Friday, 7 February 2020

Mencegah Timbulnya ‘Gunungan’ Sampah

Latar belakang ; permasalahan sampah dan kebijakan sampah yang tidak efektif
Pendekatan ‘kumpul-angkut-buang’ yang diterapkan selama ini di Indonesia, telah mengakibatkan seluruh sampah terpusat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. 
Ironisnya, TPAS yang sejatinya menjadi lokasi pengolahan sampah akhir secara berwawasan lingkungan, pelaksanaannya saat ini masih jauh panggang dari api. Hampir semua TPAS yang terdapat di Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia, lebih layak disebut sebagai tempat penimbunan akhir sampah (TPA, Red) daripada tempat pengolahan sampah akhir sampah (TPAS). 
Akibatnya sampah semakin menumpuk di TPAS, bahkan menggunung. 


Timbulah berbagai dampak negatif terhadap lingkungan hidup, baik berupa bau tidak sedap, pencemaran tanah oleh limbah cair sampah akibat air lindi, dan menimbulkan emisi gas rumah kaca berupa gas Metana dari timbunan sampah organik, serta sumber penyebaran penyakit. Bahkan, sampai mengakibatkan kerusuhan sosial yang menimbulkan korban jiwa, seperti yang pernah terjadi di Bojong Jawa Barat. 

Pendekatan tersebut terbukti mengakibatkan biaya yang luar biasa jumlahnya. Jakarta misalnya, pada tahun 2016 volume sampah mencapai 7.000 ton sampah per/hari, maka Pemprov DKI mengalokasikan anggaran mencapai Rp 1,95 miliar per/ hari. Jika setahun, maka total alokasi anggaran sebesar diperkirakan mencapai Rp 702 miliar. (“Hemat Rp 486 Miliar, Sampah di DKI Akan Dihancurkan di Level Kelurahan”)
Kesimpulannya adalah, sampah menjadi sulit diatasi. 

Benarlah apa yang dikatakan Emil Salim, bahwa sampah itu ibarat api, semakin besar volumenya maka akan semakin sulit untuk mengendalikannya. Maka, semakin besar sampah yang masuk ke TPA maka semakin besar biaya untuk mengatasinya. 

Oleh karena itu, pengurangan dan penanganan untuk menurunkan volume sampah yang menuju ke TPAS harus direalisasikan. Sehingga sampah tidak menggunung. 

Inilah biang keladi permasalahan sampah di Indonesia. 

Paradigma Baru pengelolaan sampah melalui UUPS
Kehadiran UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) merupakan angin segar bagi upaya penanggulangan permasalahan sampah. 
UUPS telah mengamanatkan pendekatan dari hulu ke hilir dalam pengelolaan sampah. Pendekatan ini mengganti pendekatan “kumpul-angkut-buang”.

Pendekatan tersebut dilaksanakan secara komprehensif dari hulu, sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, lalu sampai ke hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman di TPAS (Tempat Pemrosesan Akhir Sampah). 

Sayangnya, saat ini Pemerintah masih cenderung menyelesaikan persoalan sampah di Hilir melalui proyek pembangunan TPAS di seluruh Kabupaten/ kota. 
Pembangunan TPAS berwawasan lingkungan seolah menjadi solusi utama untuk mengatasi sampah. Padahal, pembangunan TPAS memerlukan dana yang tidak sedikit. Pembangunan Bantar Gebang misalnya, membutuhkan biaya hampir 1 triliun. Setara APBD suatu kabupaten selama setahun.

Kasus terakhir, pemerintah dan pemerintah daerah terkesan “ngotot” tetap melaksanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Padahal Mahkamah Agung telah membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) No 18/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PLTSa. Perppres tersebut merupakan landasan hukum megaproyek pengelolaan sampah sekaligus pembangunan ketenagalistrikan di sejumlah kota yang ada di Indonesia. Namun pemerintah daerah, seperti pemerintah kota Tanggerang, tetap bersikukuh melanjutkan proyek PLTSa tersebut. (Republika, 27/12/2016, Proses Pembangunan PLTSa Terus Dimatangkan)

Terlebih, menurut data BPS (1999) kemampuan pemerintah untuk mengangkut sampah di perkotaan nasional hanya mencapai 11,25%. Sementara sisanya 63,35 % sampah ditimbun atau dibakar, 6,35 % sampah dibuat kompos, dan 19,05% sampah dibuang ke kali atau sembarangan. 
Sebagai ibukota negara, maka layaklah apabila Kota Jakarta menjadi tolak ukur dalam pengelolaan sampah nasional.
Pemda Jakarta harus menyewa kendaraan pengangkut sampah kepada pihak swasta. Pada pertengahan Juli 2015 lalu, Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara menegasikan proyek pembelian truck angkut secara keseluruhan pada tahun 2016, sebagai salah satu upaya untuk menghemat anggaran belanja pengelolaan sampah.
Oleh karena itu, pada dasarnya pembangunan TPAS bukanlah sebuah solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan sampah.

Pemerintah ini masih enggan meningkatkan peran serta masyarakat di hulu. 
Apabila peran serta masyarakat terlaksana, bukan tidak mungkin, apabila volume sampah yang menuju ke TPAS menjadi semakin berkurang. 
Misalnya pengelolaan sampah di Dusun Sukunan Yogyakarta, mampu mengelola sampah hingga 90%. Sehingga hanya 10% sampah yang menuju ke TPAS Piyungan.

Peran serta masyarakat adalah sumber energi bagi pemerintah. 
Masyarakat adalah penghasil sampah, karena itu layak dibebankan tanggung jawab dan partisipasi dalam pengelolaan sampah.
Peran serta oleh masyarakat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan pengurangan dan penanganan sampah, misalnya melalui pemilahan, pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang sampah sebagaimana telah secara implisit tersirat di dalam UUPS.

Pemilahan sampah dapat menjadi langkah awal untuk kebijakan pengelolaan sampah berbasis peran serta maasyarakat. 
Pemilahan sampah adalah suatu kewajiban, yang telah lama ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). 
Pemilahan sampah adalah hak setiap orang dalam rangka peran serta mewujudkan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, dan sekaligus menjadi suatu kewajiban, akibat konsekuensi logis penghasil sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga. 

Masyarakat juga harus ditingkatkan kesadaran pengelolaan sampahnya.
Masyarakat harus sadar pula, bahwa upaya pembuangan sampah pada tempatnya yang dilaksanakan selama ini, hanyalah memindahkan masalah sampah dari penghasil sampah, dikumpulkan, lalu menggunung di tempat pembuangan akhir sampah.
Sehingga masyarakat mau untuk mengurangi volume timbulan sampah yang dihasilkan, melalui upaya penanganan dan pengurangan sampah.

Pelaksanaan tersebut juga mencerminkan keadilan secara distributif. Suatu kewajaran, apabila mereka yang menghasilkan sampah lebih banyak menanggung kewajiban yang lebih berat dalam pemilahan sampah daripada yang menghasilkan lebih sedikit sampah. Secara umum, semakin tinggi komsumsi barang atau jasa maka semakin besar potensinya untuk menghasilkan lebih banyak sampah. Oleh karena itu, subsidi pengelolaan sampah selama ini cenderung dinikmati oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. 
Tanpa adanya pemilahan sampah, maka berbagai upaya pengolahan seperti daur ulang, penggunaan kembali, dan pemanfaatan kembali sampah yang dihasilkan sulit untuk diwujudkan, baik secara mandiri oleh masyarakat, komunitas, maupun skala besar di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS). Seandainya dapat dilaksanakan pun, terbukti pada tahap membutuhkan biaya operasional untuk transportasi dan pemilahan sampah di TPAS menjadi besar.
Realisasi kewajiban pemilahan sampah, tentu dapat menimbulkan suatu rangsangan bagi masyarakat atau sumber sampah, untuk meminimalisir timbulnya sampah yang dihasilkannya. Pemerintah dapat pula menggalakkan pengomposan. Pelaksanaan pengomposan tentu dapat meminimalisir sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. Mengingat volume sampah organik umumnya mencapai 70% dari sampah rumah tangga.
Lebih lanjut kemudian, masyarakat tentu enggan membeli produk yang menghasilkan lebih banyak sampah. Akibatnya, para produsen barang atau jasa, selaku penghasil sampah, akan turut meminimalisir penggunaan kemasan atau potensi timbulnya sampah yang dihasilkan dari produknya. Dampak komulatifnya adalah meminimalisir timbulan volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. 
Pelaksanaan pemilahan yang baik tersebut secara tidak langsung mengakibatkan penghematan terhadap biaya transportasi sampah. Sebab, volume timbulan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat menjadi berkurang. 
Selaras dengan hal tersebut, sampah yang akan diolah lebih lanjut pada TPAS menjadi berkurang. Akibatnya, operasional TPAS juga turut berkurang. 
Alangkah baiknya apabila pemerintah menjadi teladan. Memulai merealisasikan pemilahan sampah di seluruh kantor-kantor instansi pemerintahan terlebih dahulu. 

Setelah langkah tersebut terealisasi, barulah pemerintah bersama-sama kalangan dunia usaha/ swasta untuk menggalakkan kegiatan pemilahan sampah. Sehingga masyarakat dapat turut serta melaksanakan pemilahan secara optimal. 

Lagipula, menurut Pasal 13 UUPS, telah mewajibkan kepada pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya untuk menyediakan fasilitas pemilahan sampah. Pemilahan adalah hal utama dan realistis untuk dilaksanakan oleh seluruh stakeholders.

Semuanya dapat diwujudkan tanpa proyek ratusan miliar. Kuncinya adalah kesadaran masyarakat dan dunia usaha serta diiringi kerja keras dan kreativitas kebijakan pemerintah. 

No comments:

Post a Comment