Penaatan sukarela (voluntary approach) merupakan salah satu instrumen penegakan hukum lingkungan yang dapat mendorong penaatan hukum lingkungan. Alih-alih mendorong perusahaan melalui ancaman hukuman, penaatan sukarela cenderung membujuk perusahaan untuk meningkatkan kinerja lingkungannya melalui berbagai jenis insentif positif, mulai dari reputasi positif, pengakuan para pemangku kepentingan, bantuan teknis, pemberian subsidi hingga pengurangan hukuman.
Akibatnya kehadiran free riders umumnya selalu melekat dalam penaatan sukarela, yang dapat melemahkan kredibilitas dan implementasi dari penaatan sukarela.
Proper Lingkungan merupakan instrumen penaatan sukarela, yang dapat menjadi pelengkap dari command and control yang dapat meningkatkan penaatan hukum perusahaan. Sebagai instrumen penaatan sukarela terbesar di Indonesia, potensi free riders dalam implementasi Proper tentu menjadi relevan untuk dikaji.
Penelitian ini secara normatif akan mendeskripsikan bentuk-bentuk free riders serta mengidentifikasi potensi free riders dalam Proper. Penelitian ini juga akan mendeskripsikan faktor-faktor pendorong free riders sehingga lebih lanjut dapat dianalisis berbagai upaya untuk meminimalisir kehadiran free riders dalam Proper. Hasilnya diharapkan menjadi bahan pertimbangan kebijakan bagi penyelenggaraan Proper.
I. PENDAHULUAN
Penaatan sukarela (voluntary approach) sebagai salah satu instrumen dalam penegakan hukum lingkungan, selain atur dan awasi (command and control), instrumen ekonomi dan pengungkapan informasi (information disclosure), telah diharapkan menjadi alternatif untuk melengkapi kekurangan dari command and control.
Sampai saat ini, belum ada definisi standar untuk penaatan sukarela, atau yang oleh Otto Soemarwoto diistilahkan dengan istilah Atur Diri Sendiri. Dimana implementasinya dapat dikonseptualisasikan menjadi berbagai bentuk atau mekanisme yang berbeda-beda .
Penaatan sukarela adalah komitmen dari perusahaan pencemar untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan. Sedangkan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memberikan definisi penaatan sukarela, yaitu “whereby firms make commitments to improve their environmental performance beyond what the law demands”. Penaatan sukarela dalam kebijakan hukum lingkungan adalah suatu keadaan dimana perusahaan secara sukarela berkomitmen untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan hukum dan/atau melebihi ketentuan hukum lingkungan yang berlaku.
Blackman et.al., mengungkapkan, bahwa pemerintah di negara maju umumnya menerapkan penaatan sukarela untuk mendorong ketaatan yang melampaui hukum (beyond compliance). Sedangkan di negara berkembang, penaatan sukarela digunakan untuk membendung ketidaktaatan yang merajalela akibat ketidakberdayaan penegakan hukum, ketidaklengkapan peraturan, lemahnya kelembagaan lingkungan, dan terbatasnya kemauan politik pemerintah .
Dalam rangka mewujudkan ketaatan hukum, maka perbedaaan model implementasi antara instrumen command and control, penaatan sukarela atau instrumen ekonomi digambarkan yakni, bagaimanakah kecenderungan dari upaya pemerintah untuk mewujudkan ketaatan perusahaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu apakah menggunakan tongkat (stick) ataukah wortel (carrot). Apabila diperbandingkan, upaya pengendalian pencemaran melalui command and control dilaksanakan dengan membuat peraturan perundangan yang mewajibkan perusahaan untuk mengendalikan pencemaran atau mencapai kualitas lingkungan tertentu (baku mutu). Sementara, pendekatan sukarela akan memberikan insentif atau disinsentif, tetapi bukan kewajiban hukum kepada perusahaan untuk melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan atau pengendalian pencemaran .
Partisipasi dalam program sukarela dapat menandakan adanya komitmen perusahaan untuk kebijakan lingkungan yang progresif, mendapatkan legitimasi dan itikad baik dari pemangku kepentingan. Sebagai imbalan bagi perusahaan karena telah mengeluarkan “biaya” untuk mengadopsi kebijakan yang melampaui kepatuhan seperti itu, maka perusahaan dapat menerima manfaat, seperti itikad baik dari pemangku kepentingan eksternal, peningkatan reputasi, dan peningkatan hubungan eksternal .
Secara teori, kelemahan utama penaatan sukarela muncul dari manfaatnya yang bersifat kolektif, dimana mengakibatkan peserta memiliki insentif yang kuat untuk bertindak sebagai Pengendara Gratis (free-riders). Dalam literatur ekonomi, pengendara gratis adalah pihak yang mendapatkan keuntungan dari barang publik tanpa mengeluarkan biaya untuk barang publik yang diamanfaatkannya. Pengendara gratis telah menjadi tantangan utama, khususnya dalam desain dan pengembangan serta implementasi penaatan sukarela .
Proper Lingkungan merupakan salah satu instrumen penaatan sukarela di Indonesia, yang telah terbukti dapat mendorong ketaatan hukum perusahaan. Sebagai instrumen penaatan sukarela terbesar di Indonesia, maka adanya potensi pengendara gratis dalam implementasi Proper tentu menjadi relevan untuk dikaji. Penelitian ini secara normatif akan mendeskripsikan bentuk-bentuk free riders serta mengidentifikasi potensi free riders dalam Proper.
Penelitian ini juga akan mendeskripsikan faktor-faktor pendorong free riders sehingga lebih lanjut dapat dianalisis berbagai upaya untuk meminimalisir kehadiran free riders dalam Proper.
II. PEMBAHASAN
A. Free Riders dalam Penaatan Sukarela
Free Rider dapat didefinisikan sebagai orang yang, sebagai anggota suatu kelompok, memutuskan untuk mengambil keuntungan dari konsumsi barang, atau penggunaan jasa, yang dihasilkan sebagai hasil dari upaya bersama oleh anggota kelompok, tanpa menanggung bagian (atau, dalam Free Rider murni, proporsional) dari biaya produksinya atau tanpa berkontribusi terhadap realisasi langsungnya. Salah satu cara sederhana untuk menggambarkan pengendara gratis adalah dengan membayangkan anggota tim dayung yang gagal melakukan bagian dayungnya dengan memalsukan upayanya untuk mendayung, yang akibatnya diistilahkan dengan “Free Rider” di atas kapal.
Pengendara gratis (free riders) dalam literatur ekonomi adalah pihak yang mendapatkan keuntungan dari barang publik tanpa mengeluarkan biaya untuk barang publik yang diamanfaatkannya. Oleh karenanya Free Rider bukanlah kasus yang luar biasa. Menurut teori ekonomi dan pilihan rasional (rational choice theory), ini adalah kondisi yang agak alami dari interaksi manusia dalam kelompok. Ini karena individu yang rasional dan mementingkan diri sendiri secara alami akan cenderung meminimalkan biaya partisipasi mereka dalam suatu kelompok jika mereka masih dapat memperoleh manfaat dari hasil kerja sama. Dalam literatur ekonomi telah ada pertanyaan, yaitu “Mengapa saya harus membayar bagian saya, jika saya dapat menikmati manfaat dari barang publik tanpa melakukannya?”, Adalah pertanyaan yang telah mempermalukan ekonom selama beberapa dekade. Demikian pula, “Mengapa saya harus bekerja sama, jika dengan membelot saya bisa mendapatkan hasil yang lebih besar?”
Dengan demikian, maka pengendara gratis dalam konteks program sukarela adalah perusahaan yang turut memperoleh manfaat dari kehadiran program sukarela, tanpa turut berkontribusi atau mengeluarkan biaya dan usaha atau berpartisipasi dalam suatu program sukarela.
Secara umum, terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan ketika berpartisipasi dalam suatu program sukarela, antara lain yaitu: mendapatkan pengakuan, insentif dan/atau reputasi yang baik dari pemerintah, stakeholders dan/atau pemangku kepentingan; meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan pemerintah serta berpeluang mengantisipasi dan/atau menangkap (mempengaruhi) peraturan perundangan; mendapatkan akses ke informasi dan sumber daya; memberikan pengaruh dan agen perubahan internal dalam perusahaan; meningkatkan penjualan mereka di pasar atau pembeli yang peduli dengan kinerja lingkungan suatu perusahaan; dan mencapai biaya produksi yang optimal atau proses produksi yang efisien dan efektif.
Kredibilitas banyak pendekatan sukarela telah dipengaruhi oleh 'pengendara bebas'. Berkendara bebas adalah masalah khusus untuk pendekatan sukarela mengingat bahwa mereka tidak memiliki banyak keutamaan peraturan negara dalam hal visibilitas, kredibilitas, akuntabilitas, penerapan wajib, standar dan sanksi yang lebih ketat (Gunningham dan Sinclair, 2002: 99).
Berdasarkan bukti empiris, Rory Sullivan mengidentifikasi adanya tiga bentuk pengendara gratis dalam program sukarela di Australia, yaitu Perusahaan Non Peserta Program Sukarela; Perusahaan peserta yang hanya patuh sebagian dari keseluruhan ketentuan sukarela; dan Peserta program yang berkinerja buruk (membatasi manfaat bagi para peserta).
Sedangkan menurut Gunningham dan Rees, kasus “free riding” dapat timbul dalam dua cara. (Gunningham and Rees, 1997). Pertama, terutama ketika VA adalah pengganti dari peraturan yang lebih ketat (yang berarti mereka menyebabkan biaya untuk perusahaan yang berpartisipasi) perusahaan yang tidak berpartisipasi mendapatkan keunggulan kompetitif yang tidak adil. Untuk menghindari hal ini, VA harus melibatkan sejumlah perusahaan yang mewakili sebagian besar sektor ini dan harus mencakup semua pesaing yang paling relevan. Kedua, free riding dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan. Kasus ini bisa sangat relevan ketika VA terjadi antara Pemerintah dan anak perusahaan atau cabang organisasi, yang terjadi jika perusahaan memutuskan untuk tidak menghormati target individualnya. Selain mengubah kompetisi dan meningkatkan kekhawatiran tentang pemerataan, free riding dapat membahayakan efisiensi dan juga menyebabkan kegagalan dalam memenuhi target yang disepakati.
B. Program Peringkat Kinerja (Proper)
Proper atau yang awalnya bernama Proper Prokasih adalah program pemerintah Indonesia pertama yang secara langsung berupaya untuk mengatasi permasalahan pencemaran dari sektor industri. Pada awalnya, menurut Keputusan Menteri Negala Lingkungan Hidup No : KEP/-35A?MENLH/7/1995 tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/ Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran Dalam Lingkup Kegiatan Prokasih (Proper Prokasih), maka aspek penilaian diutamakan pada pengendalian pencemaran air, yang sebelumya telah diimplementasikan dalam Prokasih.
Program yang mendapat bantuan pendanaan dari CIDA, AUS-AID dan Bank Dunia ini dihentikan tahun 1998 akibat krisis ekonomi dan politik. Proper kembali dilaksanakan melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : 127/MENLH/2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana awalnya ruang lingkupnya hanya mencakup pengendalian pencemaran air, lalu diperluas, dengan ditambahkannya aspek pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan limbah B3.
Saat ini, landasan hukum Proper telah berulang kali direvisi, yaitu melalui Kepmenlh No.127 Tahun 2002 Jo. Kepmenlh No 250 Tahun 2004; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Permenlh) Nomor 7 Tahun 2008; Permenlh Nomor 18 Tahun 2010; Permenlh Nomor 5 Tahun 2011; dan Permenlh Nomor 6 Tahun 2013. Saat ini yang berlaku adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2014 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan (Permenlh Proper).
Menurut Permenlh Proper, Program penilaian kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut proper adalah evaluasi ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan di bidang pengendalian pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup, serta pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Melalui definisi tersebut, maka dapat kita simpulkan, bahwa sasaran pelaksanaan Proper adalah untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan perusahaan.
Pada masa awalnya, peserta Proper Prokasih berjumlah 187 perusahaan, yang diambil dari 176 peserta terbaik dalam Prokasih yang berjumlah 1.405 perusahaan. Sedangkan 11 peserta adalah perusahaan yang secara sukarela ikut dalam Proper Prokasih. Saat dimulainya kembali Proper di Tahun 2002, perusahaan yang menjadi peserta Proper menjadi semakin sedikit yaitu sebanyak 85 perusahaan. Kemudian pada tahun berikutnya, sampai dengan tahun 2017-2018, jumlah peserta setiap periodenya menunjukan kecenderungan semakin bertambah. Selengkapnya disajikan dalam Diagram peserta Proper.
Grafik : Jumlah peserta dalam Proper KLHK.
Kriteria Penilaian Proper
Koesnadi menyebutkannya Proper dengan istilah peringkat kinerja (Performance Rating). Dalam proses penilaiannya Proper Prokasih menggunakan Grade penilaian menjadi lima (5) kategori warna, yaitu hitam, merah, biru, hijau dan emas. Konversi hasil penilaian menjadi “warna” bertujuan agar informasi hasil penilaian yang disajikan lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Peringkat emas, untuk perusahaan atau kegiatan usaha yang melaksanakan produksi bersih dan/atau emisi nol dan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan serta telah mencapai hasil yang sangat memuaskan sehingga patut menjadi teladan bagi usaha-usaha lainnya; Peringkat hijau, untuk perusahaan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; Peringkat biru, untuk perusahaan yang telah mendapatkan hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; Peringkat merah, untuk perusahaan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan; Peringkat hitam, untuk perusahaan yang tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan atau usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Berdasarkan kriteria 5 warna tersebut, apabila dikaitkan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, maka penilaian Proper dapat dibagi menjadi 3 kriteria dasar, yaitu kriteria tidak taat, kriteria taat, dan kriteria melebihi ketaatan. Selengkapnya dipaparkan berikut ini :
a) Kriteria tidak taat berperingkat Merah dan Hitam, apabila perusahaan tidak melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
b) Kriteria taat atau peringkat biru dimana perusahaan telah melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam konteks Proper (dibatasi) mencakup, PP Izin Lingkungan, PP pengendalian Pencemaran Udara, PP Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan PP Pengelolaan Limbah B3.
c) Kriteria melebihi ketaatan atau peringkat Hijau dan Emas, dimana perusahaan telah melampaui peringkat biru atau melebihi ketaatan. Perbedaaan antara aspek ketaatan dan aspek melebihi ketaatan adalah ada tidaknya ketentuan wajib yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan.
Evaluasi aspek “tidak taat” dan kriteria “taat”, secara substansial merupakan wujud dari instrumen command and control. Aspek ketaatan mengacu pada ketentuan Pasal 5 Permenlh Proper, yang didasarkan atas kewajiban hukum perusahaan yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku (regulatory based). Dengan kata lain, ada atau tidaknya Proper, sesungguhnya perusahaan telah memiliki kewajiban hukum untuk menjalankan upaya pengelolaan lingkungan.
Menurut Pasal 4 Ayat (2) butir (a), aspek penilaian ketaatan mencakup ketaatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran lingkungan, pengendalian kerusakan lingkungan dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Peraturan perundangan tersebut antara lain, yaitu ketentuan perizinan lingkungan sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, ketentuan pengendalian pencemaran air dalam PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, ketentuan pengendalian pencemaran udara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan pengelolaan limbah B3 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Sedangkan khusus untuk kegiatan pertambangan ditambahkan kriteria potensi kerusakan lahan. Sampai kini kurang lebih 46 peraturan diintegrasikan dalam kriteria penilaian. Selain peraturan yang bersifat umum pengawasan, juga dilakukan terhadap izin-izin lingkungan yang sifatnya individual untuk masing masing perusahaan.
Sedangkan kriteria “Melebihi Ketaatan” adalah wujud dari penaatan sukarela, yang dilaksanakan oleh perusahaan didasarkan atas kesukarelaan, bukan dari kewajiban hukum. Kriteria ini secara historis adalah pelajaran dari penerapan Prokasih, dengan tujuan mendorong perusahaan yang “taat”, secara sukarela untuk mencapai tingkat “melebihi ketaatan”. Hal yang sebelumnya tidak terdapat dalam Prokasih. Dorongan tersebut diwujudkan melalui pemberian penghargaan kepada peringkat melebihi ketaatan, yaitu Hijau dan Emas.
Menurut Pasal 4 Ayat (2) butir (b), aspek melebihi ketaatan (beyond compliance) mencakup evaluasi terhadap kinerja usaha dan/atau kegiatan yang melebihi ketaatan dari yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan atau melebihi ruang lingkup kriteria yang tercakup dalam aspek ketaatan Proper. Lebih lanjut, menurut Pasal 6 Ayat (3), proses evaluasi penilaian melebihi ketaatan dilakukan terhadap delapan (8) kegiatan, yaitu sistem manajemen lingkungan; efisiensi energi; pengurangan dan pemanfaatan limbah B3; pelaksanaan pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang limbah padat non bahan berbahaya dan beracun (B3); penurunan emisi dan/atau gas rumah kaca; efisiensi penggunaan air dan penurunan beban pencemaran air; perlindungan keanekaragaman hayati; dan pemberdayaan masyarakat.
Manfaat Proper
Proper menawarkan citra atau reputasi kepada para pesertanya melalui pemberian penghargaan serta sertifikat proper. Adanya reputasi yang baik bagi perusahaan akan berpengaruh terhadap pandangan para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, melalui perubahan undang-undang dan peraturan, pelanggan/ konsumen; masyarakat lokal dan organisasi non-pemerintah (LSM); investor dan para karyawan. Misalnya reputasi yang baik dapat menimbulkan motivasi serta tingkat produktivitas tenaga kerja dan pandangan masyarakat di sekitar perusahaan. Sehingga memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih baik serta mempermudah proses perizinan dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi atau untuk membangun pabrik yang baru.
Penghargaan diberikan kepada perusahaan yang melebihi ketaatan. Penghargaan merupakan suatu insentif, berupa pemberian citra/reputasi yang positif kepada perusahaan berperingkat hijau dan emas dengan kinerja lingkungan yang melebihi ketaatan. Sedangkan sertifikat diberikan kepada perusahaan yang ikut serta dalam Proper, baik yang berperingkat tidak taat, taat, maupun melebihi ketaatan. Sertifikat dapat berarti insentif atau disinsentif, dimana menjadi reputasi positif kepada perusahaan yang meraih peringkat biru atau taat. Sebaliknya menjadi reputasi negatif terhadap perusahaan berperingkat merah dan hitam atau kinerja lingkungan tidak taat.
Setiap tahunnya KLHK telah menyelenggarakan malam pemberian penghargaan dengan pemberian sertifikat dan Tropi kepada peserta Proper yang meraih peringkat taat, yaitu Biru, Hijau dan Emas. Pada periode 2016-2017, 2017-2018 misalnya, penghargaan kepada perusahaan yang meraih peringkat Emas secara langsung diberikan oleh Wakil Presiden. Pemberian penghargaan juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah di daerahnya masing-masing, Pelaksanaan pemberian penghargaan atau pengumuman kepada publik semakin meningkatkan insentif berupa reputasi atau citra yang baik kepada perusahaan.
Hasil penilaian Proper dapat menjadi informasi bagi para pemangku kepentingan untuk dapat mengidentifikasi perusahaan sesuai dengan kriteria yang telah diraih dalam Proper, yaitu melebihi ketaatan, taat atau tidak taat. Bank Indonesia misalnya, telah menetapkan ketentuan dimana salah satu komponen dalam penilaian prospek usaha untuk penilaian kualitas kredit adalah upaya debitur dalam memelihara lingkungan hidup sesuai peraturan perundangan yang berlaku, yakni melalui hasil penilaian Proper.
Proper juga memberikan Publikasi setiap tahunnya, yang berisi hasil penilaian serta berbagai upaya pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan oleh peserta Proper. Informasi inilah tentunya menguntungkan perusahaan, karena biaya pendidikan bagi tenaga kerja atau peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang seharusnya dikeluarkan perusahaan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan dapat diminimalisir oleh perusahaan.
C. Free Riders dalam Proper Lingkungan
Secara umum, perusahaan yang mendapatkan manfaat secara gratis dapat diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu perusahaan nonpeserta dan perusahaan peserta program sukarela. Langkah keikutsertaan suatu perusahaan dalam Proper, akan memastikan perusahaan untuk mengambil tindakan dalam rangka mengimplementasikan berbagai kriteria yang dipersyaratkan Proper. Perusahaan akan membutuhkan biaya dan sumber daya untuk dapat meraih peringkat taat atau bahkan melebihi ketaatan. Sedangkan perusahaan non peserta Proper yang tidak berpartisipasi serta perusahaan peserta yang meraih peringkat tidak taat, tentunya akan lebih sedikit atau bahkan tidak mengeluarkan biaya atau sumber daya sama sekali. Oleh karenanya, perusahaan yang tidak berpartisipasi tetap akan mendapatkan reputasi positif dari penyelenggaraan Proper secara gratis.
Sedangkan bagi perusahaan yang berpartisipasi dalam Proper dan meraih peringkat tidak taat, tidak bisa memperoleh manfaat gratis tersebut. Perusahaan berperingkat tidak taat telah diberikan insentif negatif, melalui reputasi negatif dari pemberian label “tidak taat” melalui peringkat Merah dan Hitam dalam Proper.
Berikut dipaparkan sebagai berikut :
Perusahaan Peserta Proper
Potensi free riders pertama bersumber dari manfaat timbulnya reputasi positif yang ditimbulkan dari penyelenggaraan Proper. Sebagai program terbesar yang secara khusus memantau ketaatan hukum perusahaan, telah menjadikan hasil penilaian Proper, seolah-olah menjadi tolak ukur dari perilaku seluruh perusahaan di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan desentralisasi Proper yang berlangsung (hampir) di seluruh daerah Provinsi, membuat kepesertaan Proper yang berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Akibatnya semakin memperkuat kesan keterwakilan Proper, sebagai tolak ukur kinerja pengelolaan lingkungan seluruh perusahaan di Indonesia.
Publikasi KLHK terhadap keberhasilan Proper selama ini, telah menimbulkan kesan yang seolah-olah, bahwa kinerja Proper menjadi tolak ukur kinerja dari seluruh perusahaan di Indonesia. Insentif berupa reputasi positif tersebut yang kemudian dinikmati oleh seluruh perusahaan, baik oleh peserta maupun nonpeserta Proper.
Tampaknya pencitraan Proper seperti itu tampaknya mendapat dukungan dari pemerintah dan media massa. Mungkin pada sisi pemerintah, telah mendapatkan keuntungan dengan publikasi tersebut, yang seolah-oleh menunjukan, bahwa kinerja pengawasan KLHK terhadap seluruh perusahaan di Indonesia telah terlaksana.
Sebagai gambaran misalnya, publikasi KLHK melalui pemberitaan media dengan judul sebagai berikut “Menteri LHK: Tingkat Ketaatan Perusahaan pada Peraturan Capai 85%” . Adalah untuk menunjukan keberhasilan peserta Proper yang jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan seluruh perusahaan yang berotensi menjadi peserta Proper. Namun, dampak dari judul publikasi tersebut dapat menimbulkan kekeliruan penafsiran masyarakat. Dimana masyarakat dapat menafsirkan, bahwa kinerja seluruh perusahaan di Indonesia, sebagian besar telah mencapai ketaatan hukum.
Padahal, dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap ketaatan hukum yang bersifat wajib, maka jumlah peserta Proper sesungguhnya masih jauh dari kondisi ideal. Menurut Publikasi Proper di tahun 2009 diperkirakan ada 8.000 -10.000 perusahaan yang berpotensi untuk dijadikan peserta Proper. Sedangkan, menurut data BPS di tahun 2015, diketahui jumlah perusahaan industri besar dan sedang yang terdapat di Jawa dan Luar Jawa mencapai 26.322 perusahaan. Kemudian jumlah industri kecil yang turut berpotensi menimbulkan pencemaran atau dampak negatif terhadap lingkungan jumlahnya jauh lebih besar, yaitu mencapai 284.501 perusahaan. Dengan kata lain, masih banyak perusahaan yang berpotensi mencemari, namun tidak menjadi objek dalam pengawasan hukum dalam Proper.
Berikutnya, manfaat berupa reputasi positif yang dapat dimanfaatkan secara gratis adalah reputasi yang timbul dari penafsiran, bahwa ketaatan hukum Proper menjadi tolak ukur ketaatan hukum perusahaan pada sektor-sektor yang tercakup dalam kepesertaan Proper. Hal tersebut ketika Proper tidak mengikutsertakan perusahaan pencemar terbesar dalam sektor usaha atau sebaliknya, hanya diikuti oleh sebagian kecil perusahaan pencemar dalam suatu sektor usaha.
Sebagai gambarannya, peserta Proper saat ini berasal dari berbagai sektor usaha, seperti industri minyak dan gas bumi, pertambangan emas dan batubara, Semen, pulp & paper, Gula, Karet, Kimia, Tapioka. Namun jumlah peserta yang ada tidaklah menunjukan adanya keterkaitan dengan tingkat kuantitas atau kualitas pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan atau potensi dampak yang dapat ditimbulkan dari suatu perusahaan dalam sektor usahanya masing-masing. Sampai saat ini, tidak diketahui secara pasti, apakah peserta Proper hanya mencakup sebagian kecil ataukah telah mewakili sebagian besar perusahaan yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan yang terbesar di bidangnya masing-masing.
Pada sektor kelapa sawit misalnya, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada tahun 2018 produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai 43 juta ton . Sehingga untuk dapat dikatakan mewakili sebagian besar penghasil CPO, maka idealnya jumlah perusahaan penghasil CPO yang menjadi peserta Proper harus menghasilkan lebih dari 21,5 juta ton CPO atau lebih dari 50%. Ketika publikasi Proper mengumumkan hasil peringkat yang diperoleh oleh peserta, yang kenyataanya hanya sebagian kecil penghasil CPO, kemudian dinikmati oleh keseluruhan industri CPO. Sebab, reputasi yang didapatkan, seolah-olah menjadi tolak ukur terhadap keseluruhan industri CPO. Hal yang sama juga dapat berlaku terhadap sektor usaha lainnya, seperti industri minyak dan gas bumi, pertambangan batubara, Semen, pulp & paper, Gula, Karet, Kimia, atau Tapioka.
Contoh lainnya dari pertambangan emas. Perusahaan Freeport misalnya, merupakan salah satu penghasil emas terbesar di Indonesia dan bahkan di Dunia. Berdasarkan tingkat produksinya, maka Freeport telah memenuhi syarat sebagai representasi sektor pertambangan emas. Namun sampai sekarang tidak diketahui alasan kenapa Freeport tidak menjadi peserta dalam Proper.
Sebagai contoh, program perjanjian yang dinegosiasikan untuk pengurangan polusi yang disebut dengan istilah "covenant" di Belanda. Berdasarkan perjanjian, maka perusahaan harus menyusun rencana lingkungan untuk masing-masing pabrik mereka (menggambarkan target lingkungan dan langkah-langkah untuk penerapannya). Dimana salah satu aspek keberhasilan yang diklaim oleh Kementerian Lingkungan Hidup Belanda adalah kesuksesan tingkat partisipasi perusahaan kimia dalam program covenant, dimana mencapai 91 persen atau berjumlah 114 dari 125 perusahaan telah berpartisipasi dalam perjanjian dan menyusun Rencana Lingkungan Perusahaan.
Potensi lainnya yang dapat diperoleh secara Gratis adalah akibat Perusahaan yang berasal dari sektor usaha yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan dipersandingkan secara bersama-sama dengan sektor usaha yang memiliki dampak tidak penting terhadap lingkungan.
Proper mengikutsertakan perusahaan dari berbagai sektor usaha, seperti minyak dan gas bumi, pertambangan, manufaktur dan agroindustri serta makanan dan minuman. Perusahaan yang berasal dari sektor usaha yang memiliki dampak negatif yang besar terhadap lingkungan tentunya akan diuntungkan, apabila dipersandingkan secara bersama-sama dengan sektor usaha yang memiliki dampak tidak penting terhadap lingkungan.
Sebagai contoh, kriteria penilaian aspek pengendalian pencemaran air antara perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) dan perusahaan dari sektor agroindustri dengan potensi air limbah yang mungkin lebih besar.
Begitupula keuntungan bagi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi atau Pertambangan misalnya, yang akan diuntungkan apabila dinilai dampaknya kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya dengan perusahaan yang berdampak kecil terhadap lingkungan,misalnya perusahaan AMDK.
Sebaliknya perusahaan makanan dan minuman tentu akan mengalami kerugian apabila dipersandingkan dengan perusahaan yang memiliki potensi pencemaran terbesar di bidangnya.
Secara sederhana, apabila menyesuaikan dengan konsep yang diatur dalam peraturan perundangan, maka perusahaan yang memiliki UKL-UPL akan mengalami kerugian apabila dinilai secara bersama-sama dengan perusahaan yang wajib Amdal. Perusahaan yang wajib Amdal tentunya memiliki resiko yang lebih besar terhadap lingkungan, sehingga berpengaruh terhadap reputasinya.
Begitupula perusahaan dari Group yang sama, namun hanya mengikutsertakan sebagian kecil perusahaan yang berasal dari unit usahanya. Perusahaan dari Group Pertamina misalnya, hanya mengikutsertakan unit usaha distribusinya, sedangkan unit eksplorasinya atau pengeboran lepas pantainya yang cenderung memiliki risiko pengeelolaan lingkungan yang lebih tinggi, malah cenderung tidak diikutsertakan.
Contoh lainnya adalah, jika sebuah Group prusahaan hanya mengirimkan unit usaha yang menghasilkan sebagian kecil dari seluruh total produksinya, bahkan hanya unit usaha yang jarang berproduksi. Sebaliknya malah enggan atau tidak mengikutsertakan unit usaha yang memiliki kapasitas produksi lebih besar, yang lebih berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Atau hanya mendapatkan nilai minimal taat (biru). Sedangkan unit usaha lainnya yang kegiatannya tidak berpotensi mencemari atau merusak lingkungan mendapatkan nilai hijau atau emas. Sehingga nilai dan reputasi yang diperoleh unit usaha yang relatif tidak mencemari, akan turut mendorong reputasi unit usaha lainnya yang buruk.
Potensi free riders berikutnya bersumber dari insentif berupa penyediaan publikasi atau informasi pengelolaan lingkungan yang diberikan melalui publikasi Proper KLHK.
Manfaat tersebut dapat diperoleh secara gratis oleh nonpeserta Proper tanpa memerlukan biaya atau sumber daya dalam rangka memperoleh informasi berupa, langkah atau praktik pengurangan air limbah, polusi udara, emisi gas rumah kaca, limbah berbahaya dan beracun (Limbah B3) serta praktik-praktik efesiensi penggunaan energi, air dan berbagai bentuk penerapan praktik terbaik (best practice) lainnya oleh peserta Proper.
Perusahaan Peserta Proper
Bentuk free rider yang kedua dalam Proper adalah reputasi yang ditimbulkan dari pemberian penghargaan Proper. Dimana keseluruhan perusahaan peserta Proper, maupun yang sebagian telah memperoleh manfaat secara gratis akibat terlalu umumnya Target atau Kinerja Lingkungan yang ingin dicapai dalam Proper.
Target Proper dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu target ketaatan hukum perusahaan dan target melebihi ketaatan hukum perusahaan. Target ketaatan hukum perusahaan yang selama ini timbul dari Proper, seolah-olah menggambarkan bahwa kriteria penilaian Proper telah mencakup seluruh aspek dalam pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi kewajiban perusahaan.
Padahal, sesuai dengan kriteria Proper, hanya mencakup 4 aspek ketaatan hukum saja, yaitu administrasi perizinan lingkungan, pengelolaan limbah B3, pengendalian pencemaran air dan udara serta kriteria khusus berupa rehabilitasi kerusakan lahan akibat pertambangan. Oleh karenanya masih banyak kewajiban hukum lainnya yang tidak tercakup dalam kriteria ketaatan Proper lingkungan, misalnya kewajiban hukum pengelolaan sampah, pengelolaan B3, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, bangunan ramah lingkungan, pemanfaatan air hujan, pengendalian kerusakan ozon, CSR, dan kewajiban hukum lainnya yang bersifat khusus bagi suatu perusahaan tertentu, misalnya penghormatan terhadap masyarakat adat.
Misalnya saja, judul pemberitaan sebagai berikut “Menteri LHK: Tingkat Ketaatan Perusahaan pada Peraturan Capai 85%”, dimana judul tersebut telah menimbulkan kesan yang seolah-olah, bahwa kinerja seluruh perusahaan di Indonesia, sebagian besar telah mencapai ketaatan hukum.
Istilah atau definisi “taat” dan “tidak taat”dalam Proper, pada saat penilaian, penyerahan penghargaan dan sertifikat serta publikasi hasil penilaian Proper, telah memberikan kesan, bahwa perusahaan telah menaati seluruh ketentuan peraturan perundangan terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang berlaku. Sehingga menimbulkan anggapan yang keliru, bahwa perusahaan yang mendapatkan peringkat taat dalam Proper, adalah perusahaan yang telah mentaati seluruh ketentuan hukum di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia.
Manfaat tersebut sangat berpotensi dinikmati oleh perusahaan peserta Proper, khususnya perusahaan berperingkat taat dan melebihi ketaatan (biru, hijau dan emas). Seharusnya perusahaan yang memperoleh nilai “taat” hanya diartikan, bahwa telah menaati aspek hukum yang menjadi kriteria Proper, misalnya pengendalian pencemaran air dan udara, dan pengelolaan limbah B3 (baku kerusakan tambang). Perusahaan tentunya diuntungkan dengan terlalu umumnya istilah yang digunakan dalam penilaian Proper.
Perusahan menjadikan kriteria ketaatan dalam Proper, seolah-olah merupakan bentuk ketaatan terhadap keseluruhan hukum terkait pengelolaan lingkungan secara keseluruhan. Sehingga perusahaan dapat mengklaim dirinya kepada seluruh pemangku kepentingan, bahwa mereka telah mentaati seluruh penaatan hukum lingkungan berdasarkan hasil penilaian Proper.
Bentuk kriteria yang beragam dalam Proper, seharusnya tidaklah diartikan atau disederhanakan menjadi arti dari ketaatan seluruh peraturan perundangan terkait pengelolaan lingkungan yang berlaku. Perusahaan peserta akan diuntungkan karena tidak perlu mengeluarkan sumber daya dan biaya dalam rangka memenuhi aspek ketaatan hukum, yang tidak tercakup dalam kriteria penilaian Proper.
Dampak lanjutan dari penggunaan istilah yang berpotensi menimbulkan kekeliruan tersebut, adalah gambaran yang ditangkap oleh para stakeholders atau pemangku kepentingan lainnya. Hasil penilaian Proper menjadi informasi bagi para pemangku kepentingan, seperti kalangan perbankan untuk dapat mengidentifikasi perusahaan sesuai dengan kriteria yang telah diraih dalam Proper, yaitu melebihi ketaatan, taat atau tidak taat.
Sebagai gambarannya, yaitu anggapan dari Bank Indonesia misalnya, yang telah menjadikan kriteria Proper sebagai penilaiannya secara keseluruhan terhadap aspek lingkungan suatu perusahaan. Bank indonesia terkesan tidak mempertimbangkan secara keseluruhan aspek penaatan hukum lingkungan, termasuk yang bukan menjadi kriteria penilaian dalam Proper.
Seharusnya keseluruhan aspek penaatan hukum perusahaan, telah terintegrasi ke dalam penaatan dokumen lingkungan perusahaan, yaitu Analisisi Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Sehingga untuk dapat dikatakan taat keseluruhan, maka perusahaan harus dipastikan telah menaati seluruh ketentuan yang telah diamanatkan dalam dokumen lingkungan. mungkin layak dipertimbangkan untuk menyesuaikan kriteria penilaian Proper sesuai dengan ketaatan dokumen lingkungan perusahaan.
Manfaat reputasi berikutnya yang dapat diperoleh secara gratis adalah reputasi yang timbul dari akibat adanya ketidakselarasan antara target ketaatan dan target melebihi ketaatan dalam proper.
Hal tersebut tercermin dari kriteria “pemberdayaan masyarakat” dalam Proper. Dimana publikasi yang diberikan, seolah-olah menggambarkan kriteria tersebut merupakan wujud ketaatan hukum perusahaan terhadap kewajiban hukum dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau yang juga dikenal dengan istilah Coorporate Social Responsibility (CSR). Sinergisitas kriteria “Pemberdayaan Masyarakat” berbeda dengan kriteria lainnya, yang menunjukan keselarasan antara aspek ketaatan hukum dan aspek melebihi ketaatan hukum. Misalnya saja, keselarasan antara kriteria aspek kewajiban hukum dalam pengelolaan limbah B3 dan kriteria melebihi ketaatan untuk mengurangi limbah B3 yang dihasilkan.
Meskipun Definisi “Pemberdayaan Masyarakat” yang digunakan dalam Proper berbeda dengan yang diatur dalam peraturan perundangan, namun tetap berpotensi menimbulkan kekeliruan penafsiran bagi para pemangku kepentingan. Peletakan pada aspek melebihi ketaatan, memberikan kesan bahwa perusahaan telah taat hukum. Sehingga menimbulkan kesan keliru, bahwa perusahaan telah memenuhi kewajiban hukum yang telah diatur ketentuan terkait Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSL). Padahal dalam penilaian Proper, tidaklah menilai kewajiban hukum CSR perusahaan secara keseluruhan.
Kriteria Pemberdayaan Masyarakat yang diletakkan pada aspek melebihi ketaatan, seolah-olah memberikan kesan, bahwa perusahaan telah menaati ketentuan hukum CSR. Seharusnya kriteria CSR ditempatkan pada kriteria ketaatan yang kemudian disinergiskan dengan kriteria melebihi ketaatan. Karena CSR telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Penggunaan istilah TJSL atau CSR atau Bina Lingkungan yang beragam, tidak dapat mengenyampingkan ketentuan hkum CSR yang telah diatur, khususnya besaran CSR yang telah diwajibkan dalam peraturan perundangan.
Penerima manfaat secara gratis dalam kriteria tersebut adalah perusahaan berperingkat melebihi ketaatan, yakni hijau dan emas. Perusahaan berperingkat melebihi ketaatan dapat saja mengklaim, bahwa mereka telah mengimplementasikan kewajiban hukum CSR berdasarkan hasil penilaian kriteria Pemberdayaan Masyarakat yang terdapat dalam Proper.
III. Penutup
Kesimpulan
Secara umum maka potensi free riders terdiri atas dua kategori umum, yaitu peserta dan nonpeserta.
Seluruh perusahaan peserta Proper berpotensi mendapatkan manfaat gratis berupa reputasi yang mungkin timbul karena kriteria Proper dianggap sebagai tolak ukur ketaatan terhadap seluruh ketentuan hukum terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Padahal, masih banyak aspek hukum PPLH yang telah menjadi kewajiban hukum perusahaan namun tidak tercakup dalam kriteria penilaian Proper.
Peserta Proper dengan potensi pencemaran terbesar dalam Proper juga diuntungkan dengan mekanisme penilaian yang disamakan, atara perusahaan berdampak penting dan berdampak tidak penting terhadap lingkungan.
Peserta melebihi ketaatan berperingkat hijau dan emas juga mendapatkan manfaat Gratis, berupa reputasi akibat kriteria melebihi ketaatan dalam Proper yang tidak disinergiskan dengan kriteria ketaatan hukum. Dimana terdapat potensi timbulnya anggapan yang keliru, bahwa perusahaan berperingkat hijau dan emas yang menjalankan kriteria CSR dalam Proper, seolah telah dianggap menjalankan kewajiban hukumnya. Padahal, Proper tidaklah menyesuaikan kriteria penilaian ketaatan hukumnya dengan ketentuan kewajiban hukum CSR. Khususnya kewajiban hukum terkait besaran CSR minimal, yang telah diatur dalam peraturan perundangan.
Sedangkan non-peserta akan mendapatkan manfaat gratis berupa reputasi yang timbul karena adanya kekeliruan, bahwa Proper dianggap sebagai tolak ukur kinerja ketaatan hukum seluruh perusahaan di Indonesia. Padahal masih banyak perusahaan yang berpotensi menjadi peserta dalam Proper tidak berpartisipasi.
Manfaat gratis lainnya diperoleh dari reputasi positif yang bersumber dari kekeliruan, bahwa perusahaan peserta Proper dianggap telah merepresentasikan seluruh perusahaan pada sektor-sektor, yang turut menjadi peserta dalam Proper.
Manfaat gratis lainnya yang diperoleh oleh nonpeserta adalah mendapatkan informasi terkait upaya pengelolaan lingkungan perusahaan yang bersumber dari Publikasi Proper yang terbit setiap tahunnya.
Saran
Mengingat potensi dampak dari kehadiran free riders dalam program sukarela, maka KLHK perlu untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka meminimalisir terjadinya Free Riders.
Mungkin akan diperlukan kajian yang lebih mendalam, terhadap perbedaan potensi free riders antara program sukarela yang diterapkan di negara berkembang dan negara maju.
KLHK mungkin dapat mempertimbangkan adanya perubahan pengumuman yang dapat menimbulkan penafsiran yang keliru terhadap hasil penilaian Proper.
Selain itu KLHK juga layak mempertimbangkan adanya perubahan kriteria penilaian ketaatan maupun melebihi ketaatan, agar diselaraskan sehingga meminimalisir tmbulnya kekeliruan penafsiran.
Selain itu KLHK juga dapat mempertimbangkan desain kepesertaan, yang mengandung komposisi perusahaan dalam sektor-sektor yang diikutsertakan dalam Proper, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru bagi para pemangku kepentingan atau seluruh stakeholders.
Desain dan Tujuan Proper sangat beragam. Sehingga memiliki banyak kelemahan dalam mekanisme penilaian dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan lingkungan yang ingin dicapai. Selain itu, Proper tidak memiliki tujuan lingkungan yang dapat dikuatifikasi atau diukur untuk mengevaluasi keberhasilan dari pelaksanaan Proper.