Meskipun Nike bukan satu-satunya objek kritik dan aktivisme antisweatshop, Nike menjadi target paling menonjol, setidaknya pada akhir 1990-an, karena empat alasan utama. Pertama, banyak keluhan awal, terutama tentang praktik manajemen yang kejam, berasal dari pekerja di pabrik yang memproduksi produk Nike. Kedua, para aktivis mengakui bahwa penting untuk memilih perusahaan yang menguntungkan dan cukup sukses secara ekonomi untuk dapat membayar biaya tambahan yang menghilangkan kondisi kerja sweatshop tanpa menimbulkan risiko signifikan terhadap kelayakan keuangannya. Ketiga, Nike adalah perusahaan terkemuka di industri pakaian olahraga global (berdasarkan pendapatan tahunan), dan para aktivis percaya bahwa menargetkan pemimpin pasar akan menjadi cara terbaik untuk memberi tekanan pada seluruh industri untuk menyelesaikan masalah sweatshop (Global Exchange, 2004) .
Alasan terakhirnya adalah Nike berutang banyak dari keberhasilan pasarnya pada model bisnis yang memberi nilai tinggi pada identitas perusahaan bersama dengan strategi promosi yang mengintegrasikan beragam elemen publisitas dan komunikasi sebagai kunci keberhasilan pemasaran. Sebagai bagian dari identitas korporat dan strategi promosinya, Nike mengklaim sebagai perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial dan responsif yang memperjuangkan yang kurang beruntung, terutama perempuan dan minoritas ras, di bidang olahraga dan kebugaran fisik. Namun, praktik CSR-nya sering dikaitkan erat dengan responsnya terhadap masalah dan kontroversi, dan ini menciptakan dasar bagi kecurigaan tentang niat sebenarnya perusahaan. Partisipasi Nike dalam Lives of American Youth (PLAY), misalnya, diperkenalkan pada tahun 1994 karena publikasi yang buruk terkait dengan laporan media tentang gelombang "kejahatan sneaker," pemuda dirampok dan bahkan dibunuh untuk sepatu olahraga mereka (Cole , 1996; Stabile, 2000). Klaim Nike terhadap CSR memberikan kesempatan bagi para aktivis toko anti-satwa untuk mempertanyakan tidak hanya praktik ketenagakerjaan perusahaan tetapi juga ketulusan, kredibilitas, dan keandalan etisnya. Legitimasi Nike diperdebatkan pada dua tingkat: ia dituntut dengan kesenjangan kinerja karena gagal memenuhi standar ketenagakerjaan yang dapat diterima dan menghormati hak-hak pekerja, dan dengan kesenjangan kredibilitas karena gagal memenuhi tuntutan promosi diri sendiri untuk tanggung jawab etis. Para aktivis berargumen bahwa kelompok-kelompok yang diperjuangkan Nike di pasar konsumennya, wanita dan orang-orang kulit berwarna, adalah mereka yang dieksploitasi dan ditindas di tempat kerja. Nike dilukis sebagai seorang munafik dan juga majikan yang buruk (Shaw, 1999).
Sumber : Graham Knight, Activism, Risk, and Communicational Politics, Nike and the Sweatshop Problem, dalam The Debate Over Corporate Social Responsibility
Siapa yang menggerakkan tanggung jawab sosial perusahaan?
Jelas bahwa kekuatan pendorong untuk tanggung jawab sosial berasal dari luar Indonesia. Kampanye besar pertama yang berpengaruh di Indonesia dimulai pada tahun 1992/93 ketika kepala kantor AFLI CI032 di Jakarta, bekerja dengan Misi Perkotaan Jakarta, melakukan kontak dengan pekerja Nike. Kampanye berikutnya menunjukkan bahwa sementara laba Nike naik menjadi lebih dari $ 180 juta per tahun, dan anggaran iklan mereka untuk Michael Jordan saja adalah $ 20 juta, seorang pekerja Nike di Indonesia memperoleh kurang dari $, 90 sen per hari - $ 270 per tahun (Suziani, 1999: 3).
Pada tahun 1992, pabrik Levi Strauss di Indonesia menjadi subjek laporan hak asasi manusia, yang menuduh bahwa para pekerja telah ditampar dan dilecehkan jika langkah mereka tidak memenuhi target produksi. Publisitas buruk menyebabkan Levi Strauss mengambil tindakan tegas untuk memastikan kepatuhan terhadap Ketentuan Keterlibatan perusahaan.33 Sejak saat itu, konsumen internasional dan gerakan anti-sweatshop telah mengatur kampanye yang berkelanjutan.
Levi Strauss adalah salah satu perusahaan pertama yang melembagakan Pedoman Perilaku pada tahun 1991, yang mereka sebut Ketentuan Keterlibatan - setelah pengaduan kekerasan terhadap pekerja diajukan. Dusty Kidd of Nike mengklaim bahwa Persyaratan Pengikatan inilah yang memunculkan Pedoman Perilaku Nike.
Melody Kemp, Corporate Social Responsibility in Indonesia Quixotic Dream or Confident Expectation?, Technology, Business and Society Programme Paper Number 6 December 2001
Menurut mineweb.net, dalam sebuah wawancara dengan Rocky Mountain News Ketua dan CEO Newmont Wayne Murdy mengatakan bahwa "an ‘unfavourable’ verdict in the criminal case against PTNMR and Ness would force Newmont to reconsider its plans for Indonesia, but stressed he was not making a threat". Dimana Direktur dapat mempertimbangkan kembali rencana inevestasinya di Indonesia, meski ia menekankan bahwa tidak membuat ancaman.
Pada tahun 2012, sebuah pabrik di Indonesia yang membuat sepatu sneakers untuk Nike, setuju untuk membayar uang lembur bagi 4.500 buruh senilai satu juta dolar, sesuai penyelesaian antara serikat buruh dan manajemen pabrik.
Sementara itu, dalam waktu tiga minggu ini, para buruh PT Nikomas Gemilang akan mendapat upah untuk kerja lembur selama dua tahun.
"Selama 18 tahun, para buruh dipaksa bekerja satu jam ekstra setiap hari enam hari seminggu tanpa dibayar," kata Keady.
Penyelidikan selanjutnya menemukan fakta mencengangkan bahwa 4.437 buruh bekerja lembur selama 600.000 jam tanpa dibayar.
Jim Keady, kuasa hukum para buruh dari “Educating for Justice”, bekerjasama dengan serikat buruh untuk menggagas gugatan hukum tersebut bulan Februari 2010. Ia mengatakan pabrik itu dengan mudah menyetujui penyelesaian senilai satu juta dolar untuk uang lembur yang tidak dibayar dalam dua tahun terakhir, karena praktek memaksa buruh di pabrik untuk bekerja dengan jam-jam tambahan tanpa dibayar telah berlangsung selama hampir dua puluh tahun.
Educating for Justice adalah LSM berbasis di Amerika Serikat yang bersama dengan dengan Serikat Pekerja Nasional memperjuangkan pembayaran upah lembur hampir 4.500 buruh PT Nikomas Indonesia yang menaungi Nike Indonesia.
Jim Keady mengatakan meskipun kondisi-kondisi di sejumlah pabrik NIKE dalam sepuluh tahun ini telah diperbaiki, namun upah buruh tetap mandek yaitu kurang dari 150 dolar atau sekitar 1.275.000 per bulan dan perusahaan itu masih tidak bersedia untuk benar-benar berhubungan dengan serikat buruh.
Selama penyelidikan, para aktivis menemukan masih banyak pabrik yang melakukan pelecehan baik verbal mau pun fisik terhadap buruh.
"Buruh dipanggil dengan sebutan-sebutan kasar seperti 'babi' dan 'anjing," kata Keady.
Tidak hanya itu, banyak pabrik yang tidak memperlakukan buruh mereka secara manusiawi.
"Dalam pertemuan dengan buruh sebuah pabrik lain Rabu malam (11/01), mereka mengatakan bahwa nasi ransum mereka berulat dan ada dokumentasi buruh disabet dengan rotan jika mereka terlambat masuk kerja di pagi hari," kata Keady.
Brian Padden, 2012, "Nike Setuju Bayar Pekerja Indonesia 1 Juta Dolar AS",12/01/2012
https://www.voaindonesia.com/a/nike-setuju-bayar-pekerja-indonesia-1-juta-dolar-as-137232613/103402.html
Perlakuan buruk pabrik-pabrik terhadap buruh
12 Januari 2012
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2012/01/120112_nike
Seperti dikutip dari Digital Journal, Kamis (10/4/2014), lembaga anti kemiskinan global SumOfUs mengirimkan petisi pada perusahaan raksasa tersebut karena telah mengeksploitasi para buruh pabriknya.
Nike dikecam karena menjual kaos tim olahraga Inggris seharga US$ 150 atau Rp 1,7 juta, tapi hanya menggaji buruh pabrik di Indonesia dengan bayaran 50 cent atau Rp 5.600 per jam untuk memproduksi kaos tersebut.
Lembaga tersebut mengungkapkan, membeli kaos itu berarti ikut mendukung praktik ketidakadilan pada para buruh. Tak hanya itu, keuntungan Nike yang super besar juga menjadi isu yang diangkat dalam memperjuangkan hak buruh pabrik di Indonesia.
Siska Amelie F Deil
10 Apr 2014, 16:54 WIB
Nike Dikecam Gara-gara Kasih Upah Rendah ke Buruh RI
https://www.liputan6.com/bisnis/read/2035119/nike-dikecam-gara-gara-kasih-upah-rendah-ke-buruh-ri
Menurut Mirror, Nike membuat kostum-kostum Inggris itu di 40 pabrik asal Indonesia dan menyerap tenaga kerja mencapai 171.000 orang.
Alasan Nike membuatnya di Indonesia karena harga tenaga kerja yang amat murah. Menurut Ultra Petita, pembuatan di negara ketiga macam Indonesia hanya menelan biaya sebesar £4 (Rp75.000). Sedangkan kalau dibuat di Eropa bisa meroket sampai £17 (Rp320.000).
Harga £90 yang dipatok Nike tentu sangat tinggi dan hanya menguntungkan sang produsen saja, bahkan untuk ukuran pekerja di Inggris sekalipun.
Sangat ironis dengan kehidupan para buruh di Indonesia. Dengan Upah Minimum Kerja sebesar Rp2,2 juta per bulan, jika dirata-ratakan, setiap pekerja Indonesia yang menjahit kostum Inggris hanya mendapatkan Rp5.642 per jam.
"Saya menjahit kostum Nike tiap 30 detik, sekitar 120 buah per jam di pabrik. Saya dan teman kerja saya mendapat gaji di bawah standar untuk mendapat makanan, rumah, perawatan kesehatan, dan edukasi untuk keluarga yang memiliki anak," aku seorang buruh bernama Aida, kepada surat kabar Inggris, Mirror.
"Satu kostum yang terjual itu seharga 40 persen pendapatan saya per bulan. Nike membuat keuntungan besar pada pekerjaan kami, tapi gagal memastikan kenaikan gaji kami," lanjutnya.
Cerita Miris Buruh Nike Indonesia Jadi Sorotan Media Inggris
Anry Dhanniary
Rabu, 9 April 2014
https://www.viva.co.id/bola/soccertainment/495203-cerita-miris-buruh-nike-indonesia-jadi-sorotan-media-inggris
Jim Keady, aktivis buruh asal Amerika Serikat yang aktif melakukan advokasi untuk buruh pabrik sepatu Nike Indonesia dideportasi mulai Selasa, 6 Mei 2014, hingga enam bulan ke depan. Jim diciduk pihak Imigrasi sehari setelah bergabung dengan aksi solidaritas buruh tersebut di Bundaran Hotel Indonesia.
Keady menyebut aksi pencidukan dan rencana deportasi itu sebagai tindakan untuk membungkam dirinya. Tapi ia mengaku tak kapok. "Saya akan katakan pada dunia tentang kekerasan yang menimpa buruh Nike di Indonesia," katanya.
Keady sendiri mengaku telah berkiprah di dunia aktivis perburuhan di Indonesia sejak 14 tahun lalu. Ia saat ini menjabat sebagai Direktur Educating For Justice, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bermarkas di Amerika Serikat.
Keady juga tercatat menjadi salah satu tim advokasi untuk 170.000 buruh Nike di Indonesia yang kondisinya memprihatinkan sementara perusahaan sepatu tersebut untung hingga miliaran dolar. Keady sebelumnya juga telah berhasil membantu para buruh ini untuk mendapatkan gaji yang layak dengan ikut campur dalam gugatan union busting, sehingga perusahaan sepatu itu akhirnya mau mentaati kode etik.
Tempo.co
Senin, 5 Mei 2014 22:10 WIB
Bantu Buruh Nike, Warga AS Dideportasi
https://nasional.tempo.co/read/575621/bantu-buruh-nike-warga-as-dideportasi/full&view=ok
Gerakan anti-sweatshop menggunakan media internasional sangat efektif mendesak perusahaan untuk memberikan hak-hak buruh sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus pihak Nike akhirnya setuju membayar 1 juta dollar Amerika Serikat untuk upah lembur buruh PT. Nikomas Gemilang. PT. Nikomas Gemilang merupakan pabrik sepatu terbesar Nike di Indonesia, yang mempekerjakan 80.000 buruh. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode juridis normatif (sesuai dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 102 Tahun 2004, serta Code of Conduct Nike) dan metode empiris. Metode empiris saya peroleh berdasarkan wawancara dengan Ipeh Thea, asisten berkewarganegaraan Indonesia dan Kusmin, Serikat Buruh PT. Nikomas Gemilang. Pembayaran upah lembur ini tentunya tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh Nike dari PT. Nikomas Gemilang. Di balik kasus ini, terdapat peran penting dilakukan oleh Educating for Justice, Inc., sebuah lembaga swadaya masyarakat pembela buruh Nike di Indonesia di bawah kepemimpinan Jim Keady, seorang guru olahraga yang berubah menjadi aktivis sosial, yang selama 14 tahun telah memperjuangkan hak-hak buruh Nike khususnya yang ada di Indonesia. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan, Educating for Justice, Inc. mengajukan tuntutan pembayaran buruh yang bekerja melebihi batas waktu, yang telah berlangsung selama 18 tahun terakhir. Melalui kampanye publik dan konsumen di Amerika Serikat maupun Indonesia, akhirnya Nike bersedia membayar dan buruh mendapatkan secercah keadilan.
No comments:
Post a Comment