Saturday, 29 February 2020

Sertifikasi Lingkungan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Kehutanan di Indonesia

Saat ini ada berbagai bentuk skema sertifikasi hutan yang dikenal di Indonesia, yakni
Skema Forest Stewardship Council (FSC)
Programme for the Endorsement of Forest Certiļ¬cation (PEFC)
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
Skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sejak tahun 2009 diterapkan secara wajib (mandatory scheme) oleh pemerintah kepada seluruh produsen kayu bulat dan industri pengolahannya.

Ada empat skema sertifikasi keberlanjutan kelapa sawit utama:•The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) didirikan pada tahun 2004 adalahskema sukarela dikembangkan melalui kemitraan multi-pemangku kepentingan. Itu adalahskema pertama khusus untuk kelapa sawit. Ini tetap merupakan skema global paling menonjol di Indonesiasektor dengan keanggotaan 3.413 organisasi. RSPO telah mengembangkan aset persyaratan 'tambahan' yang lebih ketat pada Prinsip dan Kriterianya, dirujuksebagai RSPO BERIKUTNYA, serta set kedua 'add-ons', RSPO-RED, yaitusesuai dengan EU Renewable Energy Directive (RED). Namun, penyerapan pasarRSPO NEXT dan RSPO-RED sejauh ini sangat minim.•The International Keberlanjutan dan Carbon Certification (ISCC) adalahdibuat pada 2010 dan telah mengembangkan standar yang konsisten denganpersyaratan Petunjuk Energi Terbarukan UE (Petunjuk 2009/28 / EC) untukbahan baku biofuel.•The Sustainable Palm Oil (ISPO) Indonesian skema diluncurkan olehPemerintah Indonesia pada tahun 2011. Standar ini didasarkan pada bahasa Indonesia yang adaperaturan yang berkaitan dengan budidaya dan pengolahan kelapa sawit dan wajibuntuk perusahaan Indonesia yang memproduksi dan / atau mengolah minyak sawit. Itu sedangdirevisi tetapi waktu, sifat dan tingkat perubahan tidak dapat dikonfirmasipada saat penulisan penelitian ini.•The Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) skema dimulai sebagaistandar sukarela pada tahun 2015 yang bertujuan untuk membantu Malaysia kecil dan menengahpetani untuk beroperasi secara berkelanjutan.Perlu dicatat bahwa sementara RSPO dan ISCC adalah standar industri sukarela, ISPO adalah askema nasional wajib yang dipimpin pemerintah. Menurut pemerintah Malaysia,MSPO juga akan menjadi wajib pada akhir 2019.

Friday, 28 February 2020

Wisata Gua (Recreational Caving)

Wisata gua didefenisikan sebagai aktifitas memasuki ruang yang hampa (kosong/ void), seperti gua, dengan tujuan murni untuk mendapatkan kesenangan.
Saat memasuki gua, para penjelajah akan berharap gua itu benar-benar gelap, bahkan pada siang hari normal, agar pengalaman itu benar-benar dianggap sebagai sebuah gua. Sebagian besar penjelajah umumnya setuju bahwa definisi gua adalah "ruang bawah tanah yang cukup besar bagi seseorang untuk masuk." Meskipun beberapa kegembiraan dapat dilakukan dengan memeriksa lubang kecil seperti gua, caving rekreasi sejati melibatkan menjelajahi lorong-lorong gua yang lebih panjang, yang juga mungkin termasuk lubang buatan seperti tambang dan terowongan. Beberapa lubang dan gua yang dalam memiliki pintu masuk yang panjang dan relatif lurus yang memungkinkan sinar matahari menembus seluruh gua, tetapi para penjelajah gua masih menganggapnya sebagai gua yang valid. Gua Rusa (Deer Cave) di Malaysia dan Neversink Pit di Alabama adalah contoh pengecualian terhadap aturan kegelapan total.

Thursday, 27 February 2020

Perlindungan Hukum Ekosistem Gua melalui Ketentuan Hukum Internasional

Selama dua dekade terakhir telah diketahui meningkatnya perhatian terhadap perlindungan keanekaragaman hayati bawah tanah (subterranean biodiversity).  Sayangnya, sampai saat ini dicurigai hanya sebagian kecil dari keanekaragaman hayati bawah tanah yang menerima perlindungan langsung di bawah undang-undang internasional, nasional, atau regional. Dibandingkan dengan vertebrata, invertebrata bawah tanah dan organisme lain sebagian besar telah diabaikan dalam studi konservasi, penilaian, dan keputusan kebijakan, meskipun keanekaragamannya secara signifikan lebih besar, peran dalam layanan ekosistem air tanah dan bawah tanah, kadang-kadang tingkat endemisitasnya tinggi, dan manfaatnya bagi umat manusia. 
Perlindungan hukum terhadap Gua umumnya dilindungi dengan dua cara. Seringkali fokus dari undang-undang ini adalah secara langsung mempertahankan habitat Gua secara keseluruhan, seperti gua-gua yang memiliki nilai ekologis, seni budaya, ilmu pengetahuan serta estetika dan pariwisata yang tinggi dan tingkat spasial yang relatif mudah didefinisikan. Dalam kasus lain, undang-undang tersebut secara tidak langsung berkaitan dengan melindungi spesies penghuni habitat Gua, seperti hewan bawah tanah. Hal ini biasanya terjadi pada spesies dengan daya tarik publik yang kuat, seperti burung dan kelelawar yang bersarang di gua (walaupun, ironisnya, hampir semua spesies bawah tanah berprofil tinggi terjadi di gua).

Tuesday, 25 February 2020

Sertifikasi Sukarela Kelapa Sawit - RSPO

Roundtable on Sustainable Palm Oil (Mejabundar tentang Minyak Sawit Berkelanjutan) atau RSPO telah menjadi rujukan standar terbaik untuk produksi minyak sawit berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di dunia.
RSPO secara resmi dibentuk pada tanggal 8 April 2004 - RSPO dengan Sekretariat berlokasi di Kuala Lumpur. 
RSPO adalah asosiasi nirlaba global yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri kelapa sawit yakni produsen kelapa sawit, pengolah minyak sawit atau pedagang, produsen barang konsumen, pengecer, bank dan investor dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta berasal dari negara-negara yang menghasilkan atau menggunakan minyak sawit untuk mengembangkan dan menerapkan standar global untuk minyak sawit lestari.

RSPO adalah instrumen penaatan sukarela yang dikembangkan terutama untuk memenuhi pasar di UE dan AS (Schouten & Glasbergen, 2011). Delapan kriteria RSPO yaitu :
(i) komitmen terhadap transparansi;
(ii) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku;
(iii) komitmen untuk kelangsungan ekonomi dan keuangan jangka panjang;
(iv) penggunaan praktik terbaik yang tepat oleh petani atau pabrik;
(v) tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati;
(vi) pertimbangan yang bertanggung jawab atas karyawan, individu dan masyarakat yang terkena dampak perkebunan atau pabrik;
(vii) pengembangan penanaman baru yang bertanggung jawab; dan
(viii) komitmen untuk perbaikan berkelanjutan di bidang kegiatan utama.

Pada tahun 2008 sertifikat RSPO pertama diterbitkan untuk produsen kelapa sawit. Sampai dengan Juni 2015, perkebunan kelapa sawit bersertifikasi RSPO hanya mencakup sekitar 2,6 juta hektar secara global, dengan kapasitas produksi sekitar 11,6 juta ton minyak sawit (RSPO, 2015), terhitung untuk sekitar 15% perkebunan kelapa sawit global (FAO, 2015). Sekitar 1,4 juta hektar atau 54% dari perkebunan kelapa sawit bersertifikasi RSPO berada di Indonesia. Kapasitas produksi perkebunan ini sekitar 7,2 juta ton. Perkebunan kelapa sawit bersertifikat ini sebagian besar dikelola oleh perusahaan skala besar (RSPO, 2015).


Monday, 24 February 2020

Potensi Free Rider Dalam Proper

Penaatan sukarela (voluntary approach) merupakan salah satu instrumen penegakan hukum lingkungan yang dapat mendorong penaatan hukum lingkungan. Alih-alih mendorong perusahaan melalui ancaman hukuman, penaatan sukarela cenderung membujuk perusahaan untuk meningkatkan kinerja lingkungannya melalui berbagai jenis insentif positif, mulai dari reputasi positif, pengakuan para pemangku kepentingan, bantuan teknis, pemberian subsidi hingga pengurangan hukuman.
Akibatnya kehadiran free riders umumnya selalu melekat dalam penaatan sukarela, yang dapat melemahkan kredibilitas dan implementasi dari penaatan sukarela.
Proper Lingkungan merupakan instrumen penaatan sukarela, yang dapat menjadi pelengkap dari command and control yang dapat meningkatkan penaatan hukum perusahaan. Sebagai instrumen penaatan sukarela terbesar di Indonesia, potensi free riders dalam implementasi Proper tentu menjadi relevan untuk dikaji.
Penelitian ini secara normatif akan mendeskripsikan bentuk-bentuk free riders serta mengidentifikasi potensi free riders dalam Proper. Penelitian ini juga akan mendeskripsikan faktor-faktor pendorong free riders sehingga lebih lanjut dapat dianalisis berbagai upaya untuk meminimalisir kehadiran free riders dalam Proper. Hasilnya diharapkan menjadi bahan pertimbangan kebijakan bagi penyelenggaraan Proper.

I. PENDAHULUAN 
Penaatan sukarela (voluntary approach) sebagai salah satu instrumen dalam penegakan hukum lingkungan, selain atur dan awasi (command and control), instrumen ekonomi dan pengungkapan informasi (information disclosure),  telah diharapkan menjadi alternatif untuk melengkapi kekurangan dari command and control. 
Sampai saat ini, belum ada definisi standar untuk penaatan sukarela,   atau yang oleh Otto Soemarwoto diistilahkan dengan istilah Atur Diri Sendiri.  Dimana implementasinya dapat dikonseptualisasikan menjadi berbagai bentuk atau mekanisme yang berbeda-beda .
Penaatan sukarela adalah komitmen dari perusahaan pencemar untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan.  Sedangkan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memberikan definisi penaatan sukarela, yaitu “whereby firms make commitments to improve their environmental performance beyond what the law demands”.  Penaatan sukarela dalam kebijakan hukum lingkungan adalah suatu keadaan dimana perusahaan secara sukarela berkomitmen untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan hukum dan/atau melebihi ketentuan hukum lingkungan yang berlaku.
Blackman et.al., mengungkapkan, bahwa pemerintah di negara maju umumnya menerapkan penaatan sukarela untuk mendorong ketaatan yang melampaui hukum (beyond compliance). Sedangkan di negara berkembang, penaatan sukarela digunakan untuk membendung ketidaktaatan yang merajalela akibat ketidakberdayaan penegakan hukum, ketidaklengkapan peraturan, lemahnya kelembagaan lingkungan, dan terbatasnya kemauan politik pemerintah .
Dalam rangka mewujudkan ketaatan hukum, maka perbedaaan model implementasi antara instrumen command and control, penaatan sukarela atau instrumen ekonomi digambarkan yakni, bagaimanakah kecenderungan dari upaya pemerintah untuk mewujudkan ketaatan perusahaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu apakah menggunakan tongkat (stick) ataukah wortel (carrot).  Apabila diperbandingkan, upaya pengendalian pencemaran melalui command and control dilaksanakan dengan membuat peraturan perundangan yang mewajibkan perusahaan untuk mengendalikan pencemaran atau mencapai kualitas lingkungan tertentu (baku mutu). Sementara, pendekatan sukarela akan memberikan insentif atau disinsentif, tetapi bukan kewajiban hukum kepada perusahaan untuk melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan atau pengendalian pencemaran .
Partisipasi dalam program sukarela dapat menandakan adanya komitmen perusahaan untuk kebijakan lingkungan yang progresif, mendapatkan legitimasi dan itikad baik dari pemangku kepentingan.  Sebagai imbalan bagi perusahaan karena telah mengeluarkan “biaya” untuk mengadopsi kebijakan yang melampaui kepatuhan seperti itu, maka perusahaan dapat menerima manfaat, seperti itikad baik dari pemangku kepentingan eksternal, peningkatan reputasi, dan peningkatan hubungan eksternal .
Secara teori, kelemahan utama penaatan sukarela muncul dari manfaatnya yang bersifat kolektif, dimana mengakibatkan peserta memiliki insentif yang kuat untuk bertindak sebagai Pengendara Gratis (free-riders).  Dalam literatur ekonomi, pengendara gratis adalah pihak yang mendapatkan keuntungan dari barang publik tanpa mengeluarkan biaya untuk barang publik yang diamanfaatkannya.  Pengendara gratis telah menjadi tantangan utama, khususnya dalam desain dan pengembangan serta implementasi penaatan sukarela .
Proper Lingkungan merupakan salah satu instrumen penaatan sukarela di Indonesia, yang telah terbukti dapat mendorong ketaatan hukum perusahaan. Sebagai instrumen penaatan sukarela terbesar di Indonesia, maka adanya potensi pengendara gratis dalam implementasi Proper tentu menjadi relevan untuk dikaji. Penelitian ini secara normatif akan mendeskripsikan bentuk-bentuk free riders serta mengidentifikasi potensi free riders dalam Proper. 
Penelitian ini juga akan mendeskripsikan faktor-faktor pendorong free riders sehingga lebih lanjut dapat dianalisis berbagai upaya untuk meminimalisir kehadiran free riders dalam Proper. 

II. PEMBAHASAN 
A. Free Riders dalam Penaatan Sukarela
Free Rider dapat didefinisikan sebagai orang yang, sebagai anggota suatu kelompok, memutuskan untuk mengambil keuntungan dari konsumsi barang, atau penggunaan jasa, yang dihasilkan sebagai hasil dari upaya bersama oleh anggota kelompok, tanpa menanggung bagian (atau, dalam Free Rider murni, proporsional) dari biaya produksinya atau tanpa berkontribusi terhadap realisasi langsungnya. Salah satu cara sederhana untuk menggambarkan pengendara gratis adalah dengan membayangkan anggota tim dayung yang gagal melakukan bagian dayungnya dengan memalsukan upayanya untuk mendayung, yang akibatnya diistilahkan dengan “Free Rider” di atas kapal. 
Pengendara gratis (free riders) dalam literatur ekonomi adalah pihak yang mendapatkan keuntungan dari barang publik tanpa mengeluarkan biaya untuk barang publik yang diamanfaatkannya.   Oleh karenanya Free Rider bukanlah kasus yang luar biasa. Menurut teori ekonomi dan pilihan rasional (rational choice theory), ini adalah kondisi yang agak alami dari interaksi manusia dalam kelompok. Ini karena individu yang rasional dan mementingkan diri sendiri secara alami akan cenderung meminimalkan biaya partisipasi mereka dalam suatu kelompok jika mereka masih dapat memperoleh manfaat dari hasil kerja sama.  Dalam literatur ekonomi telah ada pertanyaan, yaitu “Mengapa saya harus membayar bagian saya, jika saya dapat menikmati manfaat dari barang publik tanpa melakukannya?”, Adalah pertanyaan yang telah mempermalukan ekonom selama beberapa dekade. Demikian pula, “Mengapa saya harus bekerja sama, jika dengan membelot saya bisa mendapatkan hasil yang lebih besar?”  
Dengan demikian, maka pengendara gratis dalam konteks program sukarela adalah perusahaan yang turut memperoleh manfaat dari kehadiran program sukarela, tanpa turut berkontribusi atau mengeluarkan biaya dan usaha atau berpartisipasi dalam suatu program sukarela.
Secara umum, terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan ketika berpartisipasi dalam suatu program sukarela, antara lain yaitu:  mendapatkan pengakuan, insentif dan/atau reputasi yang baik dari pemerintah, stakeholders dan/atau pemangku kepentingan; meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan pemerintah serta berpeluang mengantisipasi dan/atau menangkap (mempengaruhi) peraturan perundangan; mendapatkan akses ke informasi dan sumber daya; memberikan pengaruh dan agen perubahan internal dalam perusahaan; meningkatkan penjualan mereka di pasar atau pembeli yang peduli dengan kinerja lingkungan suatu perusahaan; dan mencapai biaya produksi yang optimal atau proses produksi yang efisien dan efektif. 
Kredibilitas banyak pendekatan sukarela telah dipengaruhi oleh 'pengendara bebas'. Berkendara bebas adalah masalah khusus untuk pendekatan sukarela mengingat bahwa mereka tidak memiliki banyak keutamaan peraturan negara dalam hal visibilitas, kredibilitas, akuntabilitas, penerapan wajib, standar dan sanksi yang lebih ketat (Gunningham dan Sinclair, 2002: 99). 
Berdasarkan bukti empiris, Rory Sullivan mengidentifikasi adanya tiga bentuk pengendara gratis dalam program sukarela di Australia, yaitu Perusahaan Non Peserta Program Sukarela; Perusahaan peserta yang hanya patuh sebagian dari keseluruhan ketentuan sukarela; dan Peserta program yang berkinerja buruk (membatasi manfaat bagi para peserta).
Sedangkan menurut Gunningham dan Rees, kasus “free riding” dapat timbul dalam dua cara. (Gunningham and Rees, 1997).  Pertama, terutama ketika VA adalah pengganti dari peraturan yang lebih ketat (yang berarti mereka menyebabkan biaya untuk perusahaan yang berpartisipasi) perusahaan yang tidak berpartisipasi mendapatkan keunggulan kompetitif yang tidak adil. Untuk menghindari hal ini, VA harus melibatkan sejumlah perusahaan yang mewakili sebagian besar sektor ini dan harus mencakup semua pesaing yang paling relevan. Kedua, free riding dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan. Kasus ini bisa sangat relevan ketika VA terjadi antara Pemerintah dan anak perusahaan atau cabang organisasi, yang terjadi jika perusahaan memutuskan untuk tidak menghormati target individualnya. Selain mengubah kompetisi dan meningkatkan kekhawatiran tentang pemerataan, free riding dapat membahayakan efisiensi dan juga menyebabkan kegagalan dalam memenuhi target yang disepakati.

B. Program Peringkat Kinerja (Proper)
Proper atau yang awalnya bernama Proper Prokasih adalah program pemerintah Indonesia pertama yang secara langsung berupaya untuk mengatasi permasalahan pencemaran dari sektor industri.  Pada awalnya, menurut Keputusan Menteri Negala Lingkungan Hidup No : KEP/-35A?MENLH/7/1995 tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/ Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran Dalam Lingkup Kegiatan Prokasih (Proper Prokasih), maka aspek penilaian diutamakan pada pengendalian pencemaran air, yang sebelumya telah diimplementasikan dalam Prokasih. 
Program yang mendapat bantuan pendanaan dari CIDA, AUS-AID dan Bank Dunia ini dihentikan tahun 1998 akibat krisis ekonomi dan politik.  Proper kembali dilaksanakan melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 127/MENLH/2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana awalnya ruang lingkupnya hanya mencakup pengendalian pencemaran air, lalu diperluas, dengan ditambahkannya aspek pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan limbah B3.  
Saat ini, landasan hukum Proper telah berulang kali direvisi, yaitu melalui Kepmenlh No.127 Tahun 2002 Jo. Kepmenlh No 250 Tahun 2004; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Permenlh) Nomor 7 Tahun 2008; Permenlh Nomor 18 Tahun 2010; Permenlh Nomor 5 Tahun 2011; dan Permenlh Nomor 6 Tahun 2013. Saat ini yang berlaku adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2014 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan (Permenlh Proper).
Menurut Permenlh Proper, Program penilaian kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut proper adalah evaluasi ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan di bidang pengendalian pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup, serta pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.  Melalui definisi tersebut, maka dapat kita simpulkan, bahwa sasaran pelaksanaan Proper adalah untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan perusahaan.
Pada masa awalnya, peserta Proper Prokasih berjumlah 187 perusahaan, yang diambil dari 176 peserta terbaik dalam Prokasih yang berjumlah 1.405 perusahaan. Sedangkan 11 peserta adalah perusahaan yang secara sukarela ikut dalam Proper Prokasih.  Saat dimulainya kembali Proper di Tahun 2002, perusahaan yang menjadi peserta Proper menjadi semakin sedikit yaitu sebanyak 85 perusahaan.  Kemudian pada tahun berikutnya, sampai dengan tahun 2017-2018, jumlah peserta setiap periodenya menunjukan kecenderungan semakin bertambah. Selengkapnya disajikan dalam Diagram peserta Proper.

Grafik : Jumlah peserta dalam Proper KLHK.  

Kriteria Penilaian Proper
Koesnadi menyebutkannya Proper dengan istilah peringkat kinerja (Performance Rating).  Dalam proses penilaiannya Proper Prokasih menggunakan Grade penilaian menjadi lima (5) kategori warna, yaitu hitam, merah, biru, hijau dan emas.  Konversi hasil penilaian menjadi “warna” bertujuan agar informasi hasil penilaian yang disajikan lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Peringkat emas, untuk perusahaan atau kegiatan usaha yang melaksanakan produksi bersih dan/atau emisi nol dan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan serta telah mencapai hasil yang sangat memuaskan sehingga patut menjadi teladan bagi usaha-usaha lainnya; Peringkat hijau, untuk perusahaan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; Peringkat biru, untuk perusahaan yang telah mendapatkan hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; Peringkat merah, untuk perusahaan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan; Peringkat hitam, untuk perusahaan yang tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan atau usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. 
Berdasarkan kriteria 5 warna tersebut, apabila dikaitkan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, maka penilaian Proper dapat dibagi menjadi 3 kriteria dasar, yaitu kriteria tidak taat, kriteria taat, dan kriteria melebihi ketaatan. Selengkapnya dipaparkan berikut ini :
a) Kriteria tidak taat berperingkat Merah dan Hitam, apabila perusahaan tidak melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. 
b) Kriteria taat atau peringkat biru dimana perusahaan telah melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam konteks Proper (dibatasi) mencakup, PP Izin Lingkungan, PP pengendalian Pencemaran Udara, PP Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan PP Pengelolaan Limbah B3. 
c) Kriteria melebihi ketaatan atau peringkat Hijau dan Emas, dimana perusahaan telah melampaui peringkat biru atau melebihi ketaatan. Perbedaaan antara aspek ketaatan dan aspek melebihi ketaatan adalah ada tidaknya ketentuan wajib yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan. 
Evaluasi aspek “tidak taat” dan kriteria “taat”, secara substansial merupakan wujud dari instrumen command and control. Aspek ketaatan mengacu pada ketentuan Pasal 5 Permenlh Proper, yang didasarkan atas kewajiban hukum perusahaan yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku (regulatory based). Dengan kata lain, ada atau tidaknya Proper, sesungguhnya perusahaan telah memiliki kewajiban hukum untuk menjalankan upaya pengelolaan lingkungan. 
Menurut Pasal 4 Ayat (2) butir (a), aspek penilaian ketaatan mencakup ketaatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran lingkungan, pengendalian kerusakan lingkungan dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Peraturan perundangan tersebut antara lain, yaitu ketentuan perizinan lingkungan sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, ketentuan pengendalian pencemaran air dalam PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, ketentuan pengendalian pencemaran udara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan pengelolaan limbah B3 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.  Sedangkan khusus untuk kegiatan pertambangan ditambahkan kriteria potensi kerusakan lahan.  Sampai kini kurang lebih 46 peraturan diintegrasikan dalam kriteria penilaian. Selain peraturan yang bersifat umum pengawasan, juga dilakukan terhadap izin-izin lingkungan yang sifatnya individual untuk masing masing perusahaan. 
Sedangkan kriteria “Melebihi Ketaatan” adalah wujud dari penaatan sukarela, yang dilaksanakan oleh perusahaan didasarkan atas kesukarelaan, bukan dari kewajiban hukum. Kriteria ini secara historis adalah pelajaran dari penerapan Prokasih, dengan tujuan mendorong perusahaan yang “taat”, secara sukarela untuk mencapai tingkat “melebihi ketaatan”. Hal yang sebelumnya tidak terdapat dalam Prokasih. Dorongan tersebut diwujudkan melalui pemberian penghargaan kepada peringkat melebihi ketaatan, yaitu Hijau dan Emas.
Menurut Pasal 4 Ayat (2) butir (b), aspek melebihi ketaatan (beyond compliance) mencakup evaluasi terhadap kinerja usaha dan/atau kegiatan yang melebihi ketaatan dari yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan atau melebihi ruang lingkup kriteria yang tercakup dalam aspek ketaatan Proper. Lebih lanjut, menurut Pasal 6 Ayat (3), proses evaluasi penilaian melebihi ketaatan dilakukan terhadap delapan (8) kegiatan, yaitu sistem manajemen lingkungan; efisiensi energi; pengurangan dan pemanfaatan limbah B3; pelaksanaan pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang limbah padat non bahan berbahaya dan beracun (B3); penurunan emisi dan/atau gas rumah kaca; efisiensi penggunaan air dan penurunan beban pencemaran air; perlindungan keanekaragaman hayati; dan pemberdayaan masyarakat.

Manfaat Proper 
Proper menawarkan citra atau reputasi kepada para pesertanya melalui pemberian penghargaan serta sertifikat proper. Adanya reputasi yang baik bagi perusahaan akan berpengaruh terhadap pandangan para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, melalui perubahan undang-undang dan peraturan, pelanggan/ konsumen; masyarakat lokal dan organisasi non-pemerintah (LSM); investor dan para karyawan. Misalnya reputasi yang baik dapat menimbulkan motivasi serta tingkat produktivitas tenaga kerja dan pandangan masyarakat di sekitar perusahaan. Sehingga memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih baik serta mempermudah proses perizinan dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi atau untuk membangun pabrik yang baru.
Penghargaan diberikan kepada perusahaan yang melebihi ketaatan. Penghargaan merupakan suatu insentif, berupa pemberian citra/reputasi yang positif kepada perusahaan berperingkat hijau dan emas dengan kinerja lingkungan yang melebihi ketaatan. Sedangkan sertifikat diberikan kepada perusahaan yang ikut serta dalam Proper, baik yang berperingkat tidak taat, taat, maupun melebihi ketaatan. Sertifikat dapat berarti insentif atau disinsentif, dimana menjadi reputasi positif kepada perusahaan yang meraih peringkat biru atau taat. Sebaliknya menjadi reputasi negatif terhadap perusahaan berperingkat merah dan hitam atau kinerja lingkungan tidak taat.
Setiap tahunnya KLHK telah menyelenggarakan malam pemberian penghargaan dengan pemberian sertifikat dan Tropi kepada peserta Proper yang meraih peringkat taat, yaitu Biru, Hijau dan Emas. Pada periode 2016-2017, 2017-2018 misalnya, penghargaan kepada perusahaan yang meraih peringkat Emas secara langsung diberikan oleh Wakil Presiden. Pemberian penghargaan juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah di daerahnya masing-masing,  Pelaksanaan pemberian penghargaan atau pengumuman kepada publik semakin meningkatkan insentif berupa reputasi atau citra yang baik kepada perusahaan. 
Hasil penilaian Proper dapat menjadi informasi bagi para pemangku kepentingan untuk dapat mengidentifikasi perusahaan sesuai dengan kriteria yang telah diraih dalam Proper, yaitu melebihi ketaatan, taat atau tidak taat. Bank Indonesia misalnya, telah menetapkan ketentuan dimana salah satu komponen dalam penilaian prospek usaha untuk penilaian kualitas kredit adalah upaya debitur dalam memelihara lingkungan hidup sesuai peraturan perundangan yang berlaku, yakni melalui hasil penilaian Proper.  
Proper juga memberikan Publikasi setiap tahunnya, yang berisi hasil penilaian serta berbagai upaya pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan oleh peserta Proper. Informasi inilah tentunya menguntungkan perusahaan, karena biaya pendidikan bagi tenaga kerja atau peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang seharusnya dikeluarkan perusahaan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan dapat diminimalisir oleh perusahaan. 

C. Free Riders dalam Proper Lingkungan
Secara umum, perusahaan yang mendapatkan manfaat secara gratis dapat diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu perusahaan nonpeserta dan perusahaan peserta program sukarela. Langkah keikutsertaan suatu perusahaan dalam Proper, akan memastikan perusahaan untuk mengambil tindakan dalam rangka mengimplementasikan berbagai kriteria yang dipersyaratkan Proper. Perusahaan akan membutuhkan biaya dan sumber daya untuk dapat meraih peringkat taat atau bahkan melebihi ketaatan. Sedangkan perusahaan non peserta Proper yang tidak berpartisipasi serta perusahaan peserta yang meraih peringkat tidak taat, tentunya akan lebih sedikit atau bahkan tidak mengeluarkan biaya atau sumber daya sama sekali. Oleh karenanya, perusahaan yang tidak berpartisipasi tetap akan mendapatkan reputasi positif dari penyelenggaraan Proper secara gratis. 
Sedangkan bagi perusahaan yang berpartisipasi dalam Proper dan meraih peringkat tidak taat, tidak bisa memperoleh manfaat gratis tersebut. Perusahaan berperingkat tidak taat telah diberikan insentif negatif, melalui reputasi negatif dari pemberian label “tidak taat” melalui peringkat Merah dan Hitam dalam Proper.
Berikut dipaparkan sebagai berikut :

Perusahaan Peserta Proper
Potensi free riders pertama bersumber dari manfaat timbulnya reputasi positif yang ditimbulkan dari penyelenggaraan Proper. Sebagai program terbesar yang secara khusus memantau ketaatan hukum perusahaan, telah menjadikan hasil penilaian Proper, seolah-olah menjadi tolak ukur dari perilaku seluruh perusahaan di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan desentralisasi Proper yang berlangsung (hampir) di seluruh daerah Provinsi, membuat kepesertaan Proper yang berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Akibatnya semakin memperkuat kesan keterwakilan Proper, sebagai tolak ukur kinerja pengelolaan lingkungan seluruh perusahaan di Indonesia. 
Publikasi KLHK terhadap keberhasilan Proper selama ini, telah menimbulkan kesan yang seolah-olah, bahwa kinerja Proper menjadi tolak ukur kinerja dari seluruh perusahaan di Indonesia. Insentif berupa reputasi positif tersebut yang kemudian dinikmati oleh seluruh perusahaan, baik oleh peserta maupun nonpeserta Proper.
Tampaknya pencitraan Proper seperti itu tampaknya mendapat dukungan dari pemerintah dan media massa. Mungkin pada sisi pemerintah, telah mendapatkan keuntungan dengan publikasi tersebut, yang seolah-oleh menunjukan, bahwa kinerja pengawasan KLHK terhadap seluruh perusahaan di Indonesia telah terlaksana.
Sebagai gambaran misalnya, publikasi KLHK melalui pemberitaan media dengan judul sebagai berikut “Menteri LHK: Tingkat Ketaatan Perusahaan pada Peraturan Capai 85%” . Adalah untuk menunjukan keberhasilan peserta Proper yang jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan seluruh perusahaan yang berotensi menjadi peserta Proper. Namun, dampak dari judul publikasi tersebut dapat menimbulkan kekeliruan penafsiran masyarakat. Dimana masyarakat dapat menafsirkan, bahwa kinerja seluruh perusahaan di Indonesia, sebagian besar telah mencapai ketaatan hukum. 
Padahal, dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap ketaatan hukum yang bersifat wajib, maka jumlah peserta Proper sesungguhnya masih jauh dari kondisi ideal. Menurut Publikasi Proper di tahun 2009 diperkirakan ada 8.000 -10.000 perusahaan yang berpotensi untuk dijadikan peserta Proper.  Sedangkan, menurut data BPS di tahun 2015, diketahui jumlah perusahaan industri besar dan sedang yang terdapat di Jawa dan Luar Jawa mencapai 26.322 perusahaan.  Kemudian jumlah industri kecil yang turut berpotensi menimbulkan pencemaran atau dampak negatif terhadap lingkungan jumlahnya jauh lebih besar, yaitu mencapai 284.501 perusahaan.  Dengan kata lain, masih banyak perusahaan yang berpotensi mencemari, namun tidak menjadi objek dalam pengawasan hukum dalam Proper.
Berikutnya, manfaat berupa reputasi positif yang dapat dimanfaatkan secara gratis adalah reputasi yang timbul dari penafsiran, bahwa ketaatan hukum Proper menjadi tolak ukur ketaatan hukum perusahaan pada sektor-sektor yang tercakup dalam kepesertaan Proper. Hal tersebut ketika Proper tidak mengikutsertakan perusahaan pencemar terbesar dalam sektor usaha atau sebaliknya, hanya diikuti oleh sebagian kecil perusahaan pencemar dalam suatu sektor usaha.
Sebagai gambarannya, peserta Proper saat ini berasal dari berbagai sektor usaha, seperti industri minyak dan gas bumi, pertambangan emas dan batubara, Semen, pulp & paper, Gula, Karet, Kimia, Tapioka. Namun jumlah peserta yang ada tidaklah menunjukan adanya keterkaitan dengan tingkat kuantitas atau kualitas pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan atau potensi dampak yang dapat ditimbulkan dari suatu perusahaan dalam sektor usahanya masing-masing. Sampai saat ini, tidak diketahui secara pasti, apakah peserta Proper hanya mencakup sebagian kecil ataukah telah mewakili sebagian besar perusahaan yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan yang terbesar di bidangnya masing-masing. 
Pada sektor kelapa sawit misalnya, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada tahun 2018 produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai 43 juta ton . Sehingga untuk dapat dikatakan mewakili sebagian besar penghasil CPO, maka idealnya jumlah perusahaan penghasil CPO yang menjadi peserta Proper harus menghasilkan lebih dari 21,5 juta ton CPO atau lebih dari 50%. Ketika publikasi Proper mengumumkan hasil peringkat yang diperoleh oleh peserta, yang kenyataanya hanya sebagian kecil penghasil CPO, kemudian dinikmati oleh keseluruhan industri CPO. Sebab, reputasi yang didapatkan, seolah-olah menjadi tolak ukur terhadap keseluruhan industri CPO. Hal yang sama juga dapat berlaku terhadap sektor usaha lainnya, seperti industri minyak dan gas bumi, pertambangan batubara, Semen, pulp & paper, Gula, Karet, Kimia, atau Tapioka. 
Contoh lainnya dari pertambangan emas. Perusahaan Freeport misalnya, merupakan salah satu penghasil emas terbesar di Indonesia dan bahkan di Dunia. Berdasarkan tingkat produksinya, maka Freeport telah memenuhi syarat sebagai representasi sektor pertambangan emas. Namun sampai sekarang tidak diketahui alasan kenapa Freeport tidak menjadi peserta dalam Proper. 
Sebagai contoh, program perjanjian yang dinegosiasikan untuk pengurangan polusi yang disebut dengan istilah "covenant" di Belanda. Berdasarkan perjanjian, maka perusahaan harus menyusun rencana lingkungan untuk masing-masing pabrik mereka (menggambarkan target lingkungan dan langkah-langkah untuk penerapannya). Dimana salah satu aspek keberhasilan yang diklaim oleh Kementerian Lingkungan Hidup Belanda adalah kesuksesan tingkat partisipasi perusahaan kimia dalam program covenant, dimana mencapai 91 persen atau berjumlah 114 dari 125 perusahaan telah berpartisipasi dalam perjanjian dan menyusun Rencana Lingkungan Perusahaan.  
Potensi lainnya yang dapat diperoleh secara Gratis adalah akibat Perusahaan yang berasal dari sektor usaha yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan dipersandingkan secara bersama-sama dengan sektor usaha yang memiliki dampak tidak penting terhadap lingkungan. 

Proper mengikutsertakan perusahaan dari berbagai sektor usaha, seperti minyak dan gas bumi, pertambangan, manufaktur dan agroindustri serta makanan dan minuman. Perusahaan yang berasal dari sektor usaha yang memiliki dampak negatif yang besar terhadap lingkungan tentunya akan diuntungkan, apabila dipersandingkan secara bersama-sama dengan sektor usaha yang memiliki dampak tidak penting terhadap lingkungan. 
Sebagai contoh, kriteria penilaian aspek pengendalian pencemaran air antara perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) dan perusahaan dari sektor agroindustri dengan potensi air limbah yang mungkin lebih besar. 
Begitupula keuntungan bagi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi atau Pertambangan misalnya, yang akan diuntungkan apabila dinilai dampaknya kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya dengan perusahaan yang berdampak kecil terhadap lingkungan,misalnya perusahaan AMDK. 
Sebaliknya perusahaan makanan dan minuman tentu akan mengalami kerugian apabila dipersandingkan dengan perusahaan yang memiliki potensi pencemaran terbesar di bidangnya. 
Secara sederhana, apabila menyesuaikan dengan konsep yang diatur dalam peraturan perundangan, maka perusahaan yang memiliki UKL-UPL akan mengalami kerugian apabila dinilai secara bersama-sama dengan perusahaan yang wajib Amdal. Perusahaan yang wajib Amdal tentunya memiliki resiko yang lebih besar terhadap lingkungan, sehingga berpengaruh terhadap reputasinya.
Begitupula perusahaan dari Group yang sama, namun hanya mengikutsertakan sebagian kecil perusahaan yang berasal dari unit usahanya. Perusahaan dari Group Pertamina misalnya, hanya mengikutsertakan unit usaha distribusinya, sedangkan unit eksplorasinya atau pengeboran lepas pantainya yang cenderung memiliki risiko pengeelolaan lingkungan yang lebih tinggi, malah cenderung tidak diikutsertakan. 
Contoh lainnya adalah, jika sebuah Group prusahaan hanya mengirimkan unit usaha yang menghasilkan sebagian kecil dari seluruh total produksinya, bahkan hanya unit usaha yang jarang berproduksi. Sebaliknya malah enggan atau tidak mengikutsertakan unit usaha yang memiliki kapasitas produksi lebih besar, yang lebih berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Atau hanya mendapatkan nilai minimal taat (biru). Sedangkan unit usaha lainnya yang kegiatannya tidak berpotensi mencemari atau merusak lingkungan mendapatkan nilai hijau atau emas. Sehingga nilai dan reputasi yang diperoleh unit usaha yang relatif tidak mencemari, akan turut mendorong reputasi unit usaha lainnya yang buruk. 
Potensi free riders berikutnya bersumber dari insentif berupa penyediaan publikasi atau informasi pengelolaan lingkungan yang diberikan melalui publikasi Proper KLHK. 
Manfaat tersebut dapat diperoleh secara gratis oleh nonpeserta Proper tanpa memerlukan biaya atau sumber daya dalam rangka memperoleh informasi berupa, langkah atau praktik pengurangan air limbah, polusi udara, emisi gas rumah kaca, limbah berbahaya dan beracun (Limbah B3) serta praktik-praktik efesiensi penggunaan energi, air dan berbagai bentuk penerapan praktik terbaik (best practice) lainnya oleh peserta Proper. 

Perusahaan Peserta Proper 
Bentuk free rider yang kedua dalam Proper adalah reputasi yang ditimbulkan dari pemberian penghargaan Proper. Dimana keseluruhan perusahaan peserta Proper, maupun yang sebagian telah memperoleh manfaat secara gratis akibat terlalu umumnya Target atau Kinerja Lingkungan yang ingin dicapai dalam Proper. 
Target Proper dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu target ketaatan hukum perusahaan dan target melebihi ketaatan hukum perusahaan. Target ketaatan hukum perusahaan yang selama ini timbul dari Proper, seolah-olah menggambarkan bahwa kriteria penilaian Proper telah mencakup seluruh aspek dalam pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi kewajiban perusahaan. 
Padahal, sesuai dengan kriteria Proper, hanya mencakup 4 aspek ketaatan hukum saja, yaitu administrasi perizinan lingkungan, pengelolaan limbah B3, pengendalian pencemaran air dan udara serta kriteria khusus berupa rehabilitasi kerusakan lahan akibat pertambangan. Oleh karenanya masih banyak kewajiban hukum lainnya yang tidak tercakup dalam kriteria ketaatan Proper lingkungan, misalnya kewajiban hukum pengelolaan sampah, pengelolaan B3, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, bangunan ramah lingkungan, pemanfaatan air hujan, pengendalian kerusakan ozon, CSR, dan kewajiban hukum lainnya yang bersifat khusus bagi suatu perusahaan tertentu, misalnya penghormatan terhadap masyarakat adat.
Misalnya saja, judul pemberitaan sebagai berikut “Menteri LHK: Tingkat Ketaatan Perusahaan pada Peraturan Capai 85%”,  dimana judul tersebut telah menimbulkan kesan yang seolah-olah, bahwa kinerja seluruh perusahaan di Indonesia, sebagian besar telah mencapai ketaatan hukum.
Istilah atau definisi “taat” dan “tidak taat”dalam Proper, pada saat penilaian, penyerahan penghargaan dan sertifikat serta publikasi hasil penilaian Proper, telah memberikan kesan, bahwa perusahaan telah menaati seluruh ketentuan peraturan perundangan terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang berlaku. Sehingga menimbulkan anggapan yang keliru, bahwa perusahaan yang mendapatkan peringkat taat dalam Proper, adalah perusahaan yang telah mentaati seluruh ketentuan hukum di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia.
Manfaat tersebut sangat berpotensi dinikmati oleh perusahaan peserta Proper, khususnya perusahaan berperingkat taat dan melebihi ketaatan (biru, hijau dan emas). Seharusnya perusahaan yang memperoleh nilai “taat” hanya diartikan, bahwa telah menaati aspek hukum yang menjadi kriteria Proper, misalnya pengendalian pencemaran air dan udara, dan pengelolaan limbah B3 (baku kerusakan tambang). Perusahaan tentunya diuntungkan dengan terlalu umumnya istilah yang digunakan dalam penilaian Proper. 
Perusahan menjadikan kriteria ketaatan dalam Proper, seolah-olah merupakan bentuk ketaatan terhadap keseluruhan hukum terkait pengelolaan lingkungan secara keseluruhan. Sehingga perusahaan dapat mengklaim dirinya kepada seluruh pemangku kepentingan, bahwa mereka telah mentaati seluruh penaatan hukum lingkungan berdasarkan hasil penilaian Proper. 
Bentuk kriteria yang beragam dalam Proper, seharusnya tidaklah diartikan atau disederhanakan menjadi arti dari ketaatan seluruh peraturan perundangan terkait pengelolaan lingkungan yang berlaku. Perusahaan peserta akan diuntungkan karena tidak perlu mengeluarkan sumber daya dan biaya dalam rangka memenuhi aspek ketaatan hukum, yang tidak tercakup dalam kriteria penilaian Proper.
Dampak lanjutan dari penggunaan istilah yang berpotensi menimbulkan kekeliruan tersebut, adalah gambaran yang ditangkap oleh para stakeholders atau pemangku kepentingan lainnya. Hasil penilaian Proper menjadi informasi bagi para pemangku kepentingan, seperti kalangan perbankan untuk dapat mengidentifikasi perusahaan sesuai dengan kriteria yang telah diraih dalam Proper, yaitu melebihi ketaatan, taat atau tidak taat.
Sebagai gambarannya, yaitu anggapan dari Bank Indonesia misalnya, yang telah menjadikan kriteria Proper sebagai penilaiannya secara keseluruhan terhadap aspek lingkungan suatu perusahaan. Bank indonesia terkesan tidak mempertimbangkan secara keseluruhan aspek penaatan hukum lingkungan, termasuk yang bukan menjadi kriteria penilaian dalam Proper. 
Seharusnya keseluruhan aspek penaatan hukum perusahaan, telah terintegrasi ke dalam penaatan dokumen lingkungan perusahaan, yaitu Analisisi Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Sehingga untuk dapat dikatakan taat keseluruhan, maka perusahaan harus dipastikan telah menaati seluruh ketentuan yang telah diamanatkan dalam dokumen lingkungan. mungkin layak dipertimbangkan untuk menyesuaikan kriteria penilaian Proper sesuai dengan ketaatan dokumen lingkungan perusahaan. 
Manfaat reputasi berikutnya yang dapat diperoleh secara gratis adalah reputasi yang timbul dari akibat adanya ketidakselarasan antara target ketaatan dan target melebihi ketaatan dalam proper. 
Hal tersebut tercermin dari kriteria “pemberdayaan masyarakat” dalam Proper. Dimana publikasi yang diberikan, seolah-olah menggambarkan kriteria tersebut merupakan wujud ketaatan hukum perusahaan terhadap kewajiban hukum dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau yang juga dikenal dengan istilah Coorporate Social Responsibility (CSR). Sinergisitas kriteria “Pemberdayaan Masyarakat” berbeda dengan kriteria lainnya, yang menunjukan keselarasan antara aspek ketaatan hukum dan aspek melebihi ketaatan hukum. Misalnya saja, keselarasan antara kriteria aspek kewajiban hukum dalam pengelolaan limbah B3 dan kriteria melebihi ketaatan untuk mengurangi limbah B3 yang dihasilkan.
Meskipun Definisi “Pemberdayaan Masyarakat” yang digunakan dalam Proper berbeda dengan yang diatur dalam peraturan perundangan, namun tetap berpotensi menimbulkan kekeliruan penafsiran bagi para pemangku kepentingan. Peletakan pada aspek melebihi ketaatan, memberikan kesan bahwa perusahaan telah taat hukum. Sehingga menimbulkan kesan keliru, bahwa perusahaan telah memenuhi kewajiban hukum yang telah diatur ketentuan terkait Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSL). Padahal dalam penilaian Proper, tidaklah menilai kewajiban hukum CSR perusahaan secara keseluruhan. 
Kriteria Pemberdayaan Masyarakat yang diletakkan pada aspek melebihi ketaatan, seolah-olah memberikan kesan, bahwa perusahaan telah menaati ketentuan hukum CSR. Seharusnya kriteria CSR ditempatkan pada kriteria ketaatan yang kemudian disinergiskan dengan kriteria melebihi ketaatan. Karena CSR telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Penggunaan istilah TJSL atau CSR atau Bina Lingkungan yang beragam, tidak dapat mengenyampingkan ketentuan hkum CSR yang telah diatur, khususnya besaran CSR yang telah diwajibkan dalam peraturan perundangan.
Penerima manfaat secara gratis dalam kriteria tersebut adalah perusahaan berperingkat melebihi ketaatan, yakni hijau dan emas. Perusahaan berperingkat melebihi ketaatan dapat saja mengklaim, bahwa mereka telah mengimplementasikan kewajiban hukum CSR berdasarkan hasil penilaian kriteria Pemberdayaan Masyarakat yang terdapat dalam Proper.
III. Penutup
Kesimpulan 
Secara umum maka potensi free riders terdiri atas dua kategori umum, yaitu peserta dan nonpeserta. 
Seluruh perusahaan peserta Proper berpotensi mendapatkan manfaat gratis berupa reputasi yang mungkin timbul karena kriteria Proper dianggap sebagai tolak ukur ketaatan terhadap seluruh ketentuan hukum terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Padahal, masih banyak aspek hukum PPLH yang telah menjadi kewajiban hukum perusahaan namun tidak tercakup dalam kriteria penilaian Proper.
Peserta Proper dengan potensi pencemaran terbesar dalam Proper juga diuntungkan dengan mekanisme penilaian yang disamakan, atara perusahaan berdampak penting dan berdampak tidak penting terhadap lingkungan.
Peserta melebihi ketaatan berperingkat hijau dan emas juga mendapatkan manfaat Gratis, berupa reputasi akibat kriteria melebihi ketaatan dalam Proper yang tidak disinergiskan dengan kriteria ketaatan hukum. Dimana terdapat potensi timbulnya anggapan yang keliru, bahwa perusahaan berperingkat hijau dan emas yang menjalankan kriteria CSR dalam Proper, seolah telah dianggap menjalankan kewajiban hukumnya. Padahal, Proper tidaklah menyesuaikan kriteria penilaian ketaatan hukumnya dengan ketentuan kewajiban hukum CSR. Khususnya kewajiban hukum terkait besaran CSR minimal, yang telah diatur dalam peraturan perundangan. 
Sedangkan non-peserta akan mendapatkan manfaat gratis berupa reputasi yang timbul karena adanya kekeliruan, bahwa Proper dianggap sebagai tolak ukur kinerja ketaatan hukum seluruh perusahaan di Indonesia. Padahal masih banyak perusahaan yang berpotensi menjadi peserta dalam Proper tidak berpartisipasi.
Manfaat gratis lainnya diperoleh dari reputasi positif yang bersumber dari kekeliruan, bahwa perusahaan peserta Proper dianggap telah merepresentasikan seluruh perusahaan pada sektor-sektor, yang turut menjadi peserta dalam Proper. 
Manfaat gratis lainnya yang diperoleh oleh nonpeserta adalah mendapatkan informasi terkait upaya pengelolaan lingkungan perusahaan yang bersumber dari Publikasi Proper yang terbit setiap tahunnya. 

Saran
Mengingat potensi dampak dari kehadiran free riders dalam program sukarela, maka KLHK perlu untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka meminimalisir terjadinya Free Riders. 
Mungkin akan diperlukan kajian yang lebih mendalam, terhadap perbedaan potensi free riders antara program sukarela yang diterapkan di negara berkembang dan negara maju. 
KLHK mungkin dapat mempertimbangkan adanya perubahan pengumuman yang dapat menimbulkan penafsiran yang keliru terhadap hasil penilaian Proper. 
Selain itu KLHK juga layak mempertimbangkan adanya perubahan kriteria penilaian ketaatan maupun melebihi ketaatan, agar diselaraskan sehingga meminimalisir tmbulnya kekeliruan penafsiran. 
Selain itu KLHK juga dapat mempertimbangkan desain kepesertaan, yang mengandung komposisi perusahaan dalam sektor-sektor yang diikutsertakan dalam Proper, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru bagi para pemangku kepentingan atau seluruh stakeholders. 
Desain dan Tujuan Proper sangat beragam. Sehingga memiliki banyak kelemahan dalam mekanisme penilaian dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan lingkungan yang ingin dicapai. Selain itu, Proper tidak memiliki tujuan lingkungan yang dapat dikuatifikasi atau diukur untuk mengevaluasi keberhasilan dari pelaksanaan Proper. 

Sunday, 23 February 2020

Sertifikasi Marine Stewardship Council

MSC didirikan atas inisiatif WWF dan Unilever sebagai salah satu di dunia pembeli ikan beku terbesar, pada tahun 1997 (MSC, 2001b). MSC tumbuh dari bisnis-kemitraan lingkungan yang kedua organisasi, dimana keduanya merupakan pemimpin di masing-masing bidang, yang dibentuk pada tahun 1995. 
MSC adalah program sertifikasi terkemuka untuk makanan laut berkelanjutan, dan bekerja dengan lebih dari 200 perikanan dari Sydney ke Seattle, Edinburgh ke Cape Town. Standar-standarnya berfokus pada praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, dengan fokus pada isu-isu seperti keanekaragaman hayati, dampak lingkungan, pengelolaan, dan penelusuran. Untuk pemaket, pengecer, dan restoran, restoran ini memberikan jaminan sumber asli serta praktik perikanan berkelanjutan.
Pada tahun 2018, telah ada 300 perikanan di lebih dari 34 negara telah tersertifikasi dengan Standar MSC. Meski demikian, Program Consultan Indonesia MSC, Hirmen Syofyanto, mengatakan belum ada produk asal Indonesia yang bersertifikat MSC.  
Meskipun motivasi para mitra sangat berbeda, tujuan mereka adalah sama: untuk membalikkan tren semakin serius yang tidak berkelanjutanpenangkapan ikan. 
WWF prihatin dengan dampak meluasnya penangkapan ikan di lautekosistem dan kapasitas terbatas dari program peraturan untuk memastikan perikanan ituberkelanjutan. Unilever berpendapat bahwa masa depan beberapa perusahaan mereknyayang berurusan dengan makanan laut beku, seperti Burung Mata dan Iglo, terancam menumbuhkan persepsi konsumen tentang lautan dan potensi gangguan pasokan di masa depan yang disebabkan oleh penangkapan ikan yang berlebihan. 
Kedua mitra memutuskan untuk membuat MSC untuk memanfaatkan kekuatan pasar dan kekuatan konsumen yang mendukung perikanan berkelanjutan dan dikelola dengan baik. Bersama,mereka menyumbang lebih dari US $ 1 juta dana awal untuk MSC, dibagi secara merata antara mitra. 
Sejak 1999, MSC telah beroperasi secara independen dari para pendirinya. MSC menyatakan misinya sebagai 'untuk menjaga pasokan makanan laut dunia dengan mempromosikan pilihan terbaik untuk aspek lingkungan'. Dalam misi ini, MSC mengatakan tugasnya adalah:
• untuk melestarikan populasi ikan laut dan lingkungan laut di mana mereka tergantung;• untuk melestarikan pasokan makanan laut dunia untuk masa depan; • untuk memberikan konsumen informasi yang akurat tentang pilihan lingkungan terbaik dalam makanan laut;• untuk bekerja dalam kemitraan dengan para pemangku kepentingannya; • untuk memastikan program dan manfaatnya tersedia untuk semua terlepas dari ukuran atau wilayah; • untuk melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab dan terbuka. 
MSC mengatakan bahwa mereka akan melakukan hal berikut, antara lain, dalam melaksanakan hal inimisi: • mendorong sertifikasi perikanan independen ke Standar MSC; • mengidentifikasi, melalui label lingkungan MSC, produk-produk dari perikanan bersertifikat;• mendorong pembeli dan penjual makanan laut untuk mencari produk berlabel MSC; • menilai dan mengakreditasi pemberi sertifikasi pihak ketiga yang independen.
Proses sertifikasi MSC dijelaskan secara singkat, yaitu :
Langkah 1 - klien memilih pengesah dan pra-penilaian perikanan disiapkan. Langkah 2 - jika klien menginginkan, penilaian penuh kemudian ditugaskan. Langkah 3 - pemberi sertifikat menyiapkan draft pedoman dan indikator penilaian untuk pameran publik. Langkah 4 - pemberi sertifikat mengevaluasi perikanan terhadap tiang petunjuk dan indikator. Langkah 5 - draft laporan ditinjau oleh rekan sejawat dan ditentukan oleh pemberi sertifikat mengenai apakah sertifikat harus dikeluarkan atau tidak. Langkah 6 - sebelum keputusan akhir tentang apakah sertifikat harus dikeluarkan atau tidak, penentuan dapat dikenakan keberatan formal. Langkah 7 - setelah semua dan semua keberatan telah sepenuhnya dianggap sebagai keputusan apakah akan mengeluarkan sertifikat ataukah tidak.

Wednesday, 19 February 2020

Lampenflora - Flora Lampu (Gua)

Lampenflora merupakan suatu istilah dari bahasa Jerman yang kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris, kadang-kadang disebut flora lampu, atau dalam bahasa Prancis la maladie verte — menunjuk suatu fenomena — yaitu perkembangbiakan organisme fototrofik dekat sumber cahaya buatan (lampu). Secara umum, Lampenflora tumbuh di situs-situs di mana, dalam keadaan alami, itu tidak akan muncul. Flora asing ini dapat ditemukan di dekat sumber cahaya di dalam gua, tambang, dan lingkungan buatan dan kurang cahaya lainnya, seperti gudang bawah tanah. 
Namun dalam tulisan ini, istilah Lampenflora yang dibahas adalah istilah dipergunakan untuk menggambarkan suatu tumbuhnya atau flora non-alami yang tumbuh dan berkembang di dalam Gua, akibat adanya pembangunan sarana pencahayaan buatan (lampu) untuk menunjang kegiatan pada gua-gua wisata (recreational cave). Lampenflora diketahui dapat mengubah permukaan alami berbagai speleothem dalam gua, yang jika tidak segera diobati, maka dapat merusak permukaan speleothem karena produksi asam organik yang merusak permukaan. 

NASIB IRONIS KEGIATAN PANJAT TEBING di UGM ...

KOPI PAHIT...
Mungkin kata itulah yang paling pas untuk menyampaikan keluhan SAYA sebagai salah satu anggota mapala di lingkungan universitas gadjah mada (UGM) TERKAIT KETIDAKJELASAN DUKUNGAN PIHAK DEKANAT ATAUPUN REKTORAT TERHADAP KEGIATAN MAPALA.
Dibukanya kegiatan Mapala sebagai salah satu bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa di lingkungan UGM seharusnya memberikan makna, bahwa kegiatan ini bermanfaat untuk pendidikan di dalah satu institusi pendidikan terbaik di negeri ini. 
Secara umum diakui, bahwa kegiatan UKM termasuk aktifitas luar ruangan (outdoor) merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan soft skill atau karakter mahasiswa. Wajarlah apabila kegiatan Mapala mendapat dukungan Kampus UGM, baik dari DOSEN, DEKANAT atau REKTORAT, untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatannya. Beberapa Mapala tersebut, antara lain Pantarhei (filsafat) Mapagama (universitas), Gitapala (Teknologi Pertanian), Satubumi (Teknik), Majestic-55 (Hukum), Gegama (Geografi), Matalabiogama, Silvagama (Kehutanan), Kapalasastra (Ilmu Budaya dan Sastra), Setrajana (Fisipol), Palapsi, Mapadipsi, terakhir Caravan (Peternakan).  
Sayangnya antara kebijakan dan implementasi, cenderung bertolak belakang. Fakta utama yang dapat dengan mudah dilihat adalah adanya upaya PEMUSNAHAN SARANA WALL CLIMBING yang dahulu banyak dimiliki oleh komunitas Mapala di lingkungan UGM.

Padahal pada awal tahun 2000-an, masih dapat dijumpai banyak sarana pendukung CLIMBING berupa Wall Climbing atau Boulder-an yang telah dibangun oleh beberapa MAPALA UGM. Sebagian besar sarana dibangun TANPA ADANYA BANTUAN DARI PIHAK KAMPUS UGM yang berdiri megah di beberapa ruas jalan utama di lingkungan UGM. Namun ironisnya, 20 tahun kemudian, terlihat dengan jelas Civitas Akademika UGM tidak menghargai hasil kerja keras MAPALA yang telah MEMBANGUN WALL CLIMBING. 
Hampir seluruh wall climbing yang sudah dibangun 20 Tahun lalu, saat ini sudah dimusnahkan. Beberapa mungkin dianggap telah merusak pemandangan, sehingga kemudian dipinggirkan sejauh mungkin ke "belakang" agar tidak terlihat.

MUNGKIN PERLU KETEGASAN bagi MAPALA, untuk mempertanyakan sikap DEKANAT atau REKTORAT serta DOSEN-DOSEN. Apakah ingin memusnahkan MAPALA ataukah HANYA INGIN MEMUSNAHKAN WALL CLIMBING sebagai salah satu sarana yang umumnya menjadi MAHKOTA dari eksistensi MAPALA di lingkungan kampus ??? Kalau memang dianggap Mapala tidak berguna, maka BUBARKAN saja.
Tak Pantaslah dan sungguh sangat ironis apabila para pendidik di kampus terbaik di Indonesia, hanya mendirikan sebuah UKM untuk sekedar meningkatkan serta menjamin Akreditasi Universitas, yang telah dinobatkan sebagai salah satu universitas terbaik di Negeri Ini. Perlu ada ketegasan, bahwa ADA ATAU TIDAKNYA MAPALA tidak AKAN MEMPENGARUHI PERINGKAT UGM sebagai Universitas Terbaik di Indonesia.

NULISNYA BUAT KESEL NIH....  

Foto atas : wall climbing Gegama tempoe doeloe (alm.)

Foto Atas : Boulder Milik Majestic 55 yang telah ALMARHUM akibat dimusnahkan UGM

Mungkin kehadiran wall climbing di lingkungan kampus dianggap sampah atau merusak pemandangan dan keindahan kampus UGM. Alih-alih dianggap sebagai salah satu sarana pendidikan untuk meningkatkan kemampuan pendidikan soft skill bagi mahasiswa sekaligus kapasitas anggota UKM di UGM, khususnya MAPALA. Selama ini Pihak Dekanat atau Rektorat melalui organisasi Unsur-Unsurnya yang ada di Fakultas, cenderung lebih berbahagia dengan sekedar mempertanyakan "izin" pembangunan wall climbing di Fakultas. Tanpa sedikitpun memaknai adanya pencapaian yang dihasilkan oleh mahasiswanya.
Padahal wall climbing yang dibangun di tahun 1990-2000an tersebut, nyaris seluruhnya tidak mendapatkan bantuan dana dari pihak dekanat apalagi rektorat. Beberapa cerita tentang pembangunan wall climbing, menunjukan kerja keras dan hasil keringat dari para anggota Mapala dalam rangka untuk membangun Mapala menjadi lebih baik. 
Patut diingat, ketika era tahun 1990an, masih sulit dijumpai peralatan listrik otomatis untuk mewujudkan pembangunan wall climbing. Maka mereka para mahasiswa UGM tersebut, harus mengergaji besi secara MANUAL atau tanpa gerinda atau alat gergaji listrik otomatis. Ketiadaan bantuan dana mau tidak mau, memaksa para mahasiswa harus mampu, membangun sebuah konstruksi wall climbing yang akan mereka banggakan di kemudian hari sebagai pencapaian ketika berkreativitas sebagai mahasiswa. 
Tak terbayang waktu dan keringat yang telah dikorbankan. Ironisnya, fakta telah menunjukan bahwa, karya wall climbing seolah dianggap sampah yang layak dipinggirkan atau bahkan DIMUSNAHKAN saja. Mungkin hanya fakultas Psikologi saja yang mendukung kegiatan Mapala di UGM.

Foto atas : wall climbing milik Mapala CARAVAN

Masih banyak wall climbing lagi di UGM, baik sisa-sisa peninggalan berupa rangka-rangka besi, maupun wall climbing yang TERANCAM DIMUSNAHKAN OLEH UGM sebagai INSTITUSI PENDIDIKAN TERBAIK di NEGERI INI.


Foto Atas : Tampak sampah rangka besi bekas Wall Mapala PLANTAGAMA, yang menjadi KORBAN UGM  

Mungkin sebaiknya para dosen-dosen yang menjadi bagian dari sistem Dekanat dan Rektorat di kampus pendidikan terbaik di negeri ini, diberikan pendidikan soft skill yang baik. Agar lebih dapat menghargai jerih payah mahasiswanya untuk membangun UKM di lingkungan kampusnya. 
Boro-boro menghargai...., tindakan memusnahkan wall climbing sesungguhnya patut dipertanyakan???   

Saat ini, mungkin sarana climbing yang dibangun pada era tahun 1990-2000, hanya sedikit sekali yang tersisa. Salah satunya adalah Boulder Mapagama di Gelanggang (yang sebentar lagi akan DIMUSNAHKAN UGM). 

Foto : Boulder Climbing Milik Mapagama di gelanggang UGM. 
Foto di bulan Februari 2020 ini (sampai 3 maret saat diupload) 
Dalam kondisi menunggu ajal dari malaikat pencabut nyawa (UGM) 

MANFAAT WALL CLIMBING
Mungkinkah kehadiran wall climbing tidak berguna bagi Mapala atau Institusi pendidikan?. 
Mungkinkah kehadiran wall climbing tidak bermanfaat bagi mahasiswa?
Pertanyaan itu layak ditanyakan ke DEKANAT. Jelas saja, karena merekalah pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pemusnahan wall climbing di UGM atau memarginalkan wall climbing. Kehadiran wall climbing mungkin hanya disetujui apabila dibangun pada tempat-tempat yang tidak terlihat oleh tamu-tamu atau mahasiswa di lingkungan kampus. Jikalau memungkinkan, jangan-jangan hendak dimasukan ke dalam karung saja agar tidak ada yang melihat.  
Langkah UGM dengan memusnahkan wall climbing, bertolak belakang dengan langkah sebagian besar universitas swasta, yang umumnya menjadikan fasilitas wall climbing sebagai "jualan" untuk para mahasiswa baru. Mereka universitas swasta malah membangun wall climbing di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh para mahasiswanya.  
Mungkin pihak dekanat atau rektorat akan lebih baik jika mempertanyakannya kepada ibu Yenny Wahid, kalau hanya untuk memperdebatkan atau ada niatan menghancurkan wall climbing milik Mapala. 

Karena dialah sebagai ketua FPTI yang saat ini mencanangkan pembangunan wall climbing di seluruh Indonesia.
Baca disini :
atau
atau


Emang assss buat pengambil kebijakan yang menghancurkan wall climbing di UGM...  

      

Monday, 17 February 2020

Dampak Lingkungan Kegiatan Arung Jeram (Rafting)

Wisata arung jeram atau rafting yang lazim menjadi salah satu kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) dan masyarakat pada umumnya telah berkembang dengan pesat selama satu dekade terakhir di Indonesia.
Khususnya di jawa tengah dan Yogyakarta, yang saat ini semakin banyak dijumpai peminat kegiatan wisata ini.
Beberapa contoh sungai yang saat ini, hampir di setiap akhir pekannya, selalu dijumpai kegiatan arung jeram, antara lain yaitu sungai Elo, Sungai Progo dan Sungai Serayu.
Sebagai suatu kegiatan, maka kegiatan Arung Jeram tentunya tidak akan lepas dari dampak positif dan negatif yang mengiringinya.
Salah satu dampak positif dari kegiatan arung jeram bagi masyarakat sekitar umumnya adalah meningkatnya kegiatan perekonomian warga yang berada di sekitar lokasi wisata. Mungkin masih banyak dampak positif lainnya, namun tulisan ini hanya akan mengulas dampak negatif akibat kegiatan wisata arung jeram.

Sunday, 16 February 2020

Perbedaan Hak Mutlak dan Hak Relatif

Hak mutlak adalah hak yang dapat dipertahankan terhadap siapa saja.
1. Hak atas kepribadian, seperti terhadap nama, hak hidup.
2. Hak atas keluarga, seperti hak suami atas istrinya dan sebaliknya, hak orang tua pada anaknya.
3. Hak kebendaan, seperti hak milik atas tanah, hipotik.

Hak relatif adalah hak yang dapat dipertahankan terhadap seseorang.
Contoh: A mendapat hak pinjam pakai atas sebuah rumah dan tanah dari B, ketika B menjual tanah/rumah itu kepada C maka sekarang belum tentu A tersebut dapat hak pakai rumah itu dari C. Jadi, hak A tadi hanya dapat dipertahankan terhadap B saja, tidak terhadap siapa saja.

Draft Intrumen Pengungkapan Informasi Publik Dalam Hukum Lingkungan (Information Disclosure)

Program yang mengumpulkan dan menyebarkan informasi tentang kinerja lingkungan suatu perusahaan telah ditandai sebagai "gelombang ketiga" dalam peraturan lingkungan, setelah pendekatan berbasis atur dan awasi (Command and Control/ CAC) dan instrumen berbasis pasar (instrumen ekonomi).
Terdapat dua jenis program pengungkapan publik. Pertama adalah model pencatatan, pemindahan pelepasan polutan hanya melaporkan emisi atau data buangan tanpa menggunakannya untuk menilai atau mengkarakterisasi kinerja lingkungan. Lebih dari 20 negara telah menyiapkan pendaftar semacam itu. Seperti Program Inventarisasi Pencemaran Beracun di AS (U.S. Toxic Release Inventory), yang berfokus pada polutan beracun yang tidak dicakup oleh peraturan CAC.
Jenis kedua dari program pengungkapan publik nasional baik melaporkan emisi atau data buangan dan menggunakannya untuk menilai kinerja lingkungan pabrik. Program-program ini terbatas pada negara-negara berkembang dan sebagian besar berfokus pada polutan konvensional. Contohnya termasuk Program Indonesia untuk Pengendalian Polusi, Evaluasi, dan Penilaian (PROPER), yang merupakan program pertama yang muncul dan paling dikenal; Proyek Peringkat Hijau India; program EcoWatch Filipina; Program GreenWatch Cina; dan inisiatif Buku Hitam dan Hijau Vietnam. Program-program ini disebut-sebut sebagai cara untuk menghindari rintangan yang mungkin paling menakutkan bagi pengendalian polusi di negara-negara berkembang: lembaga pengatur lingkungan yang lemah. Pengungkapan publik tidak selalu membutuhkan kemampuan penegakan hukum yang efektif atau bahkan seperangkat peraturan lingkungan yang terdefinisi dengan baik. Selain itu, biaya kegiatan administrasi yang diperlukan — pengumpulan dan diseminasi data — menurun berkat teknologi informasi baru.
Tietenberg mengidentifikasi tujuh "saluran" di mana pengungkapan publik dapat memotivasi peningkatan kinerja lingkungan. Untuk menyederhanakan eksposisi, kami mengelompokkan saluran-saluran ini ke dalam empat kategori besar.
1) Tekanan pasar output. Pengungkapan dapat memengaruhi permintaan akan barang perusahaan.
2) Tekanan pasar input. Pengungkapan dapat memengaruhi permintaan akan efek perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk merekrut dan mempertahankan karyawan.
3) Tekanan yudisial. Pengungkapan dapat mendorong warga negara untuk memulai tindakan hukum gugatan terhadap pencemar, memotivasi pakaian pribadi untuk memaksa perusahaan melakukan pengurangan, dan menimbulkan tindakan hukum di negara-negara yang konstitusi menjamin warga negara hak atas lingkungan yang sehat (seperti di India).
4) Tekanan regulasi. Pengungkapan dapat membangun dukungan untuk undang-undang pengendalian polusi baru atau penegakan undang-undang yang ada dengan lebih baik.
Berdasarkan literatur yang dibahas di bawah ini, kami menambahkan dua mekanisme lagi.
1) Tekanan komunitas. Pengungkapan dapat meningkatkan tekanan bahwa kelompok masyarakat dan organisasi nonpemerintah menempatkan pencemar untuk memotong muatannya.
2) Informasi manajerial. Pengungkapan dapat memberikan informasi baru kepada manajer tentang pelepasan dan opsi pabrik mereka untuk menguranginya.

Menurut Powers, et.al., program pengungkapan publik dapat menjadi alat manajemen lingkungan yang efektif, bahkan di negara-negara berkembang di mana lembaga regulasi lemah, kemauan politik terbatas, dan masalah lain melumpuhkan kebijakan pengendalian pencemaran konvensional.
Sumber : 
Does disclosure reduce pollution- Evidence from India's Green Rating project, RFF-DP-08-38 tahun 2008

Friday, 14 February 2020

Ironi Bencana Gajah - Konflik Satwa Liar

Bencana Konservasi
Keberadaan sumber daya alam hutan seharusnya memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya. Namun, apabila kelestarian hutan mengalami kerusakan, alih-alih memberikan dampak positif, keberadaan hutan justru menimbulkan bencana banjir, tanah longsor. Selain itu juga terdapat bencana lainnya, yaitu bencana akibat amukan satwa liar dilindungi seperti Gajah atau Harimau seperti yang sering terjadi di pulau Sumatera dan bencana Orang Utan di pulau Kalimantan.

Salah satu bencana yang masih terus berlangsung adalah bencana Gajah.
Bencana gajah menggambarkan seolah terjadi konflik antara masyarakat dan satwa gajah selama puluhan tahun. Bencana yang terjadi setiap tahun sejak 1980-an ini, bahkan tak jarang menimbulkan korban jiwa, baik dari warga sekitar areal habitan konservasi Gajah sumatera.

Gajah yang diketahui berasal dari TNWK baru-baru ini menyerang desa di Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur. Selama lima bulan terakhir, tercatat terjadi 17 kali bencana gajah yang mengakibatkan ratusan hektar lahan pertanian padi, jagung, singkong dan perkebunan warga rusak dimakan dan diinjak-injak gajah. Tumbalnya, dua gajah penghuni TNWK tewas akibat tindakan aparat dan warga.

Lucunya, selama ini solusi  dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat cenderung bersifat reaktif dan tidak komprehensif.
Sementara pihak legislatif (DPRD) setempat, umumnya hanya datang, meninjau, dan lalu diakhiri dengan hearing dan hearing. Sedangkan tindak lanjut yang nyata hanyalah sebatas harapan.
Akibatnya, bencana yang telah berlangsung selama puluhan tahu tidak pernah terselesaikan.

Berbagai pendapat menyakini, bahwa solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan bencana akibat satwa liar dilindungi adalah segera merehabilitasi kawasan konservasi di Indonesia.

Bencana Gajah di Provinsi Lampung misalnya, diakibatkan karena kerusakan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) sebagai rumah perlindungan bagi 350-an gajah Sumatera.
TNWK diketahui telah mengalami kerusakan, yang mencapai 72% (2007). Kerusakan itulah yang menyebabkan makanan bagi gajah di areal TNWK berkurang.
Kecenderungan gajah untuk menyerbu tanaman pertanian dan perkebunan warga menegasikan, dugaan perubahan perilaku gajah akibat minimnya ketersediaan makanan di TNWK. Terlebih gajah Sumatera terkenal mempunyai rute yang jarang berubah, artinya gajah hanya makan ditempat ia biasanya makan, dan lewat ditempat ia biasanya lewat. Hal tersebut didukung dengan kemampuan penciuman gajah, yang mampu mencium keberadaan tanaman padi dan tanaman lain dari jarak jauh sekalipun.

Rehabilitasi TNWK bukanlah hanya menjadi tanggung jawab dan kepentingan balai TNWK saja, namun sangat erat dengan kepentingan berbagai instansi lainnya. Oleh karena itu, wacana untuk menyalahkan Balai Pengelola TNWK bukanlah sebuah solusi bijak mengatasi bencana gajah.

Seluruh instansi yang berkepentingan harus ambil bagian secara terpadu, dengan tujuan utama mengembalikan kelestarian fungsi TNWK. Pemprov Lampung, dan Pemkab Lampung Timur dan Lampung Tengah sangat berkepentingan mempertahankan daerah penyangga kehidupannya.

Sedangkan BKSDA Lampung bertanggung jawab melestarikan keberadaan satwa yang terancam punah. Kemudian Balai TNWK wajib mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan TNWK. Terakhir, Kemenhut selaku pihak yang mengklaim wewenang dan tanggung jawab terhadap 133 juta hektar hutan Nusantara, bertanggung jawab agar menjaga kelestarian sekaligus memperkaya manfaat hutan di taman nasional.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Daerah juga harus berperan aktif mengatasi serbuaan gajah. Sebab, bencana gajah terkait erat dengan pengertian bencana non-alam yang terjadi akibat ulah manusia akibat kerusakan lingkungan, sebagaimana diatur di dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Seandainya berbagai intansi terkait dapat bersatu sebagaimana ketika membakar pemukiman Kualakambas dan Kualasekapuk, tentu bukanlah hal yang sulit untuk merehabilitasi TNWK. Apalagi kalau hanya sekedar mengatasi serbuan kawanan gajah di sepanjang jalan lintas timur dan daerah lainnya.

Apalagi, potensi Gajah sebagai ikon propinsi Lampung sangatlah sinergis dengan program pembangunan pariwisata di Lampung. Fungsi TNWK sebagai tempat perlindungan hewan langka khas Sumatra seperti Gajah, Harimau, dan Badak dan penyangga kehidupan adalah potensi besar untuk menunjang pembangunan.

Berbagai manfaat TNWK untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata rekreasi, mekanisme REDD dan perdagangan karbon segeralah untuk dikembangkan. Kemauan, kemampuan, dan profesionalisme sangat menentukan terwujudnya optimalisasi pemanfaatan TNWK secara berkelanjutan, berhasil guna dan berdaya guna.

Hak dan kewajiban masyarakat untuk berperan serta harus diwujudkan. Sebab, di satu sisi masyarakat adalah korban bencana gajah dan di lain sisi, kerusakan TNWK diduga erat akibat minimnya kesadaran lingkungan masyarakat dengan melakukan perambahan dan pengalihfungsian hutan.

Pemerintah harus mengakomodir kepentingan masyarakat melalui suatu solusi yang akan disepakati, dilaksanakan dan diawasai secara bersama. Fungsi representasi dan advokasi lembaga legislatif (DPRD) harus berjalan optimal, agar aspiratif dan dapat membina kesadaran lingkungan masyarakat.

Kesadaran lingkungan masyarakat harus ditingkatkan. Sadar bahwa setiap orang wajib menjaga kelestarian ekosistem TNWK. Sadar bahwa mengalih fungsikan lahan di areal TNWK adalah suatu pelanggaran hukum yang dapat memicu terjadinya bencana gajah serta kekeringan, banjir, dan tanah longsor.

Selain itu, ganti rugi terhadap korban bencana gajah wajib direalisasikan. Kerugian masyarakat tidak pantas direspon dengan drama lempar tanggung jawab berbagai instansi pemerintah. Jajaran pemerintah pantang mengeluh tanpa diiringi langkah konkrit untuk menyelesaikan persoalan. Kekompakan Kemenhut, Pemkab, dan Pemprov dengan melepar kesalahan pada balai TNWK, yang disambut oleh balai TNWK dengan peryataan, bahwa pemberian ganti kerugian menunggu petunjuk lebih lanjut dari Menhut, sangatlah berputar-putar.

Namun yang penting untuk diketahui oleh masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu “mengemis” untuk mengharapkan penyelesaian bencana gajah. Sebab, pemenuhan atas hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, serta hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal adalah tanggung jawab pemerintah, untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya.

Semakin lama waktu penyelesaian, gajah yang terancam dibunuh warga semakin banyak. Akibatnya potensi kepunahan gajah semakin tinggi. Kepunahan tersebut mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Kedepannya, Lampung yang sangat terkenal dengan Gajah hanya menjadi sebuah kenangan. Ironis.

PENAATAN HUKUM DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP DELH DAN DPLH

PENAATAN HUKUM DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP DELH DAN DPLH (ANALISIS YURIDIS SK MENLHK SE.7/ 2016 DAN SK MENLHK S.541/ 2016)*
Faisol Rahman S.H.M.H
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Yustisia No. 1, Bulaksumur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

Wednesday, 12 February 2020

REFLEKSI KONSERVASI HARIMAU

Peringatan Hari Harimau Sedunia jatuh setiap tanggal 29 Juli. Tahun ini adalah tahun keenam sejak ditetapkan dalam The St. Petersburg Declaration on Tiger Conservation pada tahun 2010. 
Saat itu, disepakati bersama untuk meningkatkan populasi harimau di dunia yang berjumlah 3.200 ekor tahun 2010, hingga dua kali lipat menjadi lebih dari 7.000 ekor di tahun 2022. 
Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani Deklarasi, yang juga menegaskan, bahwa harimau adalah salah satu indikator penting ekosistem yang sehat. 
Rusaknya ekosistem tidak hanya berdampak pada kepunahan harimau, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati.
Terdapat sembilan subspesies harimau yang pernah ada di dunia. Diketahui tiga subspesies telah punah dimana dua di antaranya dari Indonesia. 
Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (Panthera tigris balica) telah dinyatakan punah, pada tahun 1940 sampai 1980-an. Sedangkan satu harimau lagi adalah kaspia (Panthera tigris virgata).
Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae), menjadi satu-satunya harimau yang masih dimiliki bangsa Indonesia. 
Sejak tahun 1996, IUCN (International Union for Conservation of Nature), telah memasukkan Harimau Sumatra dalam Daftar Merah satwa terancam punah dengan status Kritis (Critically Endangered). Selangkah lagi menuju kepunahan.
Pemerintah telah dan masih tetap berupaya menyelamatkan harimau sumatera dari kepunahan.
Diatas kertas, pada tahun 1990 pemerintah telah memiliki UU 5/ 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKSDAH) sebagai tulang punggung upaya konservasi. Pada tahun 1994 pemerintah telah pula menerbitkan dokumen Rencana Aksi Nasional untuk konservasi harimau sumatera. Kemudian direvisi kembali pada tahun 2007, yang berlaku hingga 2017. 
Setelah seperempat abad, tampaknya upaya konservasi harimau masih belum memberikan hasil yang menggembirakan. Secara Global, sensus di tahun 2014 menunjukan populasi harimau sumatera di alam diperkirakan hanya tinggal 371 ekor. 

Ancaman Konservasi Harimau
Hulu masalah konservasi harimau sumatera adalah hilangnya habitat hidupnya akibat aktivitas manusia. 
Alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan pembangunan seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, pemukiman, atau infrastruktur mengakibatkan habitat harimau semakin kecil dan terfragmentasi.
Kebakaran hutan yang terjadi di akhir tahun 2015 saja, telah mengakibatkan lebih dari 2 juta Ha lahan atau hutan di sumatera terbakar (KLHK).
Pada satu sisi, ditetapkannya hutan hujan sumatra sebagai situs Warisan Dunia (World Heritage) adalah wujud pengakuan kekayaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Namun, di lain sisi mencerminkan kondisi hutan sumatera sudah diambang kehancuran. 
Selain itu, sempitnya habitat harimau telah memicu bencana, berupa konflik antara manusia dan harimau. 
Aktivitas manusia, mengakibatkan harimau terdesak “naik gunung” ke hutan dataran tinggi yang keanekaragaman hayatinya lebih sedikit. Keyataannya, sempitnya habitat dan diiringi sedikitnya mangsa, memaksa harimau “turun gunung” dan memangsa hewan ternak masyarakat. 
Sehingga bencana konflik tak terhindarkan. Pada akhirnya, tentu saja harimau yang selalu saja terusir dari habitatnya, sebagaimana peristiwa penangkapan harimau di Mandeh Sumatera Barat lalu. 
Sedangkan ancaman di hilir yang membahayakan upaya konservasi harimau sumatera adalah perburuan dan perdagangan illegal.
Harimau dan bagian-bagian tubuhnya telah lama dipercaya berkhasiat untuk obat-obatan tradisional, meningkatkan kekuatan magis dan simbol status.
Kebutuhan dan kelangkaan tentu semakin menyuburkan kegiatan perdagangan illegal. 
Sejalan dengan hal itu, maka kepemilikan satwa atau pemanfaatan bagian tubuh harimau secara illegal menjadi keniscayaan.

Penegakan Hukum Konservasi Harimau
Aparat penegakan hukum, selama ini tentu tak tinggal diam. Pada bulan Mei lalu, kembali diamankan tiga orang yang terlibat penjualan kulit harimau oleh kerjasama aparat dan balai taman nasional gunung leuser.
Namun diakui ataupun tidak, kinerja penegakan hukum konservasi masih sangat jauh panggang dari api.  
Menurut BKSDA, Indonesia surganya perdagangan satwa illegal. Praktik itu diperkirakan merugikan negara sekitar Rp 9 triliun per/ tahun. Sebab, selain memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (megabiodiversity), sanksi hukum di Indonesia juga relatif lebih lemah dan aparatur negara mudah dibengkokkan. 
Selama ini, penegak hukum hanya menerapkan ketentuan pidana kepada pelaku perburuan atau perdagangan illegal saja. Sedangkan terkait kepemilikan atau pemanfaatan illegal satwa dilindungi seolah diistimewakan.
Aparat seharusnya menerapkan sanksi pidana kepada para pelaku, yang notabene bermotif sepele. Sekedar meningkatkan status sosial semata. 
Padahal, dalam UU 5/1990 telah ditetapkan sanksi pidana, bagi orang atau lembaga yang memelihara serta memiliki bagian-bagian tubuh satwa langka tanpa izin. 
Pemilikan opsetan atau penggunaan pipa rokok dari gading gajah pun lazim kita jumpai.
Hal tersebut mengingatkan peristiwa Pemberian Rekor Nasional untuk Keris Berangka Gading Gajah kepada Bupati, yang lenyap begitu saja. Contoh terakhir, adalah kasus kepemilikan opsetan harimau seorang Menteri.
Patut diingat, setelah menetapkan UU 5/ 1990, pemerintah mengeluarkan Kepmenhut. No 301/Kpts-II/1992 dan No. 479/Kpts-VI/1992. 
Peraturan tersebut menghimbau pihak yang terlanjur memiliki spesies dilindungi dan produk atau bagian-bagiannya, untuk mendaftar dan mendapatkan izin, sampai dengan batas waktu Oktober 1992. Saat itu sekitar 1.081 opsetan kulit harimau yang telah terdaftar (Tilson dan Traylor-Holzer, 1994).
Aparat penegak hukum seharusnya menegakkan hukum tanpa pandang bulu. 
Sehingga timbul efek jera terhadap kegiatan yang mendorong suburnya perburuan dan perdagangan illegal satwa dilindungi, khususnya Harimau Sumatera.
Punahnya harimau jawa dan harimau bali harus menjadi pelajaran untuk mewujudkan upaya konservasi harimau sumatera yang lebih baik. 
Masih belum terlambat. Momentum hari harimau sedunia dapat menjadi refleksi dalam rangka menyelamatkan harimau sumatera dari ancaman kepunahan.
Sehingga generasi bangsa Indonesia mendatang tidak hanya mengenal karya fiksi berupa “Tujuh Manusia Harimau” semata.

Tuesday, 11 February 2020

Tolak Ukur Efektifitas Green Labelling - ecolabel

Inisiatif pelabelan lingkungan yang baik melibatkan partisipasi pemerintah, industri, dan asosiasi komersial, pengecer dan perusahaan, konsumen, serta pihak lain yang berkepentingan seperti akademisi, media, dan komunitas internasional. Suatu produk harus mematuhi semua kriteria yang diperlukan untuk diberikan label dan harus diuji ulang secara berkala. Menurut Program Pelabelan Lingkungan Global/ the Global Eco-Labelling Programme, program pelabelan yang efektif harus:
• Bersikap sukarela. Ini harus menjadi keputusan bisnis untuk berpartisipasi dalam program ini.
• Membedakan kepemimpinan. Klaim tidak boleh menyiratkan suatu produk luar biasa jika semua produk lain memiliki karakteristik umum yang sama.
• Didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan teknik yang kuat dengan fokus yang kuat pada pertimbangan siklus hidup untuk meyakinkan pelanggan bahwa semua aspek pengembangan produk telah diperhitungkan.
• Jadilah kredibel. Seringkali label lingkungan dikelola oleh organisasi pihak ketiga yang dihormati dan diakui serta digunakan oleh perusahaan yang dihormati, yang meningkatkan kredibilitas produk.
• Jadilah terukur dan dapat dibandingkan. Klaim harus dibuat hanya jika dapat diverifikasi. Metode yang digunakan dapat mencakup standar internasional, standar yang diakui, atau metode yang dikembangkan oleh industri, asalkan mereka telah mengalami peninjauan sejawat.
• Didasarkan pada proses yang terbuka dan akuntabel yang dapat dipantau dan dipertanyakan. Mereka harus beroperasi dengan cara bisnis dan biaya yang efektif.
Ada beberapa tantangan di bidang ini. Kisaran label lingkungan yang ada dan yang baru telah membuat kebingungan bagi pelanggan untuk memahami apa artinya semua itu, terutama ketika label perusahaan swasta ditambahkan ke dalam campuran. Beberapa label memiliki persyaratan ketat untuk dipatuhi, sementara yang lain hanya membutuhkan sedikit usaha untuk mendapatkan sertifikasi. Namun, lebih banyak pekerjaan yang dilakukan di bidang ini untuk memudahkan konsumen dan perusahaan untuk memahami label ini.