Monday, 15 July 2019

Prinsip Pencegahan dalam hukum Lingkungan - Rangkuman Baca baca

Keberadaan prinsip-prinsip hukum internasional yang bersumber dari berbagai perjanjian internasional atau kasus-kasus lingkungan internasional telah mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan internasional. Kehadiran Deklarasi Stockholm 1972, Rio de Janiero 1992 dan Johanesburg 2002 telah menjadi acuan utama dalam perkembangan hukum dan prinsip hukum lingkungan secara global, termasuk di negara Indonesia.  Salah satu prinsip hukum lingkungan internasional yang diakui adalah Prinsip Pencegahan (Prevention Principle).


Pengalaman dan keahlian ilmiah telah menunjukkan, bahwa pencegahan harus menjadi “Golden Rule” untuk perlindungan lingkungan, baik untuk alasan ekologi dan ekonomi.  Pencegahan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan telah menjadi raison d’etre bagi kebijakan pengelolaan lingkungan.  Menurut Sands prinsip pencegahan mensyaratkan diambilnya tindakan pada tahap awal kegiatan, jika mungkin sebelum pencemaran ditimbulkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.  Prinsip pencegahan dengan demikian berkaitan dengan langkah antisipatif yang ditujukan untuk menghindari sebelum terjadinya pencemaran lingkungan.

David Wilkinson mengemukakan, beberapa prinsip hukum lingkungan yang telah cukup memperoleh konsensus, yaitu: prinsip pencegahan (the preventative principle); prinsip kehati-hatian (the precautionary principle); prinsip pencemar membayar (the polluter pays principle); prinsip bahwa limbah dibuang dan diolah oleh penghasil limbah atau di tempat yang dekat dengan tempat limbah dihasilkan (the proximity principle); dan prinsip pembangunan berkelanjutan (the principle of sustainable development).

Hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, dan instrumen normatif telah menjadi hukum lingkungan yang bersifat general (umum). Norma dan prinsip telah muncul untuk diterima secara luas dan diulang secara konsisten dalam perjanjian dan undang-undang nasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan. Norma dan prinsip baru sedang dalam proses pembentukan, ketika hukum lingkungan internasional berkembang untuk memenuhi tantangan baru.
Prinsip mungkin lebih banyak digunakan dalam hukum lingkungan internasional daripada di bidang hukum internasional lainnya. Prinsip dapat menunjukkan karakteristik penting dari lembaga hukum, menetapkan norma hukum dasar, atau mengisi kesenjangan dalam hukum positif. Prinsip-prinsip dapat muncul dalam konstitusi dan undang-undang, atau mereka mungkin secara hukum dibangun. Suatu prinsip juga dapat memberikan orientasi dan arah umum yang harus dipenuhi oleh hukum positif, dasar pemikiran untuk hukum, tanpa sendirinya merupakan norma yang mengikat. Prinsip telah disebut "aturan konten tak tentu," memiliki tingkat abstraksi begitu besar sehingga tidak mungkin untuk menyimpulkan kewajiban yang tepat dari mereka dengan tingkat kepastian apapun. Dengan rentang makna ini, tidak mengherankan bahwa bahkan konsep "prinsip" dan nilai yuridis, jika ada, dari suatu prinsip bervariasi dari satu sistem hukum ke sistem hukum yang lain.

Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional mengakui 'prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab' sebagai sumber hukum. Prinsip-prinsip umum mengisi kesenjangan dalam hukum internasional yang belum tercakup oleh perjanjian atau kebiasaan. Oleh karena itu, pengadilan mengandalkan prinsip-prinsip umum tanpa adanya perjanjian atau hukum adat.

Prinsip-prinsip ini, meskipun diakui oleh masyarakat internasional, dan tanpa adanya keputusan peradilan, membuka pintu air dari interpretasi yang bertentangan sehingga sulit untuk menentukan status hukum aktual mereka. Masing-masing prinsip ini harus ditafsirkan secara bergantian dan status hukum mereka harus dipertimbangkan dengan mempertimbangkan konten tekstual, transparansi bahasa dan keadaan ciptaan mereka. Dalam konteks keseluruhan tata kelola lingkungan, banyak dari prinsip-prinsip umum ini kurang penting, tetapi beberapa memainkan peran penting dalam melindungi lingkungan dan banyak negara bagian telah menyatakan kesetiaan mereka kepada mereka. (Sumber : Philipe Sands)

Hunter dan yang lain berpendapat, sebagaimana dikutip Wibisana, bahwa prinsip pencegahan dapat mencerminkan pandangan yang menganggap, bahwa upaya perlindungan lingkungan terbaik dapat dicapai dengan mencegah kerusakan lingkungan di tahap awal daripada dengan mencoba memperbaiki atau mengganti kerugian setelah terjadinya kerugian.   Menurut Hunter Salzman dan Durwood sebagaimana dikutip Rahmadi, maka dalam konteks pengendalian pencemaran perlindungan lingkungan paling baik dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran daripada penanggulangan atau pemberian ganti kerugian.  Karenanya menurut Rahmadi, maka prinsip pencegahan mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini mungkin, yang dimulai dari tahap peraturan perundangan lingkungan yang efektif. 

Sedangkan menurut Efendi, prinsip pencegahan dapat juga diartikan sebagai upaya perlindungan maupun pelestarian lingkungan, sebagaimana diatur dalam Pasal 192 UNCLOS, bahwa negara-negara wajib melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pencegahan dapat dilihat sebagai tindakan yang berpusat pada lingkungan agar terhindar dari kegiatan yang merusak, sedangkan pelestarian bersumber dari pandangan keterbutuhan generasi masa depan terhadap sumber daya alam.

Prinsip pencegahan menurut Supriyono menekankan pada suatu upaya lebih baik mencegah terjadinya pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan daripada memperbaikinya. Atau dengan kata lain bermaksud untuk menghindari terjadinya dampak yang merusak dan mencemari lingkungan pada setiap kegiatan.  Prinsip pencegahan dilaksanakan dengan menetapkan standar atau baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan, menetapkan tujuan mutu lingkungan, membangun suatu sistem perizinan lingkungan, dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan, serta pengawasan. Dengan demikian, pencegahan selalu dihadapkan dengan sesuatu kemungkinan bahaya yang sudah nyata, karenanya sarananya seperti Amdal, penerapan produksi bersih dan clean technology, serta teknologi front of process.

Secara historis menurut De Sedeller, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa putusan Arbitrase Kasus Trail Smelter adalah implementasi awal penerapan dari prinsip pencegahan.  Dalam kasus ini, Canada dituntut bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh polutan yang dibuang ke atmosfir dari smelter, dengan alasan bahwa Canada seharusnya memastikan bahwa instalasi tersebut dioperasikan sesuai dengan kewajiban yang berlaku pada semua Negara di bawah hukum internasional. yaitu, kewajiban setiap saat untuk melindungi Negara-negara lain dari tindakan-tindakan merugikan yang disebabkan oleh individu-individu dari dalam yurisdiksinya. Putusan arbitrase dalam kasus Trail Smelter  berpendapat, bahwa :
Under the principles of international law . . . no state has the right to use or permit the use of territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another of the properties or persons there in, when the case is of serious consequence and the injury is established by clear and convincing evidence."

Badan hukum lingkungan internasional tidak ada pada saat keputusan Trail Smelter, tetapi telah terjadi ledakan dalam pembuatan aturan dan penciptaan rezim di bidang ini dalam beberapa dekade terakhir. Konvensi lingkungan internasional sangat sedikit memperhatikan masalah tanggung jawab negara atau tanggung jawab, sebaliknya mencari untuk mengendalikan atau mencegah polusi lintas batas sebelum kerusakan terjadi. Logika di balik pendekatan ini sudah jelas. Pertama, jika tujuan seseorang adalah mencegah degradasi lingkungan, jelas lebih baik untuk mengembangkan rezim peraturan preventif daripada bergantung pada rezim tanggung jawab dan kewajiban (responsibility and liability). Kedua, pendekatan pengaturan memungkinkan seseorang untuk mengatasi sepenuhnya masalah penyakit tindakan pelaku swasta, seperti perusahaan pengolahan mineral tambang/peleburan di suatu negara. Rejim-rejim ini memberlakukan kewajiban pada negara untuk mengambil langkah-langkah positif dalam mengendalikan polusi, dan kegagalan untuk memenuhi kewajiban tersebut dapat menjadi pelanggaran hukum internasional. Kewajiban konvensional ini juga dapat digunakan untuk menyempurnakan kewajiban due diligence. Akhirnya, ada kecenderungan untuk menciptakan rezim didalam suatu rezim untuk kepatuhan dan penegakan, sehingga pelanggaran kewajiban konvensional dapat diatasi melalui mekanisme tersebut, sehingga meniadakan kebutuhan untuk mengacu pada aturan tanggung jawab negara.

Dalam perkembangannya, prinsip pencegahan telah terintegrasi dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio De Janiero tahun 1992.  Menurut Melda Kamil, Prinsip 21 atau Prinsip 2 tersebut telah secara umum, dianggap sebagai norma dasar dalam hukum kebiasaan lingkungan internasional.  Principle 21 secara penuh diintegrasikan dalam Konvensi LRATP 1979, Konvensi Vienna 1985 untuk perlindungan lapisan ozon, Pasal 3 CBD 1992 dan telah terintegrasi dalam pembukaan UNFCCC. 

Menurut Wilkinson, prinsip pencegahan adalah suatu gagasan dimana negara, perusahaan, atau individu, dalam keadaan tertentu, memiliki kewajiban untuk mengambil langkah yang menghindari untuk menyebabkan jenis kerusakan lingkungan tertentu terhadap lingkungan, termasuk lingkungan di luar wilayah atau kepemilikan properti mereka sendiri.
David Wilkinson, 2002, Environment and Law, Routledge, New York

Elli louka mengakui preventive principle (Principles of Preventive Action) sebagai salah satu prinsip hukum lingkungan internasional. Menurutnya, "The preventive approach is based on the idea that it is better to prevent environmental damage than to employ measures to restore the environment thereafter. The prevention of environmental damage has been le raison d’etre of environmental policy". 
Pendekatan preventif didasarkan pada gagasan bahwa lebih baik mencegah kerusakan lingkungan daripada menggunakan tindakan untuk memulihkan lingkungan setelahnya. Pencegahan kerusakan lingkungan telah menjadi le raison d’etre dari kebijakan lingkungan. Pendekatan preventif telah diperluas dengan prinsip yang relatif baru-prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian didasarkan pada premis bahwa tindakan terhadap masalah-masalah lingkungan harus diambil bahkan jika ada kurangnya kepastian ilmiah, sering membalikkan beban pembuktian dan menempatkannya pada mereka yang mengklaim bahwa suatu kegiatan tidak merusak.
Sumber : Elli Louka, 2006, International Environmental Law - Fairness, Effectiveness, and World Order, Cambridge University Press, New York

Pencemaran dan perusakan lingkungan selalu hadir sebagai implikasi negatif dari setiap usaha dan/atau kegiatan masyarakat. Kehadiran prinsip pencegahan merupakan perkembangan baru dari strategi pengelolaan lingkungan yang sebelumnya didasarkan atas pendekatan akhir atau diistilahkan dengan "end of pipe". Strategi pencegahan menawarkan suatu langkah baru yang lebih ramah lingkungan sekaligus meningkatkan efesiensi dalam penggunaan sumber daya bagi suatu usaha dan/atau kegiatan. Oleh karenanya, prinsip pencegahan sangatlah penting untuk menjadi "golden rule" bagi seluruh masyarakat, di setiap usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya dalam kehidupan. 

Namun Prinsip Pencegahan bukanlah suatu hal yang dapat dengan mudah diimplementasikan, dari sebuah prinsip yang bersifat umum dan abstrak menuju sebuah praktik perilaku atau kegiatan oleh masyarakat. Diperlukan suatu upaya pendidikan lingkungan kepada seluruh masyarakat, yang bertujuan agar masyarakat dapat mengidentifikasidan mengimplementasikan berbagai praktik pencegahan dalam setiap bentuk usaha dan/atau kegiatannya.

Prinsip pencegahan terhadap perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan membutuhkan keterlibatan dan aksi di semua sektor masyarakat. Pencegahan tidak bisa mengandalkan pendekatan "command and control" atau bersifat dari atas ke bawah, juga tidak bisa boleh hanya menjadi suatu renungan dan angan-angan semata. Itu harus direalisasikan dan dibangun ke dalam seluruh kegiatan, proses dan produk serta pengambilan keputusan pada setiap tingkatan usaha dan/atau kegiatan oleh seluruh elemen masyarakat. Mendidik orang dalam semua pekerjaan dan disiplin akademik pada konsep dan prinsip pencegahan dengan demikian merupakan fondasi penting untuk sukses.


HASIL PENELITIAN
Dalam perkembangannya, prinsip pencegahan telah terintegrasi dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio De Janiero tahun 1992.[1] Menurut Melda Kamil, Prinsip 21 atau Prinsip 2 tersebut telah secara umum, dianggap sebagai norma dasar dalam hukum kebiasaan lingkungan internasional.[2] Principle 21 secara penuh diintegrasikan dalam Konvensi LRATP 1979, Konvensi Vienna 1985 untuk perlindungan lapisan ozon, Pasal 3 CBD 1992 dan telah terintegrasi dalam pembukaan UNFCCC.[3]
Prinsip 21 Deklarasi Stockholm, yang berbunyi :[4]
States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”
Menurut Birnie, dalam Deklarasi Rio mengakui status Prinsip Stockholm 21 sebagai pernyataan hukum internasional kontemporer, yang juga diulang kata demi kata dalam Pasal 3 Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity), yang kemudian kembali ditegaskan dengan (sedikit) perubahan dalam Prinsip 2 Deklarasi Rio.[5] Prinsip 2 berbunyi :[6]
States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.
Menurut Sadeller, dengan tetap mempertahankan gagasan pencegahan, Deklarasi Rio 1992 menetapkan persyaratan kewajiban ini dalam bentuk yang lebih terbatas daripada Prinsip 2 Stockholm 1972.[7] Sedangkan menurut Sands, telah disarankan bahwa penambahan dua kata ini mengungkapkan “langkah yang tersembunyi dengan seksama” yang oleh penekanannya yang lebih kuat pada pembangunan “mengganggu keseimbangan rumit yang terjadi di Stockholm antara penggunaan sumber daya alam yang berdaulat dan kewajiban untuk merawat lingkungan”.[8]
Prinsip 21 Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Rio 1992 memberikan kewajiban untuk memastikan, bahwa kegiatan dalam yurisdiksi atau kontrol suatu negara tidak menyebabkan kerusakan pada lingkungan negara lain atau daerah di luar batas yurisdiksi nasional.[9] Negara menemukan diri mereka terikat oleh persyaratan due diligence untuk mencegah polusi lintas batas. Dengan kata lain, Negara harus menunjukkan kegagalan due diligence jika harus bertanggung jawab”.[10] Akan tetapi, hukum kebiasaan tidak menentukan apa yang harus dilakukan oleh perilaku atau tindakan konkret apa yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban Negara di bawah Prinsip Stockholm 21 dan Prinsip 2 Rio?
Kewajiban ini, kadang-kadang disebut sebagai “tindakan pencegahan” atau “prinsip pencegahan”, yang mebedakan dari Prinsip 21 / Prinsip 2 dalam dua pandangan, yaitu pertama, yang terakhir timbul dari penerapan penghormatan terhadap prinsip kedaulatan, sedangkan prinsip preventif berusaha untuk meminimalkan kerusakan lingkungan sebagai tujuan itu sendiri. Perbedaan alasan yang mendasari ini berhubungan dengan perbedaan kedua: di bawah prinsip pencegahan, suatu negara mungkin berada di bawah kewajiban untuk mencegah kerusakan lingkungan dalam yurisdiksinya sendiri, termasuk dengan cara pengaturan yang tepat, tindakan administratif dan lainnya.[11]
Menurut De Sadeller, Kedua tujuan utama dari Prinsip 21 dan 2 adalah untuk mencegah penyalahgunaan hak atas pengelolaan sumber daya alam. Prinsip pencegahan, sebaliknya, tampak lebih luas dalam ruang lingkupnya, dimana pencemaran atau degradasi lingkungan itu harus diantisipasi, meskipun negara-negara mungkin tidak menyalahgunakan hak kedaulatan mereka. Akibatnya, prinsip preventif sebenarnya merupakan elemen eksternal dari kewajiban umum untuk "due diligence" atau "due care" sehubungan dengan lingkungan dan kekayaan alam dan sumber daya. Meskipun demikian, itu bukan tanpa konsekuensi tertentu untuk pertanggungjawaban.[12]
Sedangkan menurut Wibisana, perbedaan antara Prinsip 21 dengan prinsip Pencegahan, yaitu Prinsip 21 berangkat dari pengakuan atas kedaulatan Negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di wilayahnya, sedang prinsip pencegahan berangkat dari pengakuan atas perlindungan lingkungan sebagai sebuah tujuan. Kedua, Prinsip ke-21 diterapkan dalam kerangka pencemaran lintas batas Negara (transboundary pollution), sedangkan prinsip pencegahan diterapkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar transboundary pollution, yang dalam hal ini, penerapan prinsip pencegahan ditujukan untuk meminimalisir munculnya resiko pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup.[13] Selaras dengan Wibisana, menurut Supriyono,[14] makna Prinsip 21 Stockholm tersebut mengandung 2 arti, yaitu pertama, prinsip ini menghendaki upaya meminimalisasi pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan sebagai sebuah tujuan. Kedua, prinsip ini negara mempunyai kewajiban untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang terjadi dalam wilayah hukumnya (own jurisdiction) sendiri.[15]
Selain telah didukung, secara langsung atau tidak langsung, oleh Deklarasi Stockholm 1972 dan Rio Declaration 1992, prinsip pencegahan juga didukung dalam 1978 UNEP Draft Principles dan 1982 World Charter for Nature. Lebih signifikan dalam perkembangannya sebagai prinsip hukum internasional adalah kenyataan bahwa asas tersebut telah diandalkan atau didukung dalam sejumlah besar perjanjian yang berkaitan dengan media atau kegiatan lingkungan tertentu. Prinsip pencegahan juga telah secara khusus dimasukkan ke dalam perjanjian penerapan yang lebih umum, termasuk di bidang hukum ekonomi internasional, seperti EC Treaty, the 1989 Lom´e Convention and the 2001 Treaty establishing the East African Community.[16]
Lebih lanjut pada level internasional, pengakuan prinsip pencegahan atau pendekatan preventif menurut Philipe Sands,[17] sebagaimana dikutip De Sadeller,[18] telah dimasukan dalam beberapa perjanjian lingkungan internasional, antara lain :
·         the marine environment (for instance, UNCLOS, 1982: Articles 194(1)(2), 195, 192, 196, 204, 207, 208, 209, 210, 211, 212),
·         the management of high seas fisheries (for instance, Article 5 of the 1995 UN Fish Stocks Agreement),
·         the protection of rivers (for instance, Article 21 of the 1997 New York Convention on the Law Relating to the Uses of International Watercourses for Purposes other than Navigation),
·         climate (for instance, UNFCCC, 1992: Article 3(3)),
·         the ozone layer (for instance, Article 2(2)(b) of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer),
·         waste management (for instance, Article 4(2)(c) of the 1989 Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal),
·         biodiversity (for instance, Article 14 of the 1992 CBD),
·         vulnerable ecosystems such as the Antarctic and the Alps (for instance, Article 3(2) of the 1991 Madrid Protocol on Environmental Protection to the Antarctic Treaty, Article 2 of the 1991 Salzburg Convention on the Protection of the Alps),
·         transboundary environmental risk assessment (for instance, the 1991 Espoo Convention on Environmental Impact Assessment in a Transboundary Context; Article 3(1) of the 1992 Helsinki Convention on the Transboundary Effects of Industrial Accidents).
Menurut Sands, prinsip pencegahan juga dirumuskan secara implisit dalam Prinsip 11 Deklarasi Rio 1992, yang antara lain berbunyi : “States shall enact effective environmental legislation...”, dimana kedua prinsip tersebut menekankan pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya masalah-masalah lingkungan.[19] Selain itu ketentuan lain yang relevan menurut Sands, adalah termasuk ketentuan Pasal 14 (yang meminta negara untuk mencegah atau mengirim kegiatan dan/ atau zat-zat berbahaya ke negara lainnya).[20]
Prinsip pencegahan juga mendapat pengakuan dalam putusan kasus Gabcikovo-Nagymaros oleh ICJ. Menurut Sands, dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros, ICJ menyatakan, bahwa, disadari di bidang perlindungan lingkungan, kewaspadaan dan pencegahan diperlukan karena karakter kerusakan pada lingkungan yang sering ireversibel dan keterbatasan mekanisme reparasi yang melekat pada tipe kerusakan lingkungan”.[21] Dengan demikian, maka prinsip pencegahan diperlukan karena adanya karakter kerusakan lingkungan yang tidak dapat berbalik (irreversible) dan karena adanya keterbatasan kemampuan kita untuk memulihan (reparation) kerusakan lingkungan jika hal itu terjadi.[22]
Lebih lanjut menurut Sands, prinsip pencegahan tercermin dalam praktik negara dalam hal berbagai tujuan kebijakan pengelolaan lingkungan. Secara umum menyatakan, larangan kegiatan yang menyebabkan atau dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan yang melanggar standar yang ditetapkan berdasarkan aturan hukum internasional. Hal tersebut telah digambarkan sebagai “mengesampingkan kepentingan dalam setiap kebijakan lingkungan yang efektif, karena memungkinkan tindakan yang harus diambil untuk melindungi lingkungan pada tahap awal. Ini bukan lagi masalah utama memperbaiki kerusakan setelah itu terjadi”. Prinsip pencegahan didukung oleh badan ekstensif dari undang-undang perlindungan lingkungan domestik yang menetapkan prosedur otorisasi, serta adopsi komitmen internasional dan nasional tentang standar lingkungan, akses ke informasi lingkungan, dan kebutuhan untuk melakukan penilaian dampak lingkungan dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan tertentu yang diusulkan. Prinsip pencegahan dapat, oleh karena itu, mengambil sejumlah bentuk, termasuk penggunaan hukuman dan penerapan aturan kewajiban.
Pendekatan ini dikonfirmasi dalam kasus Pulp Mills, di mana ICJ menunjukkan bahwa prinsip pencegahan sebagai aturan adat, memiliki asal-usulnya dalam pelaksanaan due diligence yang diperlukan suatu Negara di wilayahnya'. Interkoneksi dari kewajiban untuk mencegah bahaya dan persyaratan untuk melakukan “due diligence” digarisbawahi oleh ICJ, yang mencirikan kewajiban 'untuk bertindak dengan due diligence sebagai: “kewajiban yang tidak hanya mencakup penerapan aturan dan tindakan yang sesuai, tetapi juga pada tingkat tertentu. kewaspadaan dalam penegakannya dan pelaksanaan kontrol administratif yang berlaku untuk operator publik dan swasta, seperti pemantauan kegiatan yang dilakukan oleh operator tersebut ”.[23] Selain itu, menurut Sands juga terlihat pada kasus lingkungan lainnya seperti Lac Lanoux Arbitration 1957 dan Certain Phosphate Lands in Nauru (Nuclear tests case Nauru v. Australia) 1992.[24]
Prinsip ini tercermin dalam praktik negara yang berkaitan dengan berbagai tujuan lingkungan. Umumnya menyatakan, larangan terhadap kegiatan yang menyebabkan atau dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang melanggar standar yang ditetapkan di bawah aturan hukum internasional. Prinsip pencegahan didukung oleh tubuh yang luas undang-undang perlindungan lingkungan domestik yang menetapkan prosedur otorisasi, seperti serta adopsi komitmen internasional dan nasional tentang standar lingkungan akses ke informasi lingkungan, dan kebutuhan untuk melakukan dampak lingkungan penilaian dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan tertentu yang diusulkan. Oleh karena itu, Prinsip pencegahan dapat mengambil sejumlah bentuk, termasuk penggunaan hukuman dan penerapan aturan tanggung jawab (liability).[25]
Keterkaitan dengan prinsip hukum lingkungan lainnya.
Prinsip ini juga dipandang berhubungan erat dengan prinsip keberhati-hatian (precautionary principle), dimana kedua prinsip tersebut menekankan pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya masalah-masalah lingkungan.[26] Prinsip precautionary principle (pencegahan dini), yang diterapkan dalam Deklarasi Rio 1992 mensyaratkannya untuk pemakaian hanya bagi threats of serious or irreversible environmental damage (ancaman yang serius atau kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki). Dengan demikian prinsip ini tidak dapat diterapkan kepada semua risk regulation.
Pada prinsip pencegahan, Deklarasi Rio mengakui kebutuhan untuk tindakan kehati-hatian, yang menyiratkan bahwa, bahkan tanpa pengetahuan ilmiah atau kepastian penuh, Negara harus mengambil tindakan pendekatan pencegahan dalam kasus-kasus di mana kerusakan yang serius atau tidak dapat diperbaiki dibayangkan atau mungkin terjadi.[27] Hal ini memperlihatkan bahwa asas kehati-hatian sangat terkait erat dengan asas pencegahan, karena kedua asas ini sama-sama bertujuan untuk menghindari atau mencegah terjadi bahaya. Perbedaannya terletak pada kapan upaya pencegahan tersebut akan dilakukan. Dalam asas kehati-hatian, tindakan pencegahan dilakukan terhadap bahaya besar tetapi belum pasti (uncertain threats), sedangkan dalam asas pencegahan tindakan pencegahan ditujukan pada bahaya yang lebih pasti (certain threats). Dengan demikian, asas kehati-hatian tidak lain dari pada perluasan asas pencegahan, yang akan dikenakan pada situasi incertitude serta hanya diperuntukkan bagi bahaya yang serius dan tidak bisa dipulihkan.[28]
Hal lain yang patut dikemukakan ialah bahwa Asas Pencegahan merupakan prinsip yang ditujukan untuk pencegahan resiko. Karenanya, untuk keadaan resiko (risk) yang dapat diterapkan adalah prinsip pencegahan. Sedangkan untuk keadaan uncertainy, ambiguity, atau ignorance yang berlaku bukan lagi prinsip pencegahan, tapi prinsip kehati-hatian (the precautionary principle).146 Penentuan eksistensi ancaman kerusakan juga akan berkaitan dengan pendekatan yang digunakan yaitu konsep resiko berupa penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management). Dalam penilaian atas resiko, kemungkinan hasil dan besarnya tindakan diukur dan dipertimbangkan oleh bukti dan data ilmiah. Selanjutnya hasil dari risk assessment dijadikan bahan oleh politisi dan pemerintah untuk membuat pengelolaan resiko.[29]
Menurut Simons sebagaimana dikutip Rangkuti, prinsip ini semula diajukan oleh ahli ekonomi E. J. Mishan dalam The Cost of Economic Growth pada tahun 1960-an, prinsip pencemar membayar yang bersumber pada ilmu ekonomi berpangkal tolak pada pemikiran bahwa pencemar semata-mata merupakan seseorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya.[30] Begitu pula norma hukum dalam bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran yang sebenarnya dielakkan. Pada awal tahun 1972 mulai dianut oleh Negara anggota OECD yang pada intinya menyebutkan bahwa pencemar harus membayar biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkan.[31]
OECD memberikan definisi : “the polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by publik authorities to ensure that the environment is in “acceptable state” or in other words the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and or in consumption.” Secara sederhana, pengertian asas pencemar membayar (polluter pays principle) adalah, bahwa setiap pelaku kegiatan/ usaha yang menimbulkan pencemaran, harus membayar biaya atas dampak pencemaran yang terjadi.[32]
Jika dalam konteks tradisional, prinsip pencemar membayar diartikan sebagai suatu kewajiban yang timbul terhadap pencemar untuk membayar setiap kerugian akibat pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. Dalam konteks modern prinsip pencemar membayar diterapkan tanpa menunggu adanya akibat dari suatu pencemaran, tetapi diinternalisasikan dalam operasional perusahaan melalui upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang harus diterapkan. Dengan kata lain, Internalisasi biaya lingkungan identik sebagai penjabaran atas prinsip pencemar membayar dalam perspektif yang lebih modern.[33] Dapat dikatakan bahwa, penerapan prinsip pencemar membayar dilakukan dengan membebani kegiatan yang perlu untuk mencegah pencemaran yang mengharuskan mengambil upaya pencegahan.
Menurut de Sadeller, bahwa prinsip pencemar-membayar harus diperlakukan sebagai norma pencegahan, karena aturan pencemar-membayar dapat mencegah pencemar dari polusi jika biaya, sebagaimana yang dialokasikan oleh prinsip, dianggap terlalu tinggi oleh pencemar. Namun, peran preventif semacam itu tampaknya agak terbatas dalam praktiknya. Jika manfaat bagi pencemar terlibat dalam kegiatan ini lebih besar daripada biayanya, maka pencemar akan terlibat dalam kegiatan polusi. Selain itu, biaya lain dari kegiatan mungkin tidak diinternalisasi oleh pencemar, sehingga mengurangi kalkulus ekonomi yang ditentukan oleh prinsip pencemar membayar.[34]
Sehubungan dengan Polluters Pays Principle (3P), menurut Rangkuti maka perlu dikenal “3P” versi lainnya, yaitu Pollution Prevention Pays yang diartikannya sebagai upaya pencegahan pencemaran menguntungkan.[35] Pollution Prevention Pays menekankan pada upaya pencegahan, yang dipandang lebih menguntungkan, sesuai dengan Motto : Prevetion is Better Than Cure. Menurutnya, beban biaya pencegahan pencemaran mungkin tinggi, tetapi dapat diimbangi dengan upaya penghematan sumber daya alam. Bahan baku yang keluar sebagai produk sampingan dapat diperkecil atau didaur ulang melalui proses produksi, sehingga tercapai peningkatan efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya alam.[36]
Prinsip pencegahan juga bergantung pada cost benefit analysis (analisa biaya dan manfaat) serta sangat bergantung pada kemauan untuk mengeluarkan biaya.[37] Karenanya Sunstein berpendapat, bahwa prinsip pencegahan seharusnya menjadi apa yang “direkomendasikan oleh cost benefit analysis”. Lebih lanjut menurut Sunstein, maka implementasi prinsip pencegahan hanya bisa dibenarkan jika, semua hal dipertimbangkan, itu lebih baik daripada alternatifnya, yang berarti bahwa manfaat pencegahan melebihi biaya yang dikeluarkan sehingga keuntungan ekonomi, sosial budaya dan keuntungan lingkungan yang diperoleh harus sesuai dengan total biaya pencegahan yang dikeluarkan.[38]
Menurut Sadeller, prinsip pencegahan juga terkait dengan prinsip rectification at source (mencegah pencemaran dari sumbernya). Oleh karenanya penerapan prinsip pencegahan pada sumber polusi terkait dengan kewajiban sumber polusi (para pencemar) untuk menggunakan teknologi terbaik yang tersedia (Best Availiable Technology).[39] Karenanya menurut Wibisana, penting dicatat, bahwa dalam tindakan pencegahan bahaya lingkungan dari teknologi atau kegiatan tertentu, orang perlu mempertimbangkan bahwa alternatif yang tersedia untuk teknologi atau kegiatan semacam itu akan menciptakan lebih sedikit bahaya bagi lingkungan. Ini terutama terjadi ketika tindakan pencegahan diambil dengan melarang zat, teknologi atau aktivitas tertentu.[40]
Terkait dengan BAT, menurut Rangkuti di Belanda dikenal prinsip As Low As Reasonably Achieveable (Alara Principle), yang terdiri dari dua tahap, fase pertama the best practicable means atau best technical means, dimana pengaturan yang bersifat pembatasan pencemaran diadakan seoptimal mungkin dengan melihat sarana dari segi teknik dan ekonomis. Pada fase kedua, kebijaksanaan ditujukan kepada pengembangan tujuan pengelolaan lingkungan dalam bentuk tingkat mutu berbagai unsur lingkungan (baku mutu lingkungan).[41]
Keterkaitan antara prinsip pencegahan dan penggunaan teknologi untuk suatu usaha dan/ atau kegiatan terlihat jelas. Karenanya setiap usaha dan/ atau kegiatan wajib untuk mempertimbangkan penggunaan teknologi, sesuai dengan alternatif teknologi terbaik yang tersedia dalam rangka upaya pencegahan terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan. Sehingga dapat meniadakan atau meminimalisir resiko terjadinya pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan, baik akibat proses produksi yang tidak berwawasan lingkungan ataupun penggunaan teknologi pengelolaan limbah/ emisi yang tidak optimal.
Pencegahan juga terkait dengan maksud untuk mencegah dan pemikiran, bahwa disinsentif seperti hukuman dan tanggung jawab perdata (civil liability) akan menyebabkan para pelaku untuk lebih berhati-hati dalam perilaku mereka untuk menghindari peningkatan biaya, sehingga mencegah terjadinya pencemaran. Sesuai dengan sifatnya, liability rules adalah tanggapan terhadap kerusakan. Beberapa kerusakan lingkungan, bagaimanapun, mungkin tidak dapat diperbaiki atau dikembalikan. Untuk tujuan perlindungan lingkungan, oleh karena itu, tindakan pencegahan dan mitigasi harus mendapat prioritas. Sesuai dengan sifatnya konsep pertanggungjawaban hukum secara nyata menimbulkan kerusakan lingkungan, yang mungkin tidak dapat diperbaiki (reversibel). Karena itu, langkah-langkah preventif dan mitigasi harus mendapat prioritas dalam rangka tujuan perlindungan lingkungan.[42]
Peterson dkk. (2003) menjelaskan dampak jangka panjang yang besar dari tumpahan minyak Exxon Valdez pada tahun 1989 untuk ekosistem pesisir Alaska, menunjuk pada pengurangan dispersi dan degradasi yang tak terduga dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, di beberapa daerah yang terkena dampak, populasi berang-berang laut tidak mengalami pemulihan sama sekali pada tahun 2000.[43] Sedangkan di Indonesia peristiwa bocornya sumur Banjar Panji I milik PT. Lapindo Brantas Inc. tanggal 29 Mei tahun 2006 (Lumpur Lapindo) di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur sampai saat ini masih berlangsung.



[1] Ibid., hlm..246
[2] Melda Kamil A., Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Lingkungan Internasional, Diskusi tentang "Hukum Lingkungan Internasional; Implikasinya terhadap Indonesia", Fakultas Hukum UI. 21 April 1998.
[3] De Sadeller, Op. Cit., hlm. 63
[4] Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972
[5] Alan Boyle, Patricia Birnie, Op.Cit., hlm.145
[6] Prinsip 2 Deklarasi Rio de Janiero 1992
[7] De Sadeller, Op.Cit., hlm.62
[8] Philippe Sands, Jacqueline Peel, et al., Op. Cit., hlm.42
[9] Ibid., hlm.63
[10] Ibid., hlm.63
[11] Philippe Sands, Jacqueline Peel, et al., Op. Cit., hlm.200
[12] Ibid.
[13] Wibisana, Loc.Cit., hlm.34
[14] Harry Supriyono, Op.Cit, hlm.21
[15] Ibid., hlm.21
[16] Sands, hlm.202
[17] Sands, Op. Cit., hlm.248-249
[18] Nicolas de Sadeleer, 2010, The principles of prevention and precaution in international law: two heads of the same coin, Edward Elgar Publishing, Research Handbook on International Environmental Law.
[19] Philippe Sands, Jacqueline Peel, et al., Op. Cit., hlm.201 dan Takdir Rahmadi, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pres Ed.2 Cet.5, Jakarta, hlm. 15
[20] Philippe Sands, Jacqueline Peel, et al., Loc. Cit., hlm.200
[21] Ibid.
[22] Wibisana, Op. Cit., hlm.34
[23] Pulp Mills case, para. 101. 77 Ibid., para. 197, dalam Philippe Sands, Jacqueline Peel, et al., Op. Cit., hlm. 200
[24] Philippe Sands, Jacqueline Peel, et al., Loc. Cit., hlm.200
[25] Sands, 201-201
[26] Philippe Sands, Jacqueline Peel, et al., Op. Cit., hlm.247 dan Takdir Rahmadi, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm.15
[27] Kiss and Shelton, hlm.64 dalam Xue Hanqin, Op. Cit., hlm.322
[28] Michael Faure dan Nicole Niessen, Op. Cit., hlm.46
[29] Hukum Lingkungan Teori dan Legislasi
[30] Siti Sundari Rangkuti, 2006, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, hlm.256
[31] Ibid., Hlm.238
[32] Hukum Lingkungan Teori dan Legislasi
[33] Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, Op.Cit., hlm 178
[34] Sonia Boutillon, 2005, tanggapan atas de Sadeleer, Nicolas. Environmental Principles - From Political Slogans to Legal Rules, European Journal of International Law, sumber : www.ejil.org/pdfs/16/1/287.pdf , diunduh tanggal 21 April 2018
[35] Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., hlm.278
[36] Ibid, hlm.278.
[37] Michael Faure dan Nicole Niessen Op. Cit., hlm.38-39
[38] Ibid., hlm.38-39
[39] De Sadeller, hlm.75
De Sadeller membandingkan ruang lingkup prinsip pencegahan dan prinsip rectifikasi.
[40] Michael Faure dan Nicole Niessen Loc. Cit., hlm.38-39
[41] Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit., hlm 118
[42] Xue Hanqin, 2003, Transboundary Damage in International Law, Cambridge University Press, 255-256
[43] Tim Friehe and Eric Langlais, 2017, Prevention and Clean up of Dynamic Harm Under Environmental Liability, Journal of Environmental Economics and Management

No comments:

Post a Comment