Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang didefenisikan oleh he UN Human Rights Committee Working Group on Indigenous Populations, adalah “Free, prior and informed consent recognizes indigenous peoples’ inherent and prior rights to their lands and resources and respects their legitimate authority to require that third parties enter into an equal and respectful relationship with them, based on the principle of informed consent”
“Persetujuan yang bebas, didahulukan dan diinformasikan mengakui hak-hak bawaan dan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka dan menghormati otoritas sah mereka untuk meminta pihak ketiga memasuki hubungan yang setara dan saling menghormati dengan mereka, berdasarkan pada prinsip persetujuan berdasarkan informasi ”(Komisi Hak Asasi Manusia 2004).
Ini didasarkan pada prinsip-prinsip
(i) informasi tentang dan konsultasi tentang setiap inisiatif yang diusulkan dan kemungkinan dampaknya;
(ii) partisipasi yang berarti dari masyarakat adat; dan,
(iii) lembaga perwakilan ”(Komisi Hak Asasi Manusia, 2004).
Di Indonesia, konsultasi dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat seringkali tidak memadai atau bahkan tidak ada.
Banyak perusahaan yang membawa izin lokasi mengklaim kepada masyarakat sebagai pemilik lahan yang sah, seolah-olah izin lokasi yang diberikan merupakan bukti kepemilikan hak atas lahan. Inilah yang membuat masyarakat terperdaya, sehingga "terpaksa" memutuskan untuk meninggalkan lahannya yang menjadi sumber kebutuhan hidupnya.
Namun, FPIC dianggap penting untuk mencapai kesepakatan yang adil antara masyarakat lokal dan perusahaan kelapa sawit. Akibatnya, FPIC merupakan prasyarat untuk sertifikasi RSPO.
No comments:
Post a Comment