Wednesday, 17 July 2019

Refleksi Hukum Pelaksanaan Proper


REFLEKSI HUKUM PELAKSANAAN PROPER
Abstract (berbahasa Inggris)
Intisari (berbahasa Indonesia)
Penelitian ini mengkaji tentang pelaksanaan Proper.
Diterapkannya pendekatan gabungan (hybrid instrument) pada Proper diharapkan mewujudkan tanggung jawab pemerintah untuk mengawasi dan membina penaatan oleh perusahaan.
Namun, pemerintah cenderung enggan mengungkapkan informasi hasil penilaian Proper kepada seluruh masyarakat atau stakeholders, sehingga pendekatan instrumen ekonomi dan sukarela melalui pemberian insentif dan disinsentif reputasi/citra yang diterapkan menjadi tidak optimal.
Padahal keterbatasan sumber daya pemerintah seharusnya lebih mendorong peningkatan peran serta masyarakat melalui instrumen pengungkapan informasi.
Dengan begitu pemerintah dapat menghemat dan memberdayakan sumber dayanya untuk mewujudkan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang lebih baik.
Kata Kunci : Proper, Kebijakan Lingkungan, Pengungkapan Informasi
Penelitian ini mengkaji tentang pelaksanaan Proper, sebagai kebijakan terbesar KLHK dalam rangka membina dan mengawasi ketaatan usaha dan/atau kegiatan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH).
Meskipun penerapan pendekatan command and control pada Proper menghadapi berbagai catatan/ kendala/tantangan, namun Proper kebijakan lingkungan yang akuntabel.
Namun, pemerintah cenderung enggan mengungkapkan informasi hasil penilaian Proper kepada seluruh masyarakat atau stakeholders, sehingga pendekatan instrumen ekonomi dan sukarela melalui pemberian insentif dan disinsentif reputasi/citra yang diterapkan menjadi tidak optimal.
Padahal keterbatasan sumber daya pemerintah seharusnya lebih mendorong upaya peningkatan peran serta masyarakat melalui instrumen pengungkapan informasi.
Dengan begitu pemerintah dapat menghemat dan memberdayakan sumber dayanya untuk mewujudkan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang lebih baik.
Kata Kunci : Proper, Kebijakan Lingkungan, Pengungkapan Informasi


I.              PENDAHULUAN

Proper mulai dikembangkan dan dilaksanakan pertama kali oleh Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kependudukan (KLHK)[1] pada tahun 1995 dengan nama Proper Prokasih (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Program Kali Bersih).[2] Menurut Koesnadi, Proper Prokasih meningkatkan komitmen usaha dan/ atau kegiatan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup.[3] Kata “Prokasih” menjadi wujud program dimana pada awal pelaksanaannya, hanya menilai kinerja pengolahan lingkungan dalam ruang lingkup Program Program Kali Bersih (Prokasih),[4] sebagai program pertama KLHK yang berupaya mengendalikan polusi pada tahun 1989.
Prokasih bersifat semi sukarela tersebut diluncurkan karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah.[5] Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante, dan Nabiel Makarim, Prokasih dapat menurunkan tingkat intensitas parameter (Biochemical Oxigen Demand) BOD[6] ke badan air penerima (sungai/ kali).[7] Pada tahun 1994, Prokasih dikembangkan di 13 Provinsi dan diikuti sebanyak 1.405 unit usaha dan/ atau industri.[8] Bahkan, di tahun 1992, Prokasih mendapat penghargaan dari American Society of Environmental Engineers berupa Award untuk Kategori Management.[9]
Meski telah memiliki berbagai peraturan di tingkat nasional dan daerah, namun sejak era 1980-an pemerintah tidak pernah memonitor pelaksanaan pengelolaan lingkungan perusahaan, bahkan penegakan hukum terkait perlindungan lingkungan nyaris tidak pernah ada.[10] Pada tahun 1990-an, Pemerintah kesulitan mengharapkan industri menginvestasikan uangnya untuk membangun IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).[11] Berdasarkan pengamatan Bapedal terhadap Prokasih di tahun 1993 dan 1994 diketahui,[12] Pertama penegakan hukum masih sangat lemah, sedangkan pertumbuhan industri di Indonesia sangat tinggi. Kedua, hasil penilaian dalam Prokasih yaitu taat (compliance) dan tidak taat (noncompliance), sementara Bapedal menyadari, bahwa kuantitas (volume) dan kualitas air limbah yang dihasilkan oleh setiap industri sangat bervariasi.
Selain itu, perusahaan yang telah berperingkat taat, enggan untuk meningkatkan kinerjanya. Ketika Prokasih berjalan Makarim menyadari,[13] bahwa perusahaan tidak memiliki insentif yang cukup untuk mengelola limbah untuk melebihi ketaatan. Padahal biaya investasi untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan tentu menjadi disinsentif bagi perusahaan. Selain itu, pada masa orde baru (1965-1990) pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat mengesankan, bahkan di era 1990-an Indonesia dinobatkan sebagai "keajaiban ekonomi" Asia.[14] Pesatnya pertumbuhan ekonomi disertai dengan tingginya laju industrialisasi dan urbanisasi yang membawa resiko berupa menurunnya kualitas lingkungan, khususnya kualitas air permukaan (sungai).
Pada tahun 1995, Bapedal meluncurkan Proper Prokasih sebagai program pertama yang secara khusus mengendalikan pencemaran dari kegiatan industri/ perusahaan.[15] Proper Prokasih telah menjadi contoh instrumen insentif dan disinsentif reputasi atau citra perusahaan untuk meningkatkan penaatan perusahaan oleh berbagai negara, antara lain Filipina (Ecowatch), Mexico (Public Environmental Performance Index-PEPI), China (Greenwatch), Bangladesh, India, Thailand, Papua New Guinea, Venezuela dan Columbia. Berdasarkan hal tersebut Proper Prokasih mendapat penghargaan Zero Emission Award dari UN University Tokyo sebagai program inovatif dalam pengelolaan lingkungan. Pada saat bersamaan, para peneliti dari World Bank menyebutkan Proper Prokasih sebagai Landmark Initiative dalam pengelolaan lingkungan.[16] Program ini mendapat bantuan dari CIDA, AUS-AID dan Bank Dunia, namun karena krisis ekonomi dan politik maka tahun 1998 pelaksanaan Proper dihentikan.[17] Proper kernbali digulirkan tahun 2002 dan sampai saat ini (2018) Proper masih terus berjalan. Bahkan pada tahun 2015 Proper mendapatkan apresiasi dalam Forum Lingkungan Asia oleh Chulalongkorn University Thailand.[18]
Proper adalah program pertama dan terbesar untuk memantau pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dari suatu usaha dan/atau kegiatan. Meskipun perlu dikaji tentang keefektifan Proper, namun Proper menjadi satu-satunya Program nasional yang dapat menjadi tolak ukur tingkat ketaatan berbagai jenis usaha dan/atau kegiatan dalam upaya pengelolaan lingkungan. Sehingga, pengkajian terhadap Proper merupakan kebutuhan dalam upaya peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia.

II.           PEMBAHASAN

A.    Proper Prokasih (1995)

Proper Prokasih ditetapkan dalam Keputusan Menteri Nomor : Kep- 35 A/MENLH/7/1995 tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/ Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran dari Lingkup Kegiatan Prokasih (Proper Prokasih). Sesuai namanya, maka Prokasih merupakan pengembangan dari program kali bersih (Prokasih), dimana pada awal pelaksanaannya hanya menilai penaatan terhadap upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran dalam ruang lingkup Program Prokasih.[19] Hal tersebut didasarkan pula, bahwa pengaturan tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dan pengendalian pencemaran udara (baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak) masih tahap sosialisasi, sementara pengendalian pencemaran air telah diimplementasikan melalui Prokasih.[20]
Koesnadi menyebutkannya Proper dengan istilah peringkat kinerja (Performance Rating).[21] Karena didalam Proper terdapat Grade penilaian menjadi lima (5) kategori warna, yaitu hitam, merah, biru, hijau dan emas.[22] Penggunaan warna dalam penilaian bertujuan agar masyarakat lebih mudah memahami informasi hasil penilaian kinerja pengelolaan lingkungan. Karenanya, menurut Koesnadi Proper merupakan upaya pemerintah untuk mendorong penaatan perusahaan melalui instrumen informasi.[23] Menurutnya, hak atas informasi lingkungan akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Sedangkan, pengembangan Grade penilaian menjadi lima (5) warna dimaksudkan pula agar hasil penilaian lebih leluasa dalam menggambarkan realita yang lebih baik kepada peserta Proper Prokasih. Hal ini didasarkan atas fakta perbedaan kuantitas (volume) dan kualitas air limbah yang dihasilkan oleh setiap industri yang sangat bervariasi. Sehingga terkesan tidak adil rasanya, apabila menyamaratakan antara perusahaan yang “hanya sedikit” memberikan dampak dan perusahaan yang memberikan dampak serius terhadap lingkungan, terkait batasan ketat pada  dua (2) grade penilaian tersebut.[24]
Melalui Proper Prokasih juga diwujudkan suatu insentif atau penghargaan untuk meningkatkan kinerja melebihi ketaatan (beyond compliance), yaitu kinerja berwarna hijau dan emas, dimana secara sukarela perusahaan melaksanakan pengelolaan lingkungan melebihi kewajiban dalam peraturan perundangan.[25] Karenanya, menurut Koesnadi, maka prinsip dasar Proper adalah upaya untuk mendorong penaatan perusahaan, melalui instrumen insentif reputasi/citra perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang baik, yaitu biru, hijau dan emas serta instrumen disinsentif reputasi/citra bagi perusahaan yang berkinerja merah atau hitam.[26]
Kebijakan penghargaan terhadap hijau dan emas diambil dalam rangka rangka menghindari tekanan politik atau “iklim permusuhan”.[27] Karena menurut Lopez et.all., kepala Bapedal Nabiel Makharim sesungguhnya telah menyadari, bahwa masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang kuat terkait dengan “kehilangan muka” menghadapi rasa malu, karenanya publisitas yang “buruk” adalah instrumen yang lebih baik daripada publisitas yang “baik”.[28] Tetapi karena masih rendahnya kinerja dan keakuratan data pengelolaan lingkungan sebagian besar perusahaan, maka prioritas jatuh pada pemberian insentif melalui penghargaan, bukannya pemberian disinsentif.[29]
Terbukti pada periode awal, peringkat merah dan hitam mencapai 64% dari 187 perusahaan.[30] Meskipun saat itu peserta Proper Prokasih diambil dari 176 peserta terbaik dalam Prokasih yang berjumlah 1.405 perusahaan dan 11 perusahaan adalah peserta yang secara sukarela ikut dalam Proper Prokasih. Oleh karena itu, sebelum hasil penilaian diumumkan secara keseluruhan, maka Bapedal memberikan kesempatan selama enam bulan bagi perusahaan untuk memperbaiki kinerja atau peringkatnya.
Hal lain yang menjadi catatan, yaitu penentuan hasil penilaian dalam Proper Prokasih melibatkan perwakilan dunia usaha, wakil lembaga swadaya masyarakat dan wakil dari pers yang dimasukan di dalam Dewan Pertimbangan Proper.[31] Bahkan pada penilaiannya, salah satu perusahaan berperingkat hijau kemudian diturunkan peringkatnya, sebagai tanggapan atas adanya demonstrasi atau keberatan dari masyarakat sekitar.[32]

B.     Proper (2002 – Sekarang)

Program PROPER kembali dilaksanakan melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 127/MENLH/2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penghilangan kata “Prokasih” menegaskan, bahwa ruang lingkup Proper telah berkembang, tidak hanya menilai aspek pengendalian pencemaran air. Landasan hukum Proper telah berulang kali direvisi, melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2008; Permenlh Nomor 18 Tahun 2010; Permenlh Nomor 5 Tahun 2011; Permenlh Nomor 6 Tahun 2013 dan yang saat ini yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2014 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan (Permenlh Proper). Menurut Permenlh Proper, program Proper adalah evaluasi ketaatan dan kinerja melebihi ketaatan penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.[33]
Saat ini, ruang lingkup penilaian Proper mencakup 2 kategori, yang Pertama aspek ketaatan, mencakup ketentuan perizinan lingkungan, pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran udara, dan pengelolaan limbah B3[34]. Sedangkan khusus untuk pertambangan ditambahkan kriteria potensi kerusakan lahan.[35] Kategori Kedua, yaitu melebihi ketaatan (beyond compliance), yang mencakup delapan (8) aspek, yaitu sistem manajemen lingkungan; efisiensi energi; pengurangan dan pemanfaatan limbah B3; pelaksanaan pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang limbah padat non bahan berbahaya dan beracun (B3); penurunan emisi dan/atau gas rumah kaca; efisiensi penggunaan air dan penurunan beban pencemaran air; perlindungan keanekaragaman hayati; dan pemberdayaan masyarakat.[36]
Target peserta Proper adalah perusahaan yang skala kegiatan signifikan untuk menimbulkan dampak terhadap lingkungan, tercatat di pasar bursa, hasil produknya untuk tujuan ekspor dan/atau menjadi perhatian masyarakat, baik dalam lingkup regional maupun nasional.[37] Ketentuan kepesertaan tersebut bersifat alternatif dan karenanya sangatlah umum, sebab seluruh usaha dan/atau kegiatan berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan, sehingga pemilik UKL/UPL atau Amdal pada pokoknya dapat diwajibkan untuk mengikuti Proper. Sebelum ditetapkan oleh KLHK, maka kepesertaan Proper sebelumnya telah mendapat tanggapan dari pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Akibat keterbatasan sumberdaya, pada awalnya (Proper Tahun 2002) hanya sebagian kecil perusahaan yang menjadi peserta Proper,[38] dimana setiap tahunnya semakin bertambah. Pada tahun 2002-2003 peserta Proper sebanyak 85 perusahaan, tahun 2003-2004 251 perusahaan, tahun 2004-2005 466 perusahaan, dan terus meningkat. Bahkan pada 2014-2015 peserta Proper mencapai 2.137 peserta. Namun, pada periode 2015-2016 dan 2016-2017 terjadi penurunan jumlah peserta, dimana pada periode 2016-2017 berjumlah 1.819.[39]
Pada tahun 2010-2011 telah dimulai kerjasama pengawasan dengan melibatkan perguruan tinggi dalam penilaian Proper serta Dekonsentrasi Proper kepada delapan (8) Provinsi dengan supervisi dari KLHK,[40] yang berkembang menjadi 34 Provinsi pada 2017-2018.[41] Selain itu, juga dilaksanakan sistem penilaian Bencmarking, melalui pengelompokan penilaian berdasarkan jenis industri sejenis.[42] Meskipun diperlukan penelitian lebih lanjut, namun berbagai upaya tersebut diharapkan meningkatkan kinerja perusahaan dan kredibilitas penilaian Proper.[43] Sehingga hasil Proper layak menjadi pertimbangan stakeholders dalam pengambilan keputusan.
Proper telah mendorong perusahaan menerapkan beyond compliance dan ekonomi hijau berdasarkan konsep triple P (People, Planet and Profit), misalnya dengan mengalokasikan dana Community Development secara sistematik, efektif dan partisipatif.[44] Nilai rupiah yang disalurkan untuk program CSR perusahaan semakin meningkat dari Rp 1,86 Trilyun pada 2013 menjadi Rp 7,31 Trilyun pada 2017. Selain itu, Penghematan Efisiensi Energi yang dicapai Rp 32.595.170.535.185; Penghematan Penurunan Emisi Rp 10.786.689.145.842; Penghematan Penurunan Beban Air Limbah Rp 6.067.189.368.649; Penghematan Efisiensi Air Rp 1.882.253.538.212; Penghematan 3R Limbah B3 Rp 893.478.476.838; dan Penghematan 3R Limbah Non B3 Rp 852.050.805.207.[45]
Berdasarkan perkembangan tiga periode terakhir, diketahui peserta berperingkat taat, (biru hijau dan emas) mengalami peningkatan, sedangkan peringkat tidak taat (Merah dan hitam) terus menurun. Pada periode 2016-2017, hasil penilaian kepada 1.819 perusahaan, yaitu peringkat emas 19, hijau 150; biru 1.486; merah 130 dan hitam kepada 1 perusahaan.[46] Sedangkan periode 2015-2016 dinilai 1.930 perusahaan, yaitu peringkat Hitam 5; Merah 284; Biru 1.422; Hijau 172; dan Emas 12 Perusahaan.[47] Pada periode 2014-2015, hasil penilaian terhadap 2.137 perusahaan, yaitu peringkat Hitam 21; Merah 529; Biru 1.406; Hijau 108; dan Emas 12 Perusahaan.[48]
Sedangkan penegakan hukum terhadap peringkat tidak taat, maka sejak tahun 2014,[49] Direktorat Penegakan Hukum Pidana (PHP) KLHK telah menindaklanjuti 47 perusahaan berperingkat hitam, dengan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) terhadap 21 perusahaan tahun 2014 dan 21 perusahaan tahun 2015 serta 5 perusahaan tahun 2016.[50] Sebelumnya, pada periode 2012-2013 sebanyak 17 perusahaan berperingkat hitam diproses, dimana 10 perusahaan dikenai sanksi administratif, 4 perusahaan diproses hukum dan 3 perusahaan berhasil memenuhi ketaatannya menjadi peringkat biru.
Proper juga kembali menuai protes, karena dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat sekitar dan LSM dalam penilaiannya.[51] Memang, saat ini pelaksanaan pengumuman dan publikasi hasil Proper cenderung bertujuan untuk memberikan insentif bagi perusahaan berperingkat taat dan beyond compliance. Sedangkan perusahaan yang meraih peringkat Merah dan Hitam seolah enggan untuk dipublikasikan kepada masyarakat. Misalnya, pada Proper 2016-2017 diketahui terdapat satu perusahaan berperingkat Hitam, namun KLHK menolak mengumumkan secara gamblang ke publik.[52]

C.    Plus dan Minus Pelaksanaan Proper

Proper Prokasih[53] yang sekarang menjadi Proper, telah berhasil memadukan berbagai pendekatan, yaitu pendekatan command and control, berupa pengawasan, pembinaan dan/atau penuntutan dan penjatuhan sanksi dan pendekatan instrumen ekonomi atau market absed approach melalui pemberian insentif/disinsentif melalui pemberian informasi reputasi/citra (information provisions) serta pendekatan kesukarelaan (voluntary compliance) untuk mendorong keikutsertaan secara sukarela dalam Proper dan mendorong pencapaian aspek beyond compliance.[54] Penerapan berbagai pendekatan penegakan hukum lingkungan, melalui sistem hybrid yang menggabungkan lebih dari satu instrumen memang diketahui lebih efisien.[55]
Secara historis, Proper berangkat dari minimnya sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah untuk dapat mengawasi atau membina perusahaan dalam rangka merealisasikan penaatan hukum dalam upaya pengelolaan lingkungan.[56] Karenanya, Proper sebagai metamorfose program Prokasih, awalnya hanya menilai kriteria pengendalian pencemaran air. Setelah dua dekade lebih (1995-2018), ruang lingkup penilaian telah berkembang, mencakup pengelolaan air, udara dan limbah B3 serta delapan aspek beyond compliance. Sayangnya Proper belum mengintegrasikan ketentuan wajib yang erat dengan timbulnya pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan, misalnya pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3)[57] dan ketentuan pengelolaan sampah,[58] seperti pemilahan, pemanfaatan kembali, minimalisasi timbulan dan pengolahan sampah.
Pada periode 2017-2018, jumlah peserta mencapai 1.906 perusahaan. Meskipun selama 3 periode terakhir mengalami penurunan, namun secara keseluruhan, jumlah perusahaan peserta Proper di setiap periodenya selalu bertambah. Penerapan command and control dalam Proper juga mewajibkan adanya penilaian terhadap seluruh perusahaan dan aspek penaatan kewajiban hukum (compliance) dalam penilaian Proper. Pertanyaan adalah, apakah perusahaan non-proper telah diawasi? Atau telah mentaati ketentuan pengelolaan lingkungan?. Meskipun harus dikaji lebih lanjut secara empiris, ketiadaan pengawasan telah menimbulkan potensi kecurangan sekaligus pencemaran lingkungan.
Secara langsung Proper memberikan pembinaan pengelolaan lingkungan kepada pesertanya, dalam merealisasikan PPLH. Menurut Lee, beberapa ahli telah membuktikan, bahwa “kegagalan organisasi” akibat kurangnya sumber daya dan/ atau informasi yang relevan bertanggung jawab atas buruknya penilaian perusahaan terhadap proses produksi dan pengelolaan lingkungan.[59] Ketika perusahaan mempersiapkan informasi untuk diungkapkan, maka perusahaan dapat mengenali atau meninjau ulang proses produksi atau operasional usahanya untuk mencegah pencemaran, sehingga dimungkinkan merubah perilaku internal perusahaan.[60] Meskipun setiap orang dianggap mengetahui hukum ketika terbitnya lembaran negara, namun hal tersebut sekedar angan-angan semata, karena prasyarat pertama untuk penegakan yang efektif adalah memberi informasi kepada publik materi peraturan perundangan.[61]
Selain itu, Proper juga telah berhasil mengkoordinasikan pengawasan dan pembinaan pengelolaan lingkungan menjadi gerakan nasional bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksanaan dekonsentrasi telah meningkatkan kapasitas 487 pejabat pengawas lingkungan Provinsi dan 129 peneliti dari universitas.[62] Menurut Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta, Proper telah menjadi model pengawasan ketaatan perusahaan terhadap aturan lingkungan hidup yang dilaksanakan secara sistematis dan akuntabel, serta direalisasikan pentaatannya secara konsisten dalam praktik pengelolaan di perusahaan/ industri.[63] Pada prinsipnya, tanpa didukung perlengkapan dan aparatur yang terlatih untuk menegakkannya, maka keberadaan peraturan perundangan lingkungan, dapat dikatakan tidak ada gunanya.[64]
Langkah penegakan hukum terhadap 47 perusahaan berperingkat hitam oleh KLHK juga masih rendah, apabila dibandingkan dengan jumlah peserta peraih peringkat tidak taat (merah dan hitam). Selama ini KLHK juga tidak menindak perusahaan yang berperingkat Merah, yang telah melanggar peraturan perundangan, misalnya ambang batas baku mutu air limbah, emisi udara dan ketentuan pengelolaan limbah B3. Seharusnya, KLHK memberikan sanksi administratif, sebagaimana ditetapkan dalam Permenlh Proper.[65] Meskipun jumlahnya terus menurun, namun perusahaan berperingkat merah tidaklah sedikit, yaitu 529 perusahaan tahun 2015, 284 tahun 2016, dan 130 tahun 2017. Selain itu, pada Proper 2016-2017 KLHK tidak mengikutsertakan kembali Hotel dan Rumah Sakit, yang banyak meraih peringkat Merah dan Hitam pada Proper 2013-2014 dan 2014-2015.[66]
Pemberian sertifikat dan penghargaan kepada peringkat taat (biru, hijau dan emas) serta pengumuman kepada publik telah memberikan keuntungan finansial yang akan datang dari reputasi atau citra perusahaan (benefit from financial incentive for future improvement and reputation benefit for companies image).[67] Kalangan Perbankan misalnya, dimana Bank Indonesia menetapkan, bahwa salah satu komponen penilaian prospek usaha untuk penilaian kualitas kredit adalah upaya debitur dalam memelihara lingkungan hidup sesuai peraturan perundangan yang berlaku, yakni melalui hasil penilaian Proper.[68]
Selain itu, penghargaan kepada peringkat hijau dan emas telah menjadi insentif terhadap perusahaan untuk berupaya memperoleh beyond compliance. Karena under a command and control approach polluters will only pay the prevention costs required to comply with the regulatory standard.[69] Insentif tersebut berhasil mendorong perusahan untuk mencapai peringkat ketaatan dan beyond compliance. Dimana jumlah peserta berperingkat biru, hijau dan emas semakin meningkat dan sebaliknya, perusahaan berperingkat merah dan hitam terus menurun. Peringkat Emas misalnya, terus meningkat secara konsisten. Pada tahun 2017 diraih 19 Perusahaan, yaitu PT Pertamina (11 penghargaan berbagai anak perusahaannya), PT Pupuk Kaltim, PT Aneka Tambang unit Pertambangan Emas, PT Tirta Investama, PT Biofarma, PT Bukit Asam Tanjung Enim, PT Star Energy, PT Badak NGL, dan PT Medco Rimau Aset.[70] Namun, ketiadaan peserta yang secara sukarela mengikuti proper dan penurunan jumlah peserta pada 3 periode terakhir telah menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas insentif/ disinsentif dalam Proper. Meskipun keefektifan pelaksanaanya perlu dikaji lebih lanjut secara empiris, namun hal tersebut telah menunjukkan terjadinya peningkatan upaya PPLH oleh perusahaan peserta Proper.
Sayangnya Proper seolah kehilangan spirit untuk meningkatkan peran serta masyarakat. Keengganan KLHK untuk mengumumkan peringkat proper secara gamblang ke publik tentunya kotraproduktif dengan konsep keterbukaan informasi publik. Padahal, pemberian informasi ditujukan untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi seluruh stakeholders, termasuk masyarakat pada umumnya. Selain itu, berbagai program pengungkapan informasi telah memotivasi para pencemar untuk mengurangi pencemarannya, bahkan tanpa adanya pengawasan oleh pemerintah (traditional regulatory controls).[71]

III.        PENUTUP

Penerapan berbagai pendekatan penegakan hukum lingkungan, melalui sistem hybrid yang menggabungkan lebih dari satu instrumen memang lebih efisien untuk diterapkan.[72] Mengingat kelebihan dan kekurangan masing-masing instrumen, baik berupa command and control, instrumen ekonomi atau instrumen berbasis pasar, dan/atau instrumen sukarela. Karenanya tidak bijaksana apabila hanya menerapkan instrumen tunggal untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penerapan pendekatan Voluntary approaches dan market-based instruments memang telah diakui menjadi suatu pendekatan alternatif yang direkomendasikan atau melengkapi penerapan pendekatan command and control.[73]
Keberadaan peraturan perundangan lingkungan atau penerapan pendekatan “command and control” tentu hanya efektif apabila sistem dan kelembagaan pemerintahan mampu memastikan perusahaan yang diatur untuk patuh terhadap peraturan yang ditetapkan.[74] Pendekatan command and control yang dilaksanakan melalui pengawasan dan pembinaan perusahaan memang telah memastikan pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah, sehingga perusahaan secara pasti akan diawasi, dimana telah mendorong peningkatan kinerja ketaatan perusahaan dalam PPLH.[75] Namun, pemerintah akan membutuhkan sumber daya yang besar untuk mewujudkan pengawasan dan pembinaan.[76] Siapakah yang menanggung beban biaya untuk pemberdayaan 487 pejabat pengawas lingkungan dan 129 peneliti dari pihak universitas dalam Proper?. Padahal tanpa adanya Proper, perusahaan “tetap” wajib melaksanakan upaya PPLH.
Mungkin Pemerintah dapat meniru mekanisme sertifikasi Internasional Standarization Organization (ISO) atau Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dimana biaya sertifikasi ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Bukannya pemerintah. ISPO misalnya, tanpa adanya pembiayaan pemerintah sampai tahun 2018 (Juli), perusahaan yang memperoleh sertifikat ISPO sebanyak 346 perusahaan dan 641 perusahaan yang sedang dalam proses,[77] dari perusahaan perkebunan sawit yang mencapai 1.599 perusahaan.[78]
Juga dimungkinkan dalam penetapan peserta Proper ditujukan kepada perusahaan yang belum memperoleh sertifikat ISPO, RSPO dan ISO, sehingga sumber daya yang ada dapat dialihkan kepada perusahaan non proper atau meningkatkan upaya penegakan hukum melalui peradilan. Hal ini tentu lebih baik, daripada sekedar mengeluarkan perusahaan berperingkat Hitam dan Merah, seperti Rumah Sakit[79] dan Hotel dari Proper.
Ironisnya penegakan hukum terhadap perusahaan berperingkat Merah dan Hitam juga sangat rendah. Pada prinsipnya, lemahnya penegakan hukum akan mempengaruhi insentif/disinsentif bagi perusahaan yang tidak taat. Menurut Sarah Waddell, tanggapan terhadap ketidaktaatan yang tidak konsisten atau tidak efektif akan menciptakan ketidakadilan, karena mereka yang tidak taat kemungkinan memperoleh keuntungan secara finansial dari ketidaktaatannya.[80] Padahal idealnya Proper dapat mewujudkan “carrots as well as sticks”, dimana peringkat yang taat dan beyond compliance akan mendapatkan insentif dari timbulnya reputasi/ citra bisnis yang baik di mata investor dan konsumen, yang berkembang menjadi keuntungan dalam memenangkan persaingan usaha yang kompetitif.[81] Sebaliknya perusahaan yang tidak taat akan dikenakan sanksi atau mendapatkan reputasi/ citra yang buruk di masyarakat.
Sesungguhnya keterbukaan informasi Proper akan menunjang kemampuan masyarakat atau LSM untuk mengawasi atau mewujudkan gugatan hukum agar perusahaan mewujudkan upaya PPLH.[82] Pengungkapan informasi dapat mengambil peran penting dalam ekonomi di mana institusi peradilan dan pasar asuransi lemah.[83] Akses yang tidak memadai terhadap informasi merupakan alasan utama lemahnya partisipasi publik dalam pengelolaan lingkungan.[84] Penyediaan informasi yang lebih besar dapat menjadi strategi untuk mempromosikan pengendalian polusi yang lebih besar dan efisien.[85] Bahkan, masyarakat berpenghasilan rendah terbukti bersedia dan mampu menghukum para pencemar ketika informasi tersedia.[86] Keengganan KLHK meningkatkan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar dan LSM patut dipertanyakan.
Oleh karena itu, Proper sebaiknya dikembalikan pada konsep awalnya, dimana Proper ditujukan untuk memberikan informasi kepada seluruh stakeholders, baik LSM, masyarakat sekitar, atau Perbankan. Keterbatasan sumber daya pemerintah seharusnya mendorong diberdayakannya seluruh potensi peran serta masyarakat. Dengan mekanisme seperti itu, maka sumber daya pemerintah bisa dimaksimalkan untuk merealisasikan tanggung jawabnya secara optimal, yaitu mengawasi dan atau membina setiap orang, baik perorangan dan dunia usaha yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Termasuk perusahaan, rumah sakit, hotel, perguruan tinggi, fasilitas publik, bahkan kantor pemerintahan sendiri.
Masyarakat memiliki hak mendapatkan informasi yang mengancam kehidupannya akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Sesungguhnya, masyarakat bukan sekedar penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat seharusnya aktif berperan dalam penegakan hukum.[87] Adalah tanggung jawab Pemerintah untuk mewujudkan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah diamanatkan dalam Konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


DAFTAR PUSTAKA
Afsah S, Ratunanda D, 1999, Environmental Performance Measurement and reporting in Developing Countries: the Case of Indonesia’s Program for Pollution Control Evaluation and Rating (PROPER), Bennett M, James P, Klinkers L (eds), Sustainable Measures: Evaluation and Reporting Of Environmental and Social Performance, Greenleaf Publishing Ltd, Sheffield
Afsah S,Vincent J, 2000, Putting Pressure on Polluters: Indonesia’s PROPER Program, Angel D, Rock MT (eds), Asia’s Clean Revolution: Industry Growth and The Environment. Greenleaf Publishing Ltd, Sheffield.
Afsah S, Laplante B, Makarim N, 1995, Programme-based pollution control management: the Indonesian,
Afsah S, Laplante B, Wheeler D, 1997, Regulation in The Information Age: Indonesian Public Information Program For Environmental Management. Research paper, World Bank, Washington, DC.
PROKASIH Programme. Policy Research working paper No. 1602, World Bank, Washington, DC
Sekretariat Proper Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009, Laporan Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper 2008-2009).
Lee Eungkyoon, Information Disclosure and Environmental Regulation: Green lights and Gray Areas, Regulation And Governance, 2010, v. 4 n. 3, p. 303-328
Sarumpaet Susi, The Relationship Between Environmental Performance And Financial Performance Of Indonesian Companies, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 7, NO. 2, November 2005: 89- 98
Faure, Michael M. Peeter, and A.G. Wibisana, Economic Instrument: Suited to Developing Countries?, Michael Faure, Nicole Niessen, 2006, “Environmental Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience”, Edward Elgar, USA.
Tom Tietenberg, David Wheeler, “Empowering The Community: Information Strategies for Pollution Control”, Paper presented at Frontiers of Environmental Economics Conference Airlie House, Virginia October 23-25, 1998.
Sudirman Wamad, "34 Rumah Sakit Diduga Buang Limbah Medis di Cirebon", Kamis 14 Desember 2017, sumber  https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3770128/34-rumah-sakit-diduga-buang-limbah-medis-di-cirebon


[1] Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
[2] Kementerian Lingkungan Hidup, 2005, Sekilas Proper (Dulu Sekarang dan Masa Mendatang), Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, hlm.4
[3] Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, ed. VIII, Cet. ke-19, Yogyakarta, hlm.301
[4] Kementerian Lingkungan Hidup, 2005, Loc.Cit., hlm.4
[5] Lihat lebih lanjut ulasan tentang Prokasih dalam Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante, and Nabiel Makarim, "Program-based pollution control management: the Indonesian PROKASIH program" (Policy Research Working Paper No. 1602, The World Bank, Washington, D.C., December 1995; web-site address: www.nipr.org/work_paper/1602/ index.htm)
[6] Parameter BOD adalah kebutuhan oksigen yang terlarut dalam air. Merupakan salah satu indikator utama yang menentukan baik dan buruknya kualitas air, dimana keberadaan parameter ini akan mempengaruhi parameter pencemar utama lainnya, seperti COD, dimana kedua parameter ini akan turut mempengaruhi intensitas parameter pencemaran lainnya.
[7] Ibid., hlm. 29-30
[8] Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante, and Nabiel Makarim, "Program-based pollution control management: the Indonesian PROKASIH program" (Policy Research Working Paper No. 1602, The World Bank, Washington, D.C., December 1995; web-site address: www.nipr.org/work_paper/1602/ index.htm), hlm.30.
[9] Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit, hlm. 297
[10] Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Putting Pressure on Polluters: Indonesia's Proper Program, Harvard Institute for International Development (HIID), hlm.1
[11] Publikasi Proper tahun 2015
[12] Shakeb Afsah, BenoƮt Laplante, and Nabiel Makarim, 1995, Op.Cit., hlm.30.
[13] Data Bank Dunia menunjukan 10 persen peserta prokasih ternyata bertanggung jawab terhadap 50 persen beban BOD yang dihasilkan dan sekitar 20 persen dari peserta Prokasih bertanggung jawab terhadap 75 persen dari beban BOD yang dihasilkan dan sebaliknya, sebanyak 50 persen fasilitas industri yang “terbersih” hanya bertanggung jawab terhadap 5 persen dari Beban BOD yang dihasilkan oleh seluruh peserta Prokasih. Akibatnya, hasil penilaian tidak dapat memberikan perbedaan kepada para pencemar, antara yang menimbulkan “sedikit dampak” dan yang menimbulkan dampak serius (kuantitas dan kualitas pencemaran tinggi).
Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Op.Cit., hlm.5
[14] Jorge GarcĆ­a LĆ³pez, Thomas Sterner, and Shakeb Afsah, 2004, Public Disclosure of Industrial Pollution: The PROPER Approach for Indonesia?,  Resources for the Future Discussion Paper 04–34, Washington, hlm.6
[15] Shakeb Afsah, Jorge H GarcĆ­a and Thomas Sterner, 2011, The Institutional History Of Indonesia’s Environmental Rating And Public Disclosure Program (Proper)
[16] Kementerian Lingkungan Hidup, 2005, Loc.Cit., hlm.3
[17] Ibid, hlm.4
[18] Proper mendapatkan penghargaan sebagai Propgram lingkungan yang mampu mendorong dunia usaha untuk taat terhadap lingkungan, menerapkan efisiensi pemakaian sumber daya dan memberdayakan masyarakat serta melakukan inovasi untuk pengelolaan lingkungan. Lihat Publikasi Proper Tahun 2015
[19] Lihat Pasal 3 Kep- 35 A/MENLH/7/1995 tentang Program Penilaian Kinerja Perusahaan/ Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran dari Lingkup Kegiatan Prokasih
[20] Peraturan yang dimaksud yaitu : Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; dan Kepmenlh No 13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
[21] Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Ci.t, hlm. 298
[22] Pasal 4 Kepmenlh Nomor : Kep- 35 A/MENLH/7/1995
Peringkat emas, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang melaksanakan produksi bersih dan/atau zero emmision serta telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan serta telah mencapai hasil yang sangat memuaskan sehingga patut menjadi teladan bagi usaha-usaha lainnya; Peringkat hijau, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan mencapai hasil lebih baik dari persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; Peringkat biru, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang telah mendapatkan hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; Peringkat merah, untuk perusahaan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku; Peringkat hitam, untuk perusahaan/ kegiatan usaha yang tidak melakukan upaya pengelolaan lingkungan atau usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
[23] Koesnadi Hardjasoemantri, “Aspek Legal Pelaksanaan Proper”, dalam Himawan Pambudi (Editor), 2006, Ekologi Manusia dan Kebudayaan, Kumpulan Tulisan Terpilih Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri S.H., M.L., Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm.6
[24] Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Loc.Cit., hlm.5
[25] Pasal 9 Perusahaan/ kegiatan usaha yang meraih peringkat emas dan hijau diberikan piagam penghargaan.
[26] Himawan Pambudi, Op. Cit., hlm.7
[27] Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Op.Cit.
[28] Lopez, J. G., T. Sterner, and S. Afsah. 2004. Public Disclosure of Industrial Pollution: The PROPER Approach for Indonesia. Resources for Future Discussion Paper 04-34, Washington, DC.
[29] Risiko utama berasal dari data yang tidak akurat atau tidak lengkap yang membuat Bapedal khawatir. Keraguan keakuratan data polusi yang dilaporkan oleh beberapa tim Prokasih dibenarkan Bank Dunia, dalam analisisnya tentang kinerja Prokasih, bahwa hanya 155 dari 778 fasilitas industri yang diikutsertakan dalam program pada tahun 1990 dan 1991 menggunakan data yang lengkap, sedangkan sisanya data yang dilaporkan tidak dapat diandalkan atau tidak lengkap. (Program-based pollution control management the Indonesian PROKASIH program, hlm.29)
[30] Bapedal, 1995, Proper Prokasih (Sebagai Perwujudan Aspek Penaatan Lingkungan Dalam Rangka Program Kali Bersih), Pusat Pengembangan Informasi dan Penaatan Lingkungan Bapedal, hlm.8
[31] Pasal 6 Kepmenlh Nomor : Kep- 35 A/MENLH/7/1995
[32] Shakeb Afsah and Jeffrey R. Vincent, 1997, Op.Cit.
[33] Permenlh Nomor 3 Tahun 2014 tentang Proper
[34] Pasal 5 Ayat (1) Permenlh Proper
[35] Publikasi Proper 2015
[36] Pasal 6 Ayat (3) Permenlh Proper
[37] Pasal 3 Permenlh Nomor 3 Tahun 2018 tentang Proper
[38] Publikasi Proper Tahun 2009
[39] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.696/Menlhk/Setjen/Kum.1/ 12/2017 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2016 - 2017
[40] Publikasi Proper 2015
[41] Publikasi Proper 2017
[42] Benchmarking adalah suatu proses membandingkan dan mengukur suatu kegiatan perusahaan/organisasi terhadap proses operasi yang terbaik di kelasnya sebagai inspirasi dalam meningkatkan kinerja (performance). Benchmarking The Primer; Benchmarking for Continuous Environmental Improvement, GEMI, 1994, dalam Publikasi Proper 2014.
[43] Menurut penelitian LĆ³pez et.all, diperlukan strategi untuk mendorong pelaporan yang jujur, bahkan di antara perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki reputasi menjadi hijau.
Baca : Lopez, Public Disclosure of Industrial Pollution - The PROPER Approach for Indonesia
[44] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil Publikasi Proper Periode 2016-2017
[45] Lebih lengkap baca Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil Publikasi Proper Periode 2016-2017
[46] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.696/Menlhk/Setjen/Kum.1/ 12/2017 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2016 - 2017
[47] Surat Keputusan MENLHK No. SK.892/Menlhk/Setjen/STD.0/12/2016 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2015 - 2016
[48] Surat Keputusan MENLHK No. SK.557/Menlhk/Setjen/STD.0/12/2015 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2014 - 2015
[49] Tahun bergabungnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menjadi KLHK
[50] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil Publikasi Proper Periode 2016-2017
[51] Baca ICEL, “Proper Hitam Untuk Men-LH!”,
Sumber : https://icel.or.id/proper-hitam-untuk-men-lh/, diakses tanggal 1 Agustus 2018.
Sejumlah Aktivis Lingkungan seperti, Walhi, JATAM, KIARA, Sawit Watch, HuMa, Solidaritas Perempuan (SP), LSAD, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), BaliFokus, Indonesian Center for Everomental Law (ICEL), dan Satu Dunia, mendatangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 21 Desember 2012, karena para aktivis menilai Proper hanyalah kegiatan pencitraan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perusahaan. Proper belum mendorong peningkatan kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, belum memberikan akses informasi secara luas kepada masyarakat yang terkena dampak bagi masyarakat umum,  apalagi  mendorong terciptanya peningkatan kualitas lingkungan hidup. Sebaliknya melemahkan hukum lingkungan di Indonesia.
[52] Media Indonesia, “Wapres Minta Perusahaan Kategori Hitam Lingkungan Diumumkan”, 18 Des 2017, sumber : http://mediaindonesia.com/read/detail/136924-wapres-minta-perusahaan-kategori-hitam-lingkungan-diumumkan, diakses tanggal 1 Agustus 2018.
[53] Bapedal, Op.Cit., hlm.2-3.
[54] Pasal 2 Kepmenlh Nomor Kep- 35 A/MENLH/7/1995 tentang Proper Prokasih dan Lampiran I Permenlh No 3 Tahun 2014 tentang Proper.
[55] Michael Faure, Marjan Peeters et al, Op. Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Op.Cit., hlm.224
Faure merujuk kepada Oates dan Baumol yang menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap lingkungan dapat dikejar dengan menggunakan kombinasi berbagai instrumen, yaitu kombinasi antara peraturan, perintah dan kontrol dan insentif ekonomi.
[56] Pasal 68 UUPPLH, berbunyi : Setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
[57] Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun
[58] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
[59] Baca ulasan dalam Eungkyoon Lee, Information Disclosure and Environmental Regulation: Green lights and Gray Areas, Regulation And Governance, 2010, v. 4 n. 3, p. 303-328
[60] Ibid.
[61] Michael Faure, Enforcement Issues for Environmental Legislation in Development Countries, UNU/ INTECH Working Paper No. 19. March 1995.
Tidak berguna untuk menyatakan lingkungan yang kuat di atas kertas untuk alasan 'window dressing', sementara gagal menegakkan peraturan sama sekali atau hanya menuntut kasus ekstrim. Banyak negara berkembang memang telah berlaku lingkungan yang bertingkat, di atas kertas, memberikan kekuatan yang sangat baik dan memaksakan pelanggaran berat terhadap pelanggar. Namun dalam prakteknya, mereka sering tidak jujur.
[62] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laporan Hasil Publikasi Proper Periode 2016-2017
[63] Publikasi Proper 2014
[64] Michael Faure, 1995, Op.Cit.
[65] Lihat ketentuan dalam Lampiran III Permenlh Nomor 3 Tahun 2018 tentang Proper.
[66] Publikasi Proper 2014 dan Publikasi Proper 2015. Pada Proper 2015-2016 dan 2016-2017, jenis usaha Hotel dan Rumah Sakit tidak diikutsertakan dalam Proper.
[67] Wahyu Yun Santoso, Environmental Performance As A Reflection of Market Demands, Jurnal Mimbar Hukum UGM No 1, Vol 20, 2008.
[68] Baca Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 15 /PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan Surat Edaran Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan No. 15/28/DPNP tertanggal 31 Juli 2013, yang menetapkan Bank harus tetap memperhatikan hasil penilaian Program Proper yang dikeluarkan oleh KLHK.
[69] Michael Faure, Marjan Peeters et al, Loc. Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Loc.Cit., hlm.224
[70] Hal teknis yang patut dicermati adalah penggunaan nama perusahaan induk dalam Proper. Banyak perusahaan swasta (nasional) yang tidak menggunakan nama perusahaan induk/ umum/ produk yang lazim dikenal di masyarakat, sebagaimana diterapkan PT. Pertamina. Masyarakat awam tentu kesulitan mengidentifikasi perusahaan terkait, apalagi mengidentifikasi merek/ hasil produk dari suatu group perusahaan. Pada tahun 2011-2012 terjadi protes terkait “Standar Ganda” ketika anak perusahaan Lapindo Brantas memperoleh peringkat Hijau. Namun menurut penulis, hal ini sudah memberikan transparansi yang lebih baik, daripada nama perusahaan induk tidak diikutsertakan dalam penilaian. Lihat artikel, C, Penghargaan Lingkungan 'Mubazir Dan Kontra Produktif', 21 Desember 2012, Sumber :
[71] Tom Tietenberg, 1998, "Disclosure Strategies for Pollution Control," Environmental and Resource Economics, 11, 587-602.
[72] Michael Faure, Marjan Peeters et al, Loc. Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Loc.Cit., hlm.224
[73] Marjan Peeters, Elaborating on Integration of Environmental Legislation: The Case of Indonesia, Michael Faure and Nicole Niessen, 2006, Op. Cit., hlm.102
[74] Michael Faure, Marjan Peeters et al, Op. Cit., Michael Faure, Nicole Niessen, Op.Cit., hlm.223
[75] Lihat pembahasan Certain Enforcement (penegakan khusus) dalam Steven Shavell, A Fundamental Enforcement Cost Advantage of the Negligence Rule over Regulation, The Journal of Legal Studies, Vol. 42, No. 2 (June 2013), pp. 275-302
[76] Gunningham, N., & Holley, C. (2016), Next Generation Environmental Regulation: Law, Regulation and Governance, Annual Review of Law and Social Science, 12: DOI: 10.1146/annurev-lawsocsci-110615-084651.
[78] Badan Pusat Statistik, 2015, Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit 2015
[79] Padahal banyak dijumpai kasus pembuangan Limbah B3 sisa kemasan medis dari Rumah Sakit. Misalnya, lihat artikel Sudirman Wamad, "34 Rumah Sakit Diduga Buang Limbah Medis di Cirebon", Kamis 14 Desember 2017, sumber  https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3770128/34-rumah-sakit-diduga-buang-limbah-medis-di-cirebon, diakses tanggal 1 Agustus 2018.
[80] Sarah Waddell, 2002, Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, Sebuah Analisis Kesenjangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan ProLH-GTZ Jerman , hlm. 291 dalam Harry Supriyono, Harry Supriyono, 2011, 2011, Kajian Yuridis Sistem Penaatan dan Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Pengendalian Dampak Lingkungan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Hlm.54
[81] David Wheeler and Shakeb Afsah, 1996, Going Public On Polluters In Indonesia: Bapedal’s Proper Prokasih Program, International Executive Reports, Washington, DC.
[82] Tietenberg, T. (1996), Private Enforcement of Environmental Regulations in Latin America and the Caribbean: An Effective Instrument for Environmental Management?. Washington, DC: Inter-American Development Bank.
[83] Lopez, Public Disclosure of Industrial Pollution - The PROPER Approach for Indonesia
[84] (Wang et al, 2002) dalam Hua Wang, Jun Bi et al., Op. Cit.
[85] Tom Tietenberg and David Wheeler, “Empowering The Community: Information Strategies for Pollution Control”, Paper presented at the Eighth Annual Conference, European Association of Environmental and Resource Economists, Airlie House, Virginia, October 23-25, 1998.
[86] Hua Wang, Jun Bi, David Wheeler, Environmental Performance Rating and Disclosure: China’s Green-Watch Program, World Bank Policy Research Working Paper 2889, September 2002
[87] Koesnadi, Op.Cit., hlm. 375

No comments:

Post a Comment