REFLEKSI HUKUM PELAKSANAAN PROPER
Abstract (berbahasa Inggris)
Intisari (berbahasa Indonesia)
Penelitian ini
mengkaji tentang pelaksanaan Proper.
Diterapkannya pendekatan
gabungan (hybrid instrument) pada Proper diharapkan mewujudkan tanggung jawab pemerintah
untuk mengawasi dan membina penaatan oleh perusahaan.
Namun, pemerintah
cenderung enggan mengungkapkan informasi hasil penilaian Proper kepada seluruh
masyarakat atau stakeholders, sehingga pendekatan instrumen ekonomi dan
sukarela melalui pemberian insentif dan disinsentif reputasi/citra yang
diterapkan menjadi tidak optimal.
Padahal keterbatasan
sumber daya pemerintah seharusnya lebih mendorong peningkatan peran serta masyarakat
melalui instrumen pengungkapan informasi.
Dengan begitu pemerintah
dapat menghemat dan memberdayakan sumber dayanya untuk mewujudkan upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang lebih baik.
Kata Kunci : Proper, Kebijakan
Lingkungan, Pengungkapan Informasi
Penelitian ini mengkaji tentang pelaksanaan Proper,
sebagai kebijakan terbesar KLHK dalam rangka membina dan mengawasi ketaatan usaha
dan/atau kegiatan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH).
Meskipun penerapan pendekatan command and control pada Proper menghadapi berbagai catatan/ kendala/tantangan,
namun Proper kebijakan lingkungan yang akuntabel.
Namun, pemerintah cenderung enggan mengungkapkan informasi
hasil penilaian Proper kepada seluruh masyarakat atau stakeholders, sehingga pendekatan
instrumen ekonomi dan sukarela melalui pemberian insentif dan disinsentif
reputasi/citra yang diterapkan menjadi tidak optimal.
Padahal keterbatasan sumber daya pemerintah seharusnya
lebih mendorong upaya peningkatan peran serta masyarakat melalui instrumen pengungkapan
informasi.
Dengan begitu pemerintah dapat menghemat dan
memberdayakan sumber dayanya untuk mewujudkan upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang lebih baik.
Kata Kunci : Proper,
Kebijakan Lingkungan, Pengungkapan Informasi
I. PENDAHULUAN
Proper mulai dikembangkan dan dilaksanakan pertama
kali oleh Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kependudukan (KLHK)[1]
pada tahun 1995 dengan nama Proper Prokasih (Program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan dalam Program Kali Bersih).[2]
Menurut Koesnadi, Proper Prokasih meningkatkan komitmen usaha dan/ atau
kegiatan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup.[3]
Kata “Prokasih” menjadi wujud program dimana pada awal pelaksanaannya, hanya menilai
kinerja pengolahan lingkungan dalam ruang lingkup Program Program Kali Bersih (Prokasih),[4]
sebagai program pertama KLHK yang berupaya mengendalikan polusi pada tahun
1989.
Prokasih bersifat semi sukarela tersebut diluncurkan
karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah.[5]
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante, dan
Nabiel Makarim, Prokasih dapat menurunkan tingkat intensitas parameter (Biochemical Oxigen Demand) BOD[6]
ke badan air penerima (sungai/ kali).[7]
Pada tahun 1994, Prokasih dikembangkan di 13 Provinsi dan diikuti sebanyak 1.405
unit usaha dan/ atau industri.[8]
Bahkan, di tahun 1992, Prokasih mendapat penghargaan dari American Society of
Environmental Engineers berupa Award untuk Kategori Management.[9]
Meski telah memiliki berbagai peraturan di tingkat
nasional dan daerah, namun sejak era 1980-an pemerintah tidak pernah memonitor
pelaksanaan pengelolaan lingkungan perusahaan, bahkan penegakan hukum terkait
perlindungan lingkungan nyaris tidak pernah ada.[10]
Pada tahun 1990-an, Pemerintah kesulitan mengharapkan industri menginvestasikan
uangnya untuk membangun IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).[11]
Berdasarkan pengamatan Bapedal terhadap Prokasih di tahun 1993 dan 1994
diketahui,[12] Pertama penegakan hukum masih sangat lemah, sedangkan pertumbuhan
industri di Indonesia sangat tinggi. Kedua,
hasil penilaian dalam Prokasih yaitu taat (compliance)
dan tidak taat (noncompliance),
sementara Bapedal menyadari, bahwa kuantitas (volume) dan kualitas air limbah
yang dihasilkan oleh setiap industri sangat bervariasi.
Selain itu, perusahaan yang telah berperingkat taat,
enggan untuk meningkatkan kinerjanya. Ketika Prokasih berjalan Makarim
menyadari,[13] bahwa perusahaan tidak
memiliki insentif yang cukup untuk mengelola limbah untuk melebihi ketaatan.
Padahal biaya investasi untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan tentu
menjadi disinsentif bagi perusahaan. Selain itu, pada masa orde baru
(1965-1990) pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat mengesankan, bahkan di era
1990-an Indonesia dinobatkan sebagai "keajaiban ekonomi" Asia.[14]
Pesatnya pertumbuhan ekonomi disertai dengan tingginya laju industrialisasi dan
urbanisasi yang membawa resiko berupa menurunnya kualitas lingkungan, khususnya
kualitas air permukaan (sungai).
Pada tahun 1995, Bapedal meluncurkan Proper Prokasih
sebagai program pertama yang secara khusus mengendalikan pencemaran dari
kegiatan industri/ perusahaan.[15]
Proper Prokasih telah menjadi contoh instrumen insentif dan disinsentif
reputasi atau citra perusahaan untuk meningkatkan penaatan perusahaan oleh
berbagai negara, antara lain Filipina (Ecowatch),
Mexico (Public Environmental Performance Index-PEPI),
China (Greenwatch), Bangladesh,
India, Thailand, Papua New Guinea, Venezuela dan Columbia. Berdasarkan hal
tersebut Proper Prokasih mendapat penghargaan Zero Emission Award dari UN
University Tokyo sebagai program inovatif dalam pengelolaan lingkungan. Pada
saat bersamaan, para peneliti dari World Bank menyebutkan Proper Prokasih
sebagai Landmark Initiative dalam pengelolaan lingkungan.[16]
Program ini mendapat bantuan dari CIDA, AUS-AID dan Bank Dunia, namun karena
krisis ekonomi dan politik maka tahun 1998 pelaksanaan Proper dihentikan.[17]
Proper kernbali digulirkan tahun 2002 dan sampai saat ini (2018) Proper masih terus
berjalan. Bahkan pada tahun 2015 Proper mendapatkan apresiasi dalam Forum
Lingkungan Asia oleh Chulalongkorn University Thailand.[18]
Proper adalah program pertama dan terbesar untuk memantau
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dari suatu usaha dan/atau kegiatan. Meskipun
perlu dikaji tentang keefektifan Proper, namun Proper menjadi satu-satunya
Program nasional yang dapat menjadi tolak ukur tingkat ketaatan berbagai jenis usaha
dan/atau kegiatan dalam upaya pengelolaan lingkungan. Sehingga, pengkajian
terhadap Proper merupakan kebutuhan dalam upaya peningkatan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
A. Proper Prokasih (1995)
Proper Prokasih ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Nomor : Kep- 35 A/MENLH/7/1995 tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/ Kegiatan
Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran dari Lingkup Kegiatan Prokasih (Proper
Prokasih). Sesuai namanya, maka Prokasih merupakan pengembangan dari program
kali bersih (Prokasih), dimana pada awal pelaksanaannya hanya menilai penaatan
terhadap upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran dalam ruang lingkup
Program Prokasih.[19]
Hal tersebut didasarkan pula, bahwa pengaturan tentang pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun dan pengendalian pencemaran udara (baku mutu emisi udara
sumber tidak bergerak) masih tahap sosialisasi, sementara pengendalian
pencemaran air telah diimplementasikan melalui Prokasih.[20]
Koesnadi menyebutkannya Proper dengan istilah
peringkat kinerja (Performance Rating).[21]
Karena didalam Proper terdapat Grade penilaian menjadi lima (5) kategori warna,
yaitu hitam, merah, biru, hijau dan emas.[22]
Penggunaan warna dalam penilaian bertujuan agar masyarakat lebih mudah memahami
informasi hasil penilaian kinerja pengelolaan lingkungan. Karenanya, menurut
Koesnadi Proper merupakan upaya pemerintah untuk mendorong penaatan perusahaan
melalui instrumen informasi.[23]
Menurutnya, hak atas informasi lingkungan akan meningkatkan nilai dan
efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Sedangkan, pengembangan Grade penilaian menjadi lima
(5) warna dimaksudkan pula agar hasil penilaian lebih leluasa dalam menggambarkan
realita yang lebih baik kepada peserta Proper Prokasih. Hal ini didasarkan atas
fakta perbedaan kuantitas (volume) dan kualitas air limbah yang dihasilkan oleh
setiap industri yang sangat bervariasi. Sehingga terkesan tidak adil rasanya,
apabila menyamaratakan antara perusahaan yang “hanya sedikit” memberikan dampak
dan perusahaan yang memberikan dampak serius terhadap lingkungan, terkait
batasan ketat pada dua (2) grade
penilaian tersebut.[24]
Melalui Proper Prokasih juga diwujudkan suatu insentif
atau penghargaan untuk meningkatkan kinerja melebihi ketaatan (beyond compliance), yaitu kinerja berwarna
hijau dan emas, dimana secara sukarela perusahaan melaksanakan pengelolaan
lingkungan melebihi kewajiban dalam peraturan perundangan.[25]
Karenanya, menurut Koesnadi, maka prinsip dasar Proper adalah upaya untuk
mendorong penaatan perusahaan, melalui instrumen insentif reputasi/citra
perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang baik, yaitu biru,
hijau dan emas serta instrumen disinsentif reputasi/citra bagi perusahaan yang
berkinerja merah atau hitam.[26]
Kebijakan penghargaan terhadap hijau dan emas
diambil dalam rangka rangka menghindari tekanan politik atau “iklim
permusuhan”.[27] Karena menurut Lopez
et.all., kepala Bapedal Nabiel Makharim sesungguhnya telah menyadari, bahwa
masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang kuat terkait dengan “kehilangan
muka” menghadapi rasa malu, karenanya publisitas yang “buruk” adalah instrumen
yang lebih baik daripada publisitas yang “baik”.[28]
Tetapi karena masih rendahnya kinerja dan keakuratan data pengelolaan
lingkungan sebagian besar perusahaan, maka prioritas jatuh pada pemberian insentif
melalui penghargaan, bukannya pemberian disinsentif.[29]
Terbukti pada periode awal, peringkat merah dan hitam
mencapai 64% dari 187 perusahaan.[30]
Meskipun saat itu peserta Proper Prokasih diambil dari 176 peserta terbaik
dalam Prokasih yang berjumlah 1.405 perusahaan dan 11 perusahaan adalah peserta
yang secara sukarela ikut dalam Proper Prokasih. Oleh karena itu, sebelum hasil
penilaian diumumkan secara keseluruhan, maka Bapedal memberikan kesempatan selama
enam bulan bagi perusahaan untuk memperbaiki kinerja atau peringkatnya.
Hal lain yang menjadi catatan, yaitu penentuan hasil
penilaian dalam Proper Prokasih melibatkan perwakilan dunia usaha, wakil
lembaga swadaya masyarakat dan wakil dari pers yang dimasukan di dalam Dewan
Pertimbangan Proper.[31]
Bahkan pada penilaiannya, salah satu perusahaan berperingkat hijau kemudian diturunkan
peringkatnya, sebagai tanggapan atas adanya demonstrasi atau keberatan dari
masyarakat sekitar.[32]
B. Proper (2002 – Sekarang)
Program PROPER kembali dilaksanakan melalui Surat Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 127/MENLH/2002 tentang Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penghilangan
kata “Prokasih” menegaskan, bahwa ruang lingkup Proper telah berkembang, tidak
hanya menilai aspek pengendalian pencemaran air. Landasan hukum Proper telah
berulang kali direvisi, melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
7 Tahun 2008; Permenlh Nomor 18 Tahun 2010; Permenlh Nomor 5 Tahun 2011; Permenlh
Nomor 6 Tahun 2013 dan yang saat ini yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 3 Tahun 2014 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
Dalam Pengelolaan Lingkungan (Permenlh Proper). Menurut Permenlh Proper,
program Proper adalah evaluasi ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan
penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan di bidang pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun.[33]
Saat ini, ruang lingkup penilaian Proper mencakup 2
kategori, yang Pertama aspek ketaatan,
mencakup ketentuan perizinan lingkungan, pengendalian pencemaran air,
pengendalian pencemaran udara, dan pengelolaan limbah B3[34].
Sedangkan khusus untuk pertambangan ditambahkan kriteria potensi kerusakan
lahan.[35]
Kategori Kedua, yaitu melebihi
ketaatan (beyond compliance), yang
mencakup delapan (8) aspek, yaitu sistem manajemen lingkungan; efisiensi energi;
pengurangan dan pemanfaatan limbah B3; pelaksanaan pengurangan, penggunaan
kembali dan daur ulang limbah padat non bahan berbahaya dan beracun (B3); penurunan
emisi dan/atau gas rumah kaca; efisiensi penggunaan air dan penurunan beban
pencemaran air; perlindungan keanekaragaman hayati; dan pemberdayaan masyarakat.[36]
Target peserta Proper adalah perusahaan yang skala
kegiatan signifikan untuk menimbulkan dampak terhadap lingkungan, tercatat di
pasar bursa, hasil produknya untuk tujuan ekspor dan/atau menjadi perhatian
masyarakat, baik dalam lingkup regional maupun nasional.[37]
Ketentuan kepesertaan tersebut bersifat alternatif dan karenanya sangatlah
umum, sebab seluruh usaha dan/atau kegiatan berpotensi menimbulkan dampak
terhadap lingkungan, sehingga pemilik UKL/UPL atau Amdal pada pokoknya dapat
diwajibkan untuk mengikuti Proper. Sebelum ditetapkan oleh KLHK, maka
kepesertaan Proper sebelumnya telah mendapat tanggapan dari pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Akibat keterbatasan sumberdaya, pada awalnya (Proper
Tahun 2002) hanya sebagian kecil perusahaan yang menjadi peserta Proper,[38]
dimana setiap tahunnya semakin bertambah. Pada tahun 2002-2003 peserta Proper sebanyak
85 perusahaan, tahun 2003-2004 251 perusahaan, tahun 2004-2005 466 perusahaan, dan
terus meningkat. Bahkan pada 2014-2015 peserta Proper mencapai 2.137 peserta.
Namun, pada periode 2015-2016 dan 2016-2017 terjadi penurunan jumlah peserta,
dimana pada periode 2016-2017 berjumlah 1.819.[39]
Pada tahun 2010-2011 telah dimulai kerjasama
pengawasan dengan melibatkan perguruan tinggi dalam penilaian Proper serta
Dekonsentrasi Proper kepada delapan (8) Provinsi dengan supervisi dari KLHK,[40]
yang berkembang menjadi 34 Provinsi pada 2017-2018.[41]
Selain itu, juga dilaksanakan sistem penilaian Bencmarking, melalui pengelompokan penilaian berdasarkan jenis industri
sejenis.[42] Meskipun diperlukan
penelitian lebih lanjut, namun berbagai upaya tersebut diharapkan meningkatkan kinerja
perusahaan dan kredibilitas penilaian Proper.[43]
Sehingga hasil Proper layak menjadi pertimbangan
stakeholders dalam pengambilan
keputusan.
Proper telah mendorong perusahaan menerapkan beyond compliance dan ekonomi hijau
berdasarkan konsep triple P (People,
Planet and Profit), misalnya dengan mengalokasikan dana Community Development secara sistematik,
efektif dan partisipatif.[44]
Nilai rupiah yang disalurkan untuk program CSR perusahaan semakin meningkat dari
Rp 1,86 Trilyun pada 2013 menjadi Rp 7,31 Trilyun pada 2017. Selain itu,
Penghematan Efisiensi Energi yang dicapai Rp 32.595.170.535.185; Penghematan
Penurunan Emisi Rp 10.786.689.145.842; Penghematan Penurunan Beban Air Limbah
Rp 6.067.189.368.649; Penghematan Efisiensi Air Rp 1.882.253.538.212;
Penghematan 3R Limbah B3 Rp 893.478.476.838; dan Penghematan 3R Limbah Non B3
Rp 852.050.805.207.[45]
Berdasarkan perkembangan tiga periode terakhir,
diketahui peserta berperingkat taat, (biru hijau dan emas) mengalami
peningkatan, sedangkan peringkat tidak taat (Merah dan hitam) terus menurun. Pada
periode 2016-2017, hasil penilaian kepada 1.819 perusahaan, yaitu peringkat
emas 19, hijau 150; biru 1.486; merah 130 dan hitam kepada 1 perusahaan.[46]
Sedangkan periode 2015-2016 dinilai 1.930 perusahaan, yaitu peringkat Hitam 5;
Merah 284; Biru 1.422; Hijau 172; dan Emas 12 Perusahaan.[47]
Pada periode 2014-2015, hasil penilaian terhadap 2.137 perusahaan, yaitu
peringkat Hitam 21; Merah 529; Biru 1.406; Hijau 108; dan Emas 12 Perusahaan.[48]
Sedangkan penegakan hukum terhadap peringkat tidak
taat, maka sejak tahun 2014,[49]
Direktorat Penegakan Hukum Pidana (PHP) KLHK telah menindaklanjuti 47
perusahaan berperingkat hitam, dengan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket)
terhadap 21 perusahaan tahun 2014 dan 21 perusahaan tahun 2015 serta 5
perusahaan tahun 2016.[50]
Sebelumnya, pada periode 2012-2013 sebanyak 17 perusahaan berperingkat hitam diproses,
dimana 10 perusahaan dikenai sanksi administratif, 4 perusahaan diproses hukum
dan 3 perusahaan berhasil memenuhi ketaatannya menjadi peringkat biru.
Proper juga kembali menuai protes, karena dinilai
tidak melibatkan partisipasi masyarakat sekitar dan LSM dalam penilaiannya.[51]
Memang, saat ini pelaksanaan pengumuman dan publikasi hasil Proper cenderung bertujuan
untuk memberikan insentif bagi perusahaan berperingkat taat dan beyond compliance. Sedangkan perusahaan
yang meraih peringkat Merah dan Hitam seolah enggan untuk dipublikasikan kepada
masyarakat. Misalnya, pada Proper 2016-2017 diketahui terdapat satu perusahaan
berperingkat Hitam, namun KLHK menolak mengumumkan secara gamblang ke publik.[52]
C. Plus dan Minus Pelaksanaan Proper
Proper Prokasih[53]
yang sekarang menjadi Proper, telah berhasil memadukan berbagai pendekatan,
yaitu pendekatan command and control,
berupa pengawasan, pembinaan dan/atau penuntutan dan penjatuhan sanksi dan pendekatan
instrumen ekonomi atau market absed
approach melalui pemberian insentif/disinsentif melalui pemberian informasi
reputasi/citra (information provisions)
serta pendekatan kesukarelaan (voluntary
compliance) untuk mendorong keikutsertaan secara sukarela dalam Proper dan
mendorong pencapaian aspek beyond
compliance.[54] Penerapan berbagai
pendekatan penegakan hukum lingkungan, melalui sistem hybrid yang menggabungkan lebih dari satu instrumen memang
diketahui lebih efisien.[55]
Secara historis, Proper berangkat dari minimnya
sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah untuk dapat mengawasi atau membina
perusahaan dalam rangka merealisasikan penaatan hukum dalam upaya pengelolaan
lingkungan.[56] Karenanya, Proper sebagai
metamorfose program Prokasih, awalnya hanya menilai kriteria pengendalian
pencemaran air. Setelah dua dekade lebih (1995-2018), ruang lingkup penilaian
telah berkembang, mencakup pengelolaan air, udara dan limbah B3 serta delapan
aspek beyond compliance. Sayangnya
Proper belum mengintegrasikan ketentuan wajib yang erat dengan timbulnya
pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan, misalnya pengelolaan bahan berbahaya
dan beracun (B3)[57] dan ketentuan pengelolaan
sampah,[58]
seperti pemilahan, pemanfaatan kembali, minimalisasi timbulan dan pengolahan
sampah.
Pada periode 2017-2018, jumlah peserta mencapai 1.906
perusahaan. Meskipun selama 3 periode terakhir mengalami penurunan, namun
secara keseluruhan, jumlah perusahaan peserta Proper di setiap periodenya selalu
bertambah. Penerapan command and control
dalam Proper juga mewajibkan adanya penilaian terhadap seluruh perusahaan dan
aspek penaatan kewajiban hukum (compliance)
dalam penilaian Proper. Pertanyaan adalah, apakah perusahaan non-proper telah
diawasi? Atau telah mentaati ketentuan pengelolaan lingkungan?. Meskipun harus
dikaji lebih lanjut secara empiris, ketiadaan pengawasan telah menimbulkan
potensi kecurangan sekaligus pencemaran lingkungan.
Secara langsung Proper memberikan pembinaan
pengelolaan lingkungan kepada pesertanya, dalam merealisasikan PPLH. Menurut
Lee, beberapa ahli telah membuktikan, bahwa “kegagalan organisasi” akibat kurangnya
sumber daya dan/ atau informasi yang relevan bertanggung jawab atas buruknya penilaian
perusahaan terhadap proses produksi dan pengelolaan lingkungan.[59]
Ketika perusahaan mempersiapkan informasi untuk diungkapkan, maka perusahaan dapat
mengenali atau meninjau ulang proses produksi atau operasional usahanya untuk
mencegah pencemaran, sehingga dimungkinkan merubah perilaku internal perusahaan.[60]
Meskipun setiap orang dianggap mengetahui hukum ketika terbitnya lembaran negara,
namun hal tersebut sekedar angan-angan semata, karena prasyarat pertama untuk
penegakan yang efektif adalah memberi informasi kepada publik materi peraturan
perundangan.[61]
Selain itu, Proper juga telah berhasil
mengkoordinasikan pengawasan dan pembinaan pengelolaan lingkungan menjadi
gerakan nasional bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksanaan
dekonsentrasi telah meningkatkan kapasitas 487 pejabat pengawas lingkungan Provinsi
dan 129 peneliti dari universitas.[62]
Menurut Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta, Proper
telah menjadi model pengawasan ketaatan perusahaan terhadap aturan lingkungan
hidup yang dilaksanakan secara sistematis dan akuntabel, serta direalisasikan
pentaatannya secara konsisten dalam praktik pengelolaan di perusahaan/
industri.[63] Pada prinsipnya, tanpa didukung
perlengkapan dan aparatur yang terlatih untuk menegakkannya, maka keberadaan
peraturan perundangan lingkungan, dapat dikatakan tidak ada gunanya.[64]
Langkah penegakan hukum terhadap 47 perusahaan
berperingkat hitam oleh KLHK juga masih rendah, apabila dibandingkan dengan
jumlah peserta peraih peringkat tidak taat (merah dan hitam). Selama ini KLHK
juga tidak menindak perusahaan yang berperingkat Merah, yang telah melanggar
peraturan perundangan, misalnya ambang batas baku mutu air limbah, emisi udara
dan ketentuan pengelolaan limbah B3. Seharusnya, KLHK memberikan sanksi
administratif, sebagaimana ditetapkan dalam Permenlh Proper.[65]
Meskipun jumlahnya terus menurun, namun perusahaan berperingkat merah tidaklah
sedikit, yaitu 529 perusahaan tahun 2015, 284 tahun 2016, dan 130 tahun 2017.
Selain itu, pada Proper 2016-2017 KLHK tidak mengikutsertakan kembali Hotel dan
Rumah Sakit, yang banyak meraih peringkat Merah dan Hitam pada Proper 2013-2014
dan 2014-2015.[66]
Pemberian sertifikat dan penghargaan kepada
peringkat taat (biru, hijau dan emas) serta pengumuman kepada publik telah
memberikan keuntungan finansial yang akan datang dari reputasi atau citra
perusahaan (benefit from financial incentive for future improvement and
reputation benefit for companies image).[67]
Kalangan Perbankan misalnya, dimana Bank Indonesia menetapkan, bahwa salah satu
komponen penilaian prospek usaha untuk penilaian kualitas kredit adalah upaya
debitur dalam memelihara lingkungan hidup sesuai peraturan perundangan yang
berlaku, yakni melalui hasil penilaian Proper.[68]
Selain itu, penghargaan kepada peringkat hijau dan
emas telah menjadi insentif terhadap perusahaan untuk berupaya memperoleh beyond compliance. Karena under a command and control approach polluters will only pay
the prevention costs required to comply with the regulatory standard.[69]
Insentif tersebut berhasil mendorong perusahan untuk mencapai peringkat
ketaatan dan beyond compliance.
Dimana jumlah peserta berperingkat biru, hijau dan emas semakin meningkat dan
sebaliknya, perusahaan berperingkat merah dan hitam terus menurun. Peringkat
Emas misalnya, terus meningkat secara konsisten. Pada tahun 2017 diraih 19
Perusahaan, yaitu PT Pertamina (11 penghargaan berbagai anak perusahaannya), PT
Pupuk Kaltim, PT Aneka Tambang unit Pertambangan Emas, PT Tirta Investama, PT
Biofarma, PT Bukit Asam Tanjung Enim, PT Star Energy, PT Badak NGL, dan PT Medco
Rimau Aset.[70] Namun, ketiadaan peserta
yang secara sukarela mengikuti proper dan penurunan jumlah peserta pada 3
periode terakhir telah menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas insentif/
disinsentif dalam Proper. Meskipun keefektifan pelaksanaanya perlu dikaji lebih
lanjut secara empiris, namun hal tersebut telah menunjukkan terjadinya
peningkatan upaya PPLH oleh perusahaan peserta Proper.
Sayangnya Proper seolah kehilangan spirit untuk
meningkatkan peran serta masyarakat. Keengganan KLHK untuk mengumumkan
peringkat proper secara gamblang ke publik tentunya kotraproduktif dengan
konsep keterbukaan informasi publik. Padahal, pemberian informasi ditujukan untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi seluruh
stakeholders, termasuk masyarakat
pada umumnya. Selain itu, berbagai program pengungkapan informasi telah memotivasi
para pencemar untuk mengurangi pencemarannya, bahkan tanpa adanya pengawasan
oleh pemerintah (traditional regulatory
controls).[71]
III. PENUTUP
Penerapan berbagai pendekatan penegakan hukum
lingkungan, melalui sistem hybrid
yang menggabungkan lebih dari satu instrumen memang lebih efisien untuk
diterapkan.[72] Mengingat kelebihan dan
kekurangan masing-masing instrumen, baik berupa command and control, instrumen ekonomi atau instrumen berbasis
pasar, dan/atau instrumen sukarela. Karenanya tidak bijaksana apabila hanya
menerapkan instrumen tunggal untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Penerapan pendekatan Voluntary
approaches dan market-based instruments
memang telah diakui menjadi suatu pendekatan alternatif yang direkomendasikan
atau melengkapi penerapan pendekatan command
and control.[73]
Keberadaan peraturan perundangan lingkungan atau
penerapan pendekatan “command and control”
tentu hanya efektif apabila sistem dan kelembagaan pemerintahan mampu
memastikan perusahaan yang diatur untuk patuh terhadap peraturan yang
ditetapkan.[74] Pendekatan command and control yang dilaksanakan
melalui pengawasan dan pembinaan perusahaan memang telah memastikan pelaksanaan
pengawasan oleh pemerintah, sehingga perusahaan secara pasti akan diawasi,
dimana telah mendorong peningkatan kinerja ketaatan perusahaan dalam PPLH.[75]
Namun, pemerintah akan membutuhkan sumber daya yang besar untuk mewujudkan
pengawasan dan pembinaan.[76]
Siapakah yang menanggung beban biaya untuk pemberdayaan 487 pejabat pengawas
lingkungan dan 129 peneliti dari pihak universitas dalam Proper?. Padahal tanpa
adanya Proper, perusahaan “tetap” wajib melaksanakan upaya PPLH.
Mungkin Pemerintah dapat meniru mekanisme
sertifikasi Internasional Standarization Organization (ISO) atau Roundtable
Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dimana
biaya sertifikasi ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Bukannya pemerintah. ISPO
misalnya, tanpa adanya pembiayaan pemerintah sampai tahun 2018 (Juli),
perusahaan yang memperoleh sertifikat ISPO sebanyak 346 perusahaan dan 641 perusahaan
yang sedang dalam proses,[77]
dari perusahaan perkebunan sawit yang mencapai 1.599 perusahaan.[78]
Juga dimungkinkan dalam penetapan peserta
Proper ditujukan kepada perusahaan yang belum memperoleh sertifikat ISPO, RSPO
dan ISO, sehingga sumber daya
yang ada dapat dialihkan kepada perusahaan non proper atau meningkatkan upaya
penegakan hukum melalui peradilan. Hal ini tentu lebih baik, daripada sekedar
mengeluarkan perusahaan berperingkat Hitam dan Merah, seperti Rumah Sakit[79]
dan Hotel dari Proper.
Ironisnya penegakan hukum terhadap perusahaan
berperingkat Merah dan Hitam juga sangat rendah. Pada prinsipnya, lemahnya penegakan
hukum akan mempengaruhi insentif/disinsentif bagi perusahaan yang tidak taat.
Menurut Sarah Waddell, tanggapan terhadap ketidaktaatan yang tidak konsisten
atau tidak efektif akan menciptakan ketidakadilan, karena mereka yang tidak
taat kemungkinan memperoleh keuntungan secara finansial dari ketidaktaatannya.[80]
Padahal idealnya Proper dapat mewujudkan “carrots
as well as sticks”, dimana peringkat yang taat dan beyond compliance akan mendapatkan insentif dari timbulnya
reputasi/ citra bisnis yang baik di mata investor dan konsumen, yang berkembang
menjadi keuntungan dalam memenangkan persaingan usaha yang kompetitif.[81]
Sebaliknya perusahaan yang tidak taat akan dikenakan sanksi atau mendapatkan
reputasi/ citra yang buruk di masyarakat.
Sesungguhnya keterbukaan informasi Proper akan menunjang
kemampuan masyarakat atau LSM untuk mengawasi atau mewujudkan gugatan hukum agar
perusahaan mewujudkan upaya PPLH.[82]
Pengungkapan informasi dapat mengambil peran penting dalam ekonomi di mana
institusi peradilan dan pasar asuransi lemah.[83]
Akses yang tidak memadai terhadap informasi merupakan alasan utama lemahnya partisipasi
publik dalam pengelolaan lingkungan.[84]
Penyediaan informasi yang lebih besar dapat menjadi strategi untuk
mempromosikan pengendalian polusi yang lebih besar dan efisien.[85]
Bahkan, masyarakat berpenghasilan rendah terbukti bersedia dan mampu menghukum
para pencemar ketika informasi tersedia.[86]
Keengganan KLHK meningkatkan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat
sekitar dan LSM patut dipertanyakan.
Oleh karena itu, Proper sebaiknya dikembalikan pada konsep
awalnya, dimana Proper ditujukan untuk memberikan informasi kepada seluruh
stakeholders, baik LSM, masyarakat sekitar, atau Perbankan. Keterbatasan sumber
daya pemerintah seharusnya mendorong diberdayakannya seluruh potensi peran
serta masyarakat. Dengan mekanisme seperti itu, maka sumber daya pemerintah bisa
dimaksimalkan untuk merealisasikan tanggung jawabnya secara optimal, yaitu
mengawasi dan atau membina setiap orang, baik perorangan dan dunia usaha yang
berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Termasuk perusahaan,
rumah sakit, hotel, perguruan tinggi, fasilitas publik, bahkan kantor
pemerintahan sendiri.
Masyarakat memiliki hak mendapatkan informasi yang
mengancam kehidupannya akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Sesungguhnya,
masyarakat bukan sekedar penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat seharusnya
aktif berperan dalam penegakan hukum.[87]
Adalah tanggung jawab Pemerintah untuk
mewujudkan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana
telah diamanatkan dalam Konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Afsah S, Ratunanda D, 1999, Environmental Performance Measurement and reporting in Developing
Countries: the Case of Indonesia’s Program for Pollution Control Evaluation and
Rating (PROPER), Bennett M, James P, Klinkers L (eds), Sustainable Measures: Evaluation and Reporting Of Environmental and
Social Performance, Greenleaf Publishing Ltd, Sheffield
Afsah S,Vincent J, 2000, Putting Pressure on Polluters: Indonesia’s PROPER Program, Angel D,
Rock MT (eds), Asia’s Clean Revolution: Industry Growth and The Environment.
Greenleaf Publishing Ltd, Sheffield.
Afsah S, Laplante B, Makarim N, 1995, Programme-based pollution control
management: the Indonesian,
Afsah S, Laplante B, Wheeler D, 1997, Regulation in The
Information Age: Indonesian Public Information Program For Environmental
Management. Research paper, World Bank, Washington, DC.
PROKASIH Programme. Policy Research working paper
No. 1602, World Bank, Washington, DC
Sekretariat Proper Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, 2009, Laporan Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper 2008-2009).
Lee Eungkyoon, Information Disclosure and
Environmental Regulation: Green lights and Gray Areas, Regulation And
Governance, 2010, v. 4 n. 3, p. 303-328
Sarumpaet Susi, The Relationship Between
Environmental Performance And Financial Performance Of Indonesian Companies,
Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 7, NO. 2, November 2005: 89- 98
Faure, Michael M. Peeter, and A.G. Wibisana,
Economic Instrument: Suited to Developing Countries?, Michael Faure, Nicole
Niessen, 2006, “Environmental Law in
Development: Lessons from the Indonesian Experience”, Edward Elgar, USA.
Tom Tietenberg, David Wheeler, “Empowering The Community: Information Strategies for Pollution Control”,
Paper presented at Frontiers of Environmental Economics Conference Airlie
House, Virginia October 23-25, 1998.
Sudirman Wamad, "34 Rumah Sakit Diduga Buang
Limbah Medis di Cirebon", Kamis 14 Desember 2017, sumber
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3770128/34-rumah-sakit-diduga-buang-limbah-medis-di-cirebon
[1]
Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
[2]
Kementerian Lingkungan Hidup, 2005, Sekilas Proper (Dulu Sekarang dan Masa
Mendatang), Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi
Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, hlm.4
[3]
Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, ed. VIII, Cet. ke-19, Yogyakarta, hlm.301
[4]
Kementerian Lingkungan Hidup, 2005, Loc.Cit.,
hlm.4
[5]
Lihat lebih lanjut ulasan tentang Prokasih dalam Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante,
and Nabiel Makarim, "Program-based pollution control management: the
Indonesian PROKASIH program" (Policy Research Working Paper No. 1602, The
World Bank, Washington, D.C., December 1995; web-site address:
www.nipr.org/work_paper/1602/ index.htm)
[6]
Parameter BOD adalah kebutuhan oksigen yang terlarut dalam air. Merupakan salah
satu indikator utama yang menentukan baik dan buruknya kualitas air, dimana
keberadaan parameter ini akan mempengaruhi parameter pencemar utama lainnya,
seperti COD, dimana kedua parameter ini akan turut mempengaruhi intensitas
parameter pencemaran lainnya.
[7]
Ibid., hlm. 29-30
[8]
Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante, and Nabiel Makarim, "Program-based
pollution control management: the Indonesian PROKASIH program" (Policy
Research Working Paper No. 1602, The World Bank, Washington, D.C., December
1995; web-site address: www.nipr.org/work_paper/1602/ index.htm), hlm.30.
[9]
Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit,
hlm. 297
[10]
Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Putting Pressure on Polluters:
Indonesia's Proper Program, Harvard Institute for International Development
(HIID), hlm.1
[11]
Publikasi Proper tahun 2015
[12]
Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante, and Nabiel Makarim, 1995, Op.Cit., hlm.30.
[13]
Data Bank Dunia menunjukan 10 persen peserta prokasih ternyata bertanggung
jawab terhadap 50 persen beban BOD yang dihasilkan dan sekitar 20 persen dari
peserta Prokasih bertanggung jawab terhadap 75 persen dari beban BOD yang
dihasilkan dan sebaliknya, sebanyak 50 persen fasilitas industri yang
“terbersih” hanya bertanggung jawab terhadap 5 persen dari Beban BOD yang
dihasilkan oleh seluruh peserta Prokasih. Akibatnya, hasil penilaian tidak
dapat memberikan perbedaan kepada para pencemar, antara yang menimbulkan “sedikit
dampak” dan yang menimbulkan dampak serius (kuantitas dan kualitas pencemaran
tinggi).
Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Op.Cit., hlm.5
[14]
Jorge GarcĆa LĆ³pez, Thomas Sterner, and Shakeb Afsah, 2004, Public Disclosure
of Industrial Pollution: The PROPER Approach for Indonesia?, Resources for the Future Discussion Paper
04–34, Washington, hlm.6
[15]
Shakeb Afsah, Jorge H GarcĆa and Thomas Sterner, 2011, The Institutional
History Of Indonesia’s Environmental Rating And Public Disclosure Program
(Proper)
[16]
Kementerian Lingkungan Hidup, 2005, Loc.Cit.,
hlm.3
[17]
Ibid, hlm.4
[18]
Proper mendapatkan penghargaan sebagai Propgram lingkungan yang mampu mendorong
dunia usaha untuk taat terhadap lingkungan, menerapkan efisiensi pemakaian
sumber daya dan memberdayakan masyarakat serta melakukan inovasi untuk
pengelolaan lingkungan. Lihat Publikasi Proper Tahun 2015
[19]
Lihat Pasal 3 Kep- 35 A/MENLH/7/1995 tentang Program Penilaian Kinerja
Perusahaan/ Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran dari Lingkup Kegiatan
Prokasih
[20]
Peraturan yang dimaksud yaitu : Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; dan Kepmenlh No 13
Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
[21]
Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Ci.t,
hlm. 298
[22]
Pasal 4 Kepmenlh Nomor : Kep- 35 A/MENLH/7/1995
Peringkat
emas, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang melaksanakan produksi bersih
dan/atau zero emmision serta telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan serta
telah mencapai hasil yang sangat memuaskan sehingga patut menjadi teladan bagi
usaha-usaha lainnya; Peringkat hijau, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang telah
melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan mencapai hasil lebih baik dari
persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Peringkat biru, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang telah mendapatkan hasil
yang sesuai dengan persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku; Peringkat merah, untuk perusahaan yang telah
melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum mencapai persyaratan
minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku; Peringkat
hitam, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang tidak melakukan upaya pengelolaan
lingkungan atau usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
[23]
Koesnadi Hardjasoemantri, “Aspek Legal Pelaksanaan Proper”, dalam Himawan Pambudi
(Editor), 2006, Ekologi Manusia dan Kebudayaan, Kumpulan Tulisan Terpilih Prof.
Dr. Koesnadi Hardjasoemantri S.H., M.L., Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm.6
[24]
Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Loc.Cit.,
hlm.5
[25]
Pasal 9 Perusahaan/ kegiatan usaha yang meraih peringkat emas dan hijau
diberikan piagam penghargaan.
[26]
Himawan Pambudi, Op. Cit., hlm.7
[27]
Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Op.Cit.
[28]
Lopez, J. G., T. Sterner, and S. Afsah. 2004. Public Disclosure of Industrial
Pollution: The PROPER Approach for Indonesia. Resources for Future Discussion
Paper 04-34, Washington, DC.
[29]
Risiko utama berasal dari data yang tidak akurat atau tidak lengkap yang
membuat Bapedal khawatir. Keraguan keakuratan data polusi yang dilaporkan oleh
beberapa tim Prokasih dibenarkan Bank Dunia, dalam analisisnya tentang kinerja Prokasih,
bahwa hanya 155 dari 778 fasilitas industri yang diikutsertakan dalam program
pada tahun 1990 dan 1991 menggunakan data yang lengkap, sedangkan sisanya data
yang dilaporkan tidak dapat diandalkan atau tidak lengkap. (Program-based
pollution control management the Indonesian PROKASIH program, hlm.29)
[30]
Bapedal, 1995, Proper Prokasih (Sebagai Perwujudan Aspek Penaatan Lingkungan
Dalam Rangka Program Kali Bersih), Pusat Pengembangan Informasi dan Penaatan
Lingkungan Bapedal, hlm.8
[31]
Pasal 6 Kepmenlh Nomor : Kep- 35 A/MENLH/7/1995
[32]
Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Op.Cit.
[33]
Permenlh Nomor 3 Tahun 2014 tentang Proper
[34]
Pasal 5 Ayat (1) Permenlh Proper
[35]
Publikasi Proper 2015
[36]
Pasal 6 Ayat (3) Permenlh Proper
[37]
Pasal 3 Permenlh Nomor 3 Tahun 2018 tentang Proper
[38]
Publikasi Proper Tahun 2009
[39]
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.696/Menlhk/Setjen/Kum.1/
12/2017 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup Tahun 2016 - 2017
[40]
Publikasi Proper 2015
[41]
Publikasi Proper 2017
[42]
Benchmarking adalah suatu proses membandingkan dan mengukur suatu kegiatan perusahaan/organisasi
terhadap proses operasi yang terbaik di kelasnya sebagai inspirasi dalam meningkatkan
kinerja (performance). Benchmarking The Primer; Benchmarking for Continuous
Environmental Improvement, GEMI, 1994, dalam Publikasi Proper 2014.
[43]
Menurut penelitian LĆ³pez et.all, diperlukan strategi untuk mendorong pelaporan
yang jujur, bahkan di antara perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki reputasi
menjadi hijau.
Baca : Lopez, Public Disclosure of Industrial
Pollution - The PROPER Approach for Indonesia
[44]
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil Publikasi Proper
Periode 2016-2017
[45]
Lebih lengkap baca Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil
Publikasi Proper Periode 2016-2017
[46]
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.696/Menlhk/Setjen/Kum.1/
12/2017 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup Tahun 2016 - 2017
[47]
Surat Keputusan MENLHK No. SK.892/Menlhk/Setjen/STD.0/12/2016 tentang Hasil
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun
2015 - 2016
[48]
Surat Keputusan MENLHK No. SK.557/Menlhk/Setjen/STD.0/12/2015 tentang Hasil
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun
2014 - 2015
[49]
Tahun bergabungnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan
menjadi KLHK
[50]
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil Publikasi Proper
Periode 2016-2017
[51]
Baca ICEL, “Proper Hitam Untuk Men-LH!”,
Sumber : https://icel.or.id/proper-hitam-untuk-men-lh/,
diakses tanggal 1 Agustus 2018.
Sejumlah Aktivis Lingkungan seperti, Walhi, JATAM,
KIARA, Sawit Watch, HuMa, Solidaritas Perempuan (SP), LSAD, Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), BaliFokus, Indonesian Center for Everomental Law (ICEL),
dan Satu Dunia, mendatangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 21
Desember 2012, karena para aktivis menilai Proper hanyalah kegiatan pencitraan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Perusahaan. Proper belum mendorong peningkatan
kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, belum memberikan akses
informasi secara luas kepada masyarakat yang terkena dampak bagi masyarakat
umum, apalagi mendorong terciptanya peningkatan kualitas
lingkungan hidup. Sebaliknya melemahkan hukum lingkungan di Indonesia.
[52]
Media Indonesia, “Wapres Minta Perusahaan Kategori Hitam Lingkungan Diumumkan”,
18 Des 2017, sumber : http://mediaindonesia.com/read/detail/136924-wapres-minta-perusahaan-kategori-hitam-lingkungan-diumumkan,
diakses tanggal 1 Agustus 2018.
[53]
Bapedal, Op.Cit., hlm.2-3.
[54]
Pasal 2 Kepmenlh Nomor Kep- 35 A/MENLH/7/1995 tentang Proper Prokasih dan Lampiran
I Permenlh No 3 Tahun 2014 tentang Proper.
[55]
Michael Faure, Marjan Peeters et al, Op.
Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Op.Cit.,
hlm.224
Faure
merujuk kepada Oates dan Baumol yang menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap
lingkungan dapat dikejar dengan menggunakan kombinasi berbagai instrumen, yaitu
kombinasi antara peraturan, perintah dan kontrol dan insentif ekonomi.
[56]
Pasal 68 UUPPLH, berbunyi : Setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau
kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka,
dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan
hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
[57]
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun
[58]
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
[59]
Baca ulasan dalam Eungkyoon Lee, Information Disclosure and Environmental
Regulation: Green lights and Gray Areas, Regulation And Governance, 2010, v. 4
n. 3, p. 303-328
[60]
Ibid.
[61]
Michael Faure, Enforcement Issues for Environmental Legislation in Development
Countries, UNU/ INTECH Working Paper No. 19. March 1995.
Tidak
berguna untuk menyatakan lingkungan yang kuat di atas kertas untuk alasan 'window
dressing', sementara gagal menegakkan peraturan sama sekali atau hanya menuntut
kasus ekstrim. Banyak negara berkembang memang telah berlaku lingkungan yang
bertingkat, di atas kertas, memberikan kekuatan yang sangat baik dan memaksakan
pelanggaran berat terhadap pelanggar. Namun dalam prakteknya, mereka sering
tidak jujur.
[62]
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil Publikasi Proper
Periode 2016-2017
[63]
Publikasi Proper 2014
[64]
Michael Faure, 1995, Op.Cit.
[65]
Lihat ketentuan dalam Lampiran III Permenlh Nomor 3 Tahun 2018 tentang Proper.
[66]
Publikasi Proper 2014 dan Publikasi Proper 2015. Pada Proper 2015-2016 dan
2016-2017, jenis usaha Hotel dan Rumah Sakit tidak diikutsertakan dalam Proper.
[67]
Wahyu Yun Santoso, Environmental Performance As A Reflection of Market Demands,
Jurnal Mimbar Hukum UGM No 1, Vol 20, 2008.
[68]
Baca Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 15 /PBI/2012
tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan Surat Edaran Departemen
Penelitian dan Pengaturan Perbankan No. 15/28/DPNP tertanggal 31 Juli 2013, yang
menetapkan Bank harus tetap memperhatikan hasil penilaian Program Proper yang
dikeluarkan oleh KLHK.
[69]
Michael Faure, Marjan Peeters et al, Loc.
Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Loc.Cit.,
hlm.224
[70]
Hal teknis yang patut dicermati adalah penggunaan nama perusahaan induk dalam
Proper. Banyak perusahaan swasta (nasional) yang tidak menggunakan nama
perusahaan induk/ umum/ produk yang lazim dikenal di masyarakat, sebagaimana
diterapkan PT. Pertamina. Masyarakat awam tentu kesulitan mengidentifikasi
perusahaan terkait, apalagi mengidentifikasi merek/ hasil produk dari suatu
group perusahaan. Pada tahun 2011-2012 terjadi protes terkait “Standar Ganda”
ketika anak perusahaan Lapindo Brantas memperoleh peringkat Hijau. Namun
menurut penulis, hal ini sudah memberikan transparansi yang lebih baik,
daripada nama perusahaan induk tidak diikutsertakan dalam penilaian. Lihat
artikel, C, Penghargaan Lingkungan 'Mubazir Dan Kontra Produktif', 21 Desember
2012, Sumber :
https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2012/12/121219_enviroaward,
diakses tanggal 1 Agustus 2018
[71]
Tom Tietenberg, 1998, "Disclosure Strategies for Pollution Control,"
Environmental and Resource Economics, 11, 587-602.
[72]
Michael Faure, Marjan Peeters et al, Loc.
Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Loc.Cit.,
hlm.224
[73]
Marjan Peeters, Elaborating on Integration of Environmental Legislation: The
Case of Indonesia, Michael Faure and Nicole Niessen, 2006, Op. Cit., hlm.102
[74]
Michael Faure, Marjan Peeters et al, Op.
Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Op.Cit.,
hlm.223
[75]
Lihat pembahasan Certain Enforcement (penegakan khusus) dalam Steven Shavell, A
Fundamental Enforcement Cost Advantage of the Negligence Rule over Regulation, The
Journal of Legal Studies, Vol. 42, No. 2 (June 2013), pp. 275-302
[76]
Gunningham, N., & Holley, C. (2016), Next Generation Environmental
Regulation: Law, Regulation and Governance, Annual Review of Law and Social
Science, 12: DOI: 10.1146/annurev-lawsocsci-110615-084651.
[77]
Sekretariat ISPO, Sumber : http://www.ispo-org.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79&Itemid=225&lang=ina,
diakses tanggal 20 Juli 2018
[78]
Badan Pusat Statistik, 2015, Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit 2015
[79]
Padahal banyak dijumpai kasus pembuangan Limbah B3 sisa kemasan medis dari
Rumah Sakit. Misalnya, lihat artikel Sudirman Wamad, "34 Rumah Sakit Diduga
Buang Limbah Medis di Cirebon", Kamis 14 Desember 2017, sumber https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3770128/34-rumah-sakit-diduga-buang-limbah-medis-di-cirebon,
diakses tanggal 1 Agustus 2018.
[80]
Sarah Waddell, 2002, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, Sebuah Analisis
Kesenjangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan ProLH-GTZ Jerman , hlm. 291 dalam
Harry Supriyono, Harry Supriyono, 2011, 2011, Kajian Yuridis Sistem Penaatan
dan Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Pengendalian Dampak
Lingkungan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta,
Hlm.54
[81]
David Wheeler and Shakeb Afsah, 1996, Going Public On Polluters In Indonesia:
Bapedal’s Proper Prokasih Program, International Executive Reports, Washington,
DC.
[82]
Tietenberg, T. (1996), Private Enforcement of Environmental Regulations in
Latin America and the Caribbean: An Effective Instrument for Environmental
Management?. Washington, DC: Inter-American Development Bank.
[83]
Lopez, Public Disclosure of Industrial Pollution - The PROPER Approach for
Indonesia
[84]
(Wang et al, 2002) dalam Hua Wang, Jun Bi et al., Op. Cit.
[85]
Tom Tietenberg and David Wheeler, “Empowering The Community: Information
Strategies for Pollution Control”, Paper presented at the Eighth Annual
Conference, European Association of Environmental and Resource Economists,
Airlie House, Virginia, October 23-25, 1998.
[86]
Hua Wang, Jun Bi, David Wheeler, Environmental Performance Rating and
Disclosure: China’s Green-Watch Program, World Bank Policy Research Working
Paper 2889, September 2002
[87] Koesnadi,
Op.Cit., hlm. 375
No comments:
Post a Comment