Penggunaan instrumen kebijakan ekonomi untuk melindungi lingkungan telah dibahas selama dua dekade terakhir karena masyarakat internasional membahas fakta bahwa banyak peraturan lingkungan belum menghasilkan perilaku, teknologi, atau produk yang lebih ramah lingkungan. Ditentang bahwa mekanisme saat ini telah gagal memberikan insentif ekonomi yang memadai untuk membatasi kegiatan yang merusak lingkungan dan gagal mencapai tujuan lingkungannya.
Jika sumber daya lingkungan dinilai dengan benar, biaya penggunaan lingkungan akan diambil
sepenuhnya diperhitungkan dalam pengambilan keputusan ekonomi swasta. Ini menyiratkan bahwa sumber daya lingkungan digunakan dalam jumlah 'berkelanjutan', asalkan harganya didasarkan pada kelangkaannya dan menempatkan nilai yang sesuai pada sumber daya yang tidak terbarukan. Instrumen ekonomi dimaksudkan untuk mengoreksi harga pasar saat ini dengan menginternalisasi biaya lingkungan yang diperlakukan oleh mekanisme pasar sebagai eksternal.
Instrumen ekonomi ‘memengaruhi melalui mekanisme pasar, biaya dan manfaat dari tindakan alternatif terbuka bagi agen ekonomi, dengan efek memengaruhi perilaku dengan cara yang menguntungkan bagi lingkungan.
Penggunaan instrumen ekonomi di tingkat internasional untuk menambah, atau menggantikan, pendekatan pengaturan langsung untuk perlindungan lingkungan didukung, setidaknya secara prinsip, oleh semakin banyak negara. Aplikasi praktis tetap terbatas. Sejauh instrumen ekonomi didefinisikan dengan mengacu pada upaya mereka untuk menggunakan pasar untuk menginternalisasi biaya lingkungan, prinsip pencemar membayar pertama kali dikembangkan oleh OECD dan Uni Eropa pada awal 1970-an dapat dilihat sebagai pendahulu untuk diskusi dan proposal yang lebih baru. Referensi eksplisit dalam tindakan internasional untuk 'instrumen ekonomi' adalah fenomena yang relatif baru. Pada bulan Mei 1990, Deklarasi Tingkat Menteri UNECE Bergen menyatakan bahwa untuk mendukung pembangunan berkelanjutan perlu ‘menggunakan lebih banyak instrumen ekonomi secara bersamaan. . . pendekatan pengaturan.
Pada November 1990, Deklarasi Menteri Konferensi Iklim Dunia Kedua telah menemukan dukungan untuk bahasa yang serupa di tingkat global.
Dukungan untuk penggunaan instrumen ekonomi juga dapat ditemukan dalam deklarasi regional dan global lainnya seperti Deklarasi Rio. Agenda 21 sering merujuk pada kebutuhan untuk mengembangkan instrumen ekonomi. Dukungan untuk penggunaan instrumen ekonomi juga tercermin dalam instrumen dan perjanjian hukum lunak. Contohnya termasuk Konvensi Perubahan Iklim 1992, yang mengharuskan negara-negara maju untuk mengoordinasikan instrumen ekonomi yang relevan, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992, yang, meskipun tidak secara khusus menyebutkan instrumen ekonomi, menyerukan kepada para pihak untuk 'mengadopsi langkah-langkah yang sehat secara ekonomi dan sosial. yang bertindak sebagai insentif untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan komponen keanekaragaman hayati'.
Para ekonom beberapa dekade ini telah menaruh
perhatian pada upaya bagaimana pencemaran lingkungan dapat diselesaikan melalui perspektif ekonomi.[1]
Ide-ide ini sekarang disebut dalam literatur sebagai
penggunaan apa yang disebut instrumen ekonomi, kadang-kadang juga disebut
sebagai instrumen berbasis pasar. Instrumen ekonomi adalah instrumen peraturan
yang relatif baru, yang tujuannya adalah untuk memberikan insentif bagi
industri untuk mematuhi.[2]
Dalam pandangan
ekonom, pencemaran merupakan bentuk dari kegagalan pasar (market failures) yang memungkinkan adanya intervensi negara ke
dalam kegiatan-kegiatan ekonomi (pasar). Sehingga tujuan utama dari instrumen
ekonomi adalah suatu internalisasi eksternalitas.[3]
Karenanya, tujuan ekonomi dari hukum lingkungan seharusnya mengarah pada internalisasi
eksternalitas yang memaksa calon pencemar untuk memperhitungkan biaya pencemaran yang akan ditimbulkan dalam pengambilan keputusannya.[4]
Penggunaan instrumen
ekonomi juga erat kaitannya dengan apa yang disebut sebagai prinsip pencemar
membayar (Polluter Pays Principle).[5]
Penggunaan instrumen ekonomi dalam upaya pengelolaan lingkungan tertuang dalam
Prinsip 16 Deklarasi Rio, yaitu : “National
authorities should endeavour to promote the internalization of environmental
costs and the use of economic instruments, taking into account the approach
that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with due
regard to the public interest and without distorting international trade and
investment”.[6]
Prinsip 16
mengamanatkan, bahwa pemerintah harus berusaha untuk
mempromosikan upaya internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi,
dengan mempertimbangkan pendekatan bahwa pencemar pada prinsipnya harus
menanggung biaya polusi. Sehingga
dapatlah dikatakan, bahwa instrumen ekonomi merupakan kebijakan yang selaras dengan prinsip pencemar membayar (polluters pays principle), dalam rangka menghadapi eksternalitas
melalui internalisasi biaya lingkungan yang timbul akibat suatu usaha dan/atau
kegiatan. Dengan kata lain, penggunaan
instrumen ekonomi, atau disebut juga pendekatan berbasis mekanisme pasar (market-based approach), erat kaitannya
dengan apa yang disebut sebagai prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle).[7]
UUPPLH telah mengamanatkan untuk
mengembangkan instrumen ekonomi lingkungan sebagai salah satu instrumen
pencegahan terhadap pencemaran dan/ kerusakan lingkungan hidup. Penerapan
instrumen ekonomi diharapkan dapat menjadi sarana pengelolaan lingkungan hidup
yang mengarah pada keberlanjutan dan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
UUPPLH mendefenisikan instrumen
ekonomi lingkungan hidup, yaitu seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong
Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi
lingkungan hidup.[8]
Oates
mendefinisikan insentif ekonomi sebagai suatu sistem di mana pemerintah menciptakan
bujukan ekonomi untuk mengurangi kegiatan yang menimbulkan pencemaran, tetapi memberikan
kebebasan kepada pencemar (usaha/ kegiatan) untuk menentukan reaksi atau
tanggapan mereka terhadap insentif yang diberikan.[9]
Menurut konsep instrumen ekonomi, maka otoritas tidak memberlakukan batasan
hukum apa pun pada perilaku industri, namun sebagai gantinya, instrumen ekonomi
berfungsi untuk memberikan insentif yang memberikan keuntungan finansial untuk setiap
kepatuhan dan memberikan kerugian pada ketidakpatuhan.[10]
Pendekatan instrumen ekonomi berbeda dengan pendekatan command and control, dimana pemerintah yang berwenang akan
menentukan bagaimana seharusnya para pencemar berperilaku.[11]
Dalam Penjelasan PP Instrumen
Ekonomi Lingkungan menyatakan bahwa, instrumen ekonomi lingkungan penting
dikembangkan karena memperkuat sistem yang bersifat mengatur (regulatory). Pendekatan instrumen ekonomi
menekankan adanya keuntungan ekonomi bagi penanggung jawab usaha dan/ atau
Kegiatan bila menaati persyaratan lingkungan hidup karena antara lain terhindar
dari membayar pinalti atau mendapat hukuman, menghemat pengeluaran karena
menggunakan praktik efisiensi, dan mendapatkan insentif
apabila kegiatannya memberikan dampak positif pada upaya pencegahan kerusakan
dan pelestarian lingkungan hidup.[12] Oleh karena
itu, gagasan kunci dalam instrumen ekonomi di satu sisi adalah kenyataan bahwa
mereka didorong oleh insentif dan di sisi lain, bahwa memberikan
lebih banyak fleksibilitas daripada pendekatan peraturan tradisional command
and control.
Memang, orang bisa, dari perspektif
ekonomi, berpendapat bahwa semua instrumen hukum dan kebijakan dapat dianggap
sebagai ‘ekonomi’ selama mereka memberikan
insentif yang tepat kepada pencemar untuk pengurangan efisien eksternalitas
yang disebabkan oleh polusi. Oleh karena itu, pada tingkat yang penting, aturan
pertanggungjawaban juga dapat dianggap sebagai instrumen ‘ekonomi’ dalam arti bahwa
kejelian bertanggung jawab juga akan memberikan insentif kepada pencemar untuk
mencegah kerusakan lingkungan. Namun demikian, aturan tanggung jawab secara
tradisional tidak disebut dalam literatur ketika instrumen ‘ekonomi’ dibahas. Dengan konsep
ini, biasanya merujuk pada instrumen yang hanya ditentukan oleh target
lingkungan, tetapi di mana sebagian besar diserahkan kepada pencemar untuk
menemukan instrumen optimal untuk mencapai target tertentu.
Berdasarkan definisi yang luas tersebut,
maka banyak instrumen yang mungkin memenuhi syarat
sebagai “ekonomi”, dan seseorang misalnya, juga dapat berpendapat, bahwa sistem manajemen
lingkungan (EMAS) dan promosi sistem perawatan lingkungan atau audit lingkungan
juga termasuk “ekonomi”.[13] Namun penelitian ini akan ini lebih memfokuskan diri pada sektor ekonomi menurut ketentuan Pasal 42
ayat (1) UUPPLH. Lebih lanjut menurut UUPPLH maka Instrumen ekonomi
lingkungan menitikberatkan formulasi kebijakannya pada tiga hal, yaitu:
Pertama, perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; Kedua, pendanaan
lingkungan hidup; Ketiga, insentif dan/atau disinsentif.
Perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi merupakan upaya internalisasi aspek lingkungan
hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan
ekonomi.[14] Upaya ini meliputi:
a)
Neraca
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Deskripsi mengenai cadangan
dan perubahan sumber daya alam dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, baik dalam satuan fisik maupun nilai moneter.
b)
Penyusunan
produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto. Produk domestik bruto merupakan nilai produksi semua
barang dan jasa suatu negara dalam periode tertentu. Sedangkan produk domestik
regional bruto adalah nilai produksi semua barang dan jasa suatu
daerah/regional dalam periode tertentu. Upaya ini dilakukan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
c)
Kompensasi
jasa lingkungan hidup antar daerah. Mekanisme pemanfaatan jasa lingkunga dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan setiap orang kepada penyedia jsas
lingkungan.
d)
Internalisasi
biaya lingkungan hidup. Pemasukan biayan
lingkungan yang dilakukan oleh setiap orang berupa pendapatan biaya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan pada biaya suatu usaha dan/atau kegiatan.
Pendanaan
lingkungan hidup merupakan suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan
pengelolaan dana dari berbagai sumber, misalnya pungutan dan hibah yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.[15]
Penghimpunan dan pengelolaan dana meliputi:
a)
Dana
jaminan pemulihan lingkungan. Pemulihan lingkungan dilakukan
ketika terjadi pencemaran dan/ atau kerusakan pada lingkungan. Dana jaminan
dibutuhkan dalam kegiatan penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup yang
diakibatkan dampak atas aktivitas yang dilakukan suatu usaha dan/atau kegiatan
pada lingkungan.
b)
Dana
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah harus memastikan tersedianya dana penanggulangan dan
pemulihan lingkungan. Dana penanggulangan
digunakan ketika terjadi pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan yang
tidak diketahui sumber dan/ atau pelakunya.
c)
Dana
amanah/ bantuan konservasi. Dana amanah/ bantuan
konservasi berasal dari pemberi hibah dan donasi yang merupakan penanggung
jawab usaha, lembaga dan/ atau masyarakat yang berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri. Konservasi lingkungan yang
dapat dibiayai oleh dana ini meliputi konservasi sumber daya alam, pencadangan
sumber daya alam, dan pelestarian fungsi atmosfer.
Insentif dan/ atau disinsentif merupakan dua hal yang berbeda. Insentif merupakan
upaya dorongan atau daya tarik moneter dan/ atau non-moneter kepada
setiap orang maupun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak
positif terhadap cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan
hidup.[16]
Sedangkan disinsentif yaitu pengenaan beban atau ancaman secara monter dan/ atau
non-moneter kepada setiap orang dan/atau Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
agar mengurangi kegiatan berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan
kualitas fungsi lingkungan hidup.[17]
Penerapan instrumen ekonomi sebagai
Insentif dan Disinsentif ibarat koin dengan 2 (dua) sisi mata uang. Kemudahan
dan dorongan diberikan ketika terpenuhi ketaatan, dan bahkan besaran Insentif
dapat terus meningkat sejalan dengan semakin membaiknya kinerja. Sebaliknya,
beban dan tambahan kewajiban ditimpakan saat kinerja terus turun dan bahkan
terindikasi tidak taat.
Menurut Wahyu Yun Santosa, terdapat
empat hal utama menyangkut fungsi instrumen ekonomi dalam pengelolaan
lingkungan, yakni:[18]
a)
Menginternalisasikan
eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar melalui mekanisme
full cost pricing atau mekanisme
pembayaran penuh, di mana biaya subsidi, biaya lingkungan dan biaya
eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini bahwa
seseorang hanya akan rasional, baik dalam membeli, maupun menggunakan jika
semua informasi tersedia dengan sempurna.
Harga yang memperhitungkan biaya sosial/ lingkungan akan
menjadikan pilihan yang rasional sehingga konsumsi/ eksploitasi lebih efisien.
b)
Mampu
mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika dilakukan secara
tepat, menjadikan pembangunan ekonomi sebagai wahana untuk perlindungan
lingkungan dan sebaliknya. Dengan memfungsikan instrumen ekonomi dalam
pengelolaan lingkungan hidup, maka akan muncul keselarasan dalam pembangunan.
Di satu sisi, pembangunan ekonomi tidak akan mengurangi eksploitasi secara
berlebihan. Di sisi lain, daya dukung lingkungan akan semakin kuat dan lestari,
sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan lebih mudah dicapai.
c)
Instrumen
ekonomi berfungsi untuk meningkatkan dan menstimulasi efisiensi dalam
penggunaan barang dan jasa dari sumber daya alam, sehingga tidak menimbulkan overconsumption. Secara konseptual, hal
tersebut bisa terjadi karena pasar melalui instrumen ekonominya akan memberikan
sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien. Instrumen ekonomi
akan memberikan pertanda kepada pelaku ekonomi agar selalu memperhatikan
perilaku yang menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sehingga,
kegiatan ekonomi yang berjalan selalu dalam koridor terarah pada tercapainya
efisiensi, dan bahkan memperbaiki kondisi yang ada menjadi lebih baik. Dalam
hal ini, harga/biaya barang dan jasa lingkungan yang selanjutnya lebih tinggi
akan mendorong pengguna/ pembeli
untuk membatasi konsumsi.
d)
Instrumen
ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue generating). Instrumen ekonomi dapat menghasilkan pemasukan
dana dalam jumlah besar dari penerimaan pajak atau retribusi. Pihak yang akan
memperoleh penerimaan tersebut, bisa pemerintah (pusat maupun daerah), unit
pengelola/penyedia jasa lingkungan atau kelompok masyarakat yang diberikan
kewenangan untuk mengumpulkan penerimaan tersebut. Penerimaan tersebut dapat
digunakan untuk diinvestasikan kembali dalam kegiatan pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup. Juga untuk dukungan lebih lanjut terhadap langkah-langkah
praktis menuju kondisi lingkungan yang
lebih baik, misalnya dengan mengadopsi teknologi yang ramah lingkungan dan
lebih efisien.
Keempat fungsi dari penerapan
instrumen ekonomi tersebut, yang semestinya dapat menjadi aras pertimbangan
bagi pembuat kebijakan (policy-makers) dalam pemilihan dan penerapan
suatu instrumen ekonomi. Dari konsep dasarnya, instrumen ekonomi merupakan satu
dari sekian pilihan kebijakan yang dapat diterapkan dalam penanganan
permasalahan lingkungan. Pilihan kebijakan ini dibagi dalam dua kategori, yaitu
melalui command and control mechanism
(CACs) serta market-based economic
instruments (EI). Instrumen ekonomi mencakup pajak lingkungan (pollution taxes), izin yang dapat
diperdagangkan (marketable permits),
sistem deposit dan penggantian (deposit-refund
systems), serta dana jaminan (performance
bonds).
Penerapan
instrumen ekonomi dibutuhkan karena sebagian besar modal alam dan lingkungan
hidup, yaitu diantaranya ekosistem dan keanekaragaman hayati, adalah sumber
daya milik bersama atau barang publik. Barang publik memiliki karakteristik
akses terbuka, seringkali tidak mempunyai pasar formal, dan secara umum
dihargai rendah (undervalue).
Instrumen ekonomi melalui perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi
diantaranya mengutamakan pendekatan valuasi yang telah memasukkan manfaat
ekosistem yang non market sebagai nilai yang harus diperhitungkan secara riil.
Dalam praktiknya, pendekatan seperti ini akan memudahkan penghargaan atas
jasa-jasa lingkungan hidup oleh para penggunanya dan terdorong keinginan untuk
menjaga keberlanjutannya.
[3] Andri G. Wibisana, Instrumen Ekonomi
atau Privatisasi Pengelolaan Lingkungan? Komentar Atas RUU Jasa Lingkungan,
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No.4 Oktober-Desember 2008
[4] Michael Faure, 1996, “Economic Aspects
of Environmental Liability : an Introduction”, European Review of Private
Law, pp. 85-109.
[14]
Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[15]
Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[16]
Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf (c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[17]
Ibid
No comments:
Post a Comment