Sudah banyak buktinya, sayangnya tidak ada manusia Indonesia yang Perduli.
Tidak juga para aktivis HAM yang selama ini selama sudah RATUSAN tahun memperjuangkan MUNIR atau Tragedi HAM lainnya.
APalagi ccivitas akademika FAKULTAS HUKUM yang katanya berpendidikan HUKUM yang suka dengan GAGAHnya nongol di TIPI. atau di acara kumpulan atau komunitas para pengacara hukum.
Boro-boro mengharapkan mahasiswa untuk menjadi berani, mengadakan diskusi dan seminar untuk mewujudkan Indonesia menjadi lebih baik.
Sama aja kayak pejuang Agama dan Etika atau Moral, yang selama ini suka nyinir gama dan perilaku orang lain.
Masih banyak buktinya lho GUYS... kalau anda gak idiot pasti bisa cari sendiri lah.
https://news.okezone.com/read/2017/11/01/340/1806302/kisah-korban-salah-tangkap-dua-kaki-didor-oknum-polisi-sampai-pasrah-ingin-mati
Kisah Korban Salah Tangkap, Dua Kaki Didor Oknum Polisi sampai Pasrah Ingin Mati
Mewan Haqulana , Jurnalis · Rabu 01 November 2017 10:39 WIB
BANYUASIN - Sungguh apes nasib Jailani (39). Kedua kakinya tidak normal lagi, setelah ditembak petugas Polsek Tungkal Ilir Kabupaten Banyuasin, lantaran dituduh melakukan pencurian dengan pemberatan yang tidak pernah ia lakukan.
Tiga bulan sudah, sejak 30 Juli lalu, dia dikurung di Rumah Tahanan Polsek Tungkal Ilir, hingga putusan praperadilan yang dimohonkannya di Pengadilan Negeri Sekayu dikabulkan oleh hakim tunggal Christoffel Harianja, pada sidang putusan, Senin 30 Oktober 2017.
Hakim menyatakan bahwa penangkapan yang dilakukan petugas Polsek Tungkal Ilir tidak sah secara hukum dan meminta pihak kepolisian membebaskan Jailani.
Menurut pengakuan warga Desa Peninggalan, Kecamatan Tungkal Jaya, Kabupaten Muba tersebut, peristiwa itu bermula saat dia dan rekan-rekannya sedang main kartu di tempat kerja mereka Rumah Makan Arema Dampit, Tungkal Jaya pada 29 Juli 2017, sekira pukul 23.00 WIB.
Tiba-tiba datang 6 anggota polisi langsung meringkus Jailani dengan menodongkan senjata api ke kepalanya. "Awalnya saya kira kami ditangkap karena main kartu. Ternyata bukan, hanya saya saja yang dibawa polisi sementara teman saya lainnya tidak," ungkap juru parkir tersebut, Selasa (31/10/2017).
Kemudian, pria enam anak ini digelandang petugas ke salah satu kamar di penginapan di kawasan Tungkal Jaya. Jailani diciduk dan diintrogasi tanpa surat penangkapan.
"Di sanalah penyiksaan itu dimulai, muka saya, dada, perut, tulang kering kaki, dipukli oleh enam orang polisi berpakaian sipil. Mereka memaksa saya mengakui terlibat pencurian motor. Atas informasi dari, orang berinisial M yang telah ditangkap duluan oleh polisi. Tapi saya tidak mau ngaku, karena memang tidak melakukan," katanya.
Diduga kesal dengan tingkah Jailani yang selalu membantah, penyidik mengacungkan pistol ke arah korban, memaksa nya untuk mengaku. "Polisi itu mengancam, kalau kamu tidak mau mengaku, saya akan ditembak. Sambil memaksa saya untuk tengkurap," katanya.
Jailani tetap dengan pendiriannya, tapi petugas juga tidak main-main akan ancaman mereka. 'Door' satu butir peluru menembus kaki kanan Jailani. Setelah itu menyusul kaki sebelahnya hingga tulang kaki kirinya pecah. "Saat kaki kanan saya ditembak, saya sudah pasrah. Bahkan sempat terpikir hendak membalikkan badan, biar kena dada saya, biar mati sekalian. Tapi terbayang istri dan enam anak saya yang masih kecil," katanya.
Bukti kalau dia tidak bersalah mulai terkuak setelah dia dipertemukan dengan M yang menuduhnya terlibat mencuri motor. "Saat di penjara M mengakui kalau dia terpaksa menyeret nama saya, karena tidak tahan disiksa oleh petugas. Bahkan dia bersedia mebuat surat pernyataan kalau saya tidak terlibat," katanya.
Kemudian melalui kuasa hukumnya, Dodi Irama, Jailani melakukan permohonan Praperadilan ke Pengadilan negeri Sekayu terhadap termohon Kepolisian RI, cq Polda Sumsel, cq Polres Banyuasun, cq Posek Tungkal Ilir. "Alhamdulillah keadilan masih berpihak pada saya, hakim memutuskan penangkapan saya tidak sesuai prosesdur hukum dan saya dibebaskan," katanya.
Dodi menjelaskan, kesalahan termohon (pihak kepolisian Tungkal Ilir) di antaranya melakukan penangkapan terlebih dahulu baru menetapkan tersangka. Kemudian, format surat perintah penyidikan tidak menyebutkan nama tersangka dan delik yang dilanggar. "Maka format surat perintah penyidikan seperti tersebut adalah cacat hukum," katanya.
Sementara itu pihak kepolisian Polres Banyuasin belum mau memberikan keterangan terkait kasus salah tangkap tersebut. Kapolres Banyusin AKBP Yudi SM Pinem melalui Kasat Reskrim AKP Dwi Satya Arian mengatakan pihak pengadilan yang lebih berhak memberi komentar. "Konfirmasi ke hakim saja, atau ke Polsek karena yang nangani kasus ini Polsek," singkatnya.
Sedangkan Kapolsek Tungkal Ilir Iptu Gunawan, beberapa kali dikonfirmasi selalu menolak lantaran masih diperjalnan. "Saya masih nyetir, lain kali saja ya," katanya.
(ris)
#skandal polisi
#korban salah tangkap
#Kasus salah tangkap
No comments:
Post a Comment