Tuesday, 4 February 2020

Instrumen Ekonomi Dalam Penaatan Hukum Lingkungan

Penggunaan instrumen kebijakan ekonomi untuk melindungi lingkungan telah dibahas selama dua dekade terakhir karena masyarakat internasional membahas fakta bahwa banyak peraturan lingkungan belum menghasilkan perilaku, teknologi, atau produk yang lebih ramah lingkungan. Ditentang bahwa mekanisme saat ini telah gagal memberikan insentif ekonomi yang memadai untuk membatasi kegiatan yang merusak lingkungan dan gagal mencapai tujuan lingkungannya.
Penggunaan instrumen ekonomi didasarkan pada keyakinan bahwa pasar dapat digunakan untuk memberikan insentif untuk membimbing perilaku manusia:
Jika sumber daya lingkungan dinilai dengan benar, biaya penggunaan lingkungan akan diambil
sepenuhnya diperhitungkan dalam pengambilan keputusan ekonomi swasta. Ini menyiratkan bahwa sumber daya lingkungan digunakan dalam jumlah 'berkelanjutan', asalkan harganya didasarkan pada kelangkaannya dan menempatkan nilai yang sesuai pada sumber daya yang tidak terbarukan. Instrumen ekonomi dimaksudkan untuk mengoreksi harga pasar saat ini dengan menginternalisasi biaya lingkungan yang diperlakukan oleh mekanisme pasar sebagai eksternal.
Instrumen ekonomi ‘memengaruhi melalui mekanisme pasar, biaya dan manfaat dari tindakan alternatif terbuka bagi agen ekonomi, dengan efek memengaruhi perilaku dengan cara yang menguntungkan bagi lingkungan.
Penggunaan instrumen ekonomi di tingkat internasional untuk menambah, atau menggantikan, pendekatan pengaturan langsung untuk perlindungan lingkungan didukung, setidaknya secara prinsip, oleh semakin banyak negara. Aplikasi praktis tetap terbatas. Sejauh instrumen ekonomi didefinisikan dengan mengacu pada upaya mereka untuk menggunakan pasar untuk menginternalisasi biaya lingkungan, prinsip pencemar membayar pertama kali dikembangkan oleh OECD dan Uni Eropa pada awal 1970-an dapat dilihat sebagai pendahulu untuk diskusi dan proposal yang lebih baru. Referensi eksplisit dalam tindakan internasional untuk 'instrumen ekonomi' adalah fenomena yang relatif baru. Pada bulan Mei 1990, Deklarasi Tingkat Menteri UNECE Bergen menyatakan bahwa untuk mendukung pembangunan berkelanjutan perlu ‘menggunakan lebih banyak instrumen ekonomi secara bersamaan. . . pendekatan pengaturan. 
Pada November 1990, Deklarasi Menteri Konferensi Iklim Dunia Kedua telah menemukan dukungan untuk bahasa yang serupa di tingkat global.
Dukungan untuk penggunaan instrumen ekonomi juga dapat ditemukan dalam deklarasi regional dan global lainnya seperti Deklarasi Rio. Agenda 21 sering merujuk pada kebutuhan untuk mengembangkan instrumen ekonomi. Dukungan untuk penggunaan instrumen ekonomi juga tercermin dalam instrumen dan perjanjian hukum lunak. Contohnya termasuk Konvensi Perubahan Iklim 1992, yang mengharuskan negara-negara maju untuk mengoordinasikan instrumen ekonomi yang relevan, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992, yang, meskipun tidak secara khusus menyebutkan instrumen ekonomi, menyerukan kepada para pihak untuk 'mengadopsi langkah-langkah yang sehat secara ekonomi dan sosial. yang bertindak sebagai insentif untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan komponen keanekaragaman hayati'.


Para ekonom beberapa dekade ini telah menaruh perhatian pada upaya bagaimana pencemaran lingkungan dapat diselesaikan melalui perspektif ekonomi.[1] Ide-ide ini sekarang disebut dalam literatur sebagai penggunaan apa yang disebut instrumen ekonomi, kadang-kadang juga disebut sebagai instrumen berbasis pasar. Instrumen ekonomi adalah instrumen peraturan yang relatif baru, yang tujuannya adalah untuk memberikan insentif bagi industri untuk mematuhi.[2]
Dalam pandangan ekonom, pencemaran merupakan bentuk dari kegagalan pasar (market failures) yang memungkinkan adanya intervensi negara ke dalam kegiatan-kegiatan ekonomi (pasar). Sehingga tujuan utama dari instrumen ekonomi adalah suatu internalisasi eksternalitas.[3] Karenanya, tujuan ekonomi dari hukum lingkungan seharusnya mengarah pada internalisasi eksternalitas yang memaksa calon pencemar untuk memperhitungkan biaya pencemaran yang akan ditimbulkan dalam pengambilan keputusannya.[4]
Penggunaan instrumen ekonomi juga erat kaitannya dengan apa yang disebut sebagai prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle).[5] Penggunaan instrumen ekonomi dalam upaya pengelolaan lingkungan tertuang dalam Prinsip 16 Deklarasi Rio, yaitu : “National authorities should endeavour to promote the internalization of environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting international trade and investment”.[6]
Prinsip 16 mengamanatkan, bahwa pemerintah harus berusaha untuk mempromosikan upaya internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan pendekatan bahwa pencemar pada prinsipnya harus menanggung biaya polusi. Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa instrumen ekonomi merupakan kebijakan yang selaras dengan prinsip pencemar membayar (polluters pays principle), dalam rangka menghadapi eksternalitas melalui internalisasi biaya lingkungan yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan. Dengan kata lain, penggunaan instrumen ekonomi, atau disebut juga pendekatan berbasis mekanisme pasar (market-based approach), erat kaitannya dengan apa yang disebut sebagai prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle).[7]
UUPPLH telah mengamanatkan untuk mengembangkan instrumen ekonomi lingkungan sebagai salah satu instrumen pencegahan terhadap pencemaran dan/ kerusakan lingkungan hidup. Penerapan instrumen ekonomi diharapkan dapat menjadi sarana pengelolaan lingkungan hidup yang mengarah pada keberlanjutan dan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. UUPPLH mendefenisikan instrumen ekonomi lingkungan hidup, yaitu seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.[8]
Oates mendefinisikan insentif ekonomi sebagai suatu sistem di mana pemerintah menciptakan bujukan ekonomi untuk mengurangi kegiatan yang menimbulkan pencemaran, tetapi memberikan kebebasan kepada pencemar (usaha/ kegiatan) untuk menentukan reaksi atau tanggapan mereka terhadap insentif yang diberikan.[9] Menurut konsep instrumen ekonomi, maka otoritas tidak memberlakukan batasan hukum apa pun pada perilaku industri, namun sebagai gantinya, instrumen ekonomi berfungsi untuk memberikan insentif yang memberikan keuntungan finansial untuk setiap kepatuhan dan memberikan kerugian pada ketidakpatuhan.[10] Pendekatan instrumen ekonomi berbeda dengan pendekatan command and control, dimana pemerintah yang berwenang akan menentukan bagaimana seharusnya para pencemar berperilaku.[11]
Dalam Penjelasan PP Instrumen Ekonomi Lingkungan menyatakan bahwa, instrumen ekonomi lingkungan penting dikembangkan karena memperkuat sistem yang bersifat mengatur (regulatory). Pendekatan instrumen ekonomi menekankan adanya keuntungan ekonomi bagi penanggung jawab usaha dan/ atau Kegiatan bila menaati persyaratan lingkungan hidup karena antara lain terhindar dari membayar pinalti atau mendapat hukuman, menghemat pengeluaran karena menggunakan praktik efisiensi, dan mendapatkan insentif apabila kegiatannya memberikan dampak positif pada upaya pencegahan kerusakan dan pelestarian lingkungan hidup.[12] Oleh karena itu, gagasan kunci dalam instrumen ekonomi di satu sisi adalah kenyataan bahwa mereka didorong oleh insentif dan di sisi lain, bahwa memberikan lebih banyak fleksibilitas daripada pendekatan peraturan tradisional command and control.
Memang, orang bisa, dari perspektif ekonomi, berpendapat bahwa semua instrumen hukum dan kebijakan dapat dianggap sebagai ekonomi selama mereka memberikan insentif yang tepat kepada pencemar untuk pengurangan efisien eksternalitas yang disebabkan oleh polusi. Oleh karena itu, pada tingkat yang penting, aturan pertanggungjawaban juga dapat dianggap sebagai instrumen ekonomi dalam arti bahwa kejelian bertanggung jawab juga akan memberikan insentif kepada pencemar untuk mencegah kerusakan lingkungan. Namun demikian, aturan tanggung jawab secara tradisional tidak disebut dalam literatur ketika instrumen ekonomi dibahas. Dengan konsep ini, biasanya merujuk pada instrumen yang hanya ditentukan oleh target lingkungan, tetapi di mana sebagian besar diserahkan kepada pencemar untuk menemukan instrumen optimal untuk mencapai target tertentu.
Berdasarkan definisi yang luas tersebut, maka banyak instrumen yang mungkin memenuhi syarat sebagai ekonomi”, dan seseorang misalnya, juga dapat berpendapat, bahwa sistem manajemen lingkungan (EMAS) dan promosi sistem perawatan lingkungan atau audit lingkungan juga termasuk “ekonomi.[13] Namun penelitian ini akan ini lebih memfokuskan diri pada sektor ekonomi menurut ketentuan Pasal 42 ayat (1) UUPPLH. Lebih lanjut menurut UUPPLH maka Instrumen ekonomi lingkungan menitikberatkan formulasi kebijakannya pada tiga hal, yaitu: Pertama, perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; Kedua, pendanaan lingkungan hidup; Ketiga, insentif dan/atau disinsentif.
Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi merupakan upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi.[14] Upaya ini meliputi:
a)                 Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup. Deskripsi mengenai cadangan dan perubahan sumber daya alam dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik dalam satuan fisik maupun nilai moneter.
b)                Penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto. Produk domestik bruto merupakan nilai produksi semua barang dan jasa suatu negara dalam periode tertentu. Sedangkan produk domestik regional bruto adalah nilai produksi semua barang dan jasa suatu daerah/regional dalam periode tertentu. Upaya ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
c)                 Kompensasi jasa lingkungan hidup antar daerah. Mekanisme pemanfaatan jasa lingkunga dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan setiap orang kepada penyedia jsas lingkungan.
d)                Internalisasi biaya lingkungan hidup. Pemasukan biayan lingkungan yang dilakukan oleh setiap orang berupa pendapatan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan pada biaya suatu usaha dan/atau kegiatan.
Pendanaan lingkungan hidup merupakan suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana dari berbagai sumber, misalnya pungutan dan hibah yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.[15] Penghimpunan dan pengelolaan dana meliputi:
a)            Dana jaminan pemulihan lingkungan. Pemulihan lingkungan dilakukan ketika terjadi pencemaran dan/ atau kerusakan pada lingkungan. Dana jaminan dibutuhkan dalam kegiatan penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup yang diakibatkan dampak atas aktivitas yang dilakukan suatu usaha dan/atau kegiatan pada lingkungan.
b)           Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus memastikan tersedianya dana penanggulangan dan pemulihan lingkungan. Dana penanggulangan  digunakan ketika terjadi pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan yang tidak diketahui sumber dan/ atau pelakunya.
c)            Dana amanah/ bantuan konservasi. Dana amanah/ bantuan konservasi berasal dari pemberi hibah dan donasi yang merupakan penanggung jawab usaha, lembaga dan/ atau masyarakat yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.  Konservasi lingkungan yang dapat dibiayai oleh dana ini meliputi konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan pelestarian fungsi atmosfer.
Insentif dan/ atau disinsentif merupakan dua hal yang berbeda. Insentif merupakan upaya dorongan atau daya tarik moneter dan/ atau non-moneter kepada setiap orang maupun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif terhadap cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup.[16] Sedangkan disinsentif yaitu pengenaan beban atau ancaman secara monter dan/ atau non-moneter kepada setiap orang dan/atau Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar mengurangi kegiatan berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup.[17]
Penerapan instrumen ekonomi sebagai Insentif dan Disinsentif ibarat koin dengan 2 (dua) sisi mata uang. Kemudahan dan dorongan diberikan ketika terpenuhi ketaatan, dan bahkan besaran Insentif dapat terus meningkat sejalan dengan semakin membaiknya kinerja. Sebaliknya, beban dan tambahan kewajiban ditimpakan saat kinerja terus turun dan bahkan terindikasi tidak taat.
Menurut Wahyu Yun Santosa, terdapat empat hal utama menyangkut fungsi instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yakni:[18]
a)                 Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar melalui mekanisme full cost pricing atau mekanisme pembayaran penuh, di mana biaya subsidi, biaya lingkungan dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini bahwa seseorang hanya akan rasional, baik dalam membeli, maupun menggunakan jika semua informasi tersedia dengan sempurna. Harga yang memperhitungkan biaya sosial/ lingkungan akan menjadikan pilihan yang rasional sehingga konsumsi/ eksploitasi lebih efisien.
b)                Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika dilakukan secara tepat, menjadikan pembangunan ekonomi sebagai wahana untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya. Dengan memfungsikan instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup, maka akan muncul keselarasan dalam pembangunan. Di satu sisi, pembangunan ekonomi tidak akan mengurangi eksploitasi secara berlebihan. Di sisi lain, daya dukung lingkungan akan semakin kuat dan lestari, sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan lebih mudah dicapai.
c)                 Instrumen ekonomi berfungsi untuk meningkatkan dan menstimulasi efisiensi dalam penggunaan barang dan jasa dari sumber daya alam, sehingga tidak menimbulkan overconsumption. Secara konseptual, hal tersebut bisa terjadi karena pasar melalui instrumen ekonominya akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien. Instrumen ekonomi akan memberikan pertanda kepada pelaku ekonomi agar selalu memperhatikan perilaku yang menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sehingga, kegiatan ekonomi yang berjalan selalu dalam koridor terarah pada tercapainya efisiensi, dan bahkan memperbaiki kondisi yang ada menjadi lebih baik. Dalam hal ini, harga/biaya barang dan jasa lingkungan yang selanjutnya lebih tinggi akan mendorong pengguna/ pembeli untuk membatasi konsumsi.
d)                Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue generating). Instrumen ekonomi dapat menghasilkan pemasukan dana dalam jumlah besar dari penerimaan pajak atau retribusi. Pihak yang akan memperoleh penerimaan tersebut, bisa pemerintah (pusat maupun daerah), unit pengelola/penyedia jasa lingkungan atau kelompok masyarakat yang diberikan kewenangan untuk mengumpulkan penerimaan tersebut. Penerimaan tersebut dapat digunakan untuk diinvestasikan kembali dalam kegiatan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Juga untuk dukungan lebih lanjut terhadap langkah-langkah praktis menuju kondisi lingkungan yang lebih baik, misalnya dengan mengadopsi teknologi yang ramah lingkungan dan lebih efisien.
Keempat fungsi dari penerapan instrumen ekonomi tersebut, yang semestinya dapat menjadi aras pertimbangan bagi pembuat kebijakan (policy-makers) dalam pemilihan dan penerapan suatu instrumen ekonomi. Dari konsep dasarnya, instrumen ekonomi merupakan satu dari sekian pilihan kebijakan yang dapat diterapkan dalam penanganan permasalahan lingkungan. Pilihan kebijakan ini dibagi dalam dua kategori, yaitu melalui command and control mechanism (CACs) serta market-based economic instruments (EI). Instrumen ekonomi mencakup pajak lingkungan (pollution taxes), izin yang dapat diperdagangkan (marketable permits), sistem deposit dan penggantian (deposit-refund systems), serta dana jaminan (performance bonds).
Penerapan instrumen ekonomi dibutuhkan karena sebagian besar modal alam dan lingkungan hidup, yaitu diantaranya ekosistem dan keanekaragaman hayati, adalah sumber daya milik bersama atau barang publik. Barang publik memiliki karakteristik akses terbuka, seringkali tidak mempunyai pasar formal, dan secara umum dihargai rendah (undervalue). Instrumen ekonomi melalui perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi diantaranya mengutamakan pendekatan valuasi yang telah memasukkan manfaat ekosistem yang non market sebagai nilai yang harus diperhitungkan secara riil. Dalam praktiknya, pendekatan seperti ini akan memudahkan penghargaan atas jasa-jasa lingkungan hidup oleh para penggunanya dan terdorong keinginan untuk menjaga keberlanjutannya.


[1] Ibid, hlm.218
[2] Elli Louka, Op. Cit., hlm.25
[3] Andri G. Wibisana, Instrumen Ekonomi atau Privatisasi Pengelolaan Lingkungan? Komentar Atas RUU Jasa Lingkungan, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No.4 Oktober-Desember 2008
[4] Michael Faure, 1996, “Economic Aspects of Environmental Liability : an Introduction”, European Review of Private Law, pp. 85-109.
[5] Andri G. Wibisana, Op. Cit.
[6] Prinsip 16 Deklarasi Rio De Janiero 1992
[7] Andri G. Wibisana, Op. Cit.
[8] Pasal 1 angka (33) UUPPLH
[9] Michael G. Faure, Nicole Niessen, Op. Cit., hlm.220
[10] Ibid, hlm.221
[11] Ibid, hlm.220
[12] Penjelasan PP No.46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
[13] Michael G. Faure, Nicole Niessen, Op. Cit., hlm.219
[14] Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[15] Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[16] Penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf (c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[17] Ibid
[18] Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op.Cit., hlm 178

No comments:

Post a Comment