Menurut Prof .Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum dalam "Kerusakan Lingkungan di Negara Maju dan di Negara Berkembang", baik negara-negara Barat maupun negara-negara Sedang Berkembang berkontribusi terhadap terjadinya kerusakan lingkungan global, yang bersifat lintas batas negara.
Permasalahan lingkungan di negara maju
Kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara maju (pengertian negara maju dalam tulisan ini menunjuk pada negara-negara Eropa Barat) sudah terjadi di Eropa Barat pada Abad XV – XVI pasca runtuhnya Imperium Romawi pada sekitar tahun 1453. Implikasinya tumbuh negara-negara baru di Eropa yang sebelumnya merupakan negara bekas jajahan Imperium Romawi.
Di dalam masyarakat yang awalnya masih tradisional tersebut kemudian terjadi perubahan, di mana sistem ekonomi berskala kecil mulai diguncang oleh adanya industrialisasi sebagai sistem ekonomi berskala besar. Untuk kepentingan-kepentingan itu, dilakukanlah eksploitasi sumber daya alam, yang dilakukan demi berjalannya industrialisasi (sebagai dampak perkembangan rasionalitas bangsa Barat), Eksploitasi dilakukan terus-menerus tanpa batas untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan industrialisasi.
Ketika sumber daya alam itu benar-benar habis sementara kebutuhan untuk kepentingan menjadi tidak terbatas maka dicarilah sumber daya alam di tempat lain, melintasi samudera. Dari sinilah kemudian dikenal sejarah imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa Barat di dunia. Mulai pertengahan abad ke-20 secara perlahan tetapi pasti muncullah bentuk baru dari imperialisme yang dikenal dengan sebutan neo-liberalisme. Berbeda dengan imperialisme lama, dalam bentuknya yang baru kekuatan militer bukan menjadi andalan utama dalam penaklukan negara bekas jajahan (pascakolonial). Kekuatan yang menjadi andalan utama sekarang adalah daya saing dalam sebuah sistem yang mengunggulkan perdagangan bebas.
Permasalahan lingkungan di negara berkembang
Sebagai negara-negara yang relatif baru (yang lahir pasca 1945) maka semangat untuk melepaskan diri dari pengaruh atau dominasi asing menjadi semakin kuat, di samping keinginan yang sangat besar untuk memberikan kesejahteraan bangsanya. Atas dorongan dari aspek eksternal dan internal itulah maka dilakukanlah percepatan proses-proses pembangunan yang sangat luar biasa. Proses-proses pembangunan yang mengarah pada pengarusutamaan ekonomi daripada aspek lingkungan, sebagai ciri khas dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang. Pembangunan yang mengabaikan aspek perlindungan lingkungan kemudian mengakibatkan terancamnya kelestarian lingkungan hidup di negara berkembang.
Sementara di lain sisi, kebutuhan semakin meningkat. Karenanya, umumnya pemicu utama kerusakan lingkungan di negara berkembang bersumber dari tingginya jumlah penduduk. Sebagaimana diketahui, pasca 1972, hampir sebagian besar negara berkembang mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Akibatnya, terjadilah permasalahan pendidikan, kesempatan (peluang) bekerja, serta pemukiman. Kemiskinan mempersulit negara untuk menyisihkan biaya perlindungan yang diperlukan. Kemiskinan berpengaruh pada tingkat kesadaran dan prioritas masyarakat untuk bertindak sebagai pengawas, dan berlaku sebagai konsumen yang peduli lingkungan (konsumen hijau).
Dalam rangka percepatan pembangunan, maka negara-negara berkembang mengajukan pinjaman ke lembaga-lembaga keuangan internasional, dan untuk mengembalikan pinjaman itu maka dilakukanlah eksploitasi sumber daya alam yang dijual atau dibuat produk yang kemudian dijual untuk kepentingan kemajuan pembangunan. Oleh karena kemudian yang terjadi adalah berkurangnya kualitas lingkungan hidup dan berkurangnya kuantitas sumber daya alam.
Persoalan lingkungan hidup di negara berkembang menjadi semakin berat, manakala terjadi kolaborasi antara penguasa-pengusaha dan pemerintah yang merugikan masyarakat. Kolaborasi semacam ini sering sulit dibuktikan karena terkemas dalam kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak terbantahkan. Dalam hubungan kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, muncullah “koalisi kepentingan”. Untuk kepentingan-kepentingan kelanggengan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus-menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal.
Permasalahan lingkungan di negara maju
Kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara maju (pengertian negara maju dalam tulisan ini menunjuk pada negara-negara Eropa Barat) sudah terjadi di Eropa Barat pada Abad XV – XVI pasca runtuhnya Imperium Romawi pada sekitar tahun 1453. Implikasinya tumbuh negara-negara baru di Eropa yang sebelumnya merupakan negara bekas jajahan Imperium Romawi.
Di dalam masyarakat yang awalnya masih tradisional tersebut kemudian terjadi perubahan, di mana sistem ekonomi berskala kecil mulai diguncang oleh adanya industrialisasi sebagai sistem ekonomi berskala besar. Untuk kepentingan-kepentingan itu, dilakukanlah eksploitasi sumber daya alam, yang dilakukan demi berjalannya industrialisasi (sebagai dampak perkembangan rasionalitas bangsa Barat), Eksploitasi dilakukan terus-menerus tanpa batas untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan industrialisasi.
Ketika sumber daya alam itu benar-benar habis sementara kebutuhan untuk kepentingan menjadi tidak terbatas maka dicarilah sumber daya alam di tempat lain, melintasi samudera. Dari sinilah kemudian dikenal sejarah imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa Barat di dunia. Mulai pertengahan abad ke-20 secara perlahan tetapi pasti muncullah bentuk baru dari imperialisme yang dikenal dengan sebutan neo-liberalisme. Berbeda dengan imperialisme lama, dalam bentuknya yang baru kekuatan militer bukan menjadi andalan utama dalam penaklukan negara bekas jajahan (pascakolonial). Kekuatan yang menjadi andalan utama sekarang adalah daya saing dalam sebuah sistem yang mengunggulkan perdagangan bebas.
Permasalahan lingkungan di negara berkembang
Sebagai negara-negara yang relatif baru (yang lahir pasca 1945) maka semangat untuk melepaskan diri dari pengaruh atau dominasi asing menjadi semakin kuat, di samping keinginan yang sangat besar untuk memberikan kesejahteraan bangsanya. Atas dorongan dari aspek eksternal dan internal itulah maka dilakukanlah percepatan proses-proses pembangunan yang sangat luar biasa. Proses-proses pembangunan yang mengarah pada pengarusutamaan ekonomi daripada aspek lingkungan, sebagai ciri khas dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang. Pembangunan yang mengabaikan aspek perlindungan lingkungan kemudian mengakibatkan terancamnya kelestarian lingkungan hidup di negara berkembang.
Sementara di lain sisi, kebutuhan semakin meningkat. Karenanya, umumnya pemicu utama kerusakan lingkungan di negara berkembang bersumber dari tingginya jumlah penduduk. Sebagaimana diketahui, pasca 1972, hampir sebagian besar negara berkembang mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Akibatnya, terjadilah permasalahan pendidikan, kesempatan (peluang) bekerja, serta pemukiman. Kemiskinan mempersulit negara untuk menyisihkan biaya perlindungan yang diperlukan. Kemiskinan berpengaruh pada tingkat kesadaran dan prioritas masyarakat untuk bertindak sebagai pengawas, dan berlaku sebagai konsumen yang peduli lingkungan (konsumen hijau).
Dalam rangka percepatan pembangunan, maka negara-negara berkembang mengajukan pinjaman ke lembaga-lembaga keuangan internasional, dan untuk mengembalikan pinjaman itu maka dilakukanlah eksploitasi sumber daya alam yang dijual atau dibuat produk yang kemudian dijual untuk kepentingan kemajuan pembangunan. Oleh karena kemudian yang terjadi adalah berkurangnya kualitas lingkungan hidup dan berkurangnya kuantitas sumber daya alam.
Persoalan lingkungan hidup di negara berkembang menjadi semakin berat, manakala terjadi kolaborasi antara penguasa-pengusaha dan pemerintah yang merugikan masyarakat. Kolaborasi semacam ini sering sulit dibuktikan karena terkemas dalam kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak terbantahkan. Dalam hubungan kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, muncullah “koalisi kepentingan”. Untuk kepentingan-kepentingan kelanggengan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus-menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal.
No comments:
Post a Comment