KOPI PAHIT...
Mungkin kata itulah yang paling pas untuk menyampaikan keluhan SAYA sebagai salah satu anggota mapala di lingkungan universitas gadjah mada (UGM) TERKAIT KETIDAKJELASAN DUKUNGAN PIHAK DEKANAT ATAUPUN REKTORAT TERHADAP KEGIATAN MAPALA.
Dibukanya kegiatan Mapala sebagai salah satu bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa di lingkungan UGM seharusnya memberikan makna, bahwa kegiatan ini bermanfaat untuk pendidikan di dalah satu institusi pendidikan terbaik di negeri ini.
Secara umum diakui, bahwa kegiatan UKM termasuk aktifitas luar ruangan (outdoor) merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan soft skill atau karakter mahasiswa. Wajarlah apabila kegiatan Mapala mendapat dukungan Kampus UGM, baik dari DOSEN, DEKANAT atau REKTORAT, untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatannya. Beberapa Mapala tersebut, antara lain Pantarhei (filsafat) Mapagama
(universitas), Gitapala (Teknologi Pertanian), Satubumi (Teknik),
Majestic-55 (Hukum), Gegama (Geografi), Matalabiogama, Silvagama
(Kehutanan), Kapalasastra (Ilmu Budaya dan Sastra), Setrajana (Fisipol),
Palapsi, Mapadipsi, terakhir Caravan (Peternakan).
Sayangnya antara kebijakan dan implementasi, cenderung bertolak belakang. Fakta utama yang dapat dengan mudah dilihat adalah adanya upaya PEMUSNAHAN SARANA WALL CLIMBING yang dahulu banyak dimiliki oleh komunitas Mapala di lingkungan UGM.
Padahal pada awal tahun 2000-an, masih dapat dijumpai banyak sarana pendukung CLIMBING berupa Wall Climbing atau Boulder-an yang telah dibangun oleh beberapa MAPALA UGM. Sebagian besar sarana dibangun TANPA ADANYA BANTUAN DARI PIHAK KAMPUS
UGM yang berdiri megah di beberapa ruas jalan utama di lingkungan UGM. Namun ironisnya, 20 tahun kemudian, terlihat
dengan jelas Civitas Akademika UGM tidak menghargai hasil kerja keras MAPALA yang telah MEMBANGUN WALL CLIMBING.
Hampir seluruh wall climbing yang sudah dibangun 20 Tahun lalu, saat ini sudah dimusnahkan. Beberapa mungkin dianggap telah merusak pemandangan,
sehingga kemudian dipinggirkan sejauh mungkin ke "belakang" agar tidak
terlihat.
MUNGKIN PERLU KETEGASAN bagi MAPALA, untuk mempertanyakan sikap DEKANAT atau REKTORAT serta DOSEN-DOSEN. Apakah ingin memusnahkan MAPALA ataukah HANYA INGIN MEMUSNAHKAN WALL CLIMBING sebagai salah satu sarana yang umumnya menjadi MAHKOTA dari eksistensi MAPALA di lingkungan kampus ??? Kalau memang dianggap Mapala tidak berguna, maka BUBARKAN saja.
Tak Pantaslah dan sungguh sangat ironis apabila para pendidik di kampus terbaik di Indonesia, hanya mendirikan sebuah UKM untuk sekedar meningkatkan serta menjamin Akreditasi Universitas, yang telah dinobatkan sebagai salah satu universitas terbaik di Negeri Ini. Perlu ada ketegasan, bahwa ADA ATAU TIDAKNYA MAPALA tidak AKAN MEMPENGARUHI PERINGKAT UGM sebagai Universitas Terbaik di Indonesia.
NULISNYA BUAT KESEL NIH....
Foto atas : wall climbing Gegama tempoe doeloe (alm.)
Foto Atas : Boulder Milik Majestic 55 yang telah ALMARHUM akibat dimusnahkan UGM
Mungkin kehadiran wall climbing di lingkungan kampus dianggap sampah atau merusak pemandangan dan keindahan kampus UGM. Alih-alih dianggap sebagai salah satu sarana pendidikan untuk meningkatkan kemampuan pendidikan soft skill bagi mahasiswa sekaligus kapasitas anggota UKM di UGM, khususnya MAPALA. Selama ini Pihak Dekanat atau Rektorat melalui organisasi Unsur-Unsurnya yang ada di Fakultas, cenderung lebih berbahagia dengan sekedar mempertanyakan "izin" pembangunan wall climbing di Fakultas. Tanpa sedikitpun memaknai adanya pencapaian yang dihasilkan oleh mahasiswanya.
Padahal wall climbing yang dibangun di tahun 1990-2000an tersebut, nyaris seluruhnya tidak mendapatkan bantuan dana dari pihak dekanat apalagi rektorat. Beberapa cerita tentang pembangunan wall climbing, menunjukan kerja keras dan hasil keringat dari para anggota Mapala dalam rangka untuk membangun Mapala menjadi lebih baik.
Patut diingat, ketika era tahun 1990an, masih sulit dijumpai peralatan listrik otomatis untuk mewujudkan pembangunan wall climbing. Maka mereka para mahasiswa UGM tersebut, harus mengergaji besi secara MANUAL atau tanpa gerinda atau alat gergaji listrik otomatis. Ketiadaan bantuan dana mau tidak mau, memaksa para mahasiswa harus mampu, membangun sebuah konstruksi wall climbing yang akan mereka banggakan di kemudian hari sebagai pencapaian ketika berkreativitas sebagai mahasiswa.
Tak terbayang waktu dan keringat yang telah dikorbankan. Ironisnya, fakta telah menunjukan bahwa, karya wall climbing seolah dianggap sampah yang layak dipinggirkan atau bahkan DIMUSNAHKAN saja. Mungkin hanya fakultas Psikologi saja yang mendukung kegiatan Mapala di UGM.
Foto atas : wall climbing milik Mapala CARAVAN
Masih banyak wall climbing lagi di UGM, baik sisa-sisa peninggalan berupa rangka-rangka besi, maupun wall climbing yang TERANCAM DIMUSNAHKAN OLEH UGM sebagai INSTITUSI PENDIDIKAN TERBAIK di NEGERI INI.
Mungkin sebaiknya para dosen-dosen yang menjadi bagian dari sistem Dekanat dan Rektorat di kampus pendidikan terbaik di negeri ini, diberikan pendidikan soft skill yang baik. Agar lebih dapat menghargai jerih payah mahasiswanya untuk membangun UKM di lingkungan kampusnya.
MANFAAT WALL CLIMBING
Foto Atas : Tampak sampah rangka besi bekas Wall Mapala PLANTAGAMA, yang menjadi KORBAN UGM
Mungkin sebaiknya para dosen-dosen yang menjadi bagian dari sistem Dekanat dan Rektorat di kampus pendidikan terbaik di negeri ini, diberikan pendidikan soft skill yang baik. Agar lebih dapat menghargai jerih payah mahasiswanya untuk membangun UKM di lingkungan kampusnya.
Boro-boro menghargai...., tindakan memusnahkan wall climbing sesungguhnya patut dipertanyakan???
Saat ini, mungkin sarana climbing yang dibangun pada era tahun 1990-2000, hanya sedikit sekali yang tersisa. Salah satunya adalah Boulder Mapagama di Gelanggang (yang sebentar lagi akan DIMUSNAHKAN UGM).
Foto : Boulder Climbing Milik Mapagama di gelanggang UGM.
Foto di bulan Februari 2020 ini (sampai 3 maret saat diupload)
Dalam kondisi menunggu ajal dari malaikat pencabut nyawa (UGM)
MANFAAT WALL CLIMBING
Mungkinkah kehadiran wall climbing tidak berguna bagi Mapala atau Institusi pendidikan?.
Mungkinkah kehadiran wall climbing tidak bermanfaat bagi mahasiswa?
Pertanyaan itu layak ditanyakan ke DEKANAT. Jelas saja, karena merekalah pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pemusnahan wall climbing di UGM atau memarginalkan wall climbing. Kehadiran wall climbing mungkin hanya disetujui apabila dibangun pada tempat-tempat yang tidak terlihat oleh tamu-tamu atau mahasiswa di lingkungan kampus. Jikalau memungkinkan, jangan-jangan hendak dimasukan ke dalam karung saja agar tidak ada yang melihat.
Langkah UGM dengan memusnahkan wall climbing, bertolak belakang dengan langkah sebagian besar universitas swasta, yang umumnya menjadikan fasilitas wall climbing sebagai "jualan" untuk para mahasiswa baru. Mereka universitas swasta malah membangun wall climbing di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh para mahasiswanya.
Mungkin pihak dekanat atau rektorat akan lebih baik jika mempertanyakannya kepada ibu Yenny Wahid, kalau hanya untuk memperdebatkan atau ada niatan menghancurkan wall climbing milik Mapala.
Karena dialah sebagai ketua FPTI yang saat ini mencanangkan pembangunan wall climbing di seluruh Indonesia.
Baca disini :
atau
atau
https://www.antaranews.com/berita/1318874/pimpin-fpti-yenny-wahid-siapkan-program-100-dinding-panjat
Emang assss buat pengambil kebijakan yang menghancurkan wall climbing di UGM...
Mas, itu Mapala mana aja yg dimusnahkan Wall Climbing-nya? Sekarang udah dibangun ulang apa belom? Biayanya diganti atau enggak? Sedih bacanya.
ReplyDeleteEmosi sekali kau nulisnya, btw
Yang baru ada potonya sih Wall Plantagama punya Mapala Fakultas Pertanian. Semoga besok-besok tulisan ini bisa dilengkapi.
ReplyDeleteIya Maaf... kalau agak marah. Emang awalnya menulis ini untuk meluapkan amarah sih...
Mungkin untuk pertanyaan diganti atau tidak, lebih baiknya dilihat dari ada atau tidaknya Wall. Jika belum ada yah tentu akan lebih baik jika ada. Jika sudah ada, yang seharusnya yang telah ada menjadi lebih baik. Bukannya menjadi musnah atau dipinggirkan atau menjadi buruk kualitasnya...
ReplyDeleteTerima kasih...