Wednesday, 12 February 2020

REFLEKSI KONSERVASI HARIMAU

Peringatan Hari Harimau Sedunia jatuh setiap tanggal 29 Juli. Tahun ini adalah tahun keenam sejak ditetapkan dalam The St. Petersburg Declaration on Tiger Conservation pada tahun 2010. 
Saat itu, disepakati bersama untuk meningkatkan populasi harimau di dunia yang berjumlah 3.200 ekor tahun 2010, hingga dua kali lipat menjadi lebih dari 7.000 ekor di tahun 2022. 
Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani Deklarasi, yang juga menegaskan, bahwa harimau adalah salah satu indikator penting ekosistem yang sehat. 
Rusaknya ekosistem tidak hanya berdampak pada kepunahan harimau, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati.
Terdapat sembilan subspesies harimau yang pernah ada di dunia. Diketahui tiga subspesies telah punah dimana dua di antaranya dari Indonesia. 
Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (Panthera tigris balica) telah dinyatakan punah, pada tahun 1940 sampai 1980-an. Sedangkan satu harimau lagi adalah kaspia (Panthera tigris virgata).
Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae), menjadi satu-satunya harimau yang masih dimiliki bangsa Indonesia. 
Sejak tahun 1996, IUCN (International Union for Conservation of Nature), telah memasukkan Harimau Sumatra dalam Daftar Merah satwa terancam punah dengan status Kritis (Critically Endangered). Selangkah lagi menuju kepunahan.
Pemerintah telah dan masih tetap berupaya menyelamatkan harimau sumatera dari kepunahan.
Diatas kertas, pada tahun 1990 pemerintah telah memiliki UU 5/ 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKSDAH) sebagai tulang punggung upaya konservasi. Pada tahun 1994 pemerintah telah pula menerbitkan dokumen Rencana Aksi Nasional untuk konservasi harimau sumatera. Kemudian direvisi kembali pada tahun 2007, yang berlaku hingga 2017. 
Setelah seperempat abad, tampaknya upaya konservasi harimau masih belum memberikan hasil yang menggembirakan. Secara Global, sensus di tahun 2014 menunjukan populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal 371 ekor. 

Ancaman Konservasi Harimau
Hulu masalah konservasi harimau sumatera adalah hilangnya habitat hidupnya akibat aktivitas manusia. 
Alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan pembangunan seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, pemukiman, atau infrastruktur mengakibatkan habitat harimau semakin kecil dan terfragmentasi.
Kebakaran hutan yang terjadi di akhir tahun 2015 saja, telah mengakibatkan lebih dari 2 juta Ha lahan atau hutan di sumatera terbakar (KLHK).
Pada satu sisi, ditetapkannya hutan hujan sumatra sebagai situs Warisan Dunia (World Heritage) adalah wujud pengakuan kekayaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Namun, di lain sisi mencerminkan kondisi hutan sumatera sudah diambang kehancuran. 
Selain itu, sempitnya habitat harimau telah memicu bencana, berupa konflik antara manusia dan harimau. 
Aktivitas manusia, mengakibatkan harimau terdesak “naik gunung” ke hutan dataran tinggi yang keanekaragaman hayatinya lebih sedikit. Keyataannya, sempitnya habitat dan diiringi sedikitnya mangsa, memaksa harimau “turun gunung” dan memangsa hewan ternak masyarakat. 
Sehingga bencana konflik tak terhindarkan. Pada akhirnya, tentu saja harimau yang selalu saja terusir dari habitatnya, sebagaimana peristiwa penangkapan harimau di Mandeh Sumatera Barat lalu. 
Sedangkan ancaman di hilir yang membahayakan upaya konservasi harimau sumatera adalah perburuan dan perdagangan illegal.
Harimau dan bagian-bagian tubuhnya telah lama dipercaya berkhasiat untuk obat-obatan tradisional, meningkatkan kekuatan magis dan simbol status.
Kebutuhan dan kelangkaan tentu semakin menyuburkan kegiatan perdagangan illegal. 
Sejalan dengan hal itu, maka kepemilikan satwa atau pemanfaatan bagian tubuh harimau secara illegal menjadi keniscayaan.

Penegakan Hukum Konservasi Harimau
Aparat penegakan hukum, selama ini tentu tak tinggal diam. Pada bulan Mei lalu, kembali diamankan tiga orang yang terlibat penjualan kulit harimau oleh kerjasama aparat dan balai taman nasional gunung leuser.
Namun diakui ataupun tidak, kinerja penegakan hukum konservasi masih sangat jauh panggang dari api.  
Menurut BKSDA, Indonesia surganya perdagangan satwa illegal. Praktik itu diperkirakan merugikan negara sekitar Rp 9 triliun per/ tahun. Sebab, selain memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (megabiodiversity), sanksi hukum di Indonesia juga relatif lebih lemah dan aparatur negara mudah dibengkokkan. 
Selama ini, penegak hukum hanya menerapkan ketentuan pidana kepada pelaku perburuan atau perdagangan illegal saja. Sedangkan terkait kepemilikan atau pemanfaatan illegal satwa dilindungi seolah diistimewakan.
Aparat seharusnya menerapkan sanksi pidana kepada para pelaku, yang notabene bermotif sepele. Sekedar meningkatkan status sosial semata. 
Padahal, dalam UU 5/1990 telah ditetapkan sanksi pidana, bagi orang atau lembaga yang memelihara serta memiliki bagian-bagian tubuh satwa langka tanpa izin. 
Pemilikan opsetan atau penggunaan pipa rokok dari gading gajah pun lazim kita jumpai.
Hal tersebut mengingatkan peristiwa Pemberian Rekor Nasional untuk Keris Berangka Gading Gajah kepada Bupati, yang lenyap begitu saja. Contoh terakhir, adalah kasus kepemilikan opsetan harimau seorang Menteri.
Patut diingat, setelah menetapkan UU 5/ 1990, pemerintah mengeluarkan Kepmenhut. No 301/Kpts-II/1992 dan No. 479/Kpts-VI/1992. 
Peraturan tersebut menghimbau pihak yang terlanjur memiliki spesies dilindungi dan produk atau bagian-bagiannya, untuk mendaftar dan mendapatkan izin, sampai dengan batas waktu Oktober 1992. Saat itu sekitar 1.081 opsetan kulit harimau yang telah terdaftar (Tilson dan Traylor-Holzer, 1994).
Aparat penegak hukum seharusnya menegakkan hukum tanpa pandang bulu. 
Sehingga timbul efek jera terhadap kegiatan yang mendorong suburnya perburuan dan perdagangan illegal satwa dilindungi, khususnya Harimau Sumatera.
Punahnya harimau jawa dan harimau bali harus menjadi pelajaran untuk mewujudkan upaya konservasi harimau sumatera yang lebih baik. 
Masih belum terlambat. Momentum hari harimau sedunia dapat menjadi refleksi dalam rangka menyelamatkan harimau sumatera dari ancaman kepunahan.
Sehingga generasi bangsa Indonesia mendatang tidak hanya mengenal karya fiksi berupa “Tujuh Manusia Harimau” semata.

No comments:

Post a Comment