa gugatan ganti kerugian itu sia-sia belaka.  
Berdasarkan pemaparan tersebut, alangkah baiknya apabila PT. Pertamina Unit Refinery V Balikpapan mengakui dan mempersiapkan langkah untuk memberikan kompensasi dan ganti kerugian lingkungan akibat pencemaran di teluk Balikpapan, sebagaimana diamanatkan Pasal 87 Ayat (1) UUPPLH,  serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Perhubungan No.58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan.

Catatan Kaki
  Moh Khory Alfarizi, “LAPAN: Luas Tumpahan Minyak di Balikpapan Sudah 12 Ribu Hektare”, sumber https://tekno.tempo.co/read/1077709/lapan-luas-tumpahan-minyak-di-balikpapan-sudah-12-ribu-hektare, diakses tanggal 30 Mei 2018
  Martahan Sohuturon, KLHK Diminta Gugat Dalang Minyak Tumpah di Balikpapan, sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180419191418-20-292085/klhk-diminta-gugat-dalang-minyak-tumpah-di-balikpapan, diakses tanggal 30 Mei 2018
  Resa Eka Ayu Sartika, "Pesut Mati Terdampar di Teluk Balikpapan Diduga akibat Tumpahan Minyak", sumber : https://sains.kompas.com/read/2018/04/02/113300023/pesut-mati-terdampar-di-teluk-balikpapan-diduga-akibat-tumpahan-minyak, diakses tanggal 30 mei 2018.
  Pasal 21 UULH (1982), berbunyi “Dalam beberapa kegitan yang menyangkut jenis sumber daya tentang tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan.”
Pasal 35 Ayat 1 UUPLH (1997), berbunyi "Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup."
  Pasal 88 UUPPLH, berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Penjelasan Pasal 88, berbunyi “Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.”
  Baca Andri G. Wibisana, Beberapa Catatan Penting terkait Aspek Prosedural Gugatan, Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian, disampaikan dalam Lokakarya Masyarakat Memulihkan Sungai: Partisipasi dan Litigasi, 25-28 Juli 2016, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta.
Menurut Pengadilan Bandung, “Pembuktian unsur kesalahan (liability base on fault) seperti dalil gugatan Penggugat agar supaya para Tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum menjadi tidak relevan karena dengan diterapkannya prinsip “precautionary principle” pertanggung jawaban menjadi ketat/mutlak “Strict Liability”, yang paling penting disini adalah penentuan siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya dampak longsornya beberapa sudut di belahan Gunung Mandalawangi, dan karena secara “notoir feit” telah menimbulkan kerugian, maka bagaimana pemulihan atas adanya kerugian tersebut.”
  Baca Putusan Nomor 456/Pdt.G-LH/2016/PN Jkt.Sel, hlm.293-294 
Kasus Gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melawan PT.Waringin Agro Jaya, yang dimenangkan Hakim dengan menghukum ganti rugi Rp466 miliar kepada PT.Waringin Agro Jaya.
  Michael Faure, Designing Incentives Regulation for the Environment, Published in Maastricht, October 2008
  M Yusuf Manurung, Tumpahan Minyak di Balikpapan, Menko Luhut: Bukan Salah Pertamina, sumber https://bisnis.tempo.co/read/1077101/tumpahan-minyak-di-balikpapan-menko-luhut-bukan-salah-pertamina, diakses tanggal 30 Mei 2018
  Gusti Nara, Pertamina Mengaku Jadi Penyebab Tumpahan Minyak di Teluk Balikpapan, Sumber : https://regional.kompas.com/read/2018/04/04/17383271/pertamina-mengaku-jadi-penyebab-tumpahan-minyak-di-teluk-balikpapan, diakses tanggal 30 Mei 2018
  Monika Hinteregger (ed.), Environmental Liability and Ecological Damage in European Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hlm. 163-164 dalam Andri G. Wibisana, Presentasi “Membuktikan Unsur Perbuatan Melawan Hukum dan Stict Liability Dalam Konteks Pencemaran  Air”, Lokakarya Masyarakat Memulihkan Sungai: Partisipasi dan Litigasi, 25-28 Juli 2016, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta.
  Pasal 11 Perpres 109 Tahun 2006, berbunyi “Setiap pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi pengusahaan minyak dan gas bumi atau penanggung jawab tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai atau pimpinan atau penanggung jawab kegiatan lain, yang karena kegiatannya mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, bertanggung jawab mutlak atas biaya: a. penanggulangan tumpahan minyak di taut; b. penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak di laut; c. kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak di laut; dan d. kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak di laut.”
  Baca terkait “Dangerous Activities” dalam Andri G. Wibisana, Beberapa Catatan Penting terkait Aspek Prosedural Gugatan, Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian, Op.Cit. 
  Siti Sundari Rangkuti, 2015, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Edisi Ke-4, Surabaya, hlm.301
  Pasal 87 Ayat (1) UUPPLH, berbunyi “Setiap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu.”

No comments:

Post a Comment