Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia selalu hadir seiring berjalannya kegiatan pembangunan yang dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Berbagai persoalan lingkungan, seperti bencana lingkungan kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor, pencemaran air, udara dan tanah serta tekanan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya menjadikan peningkatan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi suatu keniscayaan.
Kerugian lingkungan, akibat bencana lingkungan ataupun karena terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan sangatlah besar apabila dinilai secara materiil. Baik pemerintah maupun perusahaan akan membutuhkan waktu yang relatif lama, untuk memperoleh uang ganti kerugian terhadap korban bencana lingkungan ataupun korban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Perusahaan bahkan berpotensi menghadapi kebangkrutan seketika, jika sanksi denda materiil atau jumlah ganti kerugian yang dibebankan kepadanya sangat besar.
Apabila dalam kasus diatas, eksekusi tertunda disertai ketidakjelasan kapan terealisasi, maka masyarakat dan lingkungan hidup yang menjadi korbannya. Tidak jarang di beberapa kasus, Negara (pemerintah) turun tangan dengan membantu menyediakan dana talangan yang berasal dari APBN atau APBD dan sudah 10 tahun proses ganti rugi tidak terselesaikan, seperti kasus Lumpur Lapindo. Dengan kata lain, secara tidak langsung masyarakat terbebani akibat biaya ganti kerugian dan pemulihan kondisi lingkungan hidup.
Salah satu jenis instrumen ekonomi lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah Asuransi Lingkungan. asuransi lingkungan wajib dikembangkan dan diterapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sayangnya, sampai saat ini (2017) asuransi lingkungan belum berkembang dengan optimal di Indonesia.
Asuransi
Menurut Pasal 1 Butir (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Pengertian asuransi di atas asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada sistem perekonomian, dengan cara menggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko yang sama atau terkena risiko yang hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar agar probabilitas kerugiannya dapat diprediksi dan bila kerugian yang diprediksikan terjadi, maka akan dibagi secara proposional kepada semua pihak dalam gabungan itu.
Sebagai suatu perjanjian, kegiatan usaha perasuransian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Menurut Pasal 246 KUHD: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Berdasarkan tujuannya, asuransi dapat dibagi menjadi asuransi sosial dan asuransi komersial. Asuransi komersial adalah bisnis asuransi yang diselenggarakan dengan tujuan utamanya untuk memperoleh keuntungan. Asuransi komersial dapat pula dibedakan antara asuransi umum (asuransi kerugian) dan suransi jiwa .
Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Berdasarkan objek yang diasuransikan, asuransi dapat digolongkan menjadi, asuransi harta, asuransi tanggung jawab hukum, dan asuransi jiwa. Asuransi tanggung jawab hukum (liability insurance) adalah asuransi yang menjamin risiko yang berasal dari tuntutan yang timbul karena kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Secara umum, tujuan asuransi meliputi tujuan pengalihan risiko, tujuan pembayaran ganti kerugian, tujuan pembayaran santunan, tujuan kesejahteraan anggota. Tujuan asuransi untuk pembayaran ganti rugi adalah dimana terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya, bahaya yang mengancam itu tidak senantiasa sungguh-sungguh akan terjadi. Ini merupakan kesempatan baik bagi penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya.
Istilah resiko memiliki berbagai pengertian dalam ilmu asuransi dikenal juga terdapat istilah Hazard dan Peril. Ketiga istilah tersebut memang memiliki kaitan yang erat, namun memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Emmet J. Vaughan dan Therese Vaughan mendefenisikan Peril sebagai penyebab terjadinya kerugian. Peril juga dipergunakan untuk merujuk kepada bahaya api, topan, banjir, pencurian dan sejenisnya. Hazards didefinisikan sebagai suatu keadaan yang dapat menciptakan kemungkinan suatu timbul dari peril yang ada. Hazard secara umum dibagi dalam tiga (3) kategori yaitu physical hazard, moral hazard, dan morale hazard.
Physical hazard adalah kondisi fisik obyek asuransi yang akan meningkatkan kemungkinan kerugian karena risiko yang diasuransikan. Contohnya adalah untuk asuransi kebakaran adalah jenis konstruksi, letak dan penggunaan bangunan. Moral hazard adalah kemungkinan terjadinya kerugian disebabkan karakter tertanggung yang cenderung tidak jujur. Morale hazard adalah tindakan yang akan meningkatkan kerugian karena adanya asuransi, misalnya sikap yang cenderung tidak mencegah kerugian timbul karena terdapat asuransi yang menanggung .
Risiko juga dapat dibagi lagi antara risiko inti atau risiko bisnis (core risk) dan risiko bukan inti (non core risk). Risiko inti adalah risiko yang terkait dengan bidang usaha yang dijalankan. Seperti risiko tuntutan pihak ketiga karena pencemaran dan polusi. Risiko bukan inti risiko yang selain terkait langsung dengan bidang usaha yang dijalankan, seperti risiko kebakaran pabrik, gedung atau bangunan serta risiko karena gempa bumi dan banjir .
Jika pada suatu ketika sunguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka kepada si tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam praktiknya, kerugian yang timbul tersebut bersifat sebagian, tidak semuanya berupa kerugian total. Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi yang bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya.
Terdapat empat (4) prinsip dalam hukum asuransi, yaitu prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan, prinsip ganti keerugian (imdemnity), prinsip itikad sangat baik serta prinsip kebebasan berkontrak. Keempat prinsip tersebut merupakan prasyarat utama dalam hukum asuransi. Karena itulah, pengembangan asuransi wajib memperhatikan keempat prinsip tersebut
Menurut Junaedy Ganie, industri perasuransian pada negara maju, baik asuransi komersial dan asuransi sosial, memegang peranan yang besar dalam perekonomian negara. Peranan yang penting tersebut membuat hampir tidak ada kegiatan perekonomian yang tidak berhubungan dengan jasa pertanggungan asuransi, mulai dari kegiatan kepentingan perorangan, keluarga, koorporasi, dan negara .
Asuransi Lingkungan
Sejalan dengan prinsip pengansuransian, dikenal pula asuransi lingkungan. asuransi lingkungan pada prinsipnya sejalan dengan cara menerapkan konsep pemindahan risiko (risk transfer), dimana suatu usaha jasa asuransi menjamin beberapa atau semua risiko yang mungkin dihadapi oleh suatu industri sesuai dengan premi yang dibayarkannya.
Pada prakteknya dapat dianalogikan dengan asuransi kerugian, akan tetapi dalam hal ini yang diasuransikan adalah risiko timbulnya pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu kegiatan/ usaha. Hal ini sejalan dengan tujuan asuransi menurut Wirjono Prodjodikoro untuk menutup suatu kerugian yang diderita akibat suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang belum dapat ditentukan semula akan terjadi atau tidak.
Salah satu bentuk varian atau bentuk alternatif dari instrumen ekonomi yang masih minim dibahas dalam berbagai literatur ekonomi lingkungan, adalah asuransi lingkungan (environmental insurance) sebagai instrumen pengendalian lingkungan tidak langsung. Asuransi lingkungan, adalah salah satu instrumen ekonomi lingkungan yang tergolong baru dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Namun, sebenarnya pengembangan konsep kebijakan asuransi lingkungan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1996.
Saat itu Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menyelenggarakan Seminar “Pengembangan Asuransi Lingkungan di Indonesia” yang bekerjasama dengan LPM-ITB di Bandung. (Asuransi Lingkungan, Bapedal KLH). Menurut Sarwono Kusumaatmaja, sebagai Menteri Lingkungan Hidup saat itu, asuransi lingkungan atau sistem jaminan terhadap risiko lingkungan merupakan salah satu instrumen ekonomi yang juga akan memanfaatkan sistem mekanisme pasar dalam menyelesaikan masalah pemulihan lingkungan hidup.
Lebih lanjut menurut Faure, sebagaimana dikutip Harry Supriyono, “Moreover, only under strict liability will the injurer be forced to compensate the damage and even then compensation may be endangered if the injurer were insolvent, ...”. Pada pokoknya, hal tersebut dapat diartikan salah satu fungsi utama asuransi lingkungan adalah tersedianya dana untuk dialokasikan dalam pertanggungjawaban ganti rugi lingkungan dalam rangka mengantisipasi kebangkrutan perusahaan akibat terjadinya kerusakan lingkungan, dimana jumlah nominal dana pertanggungan dalam konsepsi tanggung jawab mutlak (strict liabilty).
Asuransi Lingkungan Dalam UUPPLH
Saat ini, asuransi lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Menurut Penjelasan Pasal 43 UUPPLH asuransi lingkungan hidup adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup .
Menurut Pasal 42 dan Pasal 43 UUPPLH, asuransi lingkungan hidup adalah salah satu jenis instrumen ekonomi lingkungan hidup, sebagai kebijakan insentif dan/ atau disinsentif yang wajib dikembangkan dan diterapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup .
Selain itu, asuransi lingkungan juga diatur secara implisit dalam Bab tentang Tanggung Jawab Mutlak, Pasal 88 yang berbunyi, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Penjelasan Pasal 88 UUPPLH, selanjutnya berbunyi : “Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup” .
Pengaturan terkait asas strict liability tersebut, berimplikasi terhadap jumlah tanggung jawab hukum untuk ganti kerugian telah dapat diperkirakan dengan adanya ketentuan “batas maksimal”. Oleh sebab itu, perusahaan asuransi dapat menentukan jumlah pertanggungan yang diasuransikan dan menetukan premi yang harus dibayarkan.
Selain di UUPPLH, penerapan Asuransi antara lain diatur dalam :
• Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
• Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3
• Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir Dan Pemanfaatan Bahan Nuklir
• Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun
• Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 tentang Perizinan Limbah B3
Asuransi umum yang diterapkan dan terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah asuransi sosial dan komersial masyarakat terkait terjadinya bencana lingkungan. Sebagai negara kesejahteraan, maka pemerintah berkewajiban membantu korban bencana alam. Karena itu, asuransi berperan pula untuk membantu pemerintah dalam memberikan dana jaminan sosial, ganti kerugian, atau menyediakan dana talangan lainnya akibat terjadinya bencana lingkungan, seperti banjir dan tanah longsor yang sering terjadi di Indonesia.
Peranan Asuransi Dalam Upaya Perindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Saat ini, program asuransi lingkungan, telah diterapkan dalam bidang Pengelolaan (Pengolahan) Limbah B3 dan kegiatan yang “Berisiko Tinggi” seperti Nuklir. Sedangkan asuransi dan dana jaminan untuk kegiatan kegiatan seperti petrokimia, kilang minyak dan gas bumi sebagaimana amanat UUPPLH belum diterapkan.
a) Jaminan Asuransi Pengelolaan Limbah B3
Dana Jaminan Asuransi mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 tentang Perizinan Limbah B3. Ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun. Menurut Pasal 8 PerMenLH Nomor 18 Tahun 2009 tentang Perizinan Limbah B3, perusahaan yang kegiatan utamanya pengelolaan limbah B3 dan/ atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki asuransi pencemaran lingkungan hidup terhadap atau sebagai akibat pengelolaan limbah B3. Batas pertanggungan/ tanggung jawab asuransi paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
b) Asuransi Nuklir
Kegiatan pemanfaatan energi nuklir seperti pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan jenis usaha dan/ atau kegiatan yang “Berisiko Tinggi”, yakni usaha dan/atau kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/ atau keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Agar peraturan mengenai keselamatan nuklir dihormati dan dipatuhi dengan sebaik-baiknya oleh semua pihak, sekaligus sebagai jaminan penanggulangan potensi dampak negatif terhadap pihak ketiga dan lingkungan hidup maka ditetapkanlah Dana Jaminan Finansial sebagaimana ditetapkan dalam UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tangung jawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian tidak ada pihak lain yang dapat diminta pertanggung jawaban selain pengusaha instalasi nuklir itu.
Menurut Pasal 34 UU Ketenaganukliran penyediaan dana jaminan pertanggung jawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap kerugian nuklir paling banyak Rp 900.000.000.000,00 (sembilan ratus milliar rupiah) untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas. Dana jaminan hanya digunakan untuk pembayaran kerugian nuklir , tidak termasuk bunga dan biaya perkara.
c) Asuransi Pencemaran di Laut
Pengaturan asuransi pencemaran di laut salah satunya diatur dalam UU Pelayaran. Menurut Pasal 231 UU Pelayaran, maka pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap pencemaran yang bersumber dari kapalnya. Dalam rangka memenuhi tanggung jawab tersebut, maka pemilik atau operator kapal wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. Pasal 232 kemudian menetapkan, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran akibat pengoperasian kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengaturan asuransi untuk pencegahan pencemaran minyak di laut, diterapkan pertama kali melalui International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage (Civil Liability Convention) tahun 1969 (Brussel 1969). Asuransi tersebut diperuntukkan untuk menanggung timbulnya pencemaran yang bersumber dari kapal pengangkut minyak (Tanker).
Hal ini tidak berarti tidak adanya pertanggung jawaban pemilik kapal pengangkut minyak kurang dari 2.000 ton. Hanya dalam hal demikian pemilik dibebaskan dari kewajiban untuk menutup pertanggungan wajibnya.
Batas petanggungjawaban ganti rugi diubah dengan Funds Convention 1971. Besarnya ganti rugi ditingkatkan dari 210 juta francs dalam “Civil Liabilty Convention” menjadi 450 Juta Francs dalam ‘Funds Convention”. Disamping hal tersebut funds Convention mempersempit daya berlakunya dengan membatasi diri pada tumpahan yang disebabkan oleh minyak bumi (Crude Oil and Fuel Oil) dalam arti “Persistent hydrocarbon mineral oil”, sedangkan civil liability convention mendefenisikan secara lebih luas lagi yaitu “any persistent oil” termasuk crude oil, fuel oil, heavy diesel oil, lubricating oil dan whale oil (Article I:5).
Secara internasional, ada beberapa jenis asuransi internasional, antara lain yaitu TOVALOP dan Cristal atau melalui dana International Oil Pollution Compentation Fund (IOPC Fund). Beberapa akan dijelaskan di bawah ini :
TOVALOP (The Tanker Owner’s Voluntary Agreement Concerning Liability for Oil Pollution)
CRISTAL. Selain TUVALOP ada juga Contract Regarding an Interim Supplement to Tanker Liability for Oil Pollution (CRISTAL) yang dibentuk pada tahun 1971. Bentuk coverage ini merupakan asuransi yang ditutup oleh para pemilik minyak yang diangkut oleh tanker yang telah mengikuti TUVALOP coverage. Pertanggungan CRISTAL dimaksudkan untuk memberikan tambahan (supplement) kepada jumlah ganti rugi yang tersedia oleh pertanggungan lainnya. Jumlah coveragenya mencapai US$ 30.000.000,00, dan setelah 1 Juni 1981 jumlah ini akan meningkat menjadi US$ 36.000.000,00, dengan kemungkinan bagi para anggota untuk meningkatkan jumlah ini sampai dengan US$ 72.000.000,00, jika jumlah sebelumnya dianggap belum mencukupi.
Protection and Indemnity Insurance (P&I). Coverage ini didasarkan sepenuhnya atas premi yang dibayar oleh pihak pemilik tanker untuk menutup kemungkinan timbulnya kerugian karena pencemaran minyak yang tumpah dari tankernya. Karenanya maka ganti rugi yang dapat dituntutkan berdasarkan Protection and Indemnity Clause ini hanya terbatas pada tanggung jawab berdasarkan hukum yang telah ada sebelumnya, baik berdasar Civil Liability Convention atau TOVALOP atau Cristal. Umumnya pertanggungan untuk ganti rugi yang diakibatkan karena pencemaran minyak ini bentuknya adalah dengan menyisipkan klausula yang berupa pertanggungan berdasarkan konvensi terkait, ke dalam perjanjian asuransi Protection and Indemnity.
Berdasarkan pengalaman pencemaran di teluk meksiko dan pencemaran montara akibat meledaknya Rig/ tambang minyak lepas pantai, maka diperlukan skema asuransi bagi pemilik anjungan migas lepas pantai atas resiko yang mungkin timbul di dalam eksplorasi dan eksplorasi migas di wilayah jurisdiksi RI, dan lain-lain.
Jadi asuransi lingkungan pada prinsipnya sama dengan asuransi umum, yaitu suatu pengalihan risiko dari seseorang atau badan usaha ke usaha jasa asuransi. Membantu pihak masyarakat dalam hal biaya penggantian kerugian dan pemulihan lingkungan apabila terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Pihak pelaku usaha melalui pihak asuransi telah mencadangkan dana untuk hal-hal tersebut sehingga pihak masyarakat akan mendapatkan kepastian biaya konpensasi dan dilakukannya pemulihan terhadap lingkungan yang tercemar/rusak, hal ini memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Asuransi ini dapat berjalan apabila badan usaha yang potensial mengalami risiko pencemaran lingkungan mau mentransfer risiko tersebut dan mengumpulkan risiko (Risk pooling) tersebut kepada usaha jasa asuransi yang bergerak di bidang asuransi lingkungan. Penggolongan asuransi dapat dilakukan dengan melihat aspek jenis usahanya.
Asuransi lingkungan akan dapat membantu pihak industri didalam menyediakan dana yang dapat digunakan segera untuk menghadapi risiko pencemaran atau kerusakan lingkungan serta tuntutan ganti rugi dari pihak atau masyarakat sekitar yang dicemari.
Selain berfungsi sebagai pengalihan risiko dan pembayaran ganti rugi, asuransi lingkungan sebagai salah satu instrumen insentif dan disinsentif juga mampu meningkatkan kinerja perusahaan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam sudut pandang hukum ekonomi lingkungan juga memiliki peranan lainnya, antara lain :
• Meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan dunia usaha. Konsep dasar asuransi adalah suatu perjanjian, yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk berkontrak. Perusahaan asuransi pun dalam mengeluarkan polis asuransi dapat mengeluarkan syarat-syarat yang harus ditaati oleh perusahaan tertanggung, misalnya adanya syarat untuk menerapkan teknologi pertambangan yang aman bagi lingkungan dan memonitor pelaksanaannya dalam periode waktu tertentu. Dalam hal ini perusahaan asuransi dapat membatalkan klaim asuransi apabila perusahaan tertanggungnya tidak melaksanakan syarat dan ketentuan yang diatur dalam polis asuransi lingkungan.
Oleh sebab itulah, selain menyediakan pendanaan maka lembaga asuransi lingkungan sebagai pihak penanggung dapat berfungsi untuk mensyaratkan pelaksanaan, pemantauan, pengawasan, atau penunjang upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan oleh pihak tertanggung (usaha/ kegiatan). Peran serta lembaga asuransi tentu dapat meningkatkan kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan.
Selain itu, pihak tertanggung (pelaku usaha) tentu tidak ingin kehilangan tanggungan yang diperoleh dari premi asuransinya. Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang mengumpulkan dana masyarakat dalam bentuk pembayaran premi dan sebagai imbal baliknya perusahaan asuransi menjanjikan untuk mengembalikan dana tersebut kepada nasabah apabila tidak terjadi pengalihan risiko. Jadi, uang tanggungan asuransi tentu dikembalikan kepada pengusaha bila kinerja perusahaan dalam mengelola lingkungan baik serta tidak menimbulkan pencemaran atau ganti rugi lingkungan. Sehingga dampak komulatifnya, dapat dihindari timbulnya kerugian lingkungan yang berpotensi diakibatkan proses industrinya.
• Mendapatkan analisis hasil monitoring dan laporan evaluasi kemungkinan terjadinya dampak lingkungan. Membantu para pelaku mendapatkan laporan secara teratur mengenai perkembangan dan evaluasi serta pemantauan hasil kegiatan pengelolaan dari pihak asuransi. Sehingga akan diketahui secara dini apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di dalam proses industrinya sehingga dapat dilakukan antisipasi atau perbaikan terhadap hal tersebut.
Hal tersebut selaras dengan konsep asuransi lingkungan yaitu untuk meningkatkan penaatan dan pelaksanaan program pengelolaan dan pengendalian pencemaran lingkungan oleh kalangan dunia usaha/ industri sebagai pihak tertanggung. Sehingga dapat membantu para pelaku usaha (tertanggung) sekaligus aparat pemerintah atau penegak hukum dengan adanya pihak lain yaitu pihak asuransi yang berperan memonitor penaatan hukum terkait proses pengelolaan dan perlindungan lingkungan. dampak komulatifnya, pelaku usaha dapat mencurahkan perhatian lebih optimal pada tugas pokoknya, yakni kinerja usahanya.
• Meningkatkan bantuan teknis dan informasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pihak asuransi sekaligus penanggung, tentu akan berupaya membantu pihak tertanggung (pelaku usaha) pada tahap awal di dalam hal teknis dan informasi asuransi lingkungan.
Pada lain pihak, para pihak asuransi (penanggung) tentu saling berkompetisi antar sesamanya (antar lembaga asuransi), sehingga masing-masing pihak asuransi berlomba mewujudkan bantuan teknis yang efektif, efisien dan optimal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pasar asuransinya. Karena itu, secara langsung maupun tidak, akan membantu pihak tertanggung (pelaku usaha) dalam hal teknis perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terbaik (best practice).
• Meningkatkan kinerja usaha produksi dan perekonomian. Keberadaan lembaga asuransi dan peranan tentu dapan mendorong meningkatnya ketenangan dalam bekerja dan berkonsentrasi dalam bidang usahanya. Sehingga usaha produksi, pemasaran, dan pengembangan usaha oleh para pelaku usaha menjadi lebih baik dan juga turut berimbas pada peningkatan kegiatan ekonomi.
Pada prinsipnya, keberadaan asuransi lingkungan dapat berfungsi sebagai upaya untuk mengontrol physical hazard, moral hazard, dan morale hazard karena setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian ini memiliki kepentingan untuk mengontrol kinerja pihak lain guna mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian lingkungan. Dampak lanjutannya adalah kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akan semakin meningkat.
1. Asuransi lingkungan memiliki potensi yang baik dalam dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan, seperti usaha yang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan seperti usaha dalam bidang perkebunan dan kehutanan.
2. Asuransi lingkungan baru diterapkan dalam kegiatan usaha Nuklir, Pengelolaan Limbah B3 dan Pengendalian pencemaran di laut oleh kapal tanker.
3. Asuransi lingkungan berpotensi diterapkan di seluruh kegiatan/ usaha yang berpotensi berdampak negatif terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajoqq^^com...
segera di add Whatshapp : +855969190856