Tak perlu diperdebatkan kiranya, apabila kegiatan Caving atau yang juga dikenal dengan istilah susur gua atau spelelogi club telah menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem Gua, yang rentan, sensitif dan secara geologis bersifat khusus, dimana telah menjadi habitat flora dan fauna langka dan/atau endemik serta bersifat irreversible (apabila terjadi kerusakan sulit untuk dipulihkan kembali). Bahkan, lokasi prasejarah berupa lukisan gua yang paling terkenal di dunia telah ditutup selama bertahun-tahun. Hal tersebut menggambarkan, bahwa hanya dengan kehadiran pengunjung ke dalam Gua, telah terbukti mengakibatkan perubahan ekosistem gua yang halus, sehingga dapat menurunkan kualitas lukisan atau situs prasejarah pada dinding Gua.
Sebagai Aley (1976) mengemukakan "Daya dukung gua adalah Nol". Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan.
Dengan kata lain, maka kegiatan "apapun" di dalam Gua, akan tetap berpotensi menimbulkan kerusakan dan perubahan terhadap lingkungan Gua.
Meskipun sekedar jejak langkah, suhu tubuh atau udara yang dihembuskannya para cavers saja, telah berpotensi mengakibatkan kerusakan terhadap seluruh ekosistem Gua yang mungkin tidak dapat dipulihkan kembali. Bahkan diketahui, bahwa sekedar serpihan kulit dan beberapa helai rambut yang terjatuh dalam Gua, sudahlah cukup untuk dapat mempengaruhi keseluruhan siklus kehidupan dalam ekosistem Gua yang sangat tertutup.
Dengan kata lain, maka kegiatan "apapun" di dalam Gua, akan tetap berpotensi menimbulkan kerusakan dan perubahan terhadap lingkungan Gua.
Meskipun sekedar jejak langkah, suhu tubuh atau udara yang dihembuskannya para cavers saja, telah berpotensi mengakibatkan kerusakan terhadap seluruh ekosistem Gua yang mungkin tidak dapat dipulihkan kembali. Bahkan diketahui, bahwa sekedar serpihan kulit dan beberapa helai rambut yang terjatuh dalam Gua, sudahlah cukup untuk dapat mempengaruhi keseluruhan siklus kehidupan dalam ekosistem Gua yang sangat tertutup.
Bahkan saat ini, lokasi prasejarah berupa lukisan gua yang paling terkenal di dunia telah ditutup selama bertahun-tahun. Hal tersebut menggambarkan, bahwa kehadiran pengunjung ke dalam Gua terbukti mengakibatkan perubahan lingkungan alam yang halus, sehingga menurunkan kualitas lukisan atau situs prasejarah pada dinding Gua.
Suatu hal yang selama ini entah kenapa masih kurang begitu tersosialisasikan dengan baik dalam dunia kepencinta-alaman atau kepariwisataan alam di Indonesia.
Meskipun dalam kenyataanya, tentu akan dijumpai fungsi daya dukung lingkungan yang berbeda-beda dapat ditemukan pada Gua yang berbeda-beda, dimana tingkat keragamannya akan sangat bervariasi. Karenanya akan diperlukan identifikasi secara lebih lanjut terhadap daya dukung lingkungan di setiap Gua sekaligus model konservasi gua yang akan diterapkan.
Namun, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan pencegahan dalam berkegiatan caving, maka pengetahuan terhadap daya dukung gua adalah (NOL) tetaplah layak menjadi prinsip dasar atau "Konstitusi" yang harus diajarkan sejak awal pendidikan lingkungan bagi seluruh cavers atau di seluruh komunitas pencinta alam Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, wajarlah adanya apabila seluruh komunitas pencinta alam dapat mempertimbangkan kembali, penyaluran hobi dan hasrat petualangan semata, dalam berkegiatan Caving.
Tanggung Jawab Lebih Besar
Tentu akan terasa berat bagi seluruh komunitas Caver di seluruh dunia kiranya, apabila dibenturkan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) untuk melanjutkan kegiatan Caving.
Sebab tanpa adanya pembenaran secara ilimiah untuk menjamin pemanfaatan ekosistem Gua yang tetap lestari dalam setiap kegiatannya, maka daya dukung Gua yang sangat rentan mungkin cukup untuk memaksa mereka menghentikan kegiatannya.
Oleh karenanya wajarlah apabila perilaku atau tindakan individu dalam berkegiatan Caving menanggung beban tanggung jawab konservasi yang lebih besar dibandingkan dengan kegiatan outdoor lainnya. Para cavers harus dituntut agar berupaya untuk selalu meminimalisir kerusakan lingkungan yang dapat ditimbulkannya seoptimal mungkin.
Kerusakan lingkungan akibat kegiatan Caving, tidaklah hanya ditimbulkan akibat dari menyentuh ornamen Gua semata. Seperti yang selama ini diajarkan di komunitas pencinta alam di Indonesia. Para Cavers harus menyadari, bahwa hanya dengan kehadiran mereka dalam ekosistem Gua, telah berpotensi mengakibatkan kerusakan seluruh ekosistem Gua secara keseluruhan, baik mahluk biotik maupun ekosistem abiotik yang ada dalam Gua.
Hal itulah, yang mungkin menjadi latar belakang adanya sebuah jargon "Leave no evidence of your visit" yang tercantum dalam kode etik "Minimum-Impact Caving Guidelines" oleh organisasi the National Speleological Society, sebagai salah satu organisasi caving terbesar di dunia.
Oleh karenany, alangkah baiknya apabila para cavers diberikan pendidikan dan informasi atau transparansi terhadap potensi dampak yang dapat ditimbulkan dari kegiatannya. Sehingga mereka dapat memahami, bahwa dengan memutuskan untuk masuk ke dalam lingkungan Gua, maka mereka juga telah memutuskan untuk menimbulkan potensi kerusakan terhadap ekosistem Gua yang sangat sensitif/rentan dan bersifat irreversible.
Tujuannya adalah agar anggota caver yang baru dapat memahami dan kemudian lebih mengerti akan besarnya tanggung jawab yang diemban dalam berkegiatan di Gua. Sehingga seluruh cavers dengan penuh kesadaran dapat lebih bertanggung jawab untuk memikul beban dari dampak yang dapat ditimbulkannya dengan selalu berupaya untuk meminimalisir dampak sekaligus meningkatkan peran sertanya dalam upaya konservasi Gua.
Sifat dampak tersebut yang membedakan penelusuran Gua memiliki perbedaan dampak dengan kegiatan Outdoor lainnya. Meskipun juga menimbulkan dampak negatif, namun umumnya tidaklah menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar atau berdampak terhadap keseluruhan ekosistem. Kerusakan jejak langkah oleh para pendaki gunung misalnya, tidaklah berdampak penting terhadap flora atau fauna dan ekosistem gunung atau dapat kembali dipulihkan kembali karena masih dalam batasan kemampuan daya dukung ekosistem gunung. Begitupula kerusakan permanen pada batuan Tebing, terlokalisir sehingga tidaklah mempengaruhi siklus kehidupan pada ekosistem di permukaan tebing. Oleh karena itulah, persepsi yang mempersamakan antara dampak kegiatan outdoor lainnya dengan kegiatan caving, adalah suatu kekeliruan yang layak untuk dipertanyakan kembali kebenarannya.
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Lanjutan Bagi Para Caver
Kesadaran akan tanggung jawab urgensi konservasi Gua sebagaimana dipaparkan diatas, seharusnya dapat mempengaruhi pola pendidikan dasar (diklat) dan pendidikan lanjutan (lantap) yang diselenggarakan setiap tahunnya oleh komunitas pencinta alam di Indonesia.
Seluruh komunitas pencinta alam tentunya layak untuk mempertimbangkan pelaksanaan pendidikan dasar atau pendidikan lanjutan pada Gua wisata. Saat ini, komunitas pencinta alam di Yogyakarta misalnya, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar belumlah memasukan pertimbangan pilihan Gua didasarkan atas aspek ekologis atau status konservasinya. Saat ini, umumnya pemilihan lokasi pendidikan bagi anggota baru, hanyalah didasarkan atas jenis Gua, yakni gua vertikal atau gua horizontal serta atau ada tidaknya materi SRT yang akan diberikan.
Mungkin sudah saatnya merubah sistem pendidikan yang dilaksanakan dengan memilih gua yang didasarkan atas JENIS (wisata dan nonwisata) dan LOKASI (konservasi atau tidak) gua. Salah satunya dengan memilih Gua wisata sebagai sarana pendidikan dasar bagi komunitas pencinta alam atau komunitas caving.
Dalam literatur konservasi Gua, maka strategi konservasi tersebut dikenal dengan istilah Goa Pengorbanan. Tujuannya adalah untuk meminimalisir tekanan terhadap ekosistem Gua non-wisata, dimana kerusakan lingkungannya masih minim. Contoh gua wisata di Yogyakarta, yaitu Gua Ceremai untuk jenis Gua Horizontal dan Gua Jomblang untuk jenis vertikal.
Tujuannya adalah agar anggota caver yang baru dapat memahami dan kemudian lebih mengerti akan besarnya tanggung jawab yang diemban dalam berkegiatan di Gua. Sehingga seluruh cavers dengan penuh kesadaran dapat lebih bertanggung jawab untuk memikul beban dari dampak yang dapat ditimbulkannya dengan selalu berupaya untuk meminimalisir dampak sekaligus meningkatkan peran sertanya dalam upaya konservasi Gua.
Sifat dampak tersebut yang membedakan penelusuran Gua memiliki perbedaan dampak dengan kegiatan Outdoor lainnya. Meskipun juga menimbulkan dampak negatif, namun umumnya tidaklah menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar atau berdampak terhadap keseluruhan ekosistem. Kerusakan jejak langkah oleh para pendaki gunung misalnya, tidaklah berdampak penting terhadap flora atau fauna dan ekosistem gunung atau dapat kembali dipulihkan kembali karena masih dalam batasan kemampuan daya dukung ekosistem gunung. Begitupula kerusakan permanen pada batuan Tebing, terlokalisir sehingga tidaklah mempengaruhi siklus kehidupan pada ekosistem di permukaan tebing. Oleh karena itulah, persepsi yang mempersamakan antara dampak kegiatan outdoor lainnya dengan kegiatan caving, adalah suatu kekeliruan yang layak untuk dipertanyakan kembali kebenarannya.
Minimnya Perlindungan Gua
Memang dampak yang ditimbulkan oleh para cavers, mungkin tidaklah separah daripada kerusakan di beberapa Gua yang secara khusus telah menjadi objek wisata. Misalnya saja Gua Lowo, Gua Jatijajar, Gua Petruk, serta Gua Pindul dan Gua Seplawan di Yogyakarta atau Gua Gong di Pacitan. Tindakan atau manajemen pengelolaan wisata yang secara sengaja mengubah lingkungan Gua menjadi lingkungan buatan, seperti pembangunan jalan serta sistem pencahayaan buatan dalam Gua untuk menunjang kegiatan wisata alam. Namun hal tersebut tidaklah meniadakan fakta, adanya dampak signifikan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan caving terhadap ekosistem Gua.
Mungkin saat ini, pembenaran yang dirasakan paling masuk akal bagi para Caver untuk melanjutkan kegiatannya adalah, bahwa hampir secara keseluruhan ekosistem Gua yang ada di seluruh Indonesia dan bahkan di seluruh dunia, cenderung tidak terlindungi. Sebagian besar masih diabaikan serta tidak memiliki strategi atau perencanaan untuk konservasi, apalagi untuk implementasinya.
Memang dampak yang ditimbulkan oleh para cavers, mungkin tidaklah separah daripada kerusakan di beberapa Gua yang secara khusus telah menjadi objek wisata. Misalnya saja Gua Lowo, Gua Jatijajar, Gua Petruk, serta Gua Pindul dan Gua Seplawan di Yogyakarta atau Gua Gong di Pacitan. Tindakan atau manajemen pengelolaan wisata yang secara sengaja mengubah lingkungan Gua menjadi lingkungan buatan, seperti pembangunan jalan serta sistem pencahayaan buatan dalam Gua untuk menunjang kegiatan wisata alam. Namun hal tersebut tidaklah meniadakan fakta, adanya dampak signifikan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan caving terhadap ekosistem Gua.
Diorama Patung, Sumber, kompas.com, jelajah-goa-jatijajar-yang-eksotis-di-kebumen-jawa-tengah, 22 Januari 2020
Mungkin saat ini, pembenaran yang dirasakan paling masuk akal bagi para Caver untuk melanjutkan kegiatannya adalah, bahwa hampir secara keseluruhan ekosistem Gua yang ada di seluruh Indonesia dan bahkan di seluruh dunia, cenderung tidak terlindungi. Sebagian besar masih diabaikan serta tidak memiliki strategi atau perencanaan untuk konservasi, apalagi untuk implementasinya.
Pada saat ini, terdapat 25 Gua yang telah dilindungi sebagai situs warisan dunia. Beberapa juga dilindungi oleh Konvensi Ramsar, Biosphere Reverse, Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage. (lihat selengkapnya dalam: Unesco the World Heritage Sites). Sedangkan hanya beberapa negara yang diketahui telah memberikan perlindungan secara legal atau aktual, masih banyak negara yang belum menetapkan kebijakan konservasi, sehingga banyak Gua yang menderita kerusakan atau kehancuran.
Begitupula dengan Gua-gua di Indonesia. Sebagian besar tidaklah dikategorikan sebagai kawasan konservasi. Sehingga secara hukum, masih bebas untuk dieksplorasi. Amdal yang diamanatkan dalam kegiatan pariwisata misalnya, hanyalah sekedar diatas kertas belaka. Sampai sekarang, belum dihasilkan atau diketahui adanya suatu strategi konservasi dan perlindungan hukum yang komprehensif terhadap suatu ekosistem Gua yang ada di Indonesia.
Kesadaran akan tanggung jawab urgensi konservasi Gua sebagaimana dipaparkan diatas, seharusnya dapat mempengaruhi pola pendidikan dasar (diklat) dan pendidikan lanjutan (lantap) yang diselenggarakan setiap tahunnya oleh komunitas pencinta alam di Indonesia.
Seluruh komunitas pencinta alam tentunya layak untuk mempertimbangkan pelaksanaan pendidikan dasar atau pendidikan lanjutan pada Gua wisata. Saat ini, komunitas pencinta alam di Yogyakarta misalnya, dalam penyelenggaraan pendidikan dasar belumlah memasukan pertimbangan pilihan Gua didasarkan atas aspek ekologis atau status konservasinya. Saat ini, umumnya pemilihan lokasi pendidikan bagi anggota baru, hanyalah didasarkan atas jenis Gua, yakni gua vertikal atau gua horizontal serta atau ada tidaknya materi SRT yang akan diberikan.
Mungkin sudah saatnya merubah sistem pendidikan yang dilaksanakan dengan memilih gua yang didasarkan atas JENIS (wisata dan nonwisata) dan LOKASI (konservasi atau tidak) gua. Salah satunya dengan memilih Gua wisata sebagai sarana pendidikan dasar bagi komunitas pencinta alam atau komunitas caving.
Dalam literatur konservasi Gua, maka strategi konservasi tersebut dikenal dengan istilah Goa Pengorbanan. Tujuannya adalah untuk meminimalisir tekanan terhadap ekosistem Gua non-wisata, dimana kerusakan lingkungannya masih minim. Contoh gua wisata di Yogyakarta, yaitu Gua Ceremai untuk jenis Gua Horizontal dan Gua Jomblang untuk jenis vertikal.
Bukankah pengenalan ornamen Gua untuk pendidikan calon anggota baru dapat dilaksanakan di Gua wisata?. Bukankah Gua Wisata menjadi objek wisata karena pengakuan terhadap kekayaan berbagai ornamen Gua, yang tentunya tidak kalah dibandingkan Gua non-wisata. Pengenalan ornamen gua di Gua Gong misalnya, harusnya cukup untuk memperkenalkan ornamen gua pada anggota baru. Sebab telah meng-klaim sebagai Gua Wisata dengan ornamen Gua terindah se Asia Tenggara.
Begitupula dengan pelaksanaan pendidikan pemetaan, fotografi dan latihan bersama. Apalagi hanya sekedar untuk melatih kemampuan ascending dan descending, yang oleh komunitas caving lazim diistilahkan dengan kegiatan "latihan single rope technique (SRT)", dimana sesungguhnya dapat dilaksanakan di Gua wisata atau di lokasi lainnya selain gua non wisata tentunya. Sehingga layaklah dipertimbangkan, apabila proses pendidikan bagi para cavers yang lazim diselenggarakan oleh komunitas pencita alam tidak dilaksanakan pada Gua yang masih alami atau gua non-wisata.
Juga dapat dipertimbangkan untuk menjelajahi Gua yang ada di dalam wilayah non-konservasi daripada Gua yang berlokasi di dalam kawasan konservasi. Sehingga memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap Gua yang berlokasi di sekitar kawasan konservasi. Sudah saatnya pula, kepada para cavers pemula dihimbau untuk meningkatkan keahliannya dengan mengeksplorasi berbagai Gua Wisata terlebih dahulu sebelum mengeksplorasi gua non wisata.
Setelah keahliannya meningkat, maka terlebih dahulu diberikan pendidikan dan pengetahuan di bidang lingkungan hidup secara lebih mendalam. Khususnya tentang pemantapan pendidikan tentang aspek biotik dan abiotik dan siklus kehidupan yang ada dalam ekosistem Gua. Sebagai pendidikan lanjutan atau menjadi persyaratan izin oleh komunitasnya masing-masing, bagi para cavers untuk dapat memasuki Gua-Gua Non-wisata atau Gua di Kawasan konservasi.
Mungkin dengan begitu, para cavers dapat dipaksa untuk lebih memahami, bahwa kegiatan Susur Gua diharapkan tidak sekedar untuk menyalurkan hobi atau memuaskan hasrat petualangan semata. Namun telah mensyaratkan adanya tanggung jawab terhadap tindakan konservasi atau upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan Gua yang sangat sensitif.
Setelah keahliannya meningkat, maka terlebih dahulu diberikan pendidikan dan pengetahuan di bidang lingkungan hidup secara lebih mendalam. Khususnya tentang pemantapan pendidikan tentang aspek biotik dan abiotik dan siklus kehidupan yang ada dalam ekosistem Gua. Sebagai pendidikan lanjutan atau menjadi persyaratan izin oleh komunitasnya masing-masing, bagi para cavers untuk dapat memasuki Gua-Gua Non-wisata atau Gua di Kawasan konservasi.
Mungkin dengan begitu, para cavers dapat dipaksa untuk lebih memahami, bahwa kegiatan Susur Gua diharapkan tidak sekedar untuk menyalurkan hobi atau memuaskan hasrat petualangan semata. Namun telah mensyaratkan adanya tanggung jawab terhadap tindakan konservasi atau upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan Gua yang sangat sensitif.
Hal tersebut sungguh selaras Peryataan serta Pertanyaan sebelum mengeksplorasi suatu gua, yaitu :
Remember EVERY caving trip has an impact.
Is this trip into this cave necessary?
Is there another cave that is less vulnerable to damage that can be visited?
Make this assessment depending on the purpose of your visit, the size and experience of the proposed party, and IF THE TRIP IS LIKELY to damage the cave.
Dimana hal tersebut, menjadi acuan bagi federasi komunitas caving di Australia (the Australian Speleological Federation), yang dituangkan dalam suatu kode etik penelusuran gua, yakni: "Minimal Impact Caving Code (MICC) versi 2010".
Selain itu alangkah baiknya jika para cavers juga diberikan dan ditekankan suatu pelatihan teknik gerakan perlahan-lahan dengan penuh kehati-hatian. Tujuannya adalah untuk meminimalisir dampak yang disebabkan karena adanya suatu kealpaan atau ketidaksengajaan. Iklim kompetisi bagi para cavers mungkin sepantasnya tidak ditoleransi. Adanya berbagai bentuk kompetisi berpotensi untuk mengarahkan atau meningkatkan animo kompetisi akan kontradiktif dengan upaya untuk mewujudkan suatu gerakan yang perlahan-lahan dan hati-hati.
Kegiatan seperti perlombaan waktu dalam penggunaan SRT yang lazim diselenggarakan oleh komunitas pencinta alam atau komunitas caving misalnya, patut dipertimbangkan kembali kegiatannya.
Konservasi Gua - Sampah Baterai di dalam Gua
Mungkin kutipan dari Cave Conservation Handbook (from National Caving Association—NCA) yaitu : “competent cavers are not necessarily good conservationists”, dapatlah menjadi pengingat penting bagi para cavers yang merasa berpengalaman untuk tetap meningkatkan kualitas pendidikan lingkungannya. Sebagai strategi jangka panjang yang diharapkan dapat mencegah kerusakan pada ekosistem Gua yang sensitif. Sehingga kelestarian lingkungan Gua menjadi terintegrasi dalam kegiatan caving serta tertanam pada seluruh komunitas Cavers. Sebagaimana pula telah disarankan oleh Britton (1975), “only unpopular actions are effective in preserving caves and unpopular actions succeed only when the prevailing climate of opinion renders them acceptable.”
Lanjutin besok-besok ah....
No comments:
Post a Comment