PENAATAN HUKUM DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP DELH DAN DPLH (ANALISIS YURIDIS SK MENLHK SE.7/ 2016 DAN SK MENLHK S.541/ 2016)*
Faisol Rahman S.H.M.H
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Yustisia No. 1, Bulaksumur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
Abstract
Based on research outcome, discussion of juridical analysis of Decree of Environment Ministry SK MENLHK SE.7/2016 and SK MENLHK S.541/2016 which indentified from legal considerations, legal consequent also legal resistence. Legal considerations, known that legal administration of environment permissions nor other documents of environment are weak, so Ministry of Environment and Forestry published that decree. Legal Consequent are arise to individual and legal entity is receive a threat or sanction of administration and criminal. While for government and local government there are not have a legal consequances. There are not disagreement or denial in this decree because of the instruction contained a mandate which have been arranged in Act No. 32/2009 of Protection and Management of Environmental.
Keywords: Environmental Document; DELH; DPLH; Environmental Permitt.
Intisari
Penelitian dengan judul “Penaatan Hukum Dokumen Lingkungan Hidup DELH dan DPLH (Analisis Yuridis SKMENLHK SE.7/2016 dan SKMENLHK S.541/2016)” merupakan penelitian normatif, dengan pengumpulan data kepustakaan yang akan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, pertimbangan hukum penerbitan SKMENLHK SE.7/2016 dan SKMENLHK S.541/2016 sebagai langkah “pemutihan” lanjutan, dalam rangka mewujudkan penaatan hukum dokumen lingkungan hidup dan/ atau izin lingkungan. Akibat hukum terhadap institusi pemerintahan, di pusat dan di daerah tidak ada. Sedangkan terhadap orang perseorangan dan badan usaha berupa sanksi administratif serta sanksi pidana. Tidak terdapat penolakan, karena substansi perintah yang terkandung merupakan pelaksanaan amanat dari UUPPLH.
Kata Kunci: Dokumen Lingkungan Hidup, DELH, DPLH, Izin Lingkungan.
A. Latar Belakang Masalah
Sudah 35 tahun lamanya, sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1982) diterbitkan. Sejak itulah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) menjadi instrumen wajib bagi suatu usaha dan/ atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
Saat ini, pengaturan tentang dokumen lingkungan, seperti Amdal atau UKL-UPL telah terintegrasi dengan sistem perizinan lingkungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Mungkin telah ribuan dokumen dibuat. Ironisnya, disinyalir masih banyak proyek tidak dilengkapi Amdal atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL). Hal ini tidak lepas dari orientasi pemerintah yang memacu pendapatan, atau memandang kelayakan lingkungan sebagai penghambat perizinan.
Terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang sudah berjalan atau telah memiliki izin usaha, namun belum memiliki dokumen lingkungan Amdal, menurut Pasal 121 UUPPLH diwajibkan menyelesaikan audit lingkungan hidup, yang hasilnya berupa Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH). Sedangkan bagi usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH). Penyusunan DELH dan DPLH dilaksanakan paling lama dua tahun sejak UUPPLH diundangkan, yakni tanggal 3 Oktober 2009. Dengan kata lain, jangka waktu penyusunan DELH dan DPLH adalah tanggal 3 Oktober tahun 2011.
Kenyataanya upaya “pemutihan” bagi usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan tampaknya tidak berhasil terlaksana. Masih mudah dijumpai kegiatan dan/ atau usaha yang masih mengabaikan keberadaan dokumen lingkungan hidup, seperti Amdal atau UKL-UPL. Contoh kasusnya yaitu, belum selesainya Amdal pembangunan Bandara Kulon Progo di Daerah Istimewa Yogyakarta, saat diresmikan Presiden Joko Widodo di awal tahun 2017 . Padahal, menurut Koesnadi Hardjasoemantri, berdasarkan Amdal dapat diketahui secara lebih terinci dampak negatif dan positif yang akan timbul dari usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positifnya.
Indikasinya terlihat dari terbitnya Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.7/ MENLHK/ SETJEN/ PLA.4/ 12/ 2016 tentang Kewajiban Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Perseorangan atau Badan Usaha Yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/ atau Kegiatan (SK MENLHK SE.7/ 2016). Serta Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.541/ MENLHK/ SETJEN/ PLA.4/ 12/ 2016 Perihal Penyelesaian Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Kegiatan Yang Telah Berjalan (SK MENLHK S.541/ 2016), kepada Para Menteri Kabinet, Panglima TNI, Kepala Lembaga Negara, Para Gubernur, Bupati, Walikota di Seluruh Indonesia, yang berisi arahan Penyusunan DELH dan DPLH bagi kegiatan yang memiliki izin usaha, namun belum memiliki izin lingkungan atau dokumen lingkungan pada tanggal 28 Desember Tahun 2016.
Kompleksitas penaatan hukum dokumen lingkungan dan izin lingkungan serta kebijakan KLHK untuk menerbitkan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 tentang arahan penyusunan DELH dan DPLH tentu menarik untuk dikaji lebih mendalam. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum diterbitkannya SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 ?
2. Bagaimanakah akibat hukum bagi instansi pemerintah, perseorangan dan badan usaha yang tidak melaksanakan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016?
3. Apakah terdapat penolakan terhadap SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016?
B. Metode Penelitian
Penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan melakukan penelitian terhadap aspek-aspek terkait serta ketentuan PUU serta tulisan-tulisan para ahli hukum, yang terkait dokumen lingkungan hidup DELH atau DPLH. Hasilnya kemudian diidentifikasi untuk dianalisis secara komprehensif sehingga diketahui urgensi dan implikasi SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016. Sehingga dapat dikategorikan penulisan hukum ini ialah termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Penerbitan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016
Pada tanggal 28 Desember 2016 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan SK MENLHK SE.7/ 2016 serta SK MENLHK S.541/ 2016. Adapun yang menjadi latar belakang yuridis memiliki kesamaan, yakni ketentuan yang diatur dalam :
a) Pasal 22 Ayat (1) UUPPLH, “Setiap usaha dan/ atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.” serta Pasal 34 Ayat (1) UUPPLH, “Setiap usaha dan/ atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.”
b) Pasal 36 Ayat (1) UUPPLH, “Setiap usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.”
Pada dasarnya, ketentuan tersebut mengatur kewajiban izin lingkungan dan dokumen lingkungan hidup, seperti Amdal dan UKL-UPL bagi suatu usaha dan/ atau kegiatan. Berdasarkan ketentuan tersebut, penerbitan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 adalah upaya mewujudkan penaatan hukum bagi usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki dokumen lingkungan berupa Amdal dan UKL-UPL dan izin lingkungan. Lebih lanjut dalam pertimbangan SK MENLHK S.541/ 2016, yang berbunyi :
“Dalam pelaksanaan kewajiban setiap usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan, ternyata masih banyak kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang telah berjalan namun masih belum memiliki dokumen lingkungan hidup. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan adanya perintah pemenuhan kewajiban untuk setiap kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang telah berjalan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan untuk segera melengkapi dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan.”
Senada dengan ketentuan tersebut diatas, pada Pertimbangannya, SK MENLHK SE.7/ 2016, juga berbunyi :
“...ternyata masih banyak “Orang Perseorangan” atau “Badan Usaha” yang usaha dan/ atau kegiatannya telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan belum memiliki dokumen lingkungan hidup, sehingga perlu adanya tindakan hukum.”
Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut disimpulkan, bahwa banyak usaha dan/ atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha, tetapi belum memiliki “dokumen lingkungan”, seperti Amdal atau UKL-UPL atau belum memiliki “izin lingkungan”. Parahnya, banyak usaha dan/ atau kegiatan oleh institusi pemerintah pusat/ daerah serta penegak hukum, yang belum memiliki “dokumen lingkungan” atau “izin lingkungan”. Hal tersebut terlihat dari objek SK MENLHK S.541/ 2016 kepada Para Menteri Kabinet Kerja RI, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Lembaga Pemerintahan Non Kementerian RI, serta Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia.
Izin lingkungan adalah instrumen baru, yang lahir melalui UUPPLH 2009. Undang-undang lingkungan hidup sebelumnya, yaitu UUPLH 1997 dan UULH 1982, belumlah mengatur adanya izin lingkungan. UUPLH hanya mewajibkan adanya dokumen lingkungan, berupa Amdal atau UKL-UPL sebagai prasyarat untuk diberikannya izin usaha.
Permasalahannya, UUPPLH hanya mengatur prasyarat memperoleh izin lingkungan disertai keberadaan dokumen Amdal dan UKL-UPL. Kedua dokumen lingkungan tersebut dilaksanakan pada tahap perencanaan suatu usaha dan/ atau kegiatan. Lalu bagaimanakah jika suatu usaha dan/ atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha atau telah menjalankan usahanya, dapat memperoleh izin lingkungan?. Tentunya usaha tersebut tidak dapat menyusun Amdal atau UKL-UPL diperuntukkan pada tahap perencanaan. Itulah urgensi Ketentuan Peralihan Pasal 121 UUPPLH, yang berbunyi :
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Pasal 121 UUPPLH, terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan Amdal, diwajibkan menyelesaikan audit lingkungan hidup, yang hasilnya berupa DELH. Sedangkan bagi yang belum memiliki UKL-UPL wajib membuat DPLH. Jangka waktu penyusunan DELH dan DPLH, paling lama dua tahun sejak UUPPLH diundangkan, yakni 3 Oktober 2009 - 3 Oktober 2011.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 121 UUPPLH, pada tanggal 7 Mei 2010, diterbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (PermenLH) No. 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/ atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/ atau Kegiatan Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup (Permenlh DELH dan DPLH 2010) . Menurut Pasal 2 Ayat (2), jangka waktu penyusunan DELH/ DPLH selaras dengan Pasal 121 UUPPLH, yang menetapkan jangka waktu penyusunan DELH dan DPLH tanggal 3 Oktober 2011.
Lalu bagaimanakah bila dijumpai usaha dan/ atau kegiatan yang membandel, tidak menyusun DELH dan DPLH sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Pasal 121 UUPPLH (3 Oktober 2011).
Pada perkembangannya, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP Izin Lingkungan). Terbitnya PP izin lingkungan yang baru sesungguhnya merubah posisi dokumen Amdal atau UKL-UPL, proses memperkuat, menjadi suatu bentuk perizinan, yaitu izin lingkungan.
Pasal 73 PP Izin Lingkungan, yang berbunyi : “Dokumen lingkungan yang telah mendapat persetujuan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini (23 Februari 2012), dinyatakan tetap berlaku dan dipersamakan sebagai Izin Lingkungan”. Apabila Pasal 73 PP Izin Lingkungan disandingkan dengan pengertian dokumen lingkungan hidup, menurut Pasal 1 Angka (2) Permenlh DELH dan DPLH 2010, dimana tertuang pengertian dokumen lingkungan, yaitu dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas Amdal, UKL-UPL, surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), DELH, DPLH, dan Audit Lingkungan, maka jenis dokumen lingkungan hidup yang dipersamakan sebagai izin lingkungan, menjadi lebih luas.
Jika dalam UUPPLH sebelumnya hanya dikenal Amdal/ UKL-UPL atau DELH/ DPLH, maka lahirnya Permenlh DELH dan DPLH 2010 menjadi bertambah, berupa SPPL, Semdal, PIL, PEL, DPL, dan DPPL. Dengan kata lain, kehadiran Pasal 73 PP Izin Lingkungan telah mengintegrasikan seluruh jenis dokumen lingkungan hidup dalam ketentuan Izin Lingkungan yang diatur di dalam UUPPLH.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, maka timbul permasalahan ketika ketentuan Pasal 121 UUPPLH tidak terlaksana. Dengan kata lain, masih dijumpai usaha dan/ atau kegiatan yang memiliki izin usaha, namun tidak memiliki Izin lingkungan yang diamanatkan dalam Pasal 36 Ayat (1) UUPPLH; atau Dokumen lingkungan hidup, berupa DELH dan DPLH yang diamanatkan dalam Pasal 121 UUPPLH, sampai dengan lahirnya PP Izin Lingkungan, yakni tanggal 23 Februari tahun 2012; atau Dokumen lingkungan hidup yang dipersamakan dengan izin lingkungan, sesuai dengan pengertian dokumen lingkungan hidup yang diatur dalam Pasal 73 PP Izin Lingkungan serta PP Permenlh DELH dan DPLH Tahun 2010.
Hal tersebut adalah latar belakang terbitnya Surat Edaran Nomor : B-14134/ MENLH/ KP12/ 2013 tentang Arahan Pelaksanaan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada tanggal 27 Desember Tahun 2013. Surat Edaran tersebut memerintahkan gubernur/bupati/walikota, sesuai kewenangannya menerapkan sanksi teguran tertulis yang berisi perintah membuat dokumen lingkungan hidup, paling lambat 18 bulan sejak SE ditetapkan. Selain itu, Surat Edaran Menlh 2013 tersebut menetapkan keputusan dokumen lingkungan (DELH/ DPLH) sebagai dasar penerbitan izin lingkungan. Surat Edaran MenLH Nomor B-14134/ MENLH/ KP/ 12/ 2013, tertanggal 27 Desember 2013 memerintahkan untuk Gubernur atau Bupati dan Walikota agar mengeluarkan Sanksi Administaratif berupa teguran tertulis, yaitu pelaksanaan kewajiban penyusunan DELH dan DPLH, dengan waktu paling lambat 18 bulan sejak Surat Edaran ditetapkan, yaitu tanggal 27 Juni 2015.
Pada tahun 2015, terbit Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.446/ MENLHK-PKTL/ 2015, yang memperpanjang jangka waktu penyusunan DELH atau DPLH menjadi tanggal 27 Desember 2015. Sayangnya, SK B-14134/ MENLH/ KP/ 12/ 2013 dan SK S.446/ MENLHK-PKTL/ 2015 terbukti mandul. Inilah yang menimbulkan dilema penegakan hukum, sehingga KLHK berani mengambil kebijakan sebagai petunjuk penegakan hukum agar kegiatan ekonomi tidak terganggu. Sehingga terbitlah SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016.
Pada pertimbangan SK MENLHK S.541/ 2016 lainnya, yang berbunyi :
“Penerapan kewajiban memiliki dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan bagi kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup.” Sebagai tindak lanjut penerapan sanksi administratif, melalui surat menteri lingkungan hidup nomor B-14134/ MENLH/ KP/ 12/ 2013, tanggal 27 Desember 2013 kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota, agar memerintahkan kepada semua penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan untuk segera menyusun dokumen lingkungan hidup berupa Dokumen Evaluasi Lingkungan hidup (DELH) bagi usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) bagi usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL, dengan batas waktu penerbitan keputusan DELH atau DPLH sampai dengan tanggal 27 Desember 2015.”
Senada dengan ketentuan tersebut, pada pertimbangan SK MENLHK SE.7/ 2016, juga berbunyi :
“Perintah dan teguran terhadap penanggung jawab usaha/ kegiatan untuk menyusun dokumen lingkungan hidup telah dilakukan melalui surat menteri lingkungan hidup nomor 14134/ MENLH/ KP/ 12/ 2013 tanggal 27 Desember 2013 kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota, agar disampaikan kepada semua usaha dan/ atau kegiatan untuk segera menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) bagi kegiatan skala Amdal atau Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) bagi kegiatan skala UKL-UPL dengan tanggal 27 Desember 2015. Namun dalam pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut, ternyata masih banyak “Orang Perseorangan” atau “Badan Usaha” yang usaha dan/ atau kegiatannya telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan belum memiliki dokumen lingkungan hidup, sehingga perlu adanya tindakan hukum”.
Pada pokoknya tindak lanjut terhadap ketiadaan izin lingkungan dan/ atau dokumen lingkungan hidup, yang melewati batas waktu penyusunannya, adalah adanya perintah kepada instansi pemerintah dan pemerintah daerah untuk segera menyusun DELH dan DPLH. Ketentuan yang juga termuat dalam SK MENLHK S.541/2016, yang berbunyi :
“Setiap kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang telah berjalan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan diperintahkan untuk segera menyusun dokumen lingkungan hidup berupa DELH bagi kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang wajib memiliki Amdal atau DPLH bagi kegiatan Pemerintah / Pemerintah Daerah yang wajib memiliki UKL-UPL.”
Begitupula dengan ketentuan SK MENLHK SE.7/ 2016, yang berbunyi :
“Berdasarkan hal tersebut perlu diterapkan sanksi administratif berupa Paksaan Pemerintah kepada Orang Perseorangan atau Badan Usaha yang usaha dan/ atau kegiatannya telah memiliki izin usaha ddan/ atau kegiatan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup, untuk segera menyusun dokumen lingkungan hidup berupa DELH bagi usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau DPLH bagi usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL.”
Berdasarkan pemaparan, dapat disimpulkan, bahwa pertimbangan yuridis terbitnya kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerbitkan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 adalah karena ketidaktaatan para pelaku usaha dan/ atau kegiatan terhadap ketentuan Pasal 121 UUPPLH, yaitu untuk menyusun DELH dan DPLH sampai jangka waktu 3 Oktober 2011. Dengan kata lain, suatu upaya “pemutihan” ketentuan Pasal 121 UUPPLH. Pemutihan ketidaktaatan hukum Amdal atau UKL-UPL, yang telah diatur sejak UULH 1982 dan UUPLH 1997.
Selain itu, diketahui kementerian lainnya, seperti Kementerian Perhubungan juga berperan aktif, menerbitkan Surat Sekjen Kementerian Perhubungan Nomor KK.405/1/2PHB 2015. SK tersebut pada pokoknya, memuat arahan untuk melaksanakan percepatan penyusunan dokumen lingkungan hidup kepada 82 Pelabuhan dan 52 bandara yang belum memiliki dokumen lingkungan untuk menyusun DELH atau DPLH.
Menurut Jimly, aturan-aturan kebijakan dapat digolongkan sebagai aturan kebijakan memang dapat dibuat dalam berbagai macam bentuk dokumen tertulis yang bersifat membimbing, menuntun, memberi arahan kebijakan, dan mengatur suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, maka SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 dapatlah kita kategorikan sebuah aturan kebijakan dalam rangka membina seluruh stakeholders terkait sebagaimana ketentuan Pasal 121 UUPPLH.
Kebijakan tersebut merupakan langkah kompromis, agar para penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan setelah diterbitkannya UUPPLH, kemudian dapat segera menyusun dokumen lingkungan berupa DELH dan DPLH. Sebagai gambaran, tentu dampak ekonomi akan sangat besar, apabila kegiatan 52 bandara serta 82 pelabuhan ditutup, karenakan tidak memiliki dokumen lingkungan hidup. Belum lagi jika kita membayangkan penutupan kantor-kantor instansi pemerintahan, akibat ketiadaan dokumen lingkungan atau izin lingkungan.
2. Akibat Hukum SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016
a) SK MENLHK SE.7/ 2016
SK MENLHK SE.7/ 2016 tentang Kewajiban Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Orang Perseorangan atau Badan usaha Yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/ atau Kegiatan, yang ditujukan kepada para Gubernur, para Bupati dan para Walikota di seluruh Indonesia. Dapat diartikan bahwa, Surat Edaran ini mengamanatakan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, agar mengambil tindakan untuk mewujudkan penaatan hukum terkait kewajiban dokumen lingkungan hidup bagi usaha dan/ atau kegiatan di wilayah hukumnya masing-masing.
Menurut SK MENLHK SE.7/ 2016, maka terhadap Orang Perseorangan atau Badan Usaha yang telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup, dengan ini diberitahukan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota, untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Mengenakan Sanksi Administratif berupa Paksaan Pemerintah kepada Orang Perseorangan atau Badan Usaha yang usaha dan/ atau kegiatannya telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup.
2) Kewajiban penerapan Sanksi Administrasi berupa Paksaan Pemerintah berisi perintah untuk menyusun DELH atau DPLH yang ditujukan terhadap Orang Perseorangan atau Badan Usaha.
3) Keputusan penerapan Sanksi Administratif berupa Paksaan Pemerintah salah satunya memuat, klausul yang menegaskan dalam hal Orang Perseorangan atau Badan Usaha tidak melaksanakan Paksaan Pemerintah dalam batas waktu yang telah ditetapkan, dikenakan pembebanan kewajiban untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu (denda) kepada Orang Perseorangan atau Badan Usaha karena keterlambatan pelaksanaan Sanksi Administratif berupa Paksaan Pemerintah mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur tentang Pemberian Denda atas Keterlambatan Pelaksanaan Paksaan Pemerintah.
4) Dalam hal pengenaan Denda sudah dilakukan, namun Orang Perseorangan atau Badan Usaha tersebut belum juga memenuhi kewajibannya untuk menyusun dokumen DELH atau DPLH atau Orang Perseorangan atau Badan Usaha tersebut tidak melaksanakan Paksaan Pemerintah, maka terhadap Orang Perseorangan atau Badan Usaha dapat ditegakkan ketentuan pidana Pasal 114 UUPPLH, yang berbunyi, Setiap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
5) Apabila diperlukan kepada Orang Perseorangan atau Badan Usaha yang tidak memiliki dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan, maka dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 UUPPLH, yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam PaSal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun”.
6) Penerapan sanksi administrasi Paksaan Pemerintah dan Denda tidak membebaskan penanggung jawab usaha/ kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 UUPPLH, yang berbunyi, ‘Sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana’.
SK MENLHK SE.7/ 2016 menjelaskan bahwa, perintah dan teguran terhadap penanggung jawab usaha/ kegiatan untuk menyusun dokumen lingkungan hidup telah dilakukan melalui surat menteri lingkungan hidup nomor 14134/ MENLH/ KP/ 12/ 2013 tanggal 27 Desember 2013 kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota, agar disampaikan kepada semua usaha dan/ atau kegiatan untuk segera menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) bagi kegiatan skala Amdal atau Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) bagi kegiatan skala UKL-UPL dengan tanggal 27 Desember 2015. Namun dalam pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud, ternyata masih banyak “Orang Perseorangan” atau “Badan Usaha” yang usaha dan/ atau kegiatannya telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan belum memiliki dokumen lingkungan hidup, sehingga perlu adanya tindakan hukum.
Berdasarkan hal tersebut perlu diterapkan sanksi administratif berupa Paksaan Pemerintah kepada Orang Perseorangan atau Badan Usaha yang usaha dan/ atau kegiatannya telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup, untuk segera menyusun dokumen lingkungan hidup berupa DELH bagi usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau DPLH bagi usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL.
Ketentuan sanksi administrasi yang ditetapkan di dalam SK MENLHK SE.7/ 2016 berupa Paksaan Pemerintah kepada Orang Perseorangan atau Badan Usaha yang usaha dan/ atau kegiatannya telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup. Jenis sanksi administrasi yang diterapkan tersebut sesuai dengan yang diatur di dalam Pasal 76 Ayat (2) UUPPLH, yang menetapkan bahwa, sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan.
Sedangkan mengenai objek penerapan terhadap sanksi administrasi yang diberikan, karena belum memiliki dokumen lingkungan hidup. Hal tersebut berbeda dengan yang diatur di dalam UUPPLH dan PP Izin Lingkungan. Menurut Pasal 76 Ayat (1) UUPPLH Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Dengan kata lain, sanksi administrasi diberikan kepada pemegang izin lingkungan atau dokumen lingkungan (dipersamakan sebagai izin lingkungan), bukan pada pemegang izin usaha yang belum memiliki izin lingkungan.
Tindakan suatu usaha dan/ atau kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan dikategorikan sebagai kejahatan dalam perspektif perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapatlah diterima. Sebab, fungsi izin lingkungan sebagai instrumen utama yang berfungsi untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan atau pencemaran lingkungan adalah perizinan penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. Menurut Harry, unsur terpenting dalam setiap program pengendalian dampak lingkungan adalah sistem perizinan yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dan penetapan baku mutu lingkungan hidup yang dapat mengikat secara hukum bagi kegiatan yang menjadi sumber dampak.
b) SK MENLHK S.541/ 2016
Pemenuhan kewajiban untuk setiap kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang telah berjalan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan untuk segera melengkapi dengan dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan, dilakukan melalui mekanisme sebagaimana berikut:
1) Setiap kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang telah berjalan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan diperintahkan untuk segera menyusun dokumen lingkungan hidup berupa DELH bagi kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang wajib memiliki Amdal atau DPLH bagi kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang wajib memiliki UKL-UPL. Tata cara penyusunan DELH atau DPLH mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/ atau Kegiatan tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup.
2) Kegiatan Pemerintah / Pemerintah Daerah dapat menyusun DELH atau DPLH, apabila kegiatannya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) telah memiliki legalitas pelaksanaan kegiatan;
b) telah melaksanakan kegiatan;
c) lokasi kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang; dan
d) tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Setiap instansi Pemerintah/ Pemerintah Daerah yang kegiatannya memenuhi kriteria penerapan DELH atau DPLH untuk segera menyusun, menyelesaikan, dan mendapatkan Keputusan DELH atau DPLH dari yang berwenang. Pengaturan tentang kewenangan mengikuti pengaturan kewenangan penilaian AMDAL untuk DELH dan pengaturan pemeriksaan UKL UPL untuk DPLH sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2013 tentang Tata Laksana Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin Lingkungan.
4) Gubernur dan Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan percepatan penyelesaian penilaian kegiatan Pemerintah/ Pemerintah Daerah dan penerbitan Keputusan DELH atau DPLH. Keputusan DELH atau DPLH digunakan sebagai dasar penerbitan Izin Lingkungan.
5) Untuk efektifnya penyusunan dan penyelesaian DELH atau DPLH, maka bagi penanggung jawab kegiatan Para Menteri, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Para Gubernur, Para Bupati dan Para Walikota, agar melakukan inventarisasi usaha dan/ atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/ atau kegiatan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup (Izin Lingkungan) serta menganggarkan biaya penyelesaian kewajiban memiliki DELH dan DPLH pada lingkungan masing-masing.
6) Bagi kegiatan pemerintah/ pemerintah daerah yang telah menyusun DELH atau DPLH berdasarkan penerapan sanksi administratif (Surat Menteri Lingkungan Hidup Nomor B-14134/ MENLH/ KP/ 12/ 2013) namun belum dilakukan penilaian DELH atau DPLH, maka Gubernur dan Bupati/ Walikota segera menyelesaikan proses penilaian DELH atau DPLH dan izin Lingkungan sesuai kewenangannya.
Berdasarkan pemaparan diatas, tidak ditemukan adanya akibat hukum yang ditetapkan di dalam SK MENLHK S.541/ 2016. Sifatnya hanya memberikan petunjuk atau arahan kepada setiap kegiatan Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang telah berjalan namun belum memiliki dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan untuk segera melengkapi dengan dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan. Himbauan tersebut ditujukan kepada Para Menteri Kabinet Kerja RI, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Para Lembaga Pemerintahan Non Kementerian RI, serta para Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia.
Namun secara moral, maka penaatan terhadap DELH/ DPLH serta izin lingkungan, menjadi tolak ukur, dalam tanggung jawabnya mewujudkan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di wilayahnya masing-masing. Keberadaan dokumen lingkungan menjadi gambaran utama, ada atau tidak adanya pelaksanaan berbagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketidaktaatan hukum terhadap SK MENLHK S.541/ 2016 tersebut, menunjukan perilaku atau lemahnya kesadaran lingkungan dari aparatur pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa banyak kegiatan oleh pemerintah daerah yang mengabaikan prinsip-prinsip yang berwawasan lingkungan.
c) Telaah Pengaturan Sanksi Dalam UUPPLH
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penaatan hukum terhadap izin lingkungan dan/ atau dokumen lingkungan terbukti masih belum bisa diwujudkan. Padahal, kewajiban penyusunan dokumen lingkungan, seperti Amdal atau UKL-UPL telah terintegrasi atau menjadi prasyarat utama untuk dapat diterbitkannya Izin Lingkungan telah diatur dalam UUPPLH. Terbitnya SK MENLHK SE.7/ 2016 dan juga SK MENLHK S.541/ 2016 sebagai salah satu bentuk aturan kebijakan untuk memberikan petunjuk terhadap pelaksanaan UUPPLH, khususnya terkait dengan Pasal 121 UUPPLH.
Apabila Pasal 121 UUPPLH dikaitkan dengan ketentuan Pidana dalam Pasal 109 UUPPLH, maka pertanyaannya adalah, apakah usaha dan/ atau kegiatan yang tidak melaksanakan penyusunan dokumen lingkungan berupa DELH atau DPLH, dalam jangka waktu setelah tanggal 3 Oktober 2011, dapat diancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UUPPLH, yang berbunyi :
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”.
Berdasarkan Pasal 109 tersebut, maka ancaman sanksi pidana hanya dikenakan terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan setelah berlakunya UUPPLH tahun 2009 atau tidak berlaku surut. Dengan kata lain, suatu usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki izin lingkungan sebelum tahun 2009 terbebas dari ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 109 UUPPLH. Memang suatu usaha dan/ atau kegiatan tetap diwajibkan menyusun dokumen lingkungan berupa DELH dan DPLH. Namun, terhadap usaha dan/ atau kegiatan tersebut, tidak dapat dikenakan ancaman pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 109 UUPPLH.
Hal tersebut tentu menimbulkan ketidakadilan serta berbahaya terhadap upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Malahan, sanksi pidana sebagai ultimum remedium, sejatinya cocok diterapkan bagi usaha dan/ atau kegiatan yang “nakal”, yang meminggirkan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan, melalui kepemilikan dokumen lingkungan.
Oleh karena itulah, urgensi ketentuan dalam Pasal 73 PP Izin Lingkungan, yang berbunyi : “Dokumen lingkungan yang telah mendapat persetujuan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini (23 Februari 2012), dinyatakan tetap berlaku dan dipersamakan sebagai Izin Lingkungan”. Kemudian jika ketentuan Pasal 73 dikaitkan ketentuan Pasal 109 UUPPLH, maka bagi suatu usaha dan/ atau kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan atau dokumen lingkungan hidup sebelum lahirnya PP izin Lingkungan pada tahun 2012, menjadi dapat dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 109 UUPPLH.
Dengan kata lain, lahirnya Pasal 73 PP izin Lingkungan telah memperluas ruang lingkup objek pidana yang yang diatur dalam Pasal 109 UUPPLH. Jika sebelumnya ancaman pidana hanya berlaku terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki izin lingkungan, kemudian meluas, menjadi usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan hidup, yang menurut Pasal 73 PP Izin Lingkungan dipersamakan sebagai izin lingkungan. Sehingga, suatu usaha dan/ atau kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan hidup, misalnya seperti Amdal atau UKL-UPL dan/ atau DELH atau DPLH dapat dikenakan ancaman pidana dalam Pasal 109 UUPPLH.
Ketentuan sanksi pidana yang ditetapkan dalam Pasal 109 UUPPLH, yang memberikan ancaman sanksi pidana ditujukan terhadap seluruh usaha dan/ atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha atau telah menjalankan usahanya namun belum memiliki izin lingkungan dan/ atau dokumen lingkungan hidup, yang dipersamakan sebagai izin lingkungan. Oleh karena itu, pada dasarnya ketentuan pidana tersebut berlaku terhadap seluruh pelaku atau penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan, termasuk aparatur pemerintah maupun pemerintah daerah. Sehingga tidak diterapkannya ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 109 UUPPLH, adalah suatu bentuk ketidakadilan atau bentuk perbuatan melawan hukum.
3. Resistensi Terhadap SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016
Pada prinsipnya, apa yang diamanatkan dalam SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 secara komprehensif merupakan petunjuk amanat untuk mewujudkan penaatan hukum terhadap ketentuan izin lingkungan, yang telah ditetapkan dalam UUPPLH dan PP Izin Lingkungan. Secara rinci ketentuan tersebut, yaitu :
a. Pasal 22 Ayat (1) UUPPLH, “Setiap usaha dan/ atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.”
b. Pasal 34 Ayat (1) UUPPLH, “Setiap usaha dan/ atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.”
c. Pasal 36 Ayat (1) UUPPLH, “Setiap usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.”
d. Pasal 121 UUPPLH, “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang belum memiliki dokumen amdal, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun (3 Oktober 2011) sejak berlakunya UUPPLH (3 Oktober 2009), diwajibkan menyelesaikan audit lingkungan hidup. Sedangkan bagi usaha dan/atau kegiatan yang belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH).”
e. Pasal 73 PP Izin Lingkungan, “Dokumen lingkungan yang telah mendapat persetujuan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini (23 Februari 2012), dinyatakan tetap berlaku dan dipersamakan sebagai Izin Lingkungan.”
Karena itulah tidak ditemukan penolakan terhadap substansi serta arahan yang dimuat di dalam SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016. Malahan, bagi orang perseorangan/ badan usaha/ perusahaan, yang belum memiliki izin lingkungan, tentu diuntungkan. Mengingat, seluruh jenis perizinan usaha tentu memerlukan izin lingkungan dalam setiap prosesnya, dengan adnya ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 111 Ayat (2) UUPPLH yang memberikan ancaman pidana terhadap Pejabat yang menerbitkan izin usaha tanpa dilengkapi izin lingkungan.
Perusahaan atau orang perseorangan tentu tidak mau terancam sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah, sekaligus disertai ancaman Pidana dalam Pasal 114 UUPPLH tentang ketidaktaatan sanksi administratif. Masih ditambah dengan pidana pada Pasal 109 UUPPLH untuk ketiadaan izin lingkungan dan/ atau dokumen lingkungan.
Selain itu, tata cara dan proses penyusunan DELH dan DPLH yang diatur secara rinci dalam Permenlh DELH dan DPLH 2010, prosesnya lebih sederhana daripada proses penyusunan Amdal atau UKL-UPL. Salah satunya adalah tidak adanya keharusan untuk pembentukan tim teknis atau para pakar independen serta peran serta masyarakat. Proses yang lebih sederhana tentu bisa berdampak terhadap biaya penyusunan menjadi lebih murah. Berdasarkan wawancara dengan salah satu perusahaan Agroindustri di Lampung, diketahui bahwasanya biaya penyusunan DELH dan DPLH lebih murah daripada proses penyusunan Amdal atau UKL-UPL.
Karena itulah, disimpulkan bahwa keberadaan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 menimbulkan keuntungan, yakni kemudahan hukum dalam mewujudkan legalitas usahanya. Sehingga, status usaha dan/ atau kegiatannya dapat menjadi legal, dengan pelaksanaan penyusunan DELH atau DPLH yang kemudian disertai dengan penerbitan izin lingkungan.
A. Kesimpulan
1. Pertimbangan hukum yang melandasi terbitnya SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 adalah dalam rangka mewujudkan penaatan hukum terhadap Pasal 36 Ayat (1) UUPPLH, yakni setiap usaha dan/ atau kegiatan yang wajib memiliki dokumen lingkungan hidup, wajib memiliki izin lingkungan. Kewajiban izin lingkungan telah terintegrasi dengan dokumen lingkungan hidup, seperti DELH atau DPLH, sebagai prasyarat diterbitkannya izin lingkungan, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/ atau Kegiatan tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup.
2. Akibat hukum yang ditetapkan di dalam SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 ditetapkan secara berbeda. Terhadap orang perseorangan atau badan usaha menurut SK MENLHK SE.7/ 2016, memerintahkan agar Gubernur, Bupati atau Walikota untuk memberikan sanksi administratif dan/ atau sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 109 dan Pasal 114 sebagaimana telah diatur dalam UUPPLH. Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan dari SK MENLHK S.541/ 2016, terhadap usaha dan/ atau kegiatan oleh pemerintah dan pemerintah daerah tidak ada, hanya bersifat himbauan atau arahan agar segera menyusun dokumen lingkungan hidup berupa DELH dan DPLH sebagai prasyarat utama diterbitkannya izin lingkungan. Ketentuan sanksi tersebut, bertentangan dengan ketentuan pidana dalam Pasal 109 UUPPLH, yang mengamanatkan penjatuhan sanksi pidana terhadap seluruh penanggung jawab suatu usaha da/ atau kegiatan, baik oleh orang perseorangan atau badan usaha serta bagi aparat pemerintah ataupun pemerintah daerah serta ketentuan penjatuhan pidana tanpa diiringi penerapan sanksi administratif terlebih dahulu.
3. Tidak terdapat penolakan atau resistensi SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016. Hal tersebut dikarenakan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 merupakan petunjuk lebih lanjut untuk memenuhi ketentuan dokumen lingkungan/ izin lingkungan yang diatur dalam UUPPLH. Keberadaan SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 juga menguntungkan, dikarenakan mengabaikan pelaksanaan sanksi pidana yang diatur Pasal 109 UUPPLH. Selain itu, proses penyusunan DELH dan DPLH lebih sederhana daripada penyusunan Amdal atau UKL-UPL, sehingga biaya penyusunan menjadi lebih murah.
B. Saran
1. Terbitnya SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 menjadi bukti lemahnya penaatan hukum dokumen lingkungan hidup serta izin lingkungan. Seharusnya pemerintah dan/ atau pemerintah daerah mengambil langkah-langkah lebih signifikan untuk mewujudkan ketaatan hukum izin lingkungan yang telah ditetapkan di dalam UUPPLH. Kementerian atau lembaga atau instansi sektoral di pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu Para Menteri Kabinet Kerja RI, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Para Lembaga Pemerintahan Non Kementerian RI, serta para Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia, wajib turut serta mewujudkan penaatan hukum dokumen lingkungan hidup atau izin lingkungan di wilayahnya masing-masing. Sehingga upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai secara optimal. Terbitnya Surat Sekjen Kementerian Perhubungan Nomor KK.405/1/2PHB 2015 tentang arahan penyusunan dokumen lingkungan hidup kepada 82 Pelabuhan dan 52 bandara yang belum memiliki dokumen lingkungan dapat diikuti oleh seluruh instansi atau lembaga sektoral lainnya. Mandulnya pelaksanaan surat edaran pada tingkat kementerian juga dapat ditindaklanjuti melalui surat edaran oleh instansi yang secara vertikal lebih tinggi, yakni Presiden.
2. Perbedaan terhadap akibat hukum antara SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016 sesungguhnya mencerminkan ketidakadilan terhadap orang perseorangan dan/ atau badan usaha. UUPPLH berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, sehingga arahan penerapan sanksi administratif hanya terhadap orang perseorangan dan/ atau badan usaha tidak dapat dibenarkan.
3. Pengaturan sanksi Administratif yang terdapat dalam SK MENLHK SE.7/ 2016 bertentangan dengan ketentuan Pasal 109 UUPPLH, yang memberikan ancaman pidana tanpa didahului adanya sanksi administratif, berupa paksaan pemerintah terlebih dahulu. Selain itu, jangka waktu penyusunan DELH dan DPLH yang telah ditetapkan di dalam Pasal 121 UUPPLH, yaitu 3 Oktober Tahun 2011 juga disimpangi oleh SK MENLHK SE.7/ 2016 dan SK MENLHK S.541/ 2016. Perlu adanya peninjauan terhadap bentuk aturan kebijakan oleh KLHK dalam rangka mewujudkan penaatan hukum dokumen lingkungan hidup atau izin lingkungan.
4. Terbitnya SK MENLHK S.541/ 2016 mencerminkan aparatur pemerintah atau pemerintah daerah belum menjadi teladan dalam penaatan hukum lingkungan. Ketiadaan dokumen lingkungan atau izin lingkungan usaha dan/ atau kegiatan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi gambaran terhadap rendahnya kesadaran lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdurrahman et.al., 2001, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Cet. I. Jakarta.
Achmad Santosa, Mas,2001, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.
Akib, Muhammad, 2014, Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta
Hamzah, Andi 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Kedelapan, Cetakan Kedelapan Belas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
H.R., Ridwan, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenadamedia, Jakarta
Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga University Press.
Salim, Emil, 1991, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, PT. Mediatama Sarana, Jakarta.
Silalahi, Daud M., 2011, Amdal Dalam Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, Penerbit PT Suara Harapan Bangsa, Bandung.
..............................., 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi, Penerbit Alumni, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia UI Press, Jakarta.
B. Jurnal/ Artikel/ Skripsi/ Tesis/ Disertasi
Supriyono, Harry, Kajian Yuridis Sistem Penaatan dan Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Pengendalian Dampak Lingkungan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2013 tentang Tata Laksana Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin Lingkungan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/ atau Kegiatan tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup
Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.7/ MENLHK/ SETJEN/ PLA.4/ 12/ 2016 tentang Kewajiban Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Perseorangan atau Badan Usaha Yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/ atau Kegiatan
Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.541/ MENLHK/ SETJEN/ PLA.4/ 12/ 2016 Perihal Penyelesaian Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Kegiatan Yang Telah Berjalan.
No comments:
Post a Comment