Sunday, 19 January 2020

Kliping Opini - BANJIR di Negara Indonesia

Kliping Opini - ANJIR di Indonesia.

Mengenang Prestasi Semarang
Mereka Yang Paling Dirugikan

1. KOTA CERDAS DAN KONTRADIKSI RUANG - 19/06/15 - Mohamad Burhanudin
2. AMUK EKOLOGI - 24/01/14 - Hefni Effendi 
3. BENCANA DAN POLITIK - 23/12/14 - Azyumardi Azra
4. JAKARTA DARURAT - 28/01/13 - Franz Magnis-Suseno SJ
5. BENCANA DAN KEBODOHAN POLITIK - 24/01/14 - Donny Gahral Adian
6. MEREDUKSI BANJIR ALA EROPA - Ismatillah A Nu’ad   ;   Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
7. NEO TEOLOGI BANJIR - Faozan Amar ;  Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA 
8. BANJIR (MASIH) TANGGUNG JAWAB PUSAT - GKR Hemas  ;   Wakil Ketua DPD RI 
9. DAMPAK SOSIAL BANJIR BENGAWAN SOLO - Bagong Suyanto; Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
10. BANJIR BUKAN BENCANA - Budi Widianarko   ;  Pengajar di Program Magister Lingkungan dan Perkotaan, Unika Soegijapranata
11. BANJIR DAN AKSI EKO-TEOLOGI - Hasibullah Satrawi ;  Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
12. MENGGUGAT EGOISME MANUSIA - Aminuddin  ;   Peneliti Sosial di Politik Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta
13. BANJIR DAN INFORMASI GEOSPASIAL Budi Santoso; Anggota Federasi Pembangunan Perkotaan Indonesia (Feppi)
14. BANJIR DAN KEBIJAKAN PUBLIK YANG TEPAT - Musa Maliki   ;    Pengajar FISIP UPN Veteran Jakarta
15. BENCANA EKOLOGI DAN NASIB RISET Siti Nuryati   ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB
16. TANAH LONGSOR ANCAM PASOKAN PANGAN - Achmad Rachman  ;   Peneliti di Badan Litbang Pertanian; Mantan Atase Pertanian di Amerika Serikat
17. LINGKUNGAN SERING TERKALAHKAN : BENCANA MENYEBABKAN PEMISKINAN


Mengenang Prestasi Semarang
Published Januari 21, 2013 Artikel Pengamat Ditutup
Tags: Eko Budihardjo, Mengenang Prestasi Semarang
Oleh Eko Budihardjo


Lazimnya orang cenderung melihat sisi negatif bila bicara perkara perkotaan. Ibarat dokter yang melihat virus: degradasi lingkungan, kekumuhan, kesenjangan, kesemrawutan, dan sebagainya. Daftar itu bisa sangat panjang. Awal 2013 saya mencoba melihat sisi positif dengan terlebih dulu mengenang prestasi kota Semarang pada masa silam.
Prestasi terunggul Kota Semarang adalah pada 1998, semasa Wali Kota Soetrisno Suharto tatkala memperoleh predikat The Best Managed City in Indonesia dari Konrad Adenauer Stichtung (KAS) Jerman. Tolok ukurnya saat itu terutama pelibatan ilmuwan, budayawan, seniman, wartawan, ulama, pengusaha dan sebagainya.
Mereka tergabung dalam Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK) sejak 1994, yang kemudian berganti nama menjadi Dewan Pertimbangan Pembangunan Koata (DP2K). Pada saat penilaian, KAS memberikan angka tinggi pertama-tama soal kebersihan dan penghijauan kota.
Saat itu ada ”pasukan kuning” yang tiap saat membersihkan sampah dan kotoran kota, terutama di jalan protokol. Yang di kampung diserahkan pada warga. Saking senangnya pada taman, Pak Tris dijuluki Wagiman (akronim Wali Kota Gila Taman). Yang juga memperoleh angka tinggi adalah yang menyangkut konservasi bangunan bersejarah.
Saya lantas mendapat amanah meneliti bangunan kuno bersejarah yang layak dikonservasi. Terekam 101 bangunan dan terbitlah SK Wali Kota tahun 1992 tentang Bangunan Kuno. Penelitian dilakukan tahun 1990, jauh sebelum pengesahan UU Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang kini menjadi UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Prestasi lain adalah rekonstruksi alias pembangunan kembali Gerbang Paldam yang bersejarah atas tuntutan DP2K. Gerbang dekat Gedung Lawang Sewu tersebut menjadi tetenger atau penanda, bahwa dulu terdapat kompleks Paldam yang bernilai sejarah .

Prestasi DP2K
Peran dari DP2K yang beranggotakan ulama, arsitek, perencana kota, insinyur sipil, psikolog, sejarawan, jurnalis, ahli politik, dan berbagai ilmuwan, sangat besar dan menentukan wajah kota Semarang. Tatkala Gubernur Jateng pada 1990-an berencana membangun gedung 7 lantai di Taman KB, Wali Kota Semarang kurang setuju namun tak berani secara terbuka menolak.
Dari segi keilmuan, khususnya arsitektur lanskap, memang ada kaidah park is urban paradise, taman adalah surga perkotaan. Tetapi yang tak kalah menentukan peran Direktur Perkotaan Depdagri saat itu, yang juga arsitek, yang mempersiapkan surat dari Mendagri yang menolak pembangunan gedung di atas taman. Taman KB di di depan SMA 1 tetap bertahan sampai sekarang sebagai paru-paru kota.
Wali kota berikutnya berencana membongkar Pasar Johar, menggantinya dengan Mal Johar Baru 6 lantai. Arsitek, perencana kota, pedagang, dan masyarakat yang peduli warisan budaya, menolak keras. Soalnya pasar karya Ir Thomas Karsten sangat indah dengan kolom-kolom cendawannya, sudah masuk dalam daftar bangunan kuno yang harus dilestarikan dalam SK wali kota.
Untung, wali kota cukup akomodatif, dan menerima usulan sayembara untuk penataan kawasan Pasar Johar. Ini akan menjadi contoh bagi kota-kota lain dalam penerapan kaidah konservasi dinamis, bukan preservasi atau ”pengawetan” yang statis.
Selain terjaganya Pasar Johar dari pembongkaran, tak kalah mengesankan terlindungnya GOR Trilomba Juang (Mugas) dari ancaman perubahan fungsi menjadi hotel. Begitu muncul penolakan keras pembongkaran GOR itu yang merupakan ruang terbuka hijau milik publik itu, akhirnya rencana dibatalkan. Ini juga prestasi yang layak dikenang.
Bila lapangan di GOR Trilomba Juang berubah menjadi area parkir pengunjung hotel; udara makin panas, lalu lintas makin semrawut, dan banjir kian melanda. Paling menyedihkan, anak-anak sekolah di sekitarnya kehilangan tempat berolahraga. Mudah-mudahan tahun 2013 dan selanjutnya pembangunan kota Semarang lebih partisipatif, demokratis, melibatkan berbagai pihak yang kompeten, demi kemaslahatan rakyat. (Sumber: Suara Merdeka, 19 Januari 2013)
Tentang penulis:
Eko Budihardjo, guru besar Arsitektur dan Perkotaan Undip, Ketua Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang

Mereka Yang Paling Dirugikan
Bill Gates*) Kamis, 03/09/2015 13:00 WIB
Mereka yang Paling Dirugikan
Sawah tergenang banjir.
Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa tahun yang lalu, saya dan Melinda mengunjungi sebuah kelompok petani padi di Bihar, India, salah satu daerah yang paling sering terkena banjir di negara tersebut. Mereka sangat miskin dan bergantung pada padi yang mereka tumbuhkan untuk memberi makan dan menghidupi keluarga mereka.
Saat musim hujan terjadi setiap tahunnya, sungai akan meluap, mengancam ladang pertanian mereka dan merusak tanaman di lahan tersebut. Namun, mereka tetap percaya dan rela bertaruh bahwa lahan mereka tidak akan terkena banjir. Seringkali mereka kalah dalam ‘taruhan’ ini.
Tanaman mereka rusak, mereka lalu akan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan serabutan untuk memberi makan keluarga mereka. Pada tahun mendatang, namun demikian, mereka akan kembali—seringkali lebih miskin daripada saat mereka pertama pergi ke kota—siap untuk menanam lagi.
Kunjungan kami merupakan pengingat yang berharga bahwa untuk para petani yang paling miskin di dunia, hidup adalah seperti berjalan di titian kabel yang tinggi—tanpa jaring pengaman. Mereka tidak memiliki akses terhadap bibit, pupuk, sistem pengairan, dan teknologi berguna lainnya yang memiliki kualitas lebih baik seperti yang dipakai oleh para petani di negara kaya—dan tidak ada asuransi tanaman pertanian untuk melindungi mereka dari kerugian. Satu kemalangan saja—kekeringan, banjir, atau jatuh sakit—cukup untuk menjerumuskan mereka lebih dalam ke lubang kemiskinan dan kelaparan.
Saat ini, perubahan iklim juga menambahkan risiko baru dalam kehidupan mereka. Suhu yang meningkat di dalam 1  dekade mendatang memberikan gangguan yang besar terhadap pertanian, khususnya di wilayah tropis. Tanaman tidak akan tumbuh karena hujan yang terlalu sedikit atau terlalu banyak.
Hama berkembang biak dengan pesat di iklim yang lebih hangat dan menghancurkan tanaman. Para petani di negara yang lebih kaya akan mengalami perubahan juga. Tetapi mereka memiliki peralatan dan bantuan untuk menghadapi risiko-risiko ini. Para petani termiskin di dunia sebagian besar pergi bekerja setiap hari dengan tangan kosong. Maka dari itu, dari semua orang yang akan dirugikan akibat perubahan iklim, mereka adalah orang-orang yang akan paling menderita.
Para petani miskin akan merasakan akibat dari perubahan ini dan pada saat yang sama dunia membutuhkan bantuan mereka untuk memberi makan bagi populasi yang kian berkembang. Pada 2050, kebutuhan pangan global diharapkan meningkat 60%. Penurunan jumlah panen akan menghambat sistem pangan global, memperburuk kelaparan dan mengurangi kemajuan yang sudah dicapai dunia dalam mengentaskan kemiskinan selama setengah abad belakangan ini.
Saya optimistis bahwa kita dapat menghindari dampak perubahan iklim dan memberi makan dunia—jika kita bertindak sekarang. Ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk berinvestasi pada inovasi-inovasi energi bersih yang akan secara drastis mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghambat kenaikan suhu.
Pada saat yang sama, kita perlu memperhatikan bahwa kini sudah terlambat untuk menghentikan semua dampak suhu yang lebih panas. Bahkan jika dunia menemukan sumber energi yang murah dan bersih minggu depan, akan butuh waktu untuk menghilangkan kebiasaan menggunakan bahan bakar fosil dan berganti ke masa depan yang bebas karbon. Maka dari itu, penting bagi dunia untuk berinvestasi pada upaya-upaya untuk membantu masyarakat yang paling miskin untuk beradaptasi.
Banyak dari peralatan yang mereka butuhkan adalah alat yang mendasar—benda-benda yang mereka butuhkan untuk menumbuhkan lebih banyak makanan dan mendapatkan penghasilan yang lebih besar: akses terhadap pembiayaan, bibit yang lebih baik, pupuk, pelatihan, dan pasar di mana mereka dapat menjual apa yang mereka hasilkan.
Peralatan lainnya adalah peralatan baru dan disesuaikan dengan permintaan berdasarkan perubahan iklim. The Gates Foundation dan para mitra telah bekerja sama untuk membuat varietas bibit baru yang dapat tumbuh bahkan pada masa kering maupun banjir. Para petani padi yang saya temui di Bihar, contohnya, sekarang menumbuhkan varietas baru padi tahan banjir—disebut padi ‘scuba’—yang dapat bertahan dua minggu di bawah air.
Mereka sudah mempersiapkan jika pergantian pola cuaca akan mendatangkan banjir yang lebih besar ke daerah itu. Varietas padi lainnya yang tahan kekeringan, panas, dingin, dan permasalahan tanah seperti kontaminasi garam yang tinggi sedang dibuat.

MENGUBAH KEHIDUPAN
Semua upaya ini memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan. Ini cukup biasa untuk melihat bahwa para petani mampu panen dua kali dan tiga kali lipat saat mereka punya akses terhadap peralatan-peralatan canggih yang dianggap sepele oleh para petani di negara yang kaya.
Perkembangan baru ini membuat mereka mampu meningkatkan pola makan mereka, berinvestasi di pertanian mereka, dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Ini juga menyelamatkan hidup mereka dari ujung tanduk, memberikan mereka pengaman meskipun mereka mengalami panen yang buruk.
Ada juga ancaman-ancaman perubahan iklim yang tidak dapat kita prediksi sebelumnya. Untuk bersiapsiap, dunia perlu untuk mempercepat riset atas bibit dan dukungandukungan lain bagi para petani kecil. Salah satu inovasi yang membantu para petani adalah teknologi satelit. Di Afrika, para peneliti menggunakan gambar satelit untuk membuat peta tanah yang terperinci, yang dapat memberitahukan petani mengenai varietas yang dapat tumbuh subur di lahannya.
Tetap saja, bibit yang lebih baik atau teknologi baru tidak dapat mengubah hidup keluarga petani sampai teknologi ini dapat mereka miliki dan gunakan. Beberapa organisasi, termasuk sebuah kelompok non-profit bernama One Acre Fund, mencari cara untuk memastikan para petani mendapatkan keuntungan dari solusi ini. One Acre Fund bekerja dengan lebih dari 200.000 petani Afrika, menyediakan akses kepada pendanaan, peralatan, dan pelatihan.
Pada 2020, mereka bertujuan untuk mencapai satu juta petani. Pada Surat Tahunan tahun ini, saya dan Melinda bertaruh bahwa Afrika akan dapat memberi makan dirinya sendiri selama 15 tahun mendatang. Bahkan dengan risiko perubahan iklim, menurut saya, saya akan memenangkan taruhan ini.
Ya, keadaannya sulit bagi para petani miskin. Hidup mereka disulitkan dengan berbagai macam persoalan yang harus dibenarkan— dari menanam bibit yang tepat dan menggunakan pupuk yang benar sampai mendapatkan pelatihan dan memiliki tempat untuk menjual hasil panen mereka. Jika satu hal saja bermasalah, makan hidup mereka akan terpuruk.
Saya tahu bahwa dunia ini sudah mengetahui apa yang harus dilakukan agar hal-hal ini berjalan dengan baik untuk menghadapi tantangantantangan yang mereka hadapi hari ini atau yang akan mereka hadapi di masa mendatang. Lebih penting lagi, saya tahu bahwa para petani sudah menyadari hal ini juga. (Project Syndicate)

*) BILL GATES, Co-Chair di Yayasan Bill & Melinda Gates

KOTA CERDAS DAN KONTRADIKSI RUANG - 19/06/15 - Mohamad Burhanudin
Gagasan kota cerdas tengah menjadi tren di negeri ini. Di hotel berbintang, kampus, gedung pemerintahan, dan di kantor lembaga swadaya masyarakat, kota cerdas menjadi tema pembicaraan hangat. Sejumlah kota, bahkan, telah menegaskan klaimnya sebagai Si Cerdas.
Media arus utama tak ketinggalan membuat liputan khusus tentang hal ini. Para pakar silih berganti mendedahkan konsep dan pendapat mereka tentang kota cerdas. Pemerintah kota seakan kehilangan marwahnya jika tak mengadopsi atau setidaknya menyatakan diri mereka sedang berproses ke sana. Bermiliar dana dikerahkan untuk jaringan internet bebas akses beserta aplikasinya. Singkatnya, kota dibayangkan akan menjadi layak huni lewat teknologi.
Maka demikianlah kota cerdas menjelma sebagai frasa besar. Dia tiba-tiba menjadi apa yang disebut George Orwell sebagai newspeak beserta sinonimnya, seperti kota pintar, kota siber, dan kota digital, sebagai solusi terintegrasi akan masalah perkotaan. Dengan cepat dia menggeser frasa-frasa lama yang sebelumnya pernah pula tampil sebagai tren tata kelola kota di negeri ini, seperti kota hijau, e-governance, kota mandiri, bahkan kota anti korupsi. Frasa-frasa yang begitu cepat terkubur saat realisasi masih kabur. Pertanyaannya, akankah kota cerdas bernasib sama, layu sebelum berkembang?

Kontradiksi ruang
Kota-kota di negara berkembang, termasuk di Indonesia, pada umumnya dihadapkan pada tata ruang dan kelola yang tidak dapat mengantisipasi cepatnya pertumbuhan di berbagai bidang dengan baik. Perencanaan yang ada cenderung menjadi pengabdi dan pelestari kepentingan pasar dibandingkan dengan penciptaan keseimbangan ruang hidup manusia dan lingkungannya. Yang terjadi kemudian adalah karma atas eksklusi ruang-meminjam istilah Habermas-yang berupa banjir, kemacetan lalu lintas, konflik lahan, sampah, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Henri Lefebvre, seorang filsuf Perancis, menyebut permasalahan ruang perkotaan yang muncul akibat lebih kuatnya kendali modal dalam kebijakan perencanaan perkotaan tersebut sebagai kontradiksi ruang. Kontradiksi ini menempatkan ruang sekadar dalam kacamata konsumsi, yang membawa dampak destruktif dalam bentuk konsumsi ruang yang kian mendorong manusia kota menjadi mesin keserakahan. Dampak berikutnya adalah hadirnya ketimpangan karena distribusi pembangunan hanya ditentukan oleh logika modal.
Tengoklah, betapa mudah mal, perumahan dan apartemen mewah, superblok, minimarket hingga hipermarket, gerai ayam goreng, dan hotel di ruang yang semestinya tak diperuntukkan untuk pembangunan tempat-tempat tersebut. Kemunculannya jauh lebih mudah daripada hadirnya ruang-ruang terbuka hijau. Setiap sudut kota dipenuhi dengan perayaan-perayaan atas konsumsi, seperti di mal, hipermarket, superblok, hingga papan iklan yang bertebaran di setiap sudut kota. Manusia hanya sibuk dan lelah demi perayaan itu. Relasi dan kohesi sosial tergerus, kejahatan-kejahatan kota secara kuantitatif meningkat demi mengikuti roda konsumsi.
Ketimpangan adalah wujud lain dari kontradiksi di samping keserakahan konsumsi. Urbanisasi yang tak terkendali adalah masalah yang hadir dari ketimpangan ini. Bank Dunia memperkirakan, saat ini jumlah penduduk di perkotaan di Indonesia lebih dari 50 persen dari populasi. Tingginya urbanisasi menunjukkan besarnya ketimpangan pembangunan antardaerah di Indonesia. Ledakan penduduk seiring urbanisasi membuat kota-kota di Jawa akhirnya tumbuh dan dibangun dengan melawan sejarahnya dan tata ruang yang semestinya.
Alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi, urbanisasi menciptakan kantong kemiskinan baru dan membuat problem perkotaan kian kompleks karena antisipasi persoalan tak direncanakan sejak awal. Maka, buruknya pasokan air bersih, sanitasi, jalan raya, drainase, dan ruang terbuka mudah dijumpai di kota-kota di negeri ini. Permukiman kumuh kian meluas. Permukiman layak tak mampu dijangkau sebagian besar warga.
Akibatnya, jurang kaya-miskin makin menganga. Individualisme kian liar. Jalan kota yang semrawut, macet, dan rawan kecelakaan adalah cerminan kian tumpulnya nilai toleransi manusia kota di hadapan individualisme, di samping buruknya penataan transportasi dan tak sepadannya jalan dengan jumlah kendaraan.

Teknologi sebagai alat
Sejauh ini kota cerdas diidentikkan sebagai konsep penataan kota yang terintegrasi, berbasis jaringan teknologi digital, dengan memanfaatkan arsitektur jaringan internet. Dari jaringan itu dibangun sebuah ekosistem digital yang memungkinkan masyarakat dan pengambil kebijakan mencari, mengakses, mentransfer, dan mendesiminasi informasi urusan perkotaan. Sampai di situ, tampak, kota cerdas menuntut adanya infrastruktur jaringan teknologi informasi digital di kota. Sebagai alat, dia dapat membantu manusia menata kotanya lebih baik.
Pun, sebagai alat, teknologi informasi akan memiliki peran signifikan bagi hadirnya kota yang layak huni, nyaman, dan manusiawi jika kontradiksi ruang perkotaan terselesaikan. Menyelesaikan kontradiksi ruang berarti menyusun kembali perencanaan tata ruang kota yang didasarkan pada berbagai ragam referensi nilai yang melatarinya  sehingga kota-kota memiliki sejarah dan keragamannya sendiri, bukan sekadar menurut logika konsumsi atau pasar. Menyelesaikan kontradiksi juga bermakna menyelesaikan ketimpangan dan menjadikan elemen ruang yang terpinggirkan, seperti wilayah luar Jawa, desa, kawasan kumuh, dan masyarakat miskin dalam pembangunan, bukan sebagai patologi ruang.
Dengan infrastruktur digital itu, sejumlah kota modern dunia telah dinobatkan sebagai kota cerdas, seperti Barcelona, Vancouver, Amsterdam, Singapura, dan Toronto. Namun, di kota-kota itu peran jaringan teknologi digital hanyalah membantu mengintegrasikan infrastruktur kota yang sudah memadai, tata kelola ekonomi yang telah stabil, dan ketersediaan layanan publik yang baik menjadi semakin mudah diakses publik secara real time. Artinya, kontradiksi ruang sudah selesai di kota-kota itu.
Sayangnya, implementasi kota cerdas di Indonesia  sejauh ini baru sekadar berupa pengadaan jaringan internet di berbagai sudut kota, aplikasi digital, dan ruang kendali. Langkah itu nyaris tak dimulai dengan atau disertai oleh pergerakan yang revolusioner dalam menata kembali kota guna menyelesaikan kontradiksi.
Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan perencanaan bak centang-perenang. Tren ide penataan timbul tenggelam karena hanya dirancang untuk kepentingan politik sesaat elite lokal atas nama pencitraan.
Menjadikan kebijakan kota cerdas untuk kepentingan pencitraan politik sah-sah saja. Namun, apabila tanpa disertai dengan kebijakan menyelesaikan kontradiksi ruang secara berkelanjutan, kota cerdas barangkali hanya akan menjadi tren sesaat, tanpa sempat menghadirkan kota yang nyaman, layak huni, dan manusiawi.
Mohamad Burhanudin; Spesialis Komunikasi pada Pusat Transformasi Kebijakan Publik; Pemerhati Masalah Urban

AMUK EKOLOGI - 24/01/14 - Hefni Effendi 

DI awal 2014 ini berlaksa bencana menghunjam Bumi Pertiwi. Gunung memuntahkan lahar, tanah longsor, topan dan badai, tumpahan hujan tiada henti membanjiri Nusantara, hingga gelombang tinggi. Semua itu menyisakan pilu dan nestapa bagi segenap warga negara yang tertimpa bencana.
Seakan-akan alam mulai jenuh berkompromi dengan manusia yang menunggang bumi di luar batas kemampuan alam penopangnya. Katastrofe dan anomali alam menyebar ke seluruh jagat.  Terperangah kita menyaksikan snow on the desert di Arab Saudi dan suhu rendah ekstrem di Michigan, AS, yang membekukan air terjun Niagara yang sedang mengalir ke bawah.
Kita terlalu rakus menguras sumber daya alam.  Resiliensi alam berupa kapasitas bertahan, beradaptasi, dan memperbaiki diri setelah gangguan mulai tidak berada pada bandul keseimbangannya.  Demikian pula dengan daya tahan alam berupa kemampuan bertahan, kapasitas merasakan, dan kesiapan beradaptasi terhadap perubahan juga telah terkikis.
Berbagai asumsi dibangun untuk mengelaborasi keganjilan alam yang di luar normal ini. Semua berujung pada mengambinghitamkan perubahan iklim akibat pemanasan global yang bersumber dari penggunaan tak bijak bahan bakar fosil.   Selain itu, perilaku tamak dan tak arif memperlakukan alam juga memantik amuk ekologis.
Misalnya, mempersempit ruang bagi alam untuk menuntaskan siklus alaminya. Ruang infiltrasi siklus hidrologi dirampas melalui hilangnya daerah resapan air: hutan, ruang terbuka hijau, danau. Ini menghambat kecepatan air menuju titik terendah karena saluran air tersumbat oleh sampah.
Sejak tahun 1800-an, bahan bakar fosil jadi lokomotif penghela pertumbuhan ekonomi negara industri dunia di belahan barat.  Belakangan batubara mulai digunakan secara masif di China dan India. Pembakaran bahan bakar fosil ini salah satunya menghasilkan CO2, gas rumah kaca penyebab pemanasan global.  Memang ironis!
Ketika negara industri maju telah sampai pada level sejahtera dan berkemampuan andal mengelola bencana bermodalkan bahan bakar fosil sejak Revolusi Industri, Barat mulai mengintroduksi skema baru mereduksi emisi karbon.
Daripada mengurangi emisi CO2 yang berimbas pada pemangkasan tenaga kerja industri, diperkenalkanlah dengan cerdik metode perdagangan karbon dengan memberi kompensasi kepada negara tropis yang berhutan sebagai penyerap karbon melalui mekanisme REDD.

Etika lingkungan
Bob Doppelt (2010) dalam The Power of Sustainable Thinking mengelaborasi sistem take-make-waste.  Manusia mengambil sumber daya alam seperti mineral, ikan, kayu, batubara, minyak, gas, lalu menggunakannya untuk membangkitkan ekonomi dengan mengolah bahan itu menjadi barang konsumsi dan jasa untuk dinikmati.  Hasil sampingnya adalah limbah yang dilepas ke alam dalam bentuk gas penyebab efek rumah kaca, pencemaran air, pencemaran tanah, dan limbah beracun.  Produktivitas industri dinilai dengan peningkatan kuantitas bahan produk, tak peduli di sana tersua limbah.
Pergeseran paradigma dalam mengejar kesejahteraan ekonomi menjadi borrow-use-return, yakni bahan mentah yang diekstraksi dari alam. Material dan energi dikonversi menjadi barang dan jasa, kemudian dikembalikan ke alam berupa nutrien untuk pertumbuhan selanjutnya tanpa melampaui kemampuan alam melakukan asimilasi dan purifikasi. Itulah close-loop system melalui pemanfaatan energi terbarukan (matahari, angin, gelombang, biomassa, serta bahan baku dan proses yang ramah lingkungan).
Paradigma pengejaran kesejahteraan seyogianya menganut close-loop system ini.  Eliminasi jauh take-make-waste secara nyata saat ini menyengsarakan umat manusia.
Paham lain yang menguras sumber daya alam adalah utilitarianism (Mill, 1861) yang disimplifikasi sebagai ends-based-thinking (Kidder, 1995). Pemanfaatan sumber daya alam demikian berfokus pada hasil terbaik yang dinikmati banyak orang tanpa memikirkan kerusakan dan kesempatan generasi mendatang menikmatinya.
Prinsip lain dalam pemanfaatan sumber daya secara bijak dielaborasi dalam care-base-thinking (Kidder, 1995) dengan slogan love your neighbour as yourself. Pemanfaatan sumber daya alam berlebihan mesti memikirkan konsekuensinya dan kemungkinan habisnya hingga tak dinikmati generasi penerus.  Paham ini sebetulnya telah diadopsi pada ideologi  pembangunan berkelanjutan.
De jure kita menganut pembangunan berkelanjutan (UU No 32/2009), tetapi de facto paham tersebut terus dilabrak. Perambahan hutan lindung, penambangan terbuka di kawasan lindung, alih fungsi daerah resapan air, pembuangan limbah tak diolah ke lingkungan, hingga pembuangan sampah ke sungai. Juga pembangunan infrastruktur yang tak mengindahkan lingkungan, penumpukan industri pada suatu wilayah tanpa peduli daya dukung dan daya tampung, hingga pelanggaran tata ruang, pemberian izin eksploitasi sumber daya alam yang tak memperhatikan peruntukan kawasan.
Kementerian Kehutanan menemukan 150 perusahaan pemegang izin kuasa pertambangan (KP) yang proyeknya menyerempet dan masuk dalam kawasan hutan lindung. Bahkan, sebagian masuk hutan konservasi. Di Kaltim dan Kalsel terdapat 1.900 KP yang bersinggungan dengan hutan lindung. Ombudsman (2012) mencatat 62 konflik yang dilaporkan terkait pelanggaran tata ruang.
Pada era reformasi ini para gubernur dan bupati perlu diberikan penyegaran tentang makna pembangunan berkelanjutan karena tak jarang mereka menggadaikan sumber daya alam sebagai komoditas politik tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan.
Berdasarkan survei (2006), sekitar 9 persen kepala daerah tidak peduli lingkungan, 47 persen peduli, 37 persen cukup peduli, dan hanya 7 persen yang sangat peduli.
Hiruk pikuk reaksi alam berupa amuk ekologi tak pandang bulu dirasakan oleh pencinta dan pendosa lingkungan seperti yang terjadi sekarang.
Hefni Effendi, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB 

BENCANA DAN POLITIK - 23/12/14 - Azyumardi Azra

BENCANA demi bencana masih melanda Indonesia. Julukan Indonesia sebagai ring of fire (cincin api) mungkin tidak memadai lagi. Karena itu, Phil Sylvester, editor Travel Insight, menyatakan, Indonesia telah selalu menjadi, "hotbed of earthquake activity, but in the past few years there have been more deadly quakes than usual.”
Mempertimbangkan gejala itu, jangan-jangan julukan Tanah Air kita harus diganti jadi ring of disasters, lingkaran bencana. Ini terlihat, misalnya, pada bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang menewaskan sekitar 85 orang dan mungkin ratusan orang lainnya hilang tertimbun longsoran.
Meski kita selalu berdoa agar bencana tidak terus melanda Indonesia, hampir bisa dipastikan musibah tetap bakal datang. Banyak lokasi alam Indonesia secara alamiah sangat rawan bencana. Namun, kian merosotnya kualitas lingkungan hidup karena perusakan hutan atau penggarapan lahan rawan longsor mengakibatkan bencana longsor dan banjir bandang semakin sering.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai menjelang bencana di Banjarnegara, pada 2014 tercatat 248 korban bencana longsor. Pada 2011, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, terjadi 452 longsor dan banjir bandang, menewaskan 371 jiwa; dan 2010 dengan korban 635 orang. Menurut Prevention Web, pada 1980-2010 rata-rata 6.209 setiap tahun orang tewas karena berbagai bentuk bencana.
Jumlah kerugian harta benda akibat bencana tidak sedikit. Menurut Bappenas, dalam 10 tahun terakhir, jumlah kerugian akibat bencana Rp 162 triliun, sedangkan menurut data Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Rp 400 triliun. Berhadapan dengan bencana silih berganti dengan jumlah kerugian begitu besar, pemerintah, khususnya melalui BNPB dan Kementerian Sosial, sering terlihat gagap. Sering pula bantuan tak bisa cepat disalurkan karena hambatan birokrasi dan administrasi.
Namun, Indonesia beruntung karena solidaritas masyarakat masih kuat untuk meringankan beban warga. Banyak warga spontan turun tangan membantu. Selain itu, organisasi dan kelompok filantropi yang bergerak dalam penyantunan korban bencana (relief) juga terlihat cepat bergerak memberikan berbagai bentuk kontribusi berupa dana infak, sedekah, dan sumbangan lain dari masyarakat. Kelas menengah yang terus bertumbuh menjadi tulang punggung (backbone) filantropi Indonesia memungkinkan mereka bergerak lebih aktif dan lebih cepat.
Bagaimana hubungan bencana dengan politik? Dalam pengalaman Indonesia, bencana bisa menjadi momentum untuk perdamaian dan rekonsiliasi politik di Aceh setelah konflik berdarah-darah selama beberapa tahun (1976-2005). Kasus ini terlihat dalam bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang tahun ini genap 10 tahun. Bencana dahsyat yang menewaskan sekitar 160.000 jiwa itu memaksa Pemerintah Indonesia berunding dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menghasilkan Persetujuan Helsinki (15 Agustus 2005). Dengan begitu, bencana tsunami Aceh menjadi blessing in disguise bagi NKRI.
Bencana demi bencana di Tanah Air juga mengundang parpol atau elite politik ”turun tangan”. Gejala ini tidak unik di Indonesia, tetapi juga bahkan di AS. David G Twigg dalam The Politics of Disaster: Tracking the Impact of Hurricane Andrew (2012) menyimpulkan, bencana alam sejak dari gempa sampai tornado dapat meninggalkan bekas tidak terhapuskan dalam karier politik seseorang. Kecepatan figur politik dalam turut menangani korban bencana dapat memberikan manfaat baginya sebab dengan begitu ia telah melakukan ”kampanye tanpa kampanye”.
Keterlibatan elite politik dan parpol di Tanah Air mewujud dalam pemberian bantuan berbarengan dengan pemasangan bendera parpol masing-masing di wilayah terlanda dan terdampak bencana. Keadaan ini kadang-kadang mengesankan adanya ”perang bendera” di antara parpol berbeda. Namun, keadaan agak berbeda dengan bencana longsor Banjarnegara. Tidak terlihat banyak bendera parpol meski sebenarnya ada di antara mereka yang juga turun ke sana.
Apakah gejala ini mengindikasikan meningkatnya ”sensitivitas” parpol untuk tidak ”memanfaatkan” bencana guna meningkatkan popularitas mereka, seperti sering dikritik banyak kalangan. Atau, boleh jadi juga karena memang tidak banyak parpol yang datang ke daerah bencana. Boleh jadi hal terakhir ini yang lebih benar. Hal ini terkait disorientasi yang dialami banyak parpol setelah Pemilu 2014. Parpol-parpol terbelah dalam dua kubu yang terlibat dalam kontestasi dan kegaduhan politik yang tak kunjung usai. Boleh jadi, jangankan memikirkan dan turut turun tangan dalam menyantuni korban bencana, DPR saja, tempat mereka bertarung, terlihat mengalami kemacetan.
Lalu, ada lagi konflik internal seperti yang terus membara dalam PPP dan Partai Golkar. Pembelahan dan friksi yang entah sampai kapan menunjukkan parpol lebih sibuk dengan dirinya daripada menyantuni korban bencana yang merupakan konstituen mereka. Keadaan ini patut disayangkan. Alangkah eloknya jika sumber daya manusia dan keuangan yang dimiliki elite politik dan parpol digunakan untuk kemaslahatan warga, khususnya korban bencana. Sudah saatnya elite politik dan parpol meninggalkan kegaduhan internal dan eksternal sehingga dapat lebih bermanfaat bagi negara-bangsa.
Azyumardi Azra; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

JAKARTA DARURAT - 28/01/13 - Franz Magnis-Suseno SJ

Bahwa Jakarta dan sekitarnya dalam keadaan darurat tidak perlu diuraikan lagi. Masalahnya, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Penulis tidak mempunyai keahlian dalam hal lalu lintas, apalagi dalam hal kontrol banjir. Maka, saya hanya ingin mengajukan beberapa pertimbangan sederhana yang barangkali juga ada di hati banyak warga DKI Jakarta.
Tidak perlu diragukan bahwa kalau mass rapid transit (MRT) sudah tersedia, situasi lalu lintas di DKI Jakarta akan mengalami perbaikan sangat berarti. Begitu pula kalau terowongan multifungsi sudah jadi, banjir di Jakarta pasti akan berkurang.

Stop Proyek Raksasa
Masalahnya, dua proyek raksasa tersebut baru akan mulai berfungsi sesudah sekian tahun. Terowongan multifungsi pasti perlu waktu sekurang-kurangnya empat tahun (kalau terowongan itu mau multifungsi, dia merupakan bangunan kompleks dan betul-betul mahal) untuk membangunnya. Apalagi, MRT.
Kereta di bawah tanah bagi negara-negara kaya pun hampir tak terbayarkan (serta kemudian memerlukan subsidi kontinu). Proyek super mahal itu akan menyedot sebagian besar dana yang tersedia bagi pembangunan infrastruktur di DKI.
Saya tidak percaya bahwa MRT (bahkan bagian pertama yang sampai Hotel Indonesia) dapat dipakai sebelum tahun 2019. Padahal, menurut para ahli lalu lintas di Jakarta, paling lambat (!) ibu kota akan lumpuh di tahun 2014 akibat beban volume kendaraan!

Berbuat Sekarang
Maka, maaf, dua proyek raksasa itu plus enam jalan tol dalam kota harus dicoret untuk sementara waktu. Kok Gubernur Joko Widodo (Jokowi) cepat sekali berkapitulasi alias menyerah. Sekarang dia malah mau mempertimbangkan untuk mengadopsinya dengan melawan pandangan banyak ahli kompeten. Mengingat keadaan DKI sudah darurat, seluruh dana yang tersedia harus dipakai untuk menstabilkan Jakarta dulu.
Adakah solusi jangka pendek? Tentu saja ada, meski jelas tidak sempurna, dan bukan jangka panjang. Namun, mengabaikan perbaikan kecil-kecilan yang ternyata mungkin dan efektif demi tiga proyek yang manfaatnya—kalau memang ada—baru akan dirasakan sesudah sekian tahun adalah perbuatan tidak bertanggung jawab.

Kemacetan
Dua hal berikut bisa langsung dimulai untuk mengurangi kemacetan. Pertama, optimalkan busway dan fungsikan semua jalur busway yang sudah direncanakan! Disterilkan tanpa ampun! Disediakan cukup banyak bus agar setiap tiga menit ada bus lewat! Perluas manfaat jalur busway dengan mengizinkan penggunaannya oleh kendaraan umum yang memenuhi syarat (katanya sudah menjadi rencana).
Kedua, kembangkan semua jalur kereta api (KA) dalam kota menjadi kereta cepat dalam kota (KCDK) di seluruh Jabotabek. Untuk itu, pertama-tama semua jalur KA perlu diangkat, seperti jalur Gambir. Tidak boleh lagi ada crossing jalur KA dengan jalan. Itu tidak sulit karena tanah dan teknologi sudah tersedia. Tentu perlu dibangun stasiun secukupnya dengan tujuan agar di antara Bekasi, Depok, Tangerang, dan DKI setiap tiga menit ada kereta lewat di kedua arah.

Fungsikan Stasiun Manggarai untuk KA ke luar Jabotabek, seperlunya dengan rel bertingkat agar tidak mengganggu KCDK. Ciptakan integrated ticket system. Dan, bangun sekarang juga jalur KCDK Jakarta—Soekarno-Hatta—(dan sampai Kota) Tangerang.
Lantas dapat diambil beberapa tindakan penunjang. Direncanakan angkutan umum yang menghubungkan busway dengan sistem KCDK. Dipertimbangkan kembali realisasi monorel yang pilar-pilarnya sudah ada.
Dan dengan memakai ”metode halus Jokowi”—direncanakan jalan-jalan dengan kaki
lima sedemikian nyaman sehingga orang bisa berjalan lancar di atasnya agar orang Jakarta belajar lagi bahwa jarak sampai satu kilometer dapat ditempuh dengan jalan kaki.

Banjir
Baru saja di harian ini dicatat lengkap sekian langkah konkret yang dapat diambil dan pasti akan sangat terasa. Memang, dalam jangka panjang, dua ancaman harus ditangani, air kiriman dari selatan dan masalah sebagian tanah Jakarta sudah di bawah permukaan laut, tetapi masih turun juga dan air laut pasti akan naik.
Dua tantangan raksasa di sini tidak dimasuki. Yang sudah ditulis di harian ini tidak perlu diulang di sini. Cukup kalau kita berpegang tegas pada prinsip bahwa proyek besar jangka panjang ditunda dulu supaya segenap dana dapat dipakai untuk mengambil langkah-langkah konkret nyata yang langsung akan terasa ini.
Sekadar untuk diringkas saja, asal semua saluran air yang ada, atau segera bisa diadakan, difungsikan sepenuhnya, diadakan polder, dan sebagainya, maka sebagian besar banjir, terutama semua banjir akibat hujan deras di Jakarta, dapat diatasi. Yang penting, gubernur melibatkan wali kota, ketua RW, dan ketua RT.
Mereka harus dibuat bertanggung jawab dengan ancaman dipecat agar semua saluran di wilayah masing-masing selalu bersih dari sampah dan endapan. Untuk setiap saluran besar kecil satu-satu ditetapkan wali kota, ketua RW, dan ketua RT mana yang langsung bertanggung jawab.
Model tanggung jawab itu sudah dipakai dengan sukses di beberapa tempat dalam hal penghijauan. Pembersihan sungai dari perumahan harus dilaksanakan dengan ”cara Jokowi”, dan perlu disediakan biaya banyak agar puluhan ribu manusia dapat dipindahkan secara manusiawi.
Pengumpulan sampah dapat dan perlu diperbaiki sedemikian rupa hingga masyarakat tidak perlu membuangnya langsung ke saluran. Kesimpulannya, tunda dulu segala kegiatan persiapan MRT, terowongan multifungsi, jalan tol dalam kota, dan proyek raksasa lain, tetapi pakailah dananya untuk tindakan-tindakan relatif sederhana untuk memfungsikan sepenuhnya apa yang sudah ada.
Franz Magnis-Suseno SJ, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

BENCANA DAN KEBODOHAN POLITIK - 24/01/14 - Donny Gahral Adian

MEMBACA judul artikel ini, siapa saja pasti bertanya, ”apa hubungannya bencana dan politik?” Bencana adalah sesuatu yang natural, sementara politik sebaliknya. Padahal, sejatinya tidak ada lagi yang natural  di kolong langit ini. Kadar toksin di air minum kita adalah akibat kebijakan politik yang ngawur. Banjir menahun yang melanda republik ini juga tak ada bedanya.
Politik dan bencana tak dapat  dipisahkan. Politik, bagi saya,  memiliki tingkat kecerdasannya sendiri. Pemberian sembako, perahu karet, dan selimut memang membantu, tetapi bukan sesuatu yang cerdas. Bencana harus dihentikan dari hulu. Persoalannya, hulu bencana tidak pernah diatasi secara cerdas oleh politik.

Politik ”asjadut”
Politik bukan semata urusan perebutan kekuasaan. Lebih substansial dari itu, politik adalah seni memakai kekuasaan demi kepentingan umum. Saya harus menggunakan bahasa terang. Tingkat kecerdasan politik kita masih beredar pada level ”asjadut” alias ”asal jadi duit”. Politik semacam inilah yang memberi izin pembangunan rumah peristirahatan di daerah resapan, membiarkan alih fungsi lahan  tanpa kendali, meloloskan pembalak liar, dan menutup mata terhadap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) demi kas negara.
Politik ”asjadut” mungkin memompa pertumbuhan ekonomi. Program mobil murah, misalnya, membuka lapangan pekerjaan di sektor otomotif. Namun, peningkatan polusi yang ditimbulkan tak ada di kalkulator para politisi ”asjadut”.  Pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada industri perkebunan jelas positif bagi ekonomi lokal. Akan tetapi, konsekuensi ekologisnya diserahkan begitu saja pada teka-teki masa depan.
Politik ”asjadut” bukan kelakuan pemerintah kita saja. Pada kurun waktu 1970-1980, Pemerintah Brasil mendukung pembakaran hutan tadah hujan demi lahan peternakan sapi. Ini disebabkan kenaikan permintaan daging sapi oleh resto-resto cepat saji di Amerika Serikat. Politik ”asjadut” di Brasil ini juga dikenal dengan sebutan ”hamburgerisasi hutan tadah hujan”.
Meski begitu, politik ”asjadut” tetap dapat dibela secara akademis.  Sebagian akademisi berargumen bahwa jalan tercepat menuju penyelamatan lingkungan adalah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan pendapatan meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa non-material atau semi-material sekaligus kualitas lingkungan yang baik.
Beckerman (1992) menyebutkan, dalam jangka panjang, cara paling tepat untuk meningkatkan kualitas lingkungan adalah menjadi kaya. Argumen yang lebih ekstrem menyatakan betapa regulasi lingkungan yang menurunkan pertumbuhan ekonomi justru mendegradasi kualitas lingkungan.
Politik ”asjadut” dapat dibenarkan. Kenaikan pendapatan akibat dibangunnya pabrik sepatu di lahan pertanian berdampak positif terhadap lingkungan. Kuznets (1966) menyebutkan bahwa pada saat pendapatan per kapita mencapai titik tertentu maka terjadi perubahan struktural, yakni peralihan ke industri berbasis informasi, teknologi yang lebih efisien, dan peningkatan permintaan terhadap kualitas lingkungan.
Persoalannya, logika ”asjadut” semacam itu terbentur beberapa persoalan krusial. Pertama, pada pendapatan per kapita berapakah perubahan terjadi. Kedua, berapa besar kerusakan sudah terjadi sebelum kita mencapai tingkat pendapatan per kapita tersebut. Ketiga, apakah ambang batas ekologis sudah terlanggar dan kerusakan yang tak dapat diperbaiki sudah kadung terjadi sebelum kualitas lingkungan membaik akibat pertumbuhan ekonomi. Keempat, korelasi antara perbaikan kualitas lingkungan dan pertumbuhan ekonomi tidak otomatis sebab mensyaratkan reformasi institusional dan kebijakan.

Politik kehati-hatian
Hulu bencana adalah politik yang tidak cerdas secara ekologis (politik ”asjadut”). Saya yakin sampai kiamat pun persoalan bencana alam di republik ini tidak akan tuntas sebelum cara berpikir politik ”asjadut” dirombak total.
Logika ”asjadut” bersandar pada antropologi purba ilmu ekonomi. Ekonomi mematok manusia sebagai dia yang memuaskan nafsu dengan cara-cara yang efisien. Akal sehat bertugas memilih cara yang paling tepat untuk memuaskan nafsunya. Akal dikendalikan dan bukan mengendalikan nafsu.
Seseorang tahu kalau dia hanya boleh minum segelas kopi sehari karena alasan kesehatan. Namun, nafsu mampu membuat keputusan akalnya menjadi tidak sehat. Dia akan berpikir, ”minum segelas kopi lagi tidak akan berdampak serius”.
Akal yang dirasuki nafsu cenderung mendiskon masa depan. Teori keputusan (decision theory) menyebutnya diskon hiperbolis. Artinya, seorang cenderung memilih keuntungan kecil yang didapat  dalam jangka pendek ketimbang keuntungan besar dalam jangka panjang.
Ini menjelaskan mengapa orang tidak mengatur pola makannya sehingga mengidap obesitas. Ini juga menjelaskan mengapa pemerintah cenderung membiarkan alih fungsi lahan untuk industri manufaktur demi terbukanya lapangan pekerjaan. Pemerintah tidak berpikir panjang tentang dampak ekologis yang akan merugikan di masa yang akan datang.
Pemerintah semacam itu menjalankan politik secara serampangan. Itu pun kalau tidak boleh dibilang bodoh. Buat apa pertumbuhan ekonomi jika sebagian orang terpaksa menggunakan air hujan untuk memasak? Kesejahteraan tidak semata-mata diukur dari berapa uang yang ada di kantong. Uang banyak tidak ada artinya jika kualitas hidup terus melorot tiap tahunnya karena lingkungan yang tak layak huni?
Pemerintah dapat berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi secara otomatis memperbaiki tingkat pendidikan, yang pada gilirannya membuat orang sensitif terhadap isu lingkungan. Kenyataannya, banjir terjadi di kota-kota besar yang disesaki kelas menengah terdidik.
Demi mencegat bencana dari hulunya, kebodohan politik yang dilakukan pemerintah saat ini harus dihentikan.  Alih fungsi lahan harus ditinjau ulang. Hak pengusahaan hutan jangan dibagikan layaknya permen untuk anak kecil. Analisis mengenai dampak lingkungan mutlak diberlakukan secara ketat dan konsisten. Kebijakan mobil murah harus dihentikan. Rumah-rumah peristirahatan yang menempati daerah resapan air harus diratakan. Dan, ini kalau berani, kawasan rawan banjir menjadi daerah terlarang bagi pembangunan properti, apa pun bentuknya. Sudah saatnya hutan beton ditebangi sementara  hutan kota diperluas.
Sebagian orang mungkin menyanggah, ”belum tentu alih fungsi lahan adalah penyebab bencana yang selama ini terjadi”. Atau, ”belum ada bukti-bukti ilmiah yang mengaitkan antara pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan berbagai bencana yang terjadi”.
Politik ”asjadut” akan berpegang pada argumen: ”tanpa bukti-bukti yang mencukupi,  segala regulasi untuk mengurangi risiko tidak perlu diberlakukan”. Padahal, politik dewasa ini sudah lebih cerdas dari sebelumnya. Politik dewasa ini menganut apa yang disebut ”prinsip kehati-hatian”. Prinsip ini berbunyi, ”saat dihadapkan pada peluang katastrofi, absennya bukti-bukti ilmiah tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membatalkan kebijakan yang mencegah degradasi ekologis”.
Politik yang cerdas berpikir, ”lebih baik selamat ketimbang menyesal kemudian”. Sebaliknya, politik ”asjadut” semata-mata berpikir, ”lebih baik menyesal ketimbang selamat kemudian”. Semoga kita semua dijauhkan dari kebodohan politik semacam itu. Amin.
Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Universitas Indonesia

MEREDUKSI BANJIR ALA EROPA - Ismatillah A Nu’ad
Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta SINAR HARAPAN, 12 Februari 2015

Musim hujan datang, banjir pun terjadi di mana-mana. Kelemahan kota-kota di Indonesia adalah belum ada sistem kanal yang berguna menampung air jika hujan terjadi cukup besar. Padahal, sistem kanal semacam itu dapat mereduksi banjir.
Biasanya jika musim banjir datang, kota yang paling parah terdampak adalah Jakarta. Sebagai ibu kota negara, semestinya Jakarta harus lebih baik menangani banjir. Masyarakat Jakarta berharap lebih kepada gubernur baru mereka, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bukan sebatas retorika, melainkan gertakan realistis di lapangan, konsep yang komprehensif, serta kebijakan terapan yang mesti disegerakan.
Sebetulnya bukan hanya Jakarta, di mana pun kota di Indonesia, pemerintah daerah (pemda) harusnya responsif. Ini karena dalam era globalisasi yang dihantui global warming, semuanya bisa terjadi. Bahkan mungkin saja, banjir akan menghinggapi kota Anda.
Kita semua harus belajar ulang dari sistem kanal di Negeri Kincir Angin, Belanda. Bisa juga mencontoh cara Kota London menjadikan Sungai Thames untuk mereduksi banjir yang langsung tersalur ke lautan.
Tiap kota di Eropa biasanya memang memiliki saluran air yang cukup luas dan ujung-ujungnya berakhir ke laut atau kanal-kanal penyerapan air. Jadi, tidak ada yang namanya banjir.
Sistem perencanaan irigasi dalam pengertian saluran air dibangun sedemikian canggih. Mereka menyadari, kalau tidak dilakukan seperti itu, sementara pembangunan tak pernah berhenti menyita tanah-tanah yang ada, banjir akan menjadi musim tahunan.
Kesadaran pemerintah kota untuk melakukan itu karena hal tersebut merupakan tuntutan yang harus dilakukan, bukan atas dasar proyek pemerintahan kota, seperti yang selama ini terjadi. Urgensi penanganan banjir harus segera dilakukan karena sudah menyangkut hajat hidup masyarakat umum. Kepentingan individu dan kepentingan sesaat tak bisa menjadi panglima karena akan berujung dan berakibat kesengsaraan bagi kepentingan umum.
Jika kita melihat kota di negeri ini, di Jakarta misalnya, berbeda jauh dengan keadaan kota-kota di Eropa. Pola pembangunan terus berlangsung setiap tahun. Gedung-gedung tinggi bertingkat, mal-mal megah, pembangunan apartemen bak jamur, real estate di mana-mana. Pendeknya, tanah di Jakarta bertambah sempit. Akan tetapi, saat bersamaan, tak ada tanah yang diperuntukkan sebagai alat penyangga air hujan. Jadi, semua pola pembangunan itu tak dibarengi kesadaran pola preventif untuk mencegah banjir.
Hal itu terjadi karena regulasi aturan main yang Pemda DKI sebelumnya juga tidak komprehensif, penuh kepentingan dan proyek-proyek. Semua perusahaan swasta bisa membangun kantor-kantor besar. Semua pengembang dapat membangun seluas-luasnya apartemen dan real estate.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya ketika banjir tiap tahun terulang? Pertama, harus ada regulasi aturan main yang jelas dan tegas diberlakukan oleh pemda yang mengatur tentang bangunan-bangunan.
Kedua, Pemda harus segera membuat irigasi, dalam pengertian saluran air yang berakhir di kanal-kanal yang berguna untuk menyerap dan menampung air hujan.
Ketiga, Pemda DKI harus bekerja sama dengan pemda-pemda lain yang ada di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Ini untuk memikirkan persoalan banjir yang terus melanda tiap tahun. Banjir adalah persoalan bersama, terutama di daerah yang tergabung dalam Jabodetabek.
Banjir harus menjadi sebuah kesadaran sosial (social consciousness) yang menyeluruh, bukan hanya bagi pemda, melainkan juga bagi masyarakat. Masyarakat juga harus berperan menuntaskan persoalan banjir, misalnya dijewantahkan dalam bentuk kesadaran membuang sampah tidak di sembarang tempat dan dalam bentuk lain.
Jika itu dilakukan, hasilnya pun akan dinikmati semua pihak. Tak hanya segelintir orang atau individu, tapi dinikmati masyarakat luas. Hal itu penting untuk menjadikan kota sebagai pusat aktivitas publik yang lebih terlihat beradab.
Thee Kian Wie, ahli administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pernah menyatakan dalam pidato penganugerahan Guru Besarnya, pembangunan kota-kota di Indonesia jauh tertingal dibandingkan kota-kota lain di Eropa.
Di London saja, sudah ada terowongan rel kereta bawah tanah yang dibangun dari abad ke-17, berkat jasa-jasa para pemimpin pemerintahannya yang sadar akan pentingnya transportasi modern. Hal itu dilakukan untuk kepentingan jangka panjang, serta bagi kesejahteraan dan kenyamanan hidup warga negaranya.
Sebaliknya, kesadaran seperti itu tidak didapat dalam pemerintahan kota di Indonesia. Jika ada kesadaran semacam itu, semestinya persoalan banjir sudah ditangani sejak lama. Seharusnya, pembangunan kanal-kanal besar penampung air hujan sudah ada sejak lama. Karena tidak ada kesadaran jangka panjang, yang terjadi seperti terlihat sekarang ini.
Mudah-mudahan banjir tahun ini bisa menjadi kesadaran sosial bersama. Mudah-mudahan orang tak hanya tercengang ketika melihat banjir yang mengerikan itu, tapi kemudian menjadi kesadaran kolektif yang tak pernah padam sehingga menimbulkan sinergi bersama untuk memikirkan solusi mencegah kehadiran banjir itu lagi. ● Diposkan oleh Budi Santoso 
(http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Banjir%20-%20Solusi%20Banjir%20ala%20Eropa) 

NEO TEOLOGI BANJIR - Faozan Amar
Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA SINDO, 23 Januari 2013

Indonesia adalah negeri yang sangat berpeluang untuk terjadinya banjir, sebab kondisi alam dan geografisnya memungkinkan. Bahkan menurut perkiraan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta mengalami banjir pada Januari–Maret 2013 karena tingginya curah hujan. 
Begitu juga di daerah dan wilayah lain, juga akan terjadi banjir.Banjir yang pernah terjadi Wasior, Papua serta Karawang, Jawa Barat adalah bukti bahwa banjir dapat terjadi di mana saja di bumi Indonesia. Jadi, banjir tidak hanya dinikmati oleh saudara-saudara kita yang tinggal di daerah Bukit Duri, Kampung Melayu, Ciledug, Kampung Pulo saja, yang selama ini sudah menjadi daerah langganan banjir. Bahkan menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), 83% wilayah di Indonesia berpeluang terjadinya banjir itu. 

Memaknai Banjir 
Secara ekologis, banjir merupakan peristiwa alam berupa peningkatan debit air secara cepat sehingga meluap dari palungnya dan menggenangi daerah sekitarnya secara kontemporer (Fuad Amsari,1992). Sebagai contoh, tahun 1992 banjir di Jakarta menggenangi 61 lokasi, kemudian pada 2002 meningkat menggenangi 159 lokasi dengan luas genangan mencapai 16.778 hektare. 
Bahkan menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 97dari 180 kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa berpotensi banjir pada Januari ini. Secara umum, ada lima penyebab terjadinya banjir. Pertama, klimatologis, di mana biasanya terjadi peningkatan level musim hujan yang terjadi di akhir dan awal tahun.Kedua, menurunnya daya serap tanah, seperti di Jakarta yang 90,33% wilayahnya merupakan kawasan yang terbangun. Ketiga, kondisi alam seperti perubahan iklim yang begitu cepat akibat pemanasan global (global warming). Keempat, penggundulan hutan, baik untuk permukiman perumahan maupun industri. Kelima, penurunan daya tampung sungai akibat penyempitan untuk permukiman, baik di hulu maupun di hilir. 
Banjir selalu mewarnai kehidupan manusia. Bahkan dalam kitab Alquran, peristiwa banjir dilukiskan dengan sangat jelas, sehingga menimbulkan pemahaman bahwa banjir merupakan suatu bentuk kemurkaan dari Allah SWT kepada umat manusia akibat tidak beriman kepada-Nya. 
Hal ini mengacu pada peristiwa banjir legendaris yang terdapat dalam Alquran yang dialami oleh umat Nabi Nuh (QS 11:32-49), banjir yang dialami umat Nabi Hud (QS7:65-72) dan banjir melanda kaum Saba (QS 34:15-16). Jika hanya ini yang dipahami, tentu menjadi kurang relevan mengingat masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius, dan Islam adalah menjadi agama yang penganutnya mayoritas. Bahkan, Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 memberikan landasan konstitusi tentang kebebasan bagi warga negara untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya itu. 
Agar tidak terjadi pemahaman yang keliru seputar masalah banjir, perlu dicarikan pemahaman keagamaan yang komprehensif melalui redefinisi dan reformulasi yang benar. Karena itu, para ulama dan cendekiawan harus melakukan ijtihad, membuat langkah, dan terobosan baru. 
Bahkan, jika diperlukan, harus ada fatwa ulama tentang penanggulangan banjir beserta dengan dalil dan argumentasi yang mendukungnya. Maka dengan pemahaman keagamaan yang benar tersebut,upaya penanggulangan banjir, terutama dari segi pencegahan, dapat dilakukan secara maksimal melalui pendekatan keagamaan. Untuk menjawab fenomena terjadinya banjir sekarang ini dalam perspektif Islam, diperlukan neo teologi banjir.
Dalam buku Agama Ramah Lingkungan Perspektif Alquran,yang merupakan disertasi doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Mujiono Abdillah (2001) menjelaskan neo teologi banjir: bahwa banjir bukan fenomena kemurkaan Allah SWT kepada umat manusia yang disebabkan manusia tidak mau menerima kehadiran Tuhan dalam dirinya. Banjir juga bukan sekadar musibah yang datang dari Allah SWT kepada umat manusia, melainkan merupakan fenomena ekologis yang disebabkan perilaku manusia dalam mengelola alam semesta beserta dengan isinya yang menentang sunah lingkungan. 
Hal ini berdasarkan fakta bahwa banjir yang terjadi sekarang ini, di belahan bumi mana pun, lebih dominan diakibatkan kesalahan dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungan alam. Hal ini sebagaimana ditegaskan Firman Allah SWT: ”Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka (QS Huud:101). 
Demikian juga kata kunci yang terdapat dalam QS Al A’raf ayat 64 dan 71:       ”... Kami tenggelamkan dan kami punahkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat Kami”. Kata ”ayat-ayat Kami” tidak hanya berarti Alquran, tetapi lebih luas lagi yakni meliputi ayat-ayat yang tidak tertulis yang terhampar dalam lingkungan. Karena itu, kalimat ”mendustakan ayat-ayat Kami” dalam konteks kasus banjir berpeluang dipahami sebagai sunah lingkungan. Peristiwa banjir pada zaman Nabi Nuh dan Nabi Hud terjadi karena umat kedua Nabi mendustai atau tidak mengindahkan sunah lingkungan (Abdillah, 2001). 
Redefinisi neo teologis banjir yang demikian, akan melahirkan sikap ekologis yang positif dan tanggung jawab yang kuat bagi manusia terhadap kejadian banjir. Karena manusia modern cukup dominan dalam pengelolaan lingkungan alam yang potensial menjadi penyebab banjir, manusia merupakan makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap fenomena banjir dan bertanggung jawab pula untuk mencegah terjadinya banjir. 
Mengingat musim hujan diramalkan masih akan berlangsung hingga Februari 2013, yang disertai dengan kemungkinan cuaca ekstrem, tidak ada salahnya kita bersiaga secara penuh untuk mencegah dan menanggulangi banjir, yang antara lain melalui pemahaman keagamaan yang benar.
Di samping itu, pemerintah juga perlu memantau kondisi lingkungan yang rawan banjir. Jika kondisi memburuk, persiapan menghadapi banjir pun tak pelak lagi harus ditingkatkan. Jadi, orang beriman yang sejati adalah orang mampu yang mencegah dan menanggulangi banjir dengan baik dan benar. Wallahu’alam. ●Diposkan oleh Budi Santoso di 09.11 
(http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Banjir%20-%20Neo%20Teologi) 

BANJIR (MASIH) TANGGUNG JAWAB PUSAT - GKR Hemas
Wakil Ketua DPD RI - SINDO, 09 Februari 2013

Banjir akan segera berlalu. Begitu ramalan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Meski hujan diperkirakan masih terus turun pada Februari ini, langit Jakarta memang mulai cerah. 
Orang-orang dan media mulai lebih banyak membicarakan hal lain. Banjir akan segera terlupakan. Sebagaimana orang lupa bahwa banjir sesung-guhnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Tanggung jawab inilah yang belum berjalan dengan baik. Pada kasus banjir besar Jakarta, misalnya. Pemerintah pusat merespons dengan rencana pengalokasian anggaran sebesar Rp2 triliun.
Perincian penganggaran ini masih ditunggu kelanjutannya. Namun, respons ini menunjukkan cara berpikir penanggulangan bencana banjir yang berorientasi pada akibat, bukan penyebab. Padahal, dalam kasus banjir menahun dan berulang, penanganan harus secara komprehensif. Sorotan terhadap banjir yang cenderung pada sisi tanggung jawab pemerintah daerah pasti tak akan menyelesaikan masalah, sebagaimana yang selalu terjadi selama ini.
Pemda mempunyai keterbatasan dalam menangani bencana yang penyebabnya bersifat antarwilayah. Fokus mereka akan lebih banyak pada mengatasi akibat dan terbatas pada sisi sebab. Yakni, sebab-sebab yang berada di wilayah mereka sendiri. Selebihnya, tanggung jawab pemerintah pusat. Banjir Jakarta disebabkan oleh curah hujan yang turun di Jakarta dan yang turun di wilayah Jawa Barat. 
Jakarta dapat mengatasi masalah genangan air dengan sanitasi, resapan, kanalisasi, rehabilitasi sungai, danau, hujan buatan, dan sebagainya. Pemda juga berkewajiban mendidik masyarakat agar berperilaku yang sesuai dengan kondisi alam, antisipatif terhadap banjir, penghijauan, dan sebagainya. Seluruh penanganan yang dilakukan oleh Pemda Jakarta berada pada sisi tengah dan akhir, tak sampai ke hulu yang terkait dengan akibat hujan yang turun di wilayah Jawa Barat dan rusaknya daerah konservasi serta tangkapan air di wilayah ini. 
Air dari wilayah ini mengalir ke Jakarta, terutama dari daerah Bogor. Penanganan tengah dan hilir akan selalu terbebani oleh kondisi di hulu. Secara alamiah, Jakarta terletak di wilayah yang lebih rendah dan langsung berhadapan dengan laut. Di beberapa wilayah tepi pantai, tanahnya lebih rendah dari permukaan air laut. Maka, Jakarta tak dapat menangani masalah banjir sendirian. Kerja sama dengan Jawa Barat dan Banten menjadi wajib.
Kedua wilayah ini juga punya kepentingan ekonomi dan kemasyarakatan dengan Jakarta. Koordinasi mereka akan berhadapan dengan dua hal,yakni lingkungan alam dan lingkungan buatan. Kedua bagian ini sekarang dalam kondisi saling melemahkan. Lingkungan buatan mengakibatkan gangguan pada lingkungan alam, balasannya lingkungan alam memberi gangguan pada lingkungan buatan. Jawa Barat dan Banten sudah lama menghadapi masalah ini dan belum berhasil menyelesaikannya. Kondisi pun terus bertambah buruk. 
Diperlukan sebuah perencanaan menyeluruh bagi ketiga wilayah ini. Di titik inilah pemerintah pusat mestinya berperan besar pada pelaksanaannya. Pemerintah punya rencana umum tata ruang (RUTR) disertai dengan turunan dan berbagai persyaratan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Tujuannya, agar pembangunan selaras dengan kepentingan alam yang disebut pembangunan berkelanjutan, agar lingkungan buatan tidak merusak lingkungan alam, dan agar pembangunan sesuai dengan daya dukung alam, sehingga saling menguatkan. Khusus untuk wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur terdapat kekhasan penanganan tata ruangnya yang dikenal dengan RUTR Wilayah Bopunjur melalui tiga Keputusan Presiden (Keppres No.48/1983,Keppres No.79/1985, Keppres No.144/1999),Peraturan Pemerintah (PP No.47/1997), dan Peraturan Presiden (Perpres No.54/2008). 
Secara umum, keppres tersebut menyatakan kawasan Bopunjur sebagai wilayah konservasi dan tangkapan air yang harus ditangani secara khusus. PP No.47/1997 memperkuat peruntukan wilayah Bopunjur dengan menyebutnya sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis. 
Kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahnya, wilayah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Tangerang di Provinsi Banten masuk klasifikasi yang sama dalam PP ini. Perpres No.54/2008 kemudian memasukkan Bopunjur dalam konteks yang lebih luas dan penanganan yang lebih strategis melalui penataan ruang kawasan.Perpres ini bernama Pepres tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur yang menetapkan Jabodetabekpunjur sebagai kawasan strategis nasional. 
Sekaligus, menetapkan pola perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang secara terpadu. Porosnya sama. Bopunjur adalah kawasan sangat strategis bagi kawasan di bawahnya dan, karena itu, harus diatur secara ketat. Seluruh peraturan dan fakta-fakta ini menunjukkan amanat tanggung jawab pemerintah pusat yang sangat besar dalam usaha mencegah bencana banjir melalui penjagaan dan perbaikan di wilayah hulu. Kesadaran terhadap tanggung jawab dan pemahaman yang cukup terhadap persoalan juga tecermin dengan jelas dalam berbagai peraturan di atas. 
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam kesaksiannya mengenai kawasan Bopunjur dewasa ini, yang disampaikan Heru Waluyo dari Tata Lingkungan KLH di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada tanggal 3 Agustus 2012 lalu, mengatakan bahwa kerusakan lingkungan dan tata ruang kawasan ini makin memprihatinkan. Seolah seluruh peraturan itu tak punya arti sama sekali. Dari sisi ini, jelas terlihat bahwa bencana banjir Jakarta masih akan terus terjadi bila pemerintah pusat tidak bekerja. 
Menyatakan akan mengalokasikan dana Rp2 triliun, tidak otomatis menunjukkan pelaksanaan tanggung jawab yang sesungguhnya. Tanpa perlu dialokasikan lagi,dana tersebut telah tersediadansiapdigunakan. Yakni, sesuaiketeranganKementerian Keuangan, berupa sisa dana cadangan bencana alam tahun 2012 sebesar Rp2 triliun lebih dari total Rp4 triliun. Dana tersebut mestinya dapat digunakan untuk pencegahan dari hulu dengan tujuan jangka panjang. Antara lain, menjalankan peraturan yang telah ditetapkan untuk wilayah Bopunjur. 
Dana tersedia dan tidak terserap. Akibat tak terserapnya dana Rp4 triliun itu, dana cadangan bencana alam tahun 2013 dianggarkan sama dengan tahun 2012 oleh Kementerian Keuangan, yakni Rp4 triliun. Entah, janji pemerintah mengalokasikan Rp2 triliun yang disampaikan Presiden itu termasuk yang mana. Masuk dalam Rp4 triliun tadi atau merupakan tambahan hingga tersedia dana sebesar Rp6 triliun di tahun 2013 ini. 
Penggunaan dana tersebut untuk pencegahan bencana alam dijamin oleh UU No.24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan tujuan utama penanggulangan bencana adalah memberikan perlindungan masyarakat dari ancaman bencana. Yang dimaksud ancaman bencana dalam UU tersebut yaitu suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkanbencana. Kerusakan yang terus terjadi di Bopunjur masuk dalam konteks ini. 
UU ini juga menjelaskan penanggung jawab penanggulangan bencana, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam konteks kewenangan menghadapi bencana banjir Jakarta, kerja Pemda DKI Jakarta dapat terlihat jelas. Dalam hal pengawasan dan perbaikan daerah Bopunjur, kerja Pemda Jawa Barat tampak memerlukan tindakan nyata pemerintah pusat menegakkan aturan yang berlaku secara konsekuen. 
Secara keseluruhan, bencana banjir Jakarta dan kerusakan Bopunjur merupakan contoh bagi bencana banjir dan masalah lingkungan di seluruh daerah. Penanganannya tak dapat difokuskan hanya pada pemda. Tak boleh dilupakan, pemerintah pusat harus bekerja menyelesaikan secara komprehensif. Meskipun, banjir telah berlalu dan hujan telah reda. ● Diposkan oleh Budi Santoso di 07.07 
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Banjir%20%28Masih%29%20Tanggung%20Jawab%20Pusat 

DAMPAK SOSIAL BANJIR BENGAWAN SOLO - Bagong Suyanto
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga KOMPAS, 10 Desember 2016
Meneliti Dampak Bencana Banjir di Kalangan Masyarakat Miskin di DAS Bengawan Solo

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana—termasuk di DAS Bengawan Solo—hujan adalah awal dari situasi krisis yang bakal dihadapi. Meskipun kehadiran hujan bagi petani merupakan berkah tersendiri, musim hujan yang berkepanjangan sering kali justru mempersulit keseharian keluarga-keluarga miskin.
Bagi keluarga miskin di sepanjang DAS Bengawan Solo, hujan deras yang terus-menerus adalah isyarat akan datangnya banjir yang bisa menghancurkan sawah-sawah mereka, membanjiri rumah, dan merusak aset produksi yang mereka miliki.
Jika terjadi luapan air di Waduk Gajah Mungkur dan Sungai Bengawan Solo di sekitar Madiun-Solo akibat hujan, dalam 10-12 jam kemudian luapan air akan menerjang daerah langganan banjir di Provinsi Jawa Timur, mulai dari Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Tuban.

Dampak sosial banjir
Studi penulis tentang ”Dampak Sosial Banjir Bengawan Solo” menunjukkan, bencana banjir yang melanda daerah-daerah rawan bencana, seperti Kabupaten Bojonegoro dan Lamongan, menyebabkan keluarga miskin gagal panen, kehilangan aset produksinya, dan terganggu kehidupannya sehari-hari karena genangan air yang tak kunjung surut. Penyakit bermunculan, utang meningkat, ujung-ujungnya kehidupan para keluarga miskin itu menjadi lebih sengsara karena mengalami proses pendalaman kemiskinan.
Di kalangan masyarakat, musim hujan adalah masa yang kerap menciptakan tekanan-tekanan hebat, terutama pada keluarga yang paling miskin, yang kemudian akan mendorong mereka yang paling lemah masuk dalam pusaran kemiskinan. Spiral ketergantungan dan keputusasaan meningkat (Korten & Sjahrir, 1988: 148).
Keluarga miskin yang sehari-hari sudah hidup dalam kondisi pas-pasan, bahkan kekurangan, semakin tidak berdaya ketika bencana menyergap.
Di Kabupaten Bojonegoro dan Lamongan, bencana banjir yang rutin setiap tahun menyebabkan keluarga miskin membuat kehidupan mereka menjadi lebih buruk, dengan peluang bangkit yang sangat kecil.
Ketika banjir melanda, bayangan untuk dapat memanen hasil garapan tiba-tiba raib, yang kemudian terjadi adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Sejumlah keluarga miskin yang diwawancarai menuturkan, setiap kali terjadi banjir, seluruh harapan mereka tiba-tiba hilang dan masa-masa penderitaan dipastikan akan segera menyergap.
Dari 100 keluarga miskin yang diteliti, sebagian besar rumahnya bisa terendam air 1-2 hari, bahkan sampai berhari-hari. Sebanyak 27 persen mengaku rumah mereka terendam hingga lebih dari 10 hari, 10 persen rumahnya terendam 10-12 hari, dan 17 persen terendam 13-15 hari.
Selain rumah, luapan banjir Sungai Bengawan Solo juga akan merendam sawah atau lahan. Dari 100 keluarga miskin yang menjadi korban banjir, sebagian besar mengatakan banjir telah merendam sawah mereka hingga berhari-hari. Sebanyak 24 persen responden mengaku sawahnya terendam 10-12 hari, bahkan 9 persen responden mengaku sawah mereka terendam hingga 13-15 hari atau sekitar 2 minggu penuh. Namun, ada 21 persen responden mengaku sawah mereka hanya terendam 1-3 hari. Ada juga yang terendam selama 7-9 hari (28 persen).
Namun, meski hanya 1-3 hari sawah mereka terendam, dampak banjir relatif sama. Lahan garapan mereka hancur dan ancaman gagal panen muncul di hadapan mata. Tanaman apa pun ketika terendam dan tersapu banjir akan rusak parah. Akibatnya, seluruh investasi yang ditanamkan sia-sia.

Makin sengsara
Sebanyak 40 persen keluarga miskin yang diteliti menyatakan kehidupan mereka menjadi lebih buruk alias lebih sengsara pasca bencana banjir. Bagi keluarga miskin yang setiap tahun menjadi langganan korban banjir, belum usai berbenah untuk bangkit kembali dari bencana yang dialami tahun lalu, mereka sudah kembali tertimpa bencana.
Bisa dibayangkan bagaimana dampak yang dialami. Yang dimaksud kehidupan mereka lebih buruk di sini, bukan saja mereka terpaksa mengalami proses pendalaman kemiskinan, melainkan juga tekanan kebutuhan hidup yang makin menjejas karena tidak dimilikinya tabungan, usaha, dan penghasilan yang cukup.
Pada masa tidak terjadi bencana saja kehidupan sehari-hari keluarga miskin sudah dihadapkan pada berbagai kesulitan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika keluarga miskin itu masih dilanda bencana yang memusnahkan harapan mereka.
Bagi keluarga miskin, dampak yang ditimbulkan pasca banjir bermacam-macam. Yang pertama dan paling sering terjadi adalah bencana banjir menyebabkan utang mereka meningkat.
Kedua, akibat banjir yang merusak lahan garapan dan rumah mereka, sebagian besar tabungan—kalaupun ada—akhirnya terkuras habis.
Ketiga, banjir yang terjadi karena luapan Sungai Bengawan Solo juga menyebabkan aset produksi mereka rusak, khususnya lahan garapan atau toko/warung yang mereka kelola.
Keempat, ancaman terjadinya gangguan kesehatan anggota keluarga miskin. Selama musim hujan, ancaman penyakit memang memuncak. Seperti dikatakan Chambers (1988), di kalangan masyarakat miskin, ancaman musim hujan adalah malaria dan kadang-kadang diare. Selain itu, penyakit cacing guinea (Dracunculus medinensis) dan infeksi kulit menjadi ancaman lainnya.
Kondisi daerah yang lembab akibat banjir menjadi habitat yang subur bagi berbagai penyakit yang menyerang keluarga miskin. Sebanyak 31 persen keluarga miskin menyatakan anggota keluarga mereka sering terserang penyakit ketika bencana banjir tiba.

Tak mudah bangkit
Untuk memulai kembali usaha yang ditekuni pasca banjir, bukanlah hal yang mudah. Ketika aset produksi mereka rusak, lahan garapan rusak, bahan baku hilang, ditambah berbagai persoalan lain, salah satu masalah besar yang dihadapi keluarga miskin untuk membangun kembali usahanya adalah persoalan modal.
Dari 100 keluarga miskin yang diwawancarai, hanya 12 persen yang bisa membiayai sendiri kebutuhan modal usaha mereka. Sebagian besar keluarga miskin yang lain menyatakan bahwa untuk memulai kembali usaha, mereka, menggantungkan diri pada bantuan dari pemerintah (18 persen), bantuan dari kerabat (29 persen), atau terpaksa meminjam dari lembaga kredit formal (20 persen) dan lembaga kredit informal (21 persen).
Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, bahkan kekurangan memang merupakan hal yang mustahil bagi keluarga miskin untuk dapat segera membangun usahanya yang hancur dengan kekuatan sendiri. Dalam banyak kasus, upaya mengembangkan kembali usaha biasanya mengandalkan pada peran dan uluran tangan patron-patron atau orang kaya setempat. Namun ketika keberadaan pranata sosial patront- client mulai memudar, pihak yang diharapkan keluarga miskin untuk membantu mereka adalah pemerintah dan lembaga permodalan lain. Padahal, lembaga keuangan informal umumnya memberi pinjaman dengan bunga yang mencekik leher.
Diakui atau tidak, selama ini upaya penanggulangan bencana minim mendapat dukungan masyarakat karena adanya anggapan bahwa penanggulangan bencana adalah wujud dari salah satu fungsi pemerintah dalam perlindungan masyarakat.
Di sejumlah daerah, ketika bencana tiba-tiba menyergap, sering terjadi masyarakat bersikap pasif, berharap penanggulangan bencana sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah.

Bangkitkan sistem sosial
Ke depan, untuk meningkatkan efektivitas penanganan masyarakat korban bencana, seluruh sistem, pengaturan, organisasi, rencana, dan program yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, khususnya di daerah rawan banjir, harus benar-benar terpadu. Di samping itu, yang tak kalah penting upaya penanggulangan bencana juga harus melibatkan semua pihak sejak fase pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga fase pemulihan.
Untuk menghindari dampak bencana yang berpotensi merugikan masyarakat, selain mencoba menyiasati melalui perencana yang sifatnya teknis-planologis, yang tak kalah penting adalah dengan meningkatkan daya tahan masyarakat dalam menghadapi dampak bencana.
Melatih masyarakat peka mengantisipasi bencana dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk segera bangkit kembali pasca terjadinya bencana adalah solusi yang paling efektif menghadapi situasi darurat bencana yang setiap saat mengancam negeri ini. ●
Diposkan oleh Budi Santoso di 04.44 
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Banjir%20Bengawan%20Solo%20-%20Dampak%20Sosial 

BANJIR BUKAN BENCANA - Budi Widianarko
Pengajar di Program Magister Lingkungan dan Perkotaan, Unika Soegijapranata
KOMPAS,  05 Februari 2014
                                                      
Harian Kompas (23/1/2014) menilai pemerintah gagap menghadapi bencana, khususnya banjir. Banjir yang selalu melanda sebagian wilayah negeri ini setiap musim hujan rupanya selalu ditanggapi dengan semangat rutin.
Saban banjir datang, mengalirlah litani panjang tentang apa dan siapa penyebabnya, dilanjutkan dengan desakan pentingnya koordinasi antarwilayah. Untuk banjir Jakarta, entah sudah berapa kali alur kisah yang serupa disuguhkan dari tahun ke tahun.
Apabila direnungkan, bencana rutin sejatinya sebuah paradoks. Bagaimana mungkin bencana dibiarkan berlangsung rutin? Bukankah itu bak membiarkan seekor keledai terperosok lubang yang sama berulang-ulang? Karena itu, penanganan banjir memerlukan pendekatan baru, lepas dari belenggu kelaziman. Perlu terobosan cara pandang.
Dalam Pasal 1 UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud sebagai bencana adalah ”peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.
Dalam UU yang sama juga ditetapkan tiga jenis bencana: bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Banjir masuk dalam ranah bencana alam.
Menganggap semua kejadian banjir sebagai bencana alam adalah keliru. Penetapan semua banjir, tanpa terkecuali, sebagai bencana sangat boleh jadi biang keladi berulangnya kejadian banjir tanpa solusi permanen.

Manusia yang penentu
Seharusnya tidak semua banjir dianggap sebagai bencana alam. Pada kasus banjir Jakarta, misalnya, manusia merupakan unsur penentu yang sangat dominan. Dengan kata lain, banjir akibat ulah manusia (anthropogenic) tidak seharusnya masuk ranah bencana. Jika banjir disebut sebagai bencana alam, per definisi ia merdeka dari tanggung jawab manusia. Banjir yang berulang melanda Jakarta jelas dipicu ulah manusia, mulai dari pembalakan hutan, konversi lahan terbuka hijau, hingga pembuangan sampah yang sewenang-wenang.
Tanpa menafikan peran perubahan iklim, kajian FKS Chan dan kawan-kawan dari Universitas Leeds (2012) menemukan bahwa risiko banjir di kawasan mega-delta Asia sangat ditentukan beberapa faktor anthropogenic, seperti pertumbuhan populasi, penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah, serta peningkatan timbunan sedimen akibat erosi dan pembuangan sampah di kawasan hulu.
Tim peneliti yang sama juga mengamati bahwa prinsip pembangunan yang peka banjir tidak dilaksanakan di kota-kota delta Asia. Penanggulangan banjir umumnya lebih mengandalkan pendekatan proyek yang ad hocsifatnya dan bukan sebagai bagian strategi penataan kawasan yang memberi ruang bagi air, seperti restorasi danau dan rawa, sistem drainase kota yang berkelanjutan, dan fasilitas penampungan hujan buatan.
Merujuk pada hasil kajian FKS Chan, banjir sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kerusakan lingkungan. Dengan begitu, tanggung jawab ataupun hak masyarakat dan pemerintah atas persoalan banjir dapat dirumuskan secara jelas. Ketika warga negara memiliki hak mendapat perlindungan atas banjir, berarti pemerintah wajib menanggulanginya. Hal ini diatur dalam UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan ”kerusakan lingkungan” sebagai akibat ”perusakan lingkungan” oleh ulah manusia.

Hak mengadukan
Dalam UU itu perusakan lingkungan hidup diartikan sebagai ”tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Mendefinisikan banjir sebagai kerusakan lingkungan memang menuntut penetapan kriteria baku banjir yang berbasis rusak fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan. Tantangan teknis ini tentu dapat dipecahkan. Metode ilmiah menetapkan kriteria baku itu dapat diupayakan.
Ketika banjir telah ditetapkan sebagai kerusakan lingkungan, UU No 32/2009 menetapkan setiap orang yang merusak lingkungan hidup wajib menanggulangi, memulihkan, dan mengendalikan kerusakan lingkungan hidup. Setiap orang juga dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan hidup.
UU ini juga menjamin hak setiap orang mengadukan akibat dugaan  perusakan lingkungan hidup. Mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang akibatkan kerugian lingkungan hidup. Masyarakat juga berhak menggugat perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat jika rugi akibat kerusakan lingkungan.
UU ini juga memuat sanksi untuk tidak dilaksanakannya kewajiban oleh pemerintah. Pejabat berwenang yang dengan sengaja tak mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan yang merusak lingkungan dan mengakibatkan hilang nyawa manusia dapat dipidana penjara dan denda.
Pemaknaan banjir sebagai kerusakan lingkungan memang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab, selain para pelaku kerusakan lingkungan itu sendiri. Pejabat pemerintah pusat dan daerah yang berwenang dituntut melakukan pengawasan secara sungguh-sungguh terhadap para pelaku kegiatan yang berisiko memicu banjir.
Terobosan pemaknaan terhadap banjir ini layak dipertimbangkan jika memang pemerintah berkomitmen menyelesaikan persoalan banjir secara tuntas. Jika tidak, kisah banjir akan terus berulang diiringi suara gemuruh marah dan prihatin lantas senyap hingga banjir berikutnya tiba. ●
Diposkan oleh Budi Santoso di 10.12 

BENCANA EKOLOGIS DAN SERUAN MORAL
Perspektif Pembangunan Berkelanjutan Pascabanjir
Thomas Koten   ;   Direktur Social Development Center MEDIA INDONESIA,  21 Januari 2014                                           
BENCANA ekologis berupa banjir kini melanda sejumlah kawasan di Tanah Air. Manado ialah salah satu kawasan yang kini dilanda banjir bandang hingga ribuan rumah warga tergenang. Sejumlah kawasan di Jakarta pun kini digenangi banjir yang menenggelamkan ratusan rumah warga dan memacetkan lalu lintas sehingga kerugian ekonomi yang diderita warga pun tak terkirakan.
Lebih daripada itu akan datangnya banjir yang lebih besar lagi cukup menghantui pemikiran warga mengingat adanya prediksi tentang hal tersebut karena musim hujan tahun ini belum sampai puncaknya. Menurut pengalaman dan prediksi tahunan dari Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (National Oceanic and Atmos pheric Administration/NOAA), banjir besar di Jakarta dan di berbagai kawasan di Tanah Air selalu terjadi pada akhir Januari dan berpuncak pada Februari dan awal Maret.
Jika dikerling secara saksama, bukan hanya banjir, melainkan tanah longsor juga kerap menyergap dan menerjang perkampungan warga di banyak kawasan di Tanah Air. Di samping itu, areal terjangan banjir setiap tahun semakin luas, menjangkau areal yang selama ini bukan menjadi langganan banjir dan tanah longsor itu. Tragisnya, banjir yang kerap terjadi itu bukan saja menenggelamkan kawasan pemukiman warga dan merusak segala fasilitas warga serta menghanyutkan harta benda, melainkan juga menelan korban jiwa.
Fenomena itu jelas menyingkap persoalan kerusakan ekologi yang telah mencapai taraf kritis. Pengeksploitasian lingkungan yang tanpa batas, dan konservasi fungsi lahan resapan air menjadi permukiman warga dan industri, itulah melahirkan monster ekologi pemangsa kehidupan di bumi pertiwi ini. Krisis ekologi yang demikian parah itulah kemudian melahirkan bencana ekologis bukan saja banjir, melainkan juga bencana kekeringan yang berefek pada kesulitan air bersih dan petani tidak bisa lagi mengairi lahan pertanian mereka.

Pembangunan berkelanjutan
Persoalan bahwa fenomena kerusakan ekologi yang kini telah mencapai taraf kritis itu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut, tanpa upaya serius untuk mencegah dan melestarikannya kembali alam yang telah rusak itu untuk kehidupan berkelanjutan. Maka, yang dibutuhkan ialah suatu kesadaran, ik tikad baik, kemauan keras, sikap yang tegas, dan political will dari pemerintah untuk mengendalikan lingkungan alam yang rusak dan merealisasikan tindakan pelestarian alam yang rusak itu.
Ada sebuah kesadaran yang berlandaskan pada pemikiran bahwa pembangunan harus berkelanjutan, dan kehidupan anak cucu kita tidak bisa didasarkan atau berpijak pada keadaan alam atau ekologi beserta segala ekosistem yang telah rusak. Untuk kelestarian ekologi, demi masa kini dan akan datang, pohon yang dite bang harus diganti agar tetap lestari, sumber daya hutan harus selalu diperbarui. Singkatnya, kerusakan bumi harus diperbaiki.
Dalam arti, pembangunan yang berkelanjutan harus berwawasan lingkungan yang dibarengi dengan penjagaan dan pemeliharaan terhadap alam yang juga harus berkelanjutan. Seperti dalam laporan Brundtland, Our Common Future, 1987, tertulis, `Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Tujuan inti proses pembangunan berkelanjutan ialah keberlanjutan kehidupan manusia di atas bumi. Ingat, jumlah manusia boleh bertambah, sedangkan alam atau ekologi memiliki keterbatasan'.
Dengan demikian, ada dua konsep yang ter kandung dalam pemba ngunan yang berkelan jutan berwawasan lingkungan. Pertama, konsep kebutuhan (needs), bagi seenap umat manusia harus diprioritaskan dalam setiap jejak langkah pembangunan. 
Kedua, ide keterbatasan kemampuan lingkungan memiliki keterkaitan dengan kebutuhan manusia pada masa sekarang dan akan datang disebabkan penggunaan teknologi dan aktivitas organisasi sosial yang menyangkut kepedulian terhadap alam.
Keberlanjutan pemenuhan kebutuhan manusia di masa depan merupakan perkara yang amat serius yang harus dianti sipasi. Kesalahan antisipasi bisa bermuara pada ketidakber dayaan manusia memenuhi kebutuhannya, terutama pangan dan energi. Apalagi ditambah dengan persoalan krusial yang dihadapi oleh manusia saat ini yang berbarengan dengan keadaan ekologi. Ada perkembangan teknologi dan gaya hidup manusia yang boros, kian konsumtif serta keadaan lingkungan yang kian rusak.
Kerusakan ekologi dapat kita lihat dari erosi yang naik dan air tanah semakin surut. Kerusakan ekologi juga ditandai erosi tanah akibat hutan yang dibabat habis. Tanah juga dieksploitasi berlebihan sehingga menyedot habis lapisan tanah yang subur dan meninggalkan kapur, pasir, dan tanah liat. Belum lagi isi tanah yang harus digali, dikuras, dan tanah ditinggalkan begitu saja, tidak dimanfaatkan, sehingga berserakanlah lubang-lubang tanah bekas penambangan sebagai bopengan di bumi.
Ketika jumlah manusia masih cukup memungkinkan seperti sekarang ini, yakni sekitar 7 miliar jiwa, efek kerusakan atau krisis ekologi barangkali belum terlalu terasa. Namun, pada abad yang akan datang ketika jumlah manusia sudah mendekati 9 atau 10 miliar, tekanan penduduk pada bumi, jelas sudah terasa.
Bagaimana jadinya jika jumlah manusia terus bertambah dus cara-cara perusakan lingkungan juga terus berlanjut dan tidak terkendalikan, yang diiringi juga dengan peningkatan teknologi yang menciptakan kerusakan lingkungan yang kian cepat pula?
Selain itu, tantangan perubahan iklim yang begitu mengerikan di depan mata kita dan telah menjadi tantangan terbesar abad ini. Karena perubahan iklim yang terus terjadi, ratusan juta manusia kini mulai menderita akibat gagal panen, banjir, angin topan, badai, penyakit tropis yang semakin merajalela, berkurangnya cadangan air bersih, dan kekeringan.

Seruan Moral
Karena itu, yang diperlukan kini ialah pengendalian perusakan ekologi dengan jalan merombak cara dan isi pembangunan demi mencegah kematian prematur kehidupan di Bumi Pertiwi. Pembangunan tidak boleh diarahkan pada pengeksploitasian sumber daya alam secara habis-habisan, tetapi harus dilakukan dengan cara dan prinsip berkelanjutan dengan mengindahkan ambang batas. Pengeksploitasian lingkungan tanpa mengindahkan ambang batas ialah dosa besar generasi sekarang terhadap generasi yang akan datang. Dosa adalah sumber kehancuran manusia. Banjir besar ialah cermin dosa-dosa manusia sekarang.
Karena itu, bencana ekologis berupa banjir harus dilihat sebagai bentuk gugatan moral sehingga yang diperlukan ialah kesadaran moral dan tanggung jawab manusia untuk memelihara makhluk hidup dan segala sumber daya alam semesta. Karena itu, segala kerusakan di alam semesta ini bukan semata isu politik dan ekonomi, melainkan tantangan moral dan spiritual bagi seluruh umat manusia yang harus dihadapi bersama. Jadi, untuk menggalang pembangunan berkelanjutan, bukan saja perbaikan praktik kekuasaan dan politik, melainkan pada penggalangan seruan moral publik sekaligus pertobatan ekologis untuk mencegah kerusakan ekologi yang kian parah.
Dengan kesadaran dan tanggung jawab moral yang dibangun dengan seruan-seruan moral, diharapkan lahir pula generasi mendatang yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral dalam mengelola lingkungan dan memanfaatkan isi bumi dan alam semesta. Dengan demikian, kelestarian alam dan terawatnya isi bumi atau isi alam semesta tetap terjaga secara berkelanjutan. ●
Diposkan oleh Budi Santoso di 22.08 0 komentar

BANJIR DAN AKSI EKO-TEOLOGI - Hasibullah Satrawi ;  Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir - JAWA POS, 18 Januari 2013
  
BANGSA ini seperti tak pernah mengambil pelajaran. Hampir di setiap musim hujan Indonesia dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu banjir bersama serta seluruh bencana turunannya. Banjir terus berulang dari musim ke musim. Hal yang jamak terjadi justru sekadar janji-janji politik untuk menarik perhatian pemilih dalam kampanye. Tapi, setelah terpilih, acap tak ada bedanya antara satu pemimpin/rezim dan pemimpin/rezim yang lain. Korban bencana selalu berjatuhan.
Dalam perspektif teologi, bencana terjadi karena perbuatan manusia, yakni karena adanya pengabaian lingkungan secara bersama-sama. Rahmat (seperti hujan) pun berubah menjadi laknat dan bencana (seperti banjir). 
Ketika sudah terjadi, bencana tidak lagi membedakan antara warga yang peduli dan tidak peduli lingkungan. Semua menderita. Itulah yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah iza nazala al-'azab 'amma as-shaleh wa at-thaleh (bencana/azab tak membedakan antara orang yang saleh atau thaleh/jahat).

Tiga Level Pengabaian 
Di sini dapat ditegaskan, setidaknya ada tiga level pengabaian terhadap lingkungan yang mengundang bencana. Pertama, pengabaian pada level individual. Misalnya, membuang sampah sembarangan atau membiarkan saluran tersumbat. Dosa-dosa kecil itu dipastikan menumpuk bila dilakukan secara terus-menerus. Sampah pun menggunung. Gunung sampah kian tinggi bila kebiasaan buruk itu dilakukan bersama banyak individu lain. 
Kesalahan-kesalahan kecil tersebut kerap dinihilkan karena kekecilannya. Padahal, dalam bahasa agama, tidak ada dosa kecil bila terus dilakukan. Sebaliknya, tidak ada dosa besar bila disertai penyesalan dan komitmen untuk tidak kembali melakukannya (tobat dan istigfar).
Pada ranah individual, Islam sangat menekankan pentingnya perhatian terhadap lingkungan. Dalam salah satu riwayat, yang menurut sebagian ulama disebut hadis, ditegaskan bahwa kebersihan adalah bagian tak terpisah dari keimanan (an-nadzafatu minal iman).
Kedua, pengabaian lingkungan pada level perusahaan atau organisasi. Pengabaian lingkungan pada level itu bisa dilihat dari banyaknya bangunan usaha seperti mal, perhotelan, apartemen, dan lainnya. Sebaliknya, area-area hijau semakin terkikis. Bencana seperti banjir tinggal menghitung hari. Apalagi ditambah pengabaian lingkungan pada level individual seperti di atas.
Bila sungai atau saluran sudah tersumbat, bila wilayah serapan sudah teraspal atau dikeramik semua, terus ke mana lagi air hujan akan mengalir kecuali ke jalan-jalan atau bahkan ke perumahan masyarakat? Itulah yang sudah kerap terjadi secara berulang-ulang tanpa adanya pembelajaran yang berarti.
Islam memberikan sejumlah ketentuan terkait dengan sebuah usaha. Selain tidak mengandung unsur tipu muslihat, bisnis harus tidak mengandung efek mudarat bagi kedua pihak, terlebih mudarat bagi kehidupan masyarakat luas.
Rasulullah SAW menegaskan, la dharara wala dhirara fil islam (tak ada kemudaratan dan saling memudaratkan dalam Islam). Sebuah usaha maupun transaksi harus bersih dari bentuk-bentuk kemudaratan apa pun.
Ketiga, pengabaian lingkungan pada level pemerintah atau pengambil kebijakan. Pengabaian pada level ini jauh lebih bersifat destruktif dan mematikan. Ada dampak struktural sistemik.
Bahkan, bisa dikatakan, pengabaian lingkungan di level pemerintah ini turut menentukan terjadinya pengabaian lingkungan di dua level sebelumnya. Bila pemerintah mempunyai kebijakan ketat dan terukur terkait dengan pembangunan tempat-tempat usaha, hampir dipastikan tidak akan ada gedung-gedung usaha yang merusak lingkungan. Pemerintah yang tegas juga mendorong tumbuhnya kesadaran pelestarian lingkungan dalam masyarakat.
Karena itu, dalam Islam, kebijakan pemerintah harus selalu memperhatikan kemaslahatan publik. Sebab, apa pun kebijakan pemerintah dipastikan berdampak luas dalam kehidupan masyarakat. Bila kebijakan bukan demi kemaslahatan publik, berarti pemerintah sama dengan melempari kehidupan masyarakat luas dengan kotoran atau bahkan bom molotov. 
Dalam hukum Islam, hal itu dikenal dengan tasharruful imam 'ala ar-ra'iyah manuthun bilmashlahah (kebijakan pemerintah atas kehidupan masyarakat harus sesuai dengan kemaslahatan publik). Bahkan, sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah menegaskan, hanya pemerintah yang melahirkan kebijakan prorakyat yang harus didukung masyarakat dengan segala loyalitas. Klop dengan ayat Alquran yang berbunyi, athiu allaha wa athi'u ar-rasula wa ulil amri minkum (taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan kepada pengambil kebijakan/pemerintah).

Mandat Kekhalifahan 
Dalam konteks tersebut, adanya teologi lingkungan (eko-teologi) menjadi sebuah keniscayaan. Eko-teologi tidak hanya menekankan pentingnya manusia meyakini akan wujud Allah dengan semua sifat dan asma-Nya. Lebih dari itu, keyakinan harus bersenyawa dengan kesadaran pelestarian lingkungan. Hingga keyakinan manusia tentang wujud Allah mempunyai dampak riil terhadap aksi pelestarian lingkungan maupun makhluk lain ciptaan Allah SWT.
Setidaknya, ada dua hal yang dapat dijadikan instrumen bagi teologi lingkungan itu. Pertama, mandat kekhalifahan yang diberikan Allah kepada manusia. Salah satu tugas utama kekhalifahan manusia adalah memakmurkan kehidupan dunia (Qs Hud: 61).
Cukup disayangkan, mandat utama kekhalifahan manusia itu justru kerap diabaikan umat beragama. Sebaliknya, yang jamak terjadi adalah perebutan kekuasaan politik, bahkan atas nama khalifah.
Kedua, keberadaan segala makhluk merupakan petunjuk untuk beriman kepada Sang Khaliq atau Pencipta. Itulah yang oleh filsuf muslim terkemuka, Ibnu Rusyd, dikenal dengan pendekatan ikhtira' untuk beriman kepada Allah SWT. Yaitu, semua yang ada di dunia ini, termasuk lingkungan sekitar, bila dipikirkan menunjukkan adanya Zat Yang Maha Pencipta, Allah SWT.
Dengan demikian, aksi keimanan terhadap ketuhanan tidak akan terpisah dari perhatian terhadap lingkungan. Pun demikian sebaliknya, perhatian terhadap lingkungan membawa energi yang bersifat keimanan dan ketuhanan. Itulah salah satu pesan penting yang ingin diwujudkan oleh eko-teologi. ●
Diposkan oleh Budi Santoso di 07.30 

MENGGUGAT EGOISME MANUSIA - Aminuddin  ;   Peneliti Sosial di Politik Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta HALUAN,  29 Januari 2014
                                                      
Bencana yang bertubi-tubi meng­hiasi tanah air akhir-akhir ini menjadi refleksi bagi kita semua bahwasanya alam sudah menuntut ha-haknya yang telah dirampas oleh manusia. Banjir, gunung meletus, bahkan tanah longsor tidak lagi dianggap sebagai ujian dari Sang Pencipta, melainkan peringa­tan keras bahwa manusia harus mencintai alam.
Egoisme manusia yang semakin merajalela meng­akibatkan bumi, alam seki­tar sudah resah dan gelisah sehingga tidak lagi mento­lerir apa yang dilakukan oleh manusia. Manusia selalu ‘menelanjangi’ alam dengan pembalakan liar, eksploitasi besar-besaran, ketidak­seimbangan ekologi, pemba­karan hutan, dan lain sebagainya. Alam dan tum­buhan yang seha­rusnya berfungsi sebagai penyerapan air, tidak mampu memben­dung datangnya air ketika hujan. Pada akhirnya, banjir terus terjadi ketika hujan. Ini tidak lepas dari manu­sianya sendiri yang tidak pernah sadar terhadap lingkungan.
Bencana gunung meletus di Sinabung, banjir di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur merupakan bias dari ulah manusia. Akibat dari banjir tersebut, perputaran dan aktivitas masyarakat baik di sektor ekonomi, pendidikan dan sosial lum­puh total. Mereka berdiam diri menunggu hilangnya air yang mengepung daerah­nya. Terisolasinya aktivitas perekonomian masyarakat akan berdampak sistemik terhadap harga-harga kebu­tu­han pokok. Semakin sedikit penyediaan kebu­tuhan, di situ juga akan semakin naik harganya. Begitupun dengan distributor sayur-mayur yang biasa mendistribusikan setiap hari, otomatis akan mengalami kemacetan akibat banjir. Bukan ti­dak mung­kin ke­bu­tu­han po­kok akan mem­­bu­suk ka­rena ti­dak sam­pai kepada kon­­sumen.
Kita lihat jalur pantura yang lumpuh total berhari-hari ka­rena rusaknya infra­struktur akibat banjir.  Lumpuhnya jalur ter­sebut tidak hanya merugikan akti­vitas manusia, melainkan merugikan secara ek­ono­mi. Sementara aktivitas pendi­dikan jelas sekali keru­giannya sangat terasa. Mereka akan berhenti dalam proses pembelajaran. Selain karena jalan yang tidak dapat dilewati, sekolah-sekolah, kampus, institusi dan lain sejenisnya tidak dapat dipakai akibat te­rendam banjir.
Minimnya Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terjadi akhir-akhir ini disinyalir sebagai salah satu faktor menghegemoninya banjir. Daerah yang seharusnya menjadi resapan air, di­alihfungsikan menjadi perumahan, dan gedung-gedung bertingkat. Begitu juga dengan hulu yang semula hutan, dipermak menjadi dae­­rah ba­ngunan dan pab­rik-pabrik. Fak­ta itu bukan me­ng­ada-ada. Menurut data yang dike­luarkan oleh kantor Kemen­terian Lingkungan Hidup, Indonesia mengalami penu­runan dan kerusakan eko­logi dan degradasi ling­kungan. Dari 49,37 persen pada 2008 menjadi 47,73 persen pada 2012 atau mengalami degradasi 1,64 persen dalam waktu empat tahun. Begitu pun di daerah aliran Sungai Ciliwung, terjadi penurunan luas tutupan hutan dari 9,4 persen pada 2000 menjadi 2,3 persen pada 2010 atau mengalami laju degradasi 7,14 persen dalam ku­run waktu 10 tahun atau 0,7 persen per tahun.
Jelas sekali bencana kali ini adalah dampak dari keteledoran pihak terkait (pe­merintah dan ma­s­ya­ra­­kat) me­na­nga­ni ban­jir dan men­cegah terja­dinya banjir. Pe­me­rintah se­­nan­tiasa mem­­biar­kan ba­ngu­nan ber­kem­bang pe­sat di daer­ah pe­nye­rapan air dan aliran air. Tem­pat yang seha­rus­nya dide­sain untuk me­­nye­rap air malah diben­tuk ba­ngunan yang ber­po­ten­si memi­nimalisir drai­nase. Pe­me­rintah seolah-olah tidak mau tahu atas apa yang telah terjadi dengan ling­kungan.
Satu hal yang perlu kita ingat adalah kepedulian terhadap lingkungan dari masyarakat. Lingkungan menjadi faktor utama penye­rapan air (drainase). Masya­rakat jangan terus menerus menyalahkan pemerintah. Masyarakat harus berkaca pada dirinya sendiri menge­nai apa yang telah dila­kukan terhadap alam seki­tar. Aliran sungai yang seharusnya dijaga kadang dijadikan tempat pembua­ngan sampah. Sampah yang dibuang ke sungai akan menghalangi air yang akan mengalir. Akibat­nya, air tidak lagi mengalir seba­gaimana mestinya.
Banjir tidak perlu terjadi jika para pemangku kebi­jakan bergerak aktif dalam menangani bencana. Peme­rintah tidak pernah belajar dari kejadian masa lalu dimana banjir yang terjadi masih saja dianggap kejad­ian biasa. Pemerintah seakan-akan cuek menang­gapi banjir. Peme­rintah baru melakukan antisipasi setelah bencana seperti banjir menelan banyak korban. Jika memang tidak ingin banjir terjadi terus menerus, maka sudah saatnya peme­rintah mela­kukan langkah kongkrit dalam menangani banjir. Pemerintah jangan hanya tanggap ketika banjir sudah datang, dan diting­galkan setelah banjir hilang.
Di lain pihak, apa yang telah dilakukan oleh peme­rintah sebelumnya harus ditindak lanjuti. Jangan sampai langkah antisipatif dengan biaya tinggi ber­akhir ketika peme­rintahan yang mengeluarkan kebi­jakan menanggulangi banjir ikut berakhir. Dengan kala lain, tidak boleh ada pera­saan egoisme antara peme­rintah sebelumnya dengan pemer­intah yang baru. Begitupun masyarakatnya, tidak boleh egois terhadap lingkungan. Lingkungan harus dijaga dan dipelihara agar alam tidak mem­berontak. Semoga! ●
Diposkan oleh Budi Santoso di 08.54 

BANJIR DAN INFORMASI GEOSPASIAL Budi Santoso; Anggota Federasi Pembangunan Perkotaan Indonesia (Feppi) KOMPAS,  13 Februari 2014
                                                      
L’histoire se repete. Ungkapan ini tepat untuk menggambarkan banjir di Jakarta. Ya, sejarah selalu berulang. Peristiwa banjir kerap mendera Ibu Kota hampir setiap tahun, bahkan dalam skala besar seperti tahun 1621, 1654, 1872, 1909, 1918, 2002, 2007, dan 2013.
Dalam bukunya Batavia Kota Banjir (2009), budayawan Alwi Shahab mengungkapkan banjir paling besar di era kolonial terjadi tahun 1872, menyebabkan sluisbrug (pintu air) di depan Masjid Istiqlal sekarang jebol. Karena itu, Ciliwung pun meluap dan merendam pertokoan serta hotel di kawasan Gajah Mada, Hayam Wuruk.
Sejarah terulang 141 tahun kemudian. Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang baru menjabat dua bulan langsung mendapat ”kado” tahun baru 2013 berupa ambrolnya tanggul Latuharhary sehingga pusat bisnis Jl MH Thamrin-Sudirman dan Istana Negara lumpuh terendam air. Bagaimana banjir 2014?

Kondisi rupa bumi
Penyebab banjir di Jakarta memang kompleks, banyak komponen menjadi variabel penyebab, dari aspek kondisi rupa bumi, alih fungsi lahan secara masif, curah hujan tinggi, ”kiriman air” dari Bogor, pasang air laut (rob), buruknya drainase, hingga perilaku warga yang membuang sampah sembarangan.
Ditinjau dari rupa bumi, pertama: 40 persen wilayah Jakarta yang berluas 65.000 hektar mempunyai topografi rendah, berketinggian hanya 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. Selain itu, sebagian tanah merupakan rawa dan aluvial yang relatif kedap air.
Seorang penulis Amerika Serikat yang pernah bertugas di kantor penerangan (USIS) di Jakarta menyalahkan pendiri Batavia Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) karena mendirikan kota di atas rawa-rawa.
Akibatnya, selama pemerintahan Hindia Belanda− dengan 66 gubernur jenderal penguasa− tidak satu pun mampu mengatasi banjir. Hal ini berlanjut pada para gubernur Indonesia setelah merdeka.
Kedua, Jakarta itu dikelilingi 13 sungai, kebanyakan berhulu di selatan yang terkenal sebagai ”Kota Hujan” dan seluruhnya bermuara di utara (Teluk Jakarta).
Ketiga belas sungai itu adalah Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung.
Namun, sungai sulit mengalirkan air karena sungai menjadi bak sampah raksasa. Daerah aliran sungai lenyap, berubah fungsi jadi permukiman, dan pemerintah lalai mengeruk (normalisasi) sungai secara berkala. Karena itu, rusaklah sungai yang berdampak banjir.
Kondisi rupa bumi memang bisa berubah karena ekspansi dan eksplorasi manusia. Sungai yang dulu lebar dengan aliran lancar bisa menyempit dan tersendat. Dulu rawa dan hutan bakau, tapi kini menjadi kawasan perumahan mewah. Bagaimana mengantisipasi dan mencari solusinya?

Informasi geospasial
Dalam Tajuk Rencana ”Jakarta Melawan Banjir” di Kompas (13/11/2013), ada satu hal penting: Jakarta tidak bisa mengalahkan banjir sendirian. Ia harus bekerja sama dengan empat daerah penyangga (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), bahkan Cianjur yang biasa ”mengirim air bah”.
Hal ini kemudian dikonkretkan melalui kesepakatan antara Kementerian Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta, Wakil Gubernur Banten, Bupati Bogor, dan Bupati Tangerang untuk membuat proyek waduk di Bogor dan sodetan Ciliwung-Cisadane (Kompas, 25/1).
Sayang, proyek waduk masih kontroversial dan proyek sodetan dibatalkan.
Kenapa ini bisa terjadi? Untuk memutuskan suatu rencana pertama-tama diperlukan data keruangan.
Kekeliruan JP Coen kemungkinan besar disebabkan oleh tidak diperolehnya data keruangan memadai mengenai Batavia pada saat itu. Dalam perspektif kekinian, data keruangan itu disebut informasi geospasial, yang hasilnya merupakan modifikasi dari perkembangan ilmu dan teknologi.
Informasi geospasial (IG) adalah data geospasial yang sudah diolah dan dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
IG sangat berguna sebagai sistem pendukung pengambilan kebijakan, termasuk dalam penanggulangan bencana.
Pertanyaannya, sudahkah IG dimanfaatkan dan diberdayakan? Selain undang-undang yang terkait dengan ini masih relatif baru, keberadaan Badan Informasi Geospasial (BIG), dahulunya Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), belum dikenal publik secara luas.
Pemanfaatan jasa/produk yang dihasilkan BIG hanya kalangan terbatas saja. Banyak pemerintah daerah yang belum mau memanfaatkan atau bekerja sama dengan BIG, termasuk dalam penerapan kebijakan satu peta (one map policy).
Mengingat pentingnya fungsi IG dalam banyak hal, termasuk dalam penanganan masalah banjir, maka pemerintah daerah perlu membentuk suatu unit khusus yang memberdayakan IG. Unit ini bisa disebut sentra geospasial (geospatial center).
Gubernur Jokowi atau kepala daerah lain dapat meminta informasi dari unit tersebut sebelum memutuskan kebijakan-kebijakan strategis yang berdampak pada masyarakat.
Pengambilan keputusan yang berlandaskan IG yang dijamin lebih obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Di banyak negara maju, penggunaan IG (dalam bahasa awam peta canggih) sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam perencanaan sehingga muncul moto: no map, no plan, no investment, no money, no growth, no prosperity. ● Diposkan oleh Budi Santoso di 04.34 
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Banjir%20dan%20Informasi%20Geospasial 

BANJIR DAN KEBIJAKAN PUBLIK YANG TEPAT - Musa Maliki   ;    Pengajar FISIP UPN Veteran Jakarta
OKEZONENEWS,  24 Januari 2014
                                                      
Rasanya Banjir melanda hampir seluruh Indonesia, dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, khususnya Manado yang sangat parah.
Kemacetan di mana-mana, transportasi terganggu, bahan pangan pun di beberapa daerah mahal, tapi daerah lain harga jatuh. Kerugian ekonomis begitu besar. Dan juga banjir kali ini lebih besar daripada banjir tahun lalu, sebab selain wilayahnya merata di seluruh Indonesia, tapi juga mempunyai daya rusak yang besar. Banyak rakyat mempunyai interpretasi atas fenomena ini.
Ada yang mengatakan bencana ini adalah suatu fenomena alamiah dan takdir alam yang harus diterima dengan sabar. Jadi di masa depan kita tetap harus sabar dan nrimo, ketika bencana itu datang kembali. Biasanya keyakinan ini muncul dari rakyat miskin atau rakyat kebanyakan yang sangat percaya akan takdir ilahi atau kekuatan yang terlepas dari kemampuan manusia.
Selain itu, yang berpikiran seperti di atas adalah rakyat yang tidak terkena banjir atau rakyat menengah ke atas yang cukup mampu menghadapi banjir. Mereka juga berpikir bahwa banjir itu takdir. Mereka rata-rata tidak berbuat apa-apa, kecuali hanya sedih dan menonton televisi. Sedikit, tapi ada yang memberi bantuan kemanusiaan.
Di sisi lain, ada orang yang berpikir bahwa bencana banjir ini adalah fenomena alam yang dibuat manusia. Alam sifatnya alamiah, sehingga pergerakannya pun akan menuju pada sifat dasarnya. Mana ada air mengalir ke atas? Mana ada hujan pilih-pilih? Atau musim penghujan itu bisa dipindah bulan-bulan tertentu?
Oleh sebab itu, manusia harus menyiasati fenomena alamiah ini dengan memahami logika alam. Logika alam itu sangat rasional. Air hujan sesungguhnya volumenya sama saja, tapi jika jumlah pohon di Indonesia itu berkurang setiap tahun seluas pula Bali, maka harus ada air yang ditahan dengan hilangnya pepohonan yang menahannya selama ini, entah dengan bendungan, dengan selokan atau strategi lain. Intinya, ekosistem dan perputaran lingkungan di Indonesia sebenarnya dalam volume yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Dari dua pendapat di atas, apakah ada yang berpendapat lain? Ada orang yang memang masa bodoh, cuek terhadap fenomena tersebut. Bagi mereka fenomena apapun ketika tidak merugikan diri mereka, maka sepertinya fenomena banjir tidak eksis dimatanya atau di dunianya. Mereka melakukan kehidupan sepertinya, misalnya ngantor, tweet sana-sini, upload FB, dan aktivitas-aktivitas seperti tidak ada apa-apa. Toh, hidup must go on. Orang-orang yang memikirkan diri mereka sendiri ini lebih banyak di Indonesia, dibandingkan yang peduli dengan sesamanya.
Sebabnya adalah pengaruh globalisasi, ‘hipnotis’ televisi, begitu beragamnya hiburan, semakin besar tekanan hidup, dan masalah-masalah lainnya. Setiap orang mempunyai masalah dan tantangan hidupnya masing-masing. Oleh sebab itu, tentunya saling menyalahkan bukanlah perbuatan bijak, kecuali para politisi Indonesia yang sedang menghancurkan lawan politiknya.
Beragamnya pemikiran rakyat Indonesia tentang bencana banjir: ada yang tidak rasional, yang rasional, dan yang masa bodoh.
Selama Indonesia kekurangan rakyat yang berpikir rasional, maka kita semua akan menuju pada kehancuran. Rasional tidak disalahartikan dengan menguasai alam. Namun manusia dan alam seharusnya berjalan beriringan.
Rakyat yang buang sampah di sungai akan marah jika kita larang. Apa tidak terbalik ya? Tapi itu faktanya. Lalu, jika banjir, apa salah mereka? Masalahnya, apa rakyat sebagian besar, khususnya rakyat miskin pengetahuan dan ekonomi berpikir jauh ke depan atau berpikir sistemik? Sementara mitos leluhur dan kearifan lokal mereka yang melindungi alam sudah tidak mengakar dalam jiwa mereka. Di sini kita berpikir, apa peran pemerintah dalam menghadapi tidak hanya sampah, tapi pengetahuan yang akan membentuk mentalitas bangsa, sehingga yang buang sampah di sungai atau dimanapun dapat dicegah, tanpa memarahi balik.
Apakah pemerintah mendata tiap penduduk dengan detail dari RT/RW untuk memiliki tempat sampah? Tidak. Pemerintah melalui departemen yang terkait belum sampai pada fakta ini. Apakah pemerintah sejak dini mempunyai pengelolaan sampah di tiap kecamatan atau desa, sehingga dapat didawur ulang atau diolah? Tidak jawabannya. Dan masih banyak lagi strategi yang seharusnya pemerintah dan pihak swasta dapat kerjakan untuk menangani sampah.
Singkatnya apapun yang terkait dengan infrastruktur dan pendidikan persampahan, pemerintah Indonesia sangat rendah kepeduliannya. Misalmya dibandingkan negara maju, di hutan dengan penduduk sangat jarang sekalipun, pasti ada tempat sampah yang dijadualkan diangkut oleh pihak pemerintah. Sebagai tambahan, sebelum anak menginjak TK, pendidikan negara maju sudah mendoktrin generasinya untuk disiplin sampah.
Berikutnya, hutan yang terus menerus dibabat dan dipindahalih fungsinya menjadi lahan produkstif yang sifatnya eksploitatif, ekonomis, dan atas nama pembangunan. Sebenarnya masalah hutan ini luar biasa banyak masalahnya, misalnya UU agraria, penggusuran rakyat dari wilayah adat mereka, elit politik yang bagi-bagi lahan dengan korporasi untuk dana politik mereka, yang semuanya itu mebentuk mentalitas visi pendek, instan, dan membahayakan generasi mendatang.
Kelakuan rakyat Indonesia ini digerakkan oleh sistem dan hukum yang lemah, sehingga rakyat bisa saja menerobos sistem dan hukum tersebut. Implikasinya sudah pasti berkurangnya pepohonan di Indonesia, maka banjir pun tak terelakkan. Walaupun pohon yang ada di Sumatera dan Kalimantan yang berkurang, banjirnya berdampak ke Jawa. Logika lingkungan itu sistemik, terkait banyak hal. Hal abstrak semacam inilah yang sepertinya belum dipahami rakyat Indonesia, khususnya  yang kurang banyak baca dan tidak pedulu dengan alam sekitar. Mereka akan berdalih, cari makan saja susah, mana sempat baca, diskusi, dan berpikir panjang? Pernyataan ini seperti lagu lama yang diputar terus menerus tanpa ada rusaknya.
Masih banyak hal yang secara sistemik dibenahi, tapi hemat penulis itu lebih pada bagaimana menampung air yang melimpah seperti dengan sodetan, bendungan, waduk, selokan, dan sejenisnya. Jadi solusi ini lebih pada aktivitas modern, ketika tindakan modern seperti eksploitasi alam dan mentalitas irasional masih banyak dilakukan. Sederhananya, semakin banyak hutan yang ditebang dan dipindahalihkan sebagai fungsi ekonomis, maka akan semakin banyak bendungan dan infrastruktur raksasa harus dibangun.

Pilihan kebijakan sepertinya memang menuju ke arah ekspolitasi alam dan pembangunan infrastruktur bertaraf proyek raksasa daripada merawat dan menjaga hutan yang berfungsi alam dan sosial saja. Logika inilah yang ada dalam MP3EI.
Pemimpin yang akan datang sebaiknya dapat mengambil kebijakan publik sesungguhnya, yakni untuk publik, bukan untuk segelintir korporasi dan elit politik. Hal ini perlu diwaspadai oleh rakyat sendiri. Ketika rakyat kebanyakan memang irasonal dan cuek, maka pupuslah sudah harapan generasi mendatang untuk hidup layak di negara ini. Prinsip aji mumpung ini sangat merugikan masa depan bangsa Indonesia di masa mendatang. Bangsa ini tidak hanya akan tenggelam, karena banjir, tapi juga akan rusak segala-galanya. ● Diposkan oleh Budi Santoso di 23.19 
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Banjir%20dan%20Kebijakan%20Publik 

BENCANA EKOLOGI DAN NASIB RISET Siti Nuryati   ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Penulis naskah film-film dokumenter SINAR HARAPAN,  21 Januari 2014                                              

Bencana banjir yang melanda berbagai daerah di Tanah Air memunculkan seruan bernama “tobat ekologis”. Ya, bertobat atas segala dosa-dosa yang kita lakukan terhadap lingkungan hidup kita.
Bencana ini menjadi bahan renungan bagi kita semua, tentang bagaimana mencegah dan menyikapi bencana, serta membangun solusi untuk keluar dari persoalan bencana ini.
Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk membangun solusi bencana adalah kekuatan penelitian/riset. Menarik apa yang dikatakan Mustaid Siregar, periset ekologi tentang minimnya riset ekologi di Tanah Air.  Hal tersebut dikatakannya merespons fenomena problem-problem ekologi di Tanah Air. Benarkah riset ekologi di Indonesia minim?
Kita yakin riset-riset ekologi yang dilakukan perguruan tinggi dan badan-badan litbang di Tanah Air jumlahnya mencapai ribuan. Problem yang terjadi sebenarnya bukanlah minimnya aktivitas riset, melainkan sudah sejauhmana hasil-hasil riset di bidang ekologi tersebut sudah coba dimanfaatkan.
Upaya kompilasi, sinkronisasi dan matrik-isasi menjadi agenda penting untuk dilakukan, agar hasil-hasil riset yang ada tak sekadar menjadi dokumen/arsip dan tak memberikan manfaat apa pun bagi upaya penyelesaian problem-problem ekologis di Tanah Air.
Memang tak bisa dihindari, problem-problem ekologis terus berkembang. Hal ini sebagai dampak dari pembangunan ekonomi termasuk pertanian, yang sedikit banyak telah menimbulkan kerusakan dan masalah ekologi, seperti pemanasan global, kerusakan lapisan ozon, deforestation, pemusnahan spesies, kerusakan/pencemaran air, toksifikasi global, erosi dan kerusakan tanah/lahan, maupun kerusakan budaya.  Ini berarti, ke depan riset-riset ekologi tidak boleh berhenti.
Satu hal penting yang harus disadari semua pihak adalah, krisis ekologi pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri atau independen, terhadap faktor-faktor lain khususnya krisis pangan, energi, dan kemiskinan sehingga untuk mengatasi krisis ekologi di Indonesia tidak hanya bertujuan mengerem laju kerusakan dan pencemaran lingkungan, tetapi juga mendorong terwujudnya pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkeadilan, berkedaulatan, dan berkelanjutan.
Untuk itu, agenda riset ekologi di Tanah Air perlu difokuskan lagi pada kriteria-kriteria bahwa hasil riset haruslah berdampak luas pada peningkatan kesejahteraan orang banyak, khususnya kelompok miskin, memberi solusi atas krisis ekologi pada level lokal, nasional, dan/atau global, memberi sumbangan pemikiran terkait dengan keadilan lingkungan, berkontribusi terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, memberi sumbangan pemikiran terhadap kedaulatan petani dan bangsa, serta memberi sumbangan pemikiran terhadap kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Riset-riset ekologi yang perlu dikembangkan di Indonesia ke depan adalah; Pertama, riset untuk mempelajari kerentanan dan daya hidup spesies serta konservasi ekosistem. Riset-riset di lingkup ini meliputi eksplorasi dan identifikasi, adaptasi dan resiliensi, pemuliaan/perakitan varietas, serta konservasi spesies dan ekosistem.
Kedua, riset untuk mempelajari adaptasi dan mitigasi sistem sosial terhadap perubahan lingkungan. Riset-riset di lingkup ini meliputi aspek kebijakan pengelolaan sumber daya alam, manajemen/kelembagaan dalam pengelolaan agroekosistem, penguatan kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, serta teknologi (pengembangan permodelan, pengembangan teknologi aplikasi).
Dengan penyusunan agenda riset yang jelas serta upaya pemanfaatan hasil riset yang jelas pula. Kita berharap berbagai krisis ekologi saat ini dan mendatang dapat diatasi dengan baik, sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesejahteraan umat manusia. 
“Research Attitude”
Jika peneliti di negara maju berpandangan, untuk meningkatkan pendapatan maka mereka akan melakukan peningkatan produktivitas penelitian, kondisi ini berbeda dengan di Indonesia.
Judul dan anggaran penelitian yang terbatas setiap tahunnya, serta perencanaan penelitian dengan sistem proyek yang cenderung terputus-putus, tak seidikit peneliti Indonesia yang dengan terpaksa mengambil jalan pintas, yakni “mencari rente”.
Pergeseran research attitude semacam ini telah mengakibatkan beberapa dampak serius dan mendasar.  Orientasi berpikir dan meneliti bergeser dari relevan problem solving (sesuai keilmuan/keahliannya) menjadi ada-tidaknya sponsor dan/atau besar-kecilnya dana yang disediakan.
Di sini terjadi pengabaian dua hal yakni integritas keilmuan dan penyelesaian permasalahan yang relevan. Akibatnya, peneliti akan berorientasi pada kepentingan industri dan perusahaan luar negeri sehingga kurang memperhatikan kepentingan industri/perusahaaan dalam negeri, bahkan mematikan industri/perusahaan dalam negeri jika penemuan penelitian itu berakibat menutup akses bagi yang lain (bentuk paten, misalnya).
Akibat yang lebih fatal adalah, penelitian mengabaikan potensi sumber daya alam yang khas lokal/nasional yang justru melimpah dan unggul.
Merintis penelitian yang menggarap sumber daya lokal/nasional menjadi tidak menarik karena tidak ada sponsornya. Terkait peneliti masih pula dijumpai persoalan masih rendahnya kemampuan pokok dari peneliti dalam merumuskan masalah, metodologi, analisis, dan sintesis.
Dengan demikian, kegiatan penelitian mungkin saja tinggi, tapi tidak berkontribusi terhadap penyelesaian masalah. Dampak negatif selanjutnya adalah karena tidak nyata kontribusinya, bidang itu dianggap tidak penting maka penelitiannya menjadi terputus.
Secara nasional, kegiatan penelitian di Indonesia bisa dikatakan belum cukup produktif dan efisien.  Persoalan kelembagaan memberi kontribusi nyata pada persoalan ini.
Lembaga-lembaga penelitian yang banyak di Tanah Air ini belum mau berkoordinasi secara nasional, belum mau menempatkan diri masing-masing sesuai kapasitas dan tanggung jawabnya dalam menjawab permasalahan nasional/lokal. Masih banyak terjadi overlap bidang garapan, masih saling berebut anggaran. ●Diposkan oleh Budi Santoso di 22.11 
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Banjir%20-%20Bencana%20Ekologi%20dan%20Nasib%20Riset 

TANAH LONGSOR ANCAM PASOKAN PANGAN - Achmad Rachman  ;   Peneliti di Badan Litbang Pertanian; Mantan Atase Pertanian di Amerika Serikat
MEDIA INDONESIA, 11 April 2017
                                                                                                                                                       
BENCANA tanah longsor di Ponorogo, Jawa Timur, yang memakan korban ratusan jiwa membuka mata kita bahwa Indonesia bukan hanya terancam oleh bencana gempa bumi dan letusan gunung berapi seperti yang sering diulas media. RI sesungguhnya, seperti tercatat dalam International Council for Science, termasuk tujuh negara dengan korban jiwa terbesar karena longsor bersama Brasil, India, Afghanistan, Nepal, Filipina, dan Bolivia. Bahkan Global Assessement Report yang dikeluarkan PBB menyebut RI negara paling tinggi yang berisiko tanah longsor karena dua faktor utama. Pertama, termasuk wilayah tropis dengan curah hujan sangat tinggi. Kedua, lebih dari 45% daratan di Indonesia berbentuk perbukitan dan pegunungan yang berlereng landai hingga curam.
Daerah pegunungan berlereng curam juga umumnya menjadi wilayah dengan curah hujan yang sangat tinggi. Laporan PBB itu sejalan dengan data nasional dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mencatat pada 2016 kejadian longsor dua kali lipat jika dibandingkan dengan 2011. Pada 2016 terjadi longsor 616 kali, sedangkan 2011 hanya 329 kejadian. Yang mencemaskan pada 2017 yang baru berjalan empat bulan saja telah terjadi 215 kali dengan kejadian terakhir di Ponorogo, Jatim. Beragam aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan membuat para ahli konservasi tanah di Balai Penelitian Tanah memprediksi jumlah dan dampak bahaya longsor akan meningkat di masa depan. Seperti biasa korban paling menderita adalah masyarakat kecil. Mereka kehilangan anggota keluarga, rumah, dan harta benda. Namun, di luar kehilangan itu, banyak kerugian yang tak kentara tetapi berdampak luas bagi masyarakat setempat dan masyarakat sekitar wilayah bencana.
Kerugian yang tak kentara itu berupa lenyapnya lahan pertanian tempat mayoritas masyarakat mencari nafkah. Kerugian itu tidak hanya menimpa masyarakat di wilayah bencana, tetapi juga mengancam masyarakat luar karena pasokan pangan bakal terganggu. Bila bahaya longsor meluas di berbagai daerah, ketahanan pangan nasional juga terancam. Yang mengerikan ialah hampir sebagian besar wilayah sentra pertanian di Jabar, Jateng, Jatim, Sumsel, Sumbar, dan Sulawesi Tengah berada pada wilayah pegunungan dan perbukitan yang rawan longsor. Lahan pertanian hilang karena tertimbun material longsor atau sebaliknya ambles menjadi cekungan yang dalam sehingga lahan tak lagi dapat ditanami. Di samping itu, terjadi dampak tidak langsung berupa kerusakan infrastruktur pendukung usaha tani seperti jalan, saluran irigasi, sumber air, dan penggilingan serta gudang. RI membutuhkan kebijakan dan strategi baru untuk mitigasi ancaman longsor dalam kerangka mencegah kelangkaan pangan.

Dua tipe longsor
Tanah longsor berbeda dengan erosi. Tanah longsor ialah bencana yang terjadi karena berpindahnya massa tanah dari tempat yang tinggi ke tempat lebih rendah dengan volume besar dalam waktu singkat. Sebaliknya, erosi berlangsung dalam waktu lama. Saat massa tanah berpindah ke bawah sering kali disertai material ikutan seperti batu dan pohon. Penyebab utama tanah longsor ialah curah hujan tinggi yang berlangsung lama sehingga tanah jenuh air, massa tanah bertambah. Sementara itu, vegetasi sebagai pengikat partikel-partikel tanah sedikit, lalu terjadilah keruntuhan. Lereng yang curam di bagian bawah menyebabkan tersedia bidang luncur sehingga massa tanah berpindah sangat cepat. Patut kita sadari, pembukaan lahan pertanian sering kali menjadi pemicu terjadinya tanah longsor. Pemotongan bukit atau gunung untuk pembuatan jalan dan permukiman juga penyebab utama longsor di Tanah Air. Bukit dan gunung yang dipotong kehilangan stabilitasnya sehingga mudah runtuh bila diterpa curah hujan tinggi. Terdapat dua tipe longsor yang terjadi di daerah pegunungan yaitu longsor guguran dan luncuran.
Guguran terjadi karena pelepasan batuan atau tanah dari lereng sangat curam (>100%) dengan gaya bebas atau bergelinding dengan kecepatan tinggi, sedangkan longsor bentuk luncuran terjadi akibat pergerakan bagian atas tanah dalam volume besar yang bergerak cepat meluncur pada tanah bagian bawah yang menjadi bidang luncur. Longsor yang disebut terakhir terjadi apabila tanah bagian atas jenuh air dan terdapat bidang luncur pada kedalaman tertentu. Bencana tanah longsor di Ponorogo termasuk ke dalam tipe longsor luncuran. Manusia bertanggung jawab pada kejadian tanah longsor karena pemicu utama tanah longsor ialah perubahan jenis vegetasi dari vegetasi tahunan menjadi musiman di kawasan perbukitan dan pegunungan. Masyarakat membuka perbukitan dan pegunungan menjadi kawasan pertanian karena tiada pilihan lain akibat lahan datar semakin langka. Kawasan perbukitan dan pegunungan yang dalam ilmu konservasi tanah klasik disebut sebagai lahan yang sangat tidak sesuai untuk kawasan pertanian karena umumnya kemiringan di atas 100% pun terpaksa dibuka karena sebarannya yang mencapai 45% daratan. Perbukitan dan pegunungan menjadi sumber wilayah pertumbuhan baru untuk sektor pertanian. Kini kita dapat menyaksikan kentang, tomat, cabai, sawi, wortel, bawang ditanam besar-besaran di lahan perbukitan dan pegunungan. Bahkan kebun tanaman hias juga di buka di daerah pegunungan dan perbukitan karena dapat tumbuh bagus dengan produktivitas tinggi di dataran tinggi (>350 mdpl). Tanaman perkebunan seperti kopi, teh, kina, dan berbagai jenis buah-buahan juga banyak diproduksi di pegunungan.

Wilayah longsor
Pemerintah sebagai pemegang mandat untuk mengelolan negeri perlu melakukan langkah mitigasi longsor di kawasan budi daya minimal dengan tiga tindakan. Pertama, mendeliniasi wilayah rawan longsor dan potensi area terdampak jika terjadi longsor dalam area-area yang disebut zona. Wilayah rawan longsor dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu sangat rawan (merah), rawan (kuning), dan aman (hijau). Zona merah harus dijadikan areal konservasi sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan, dan infrastruktur. Zona kuning dapat dijadikan area pertanian, tetapi memerlukan perlakuan khusus yang harus diterapkan secara ketat. Daerah zona kuning itu dimungkinkan untuk budi daya sepanjang dilakukan tiga rekayasa, yaitu mengubah bentuk geometri dari lereng, menghindari terjadinya penjenuhan air pada tanah bagian atas, dan meningkatkan ketahanan gesekan tanah menggunakan rekayasa bangunan sipil teknik. Rekayasa harus memperhatikan sifat fisik tanah di wilayah itu. Riset di Balai Penelitian Tanah mengungkap ketahanan gesekan tanah yang menjadi penentu peluang terjadinya tanah longsor ditentukan bentuk partikel tanah.
Pada partikel liat, penambahan air mempercepat keruntuhan. Sebaliknya, pada partikel pasir, penambahan air justru memperlambat keruntuhan. Kedua, pembangunan sistem peringatan dini pada zona merah dan zona kuning. Sistim peringatan dini dibangun berdasarkan faktor penyebab utama longsor. Sementara itu, faktor pemicu tanah longsor menjadi parameter tambahan dalam sistem itu. Ketiga, merevegetasi dengan tanaman tahunan berakar dalam untuk stabilisasi lereng pada wilayah sangat rawan. Revegetasi juga dapat dilakukan dengan penanaman tanaman berakar dalam, tetapi bermassa ringan seperti akar wangi. Mitigasi bencana longsor menjadi tugas kita bersama yang mendesak karena menyangkut kehidupan masyarakat kecil di wilayah perbukitan dan pegunungan yang umumnya petani. Mitigasi bencana longsor juga secara tidak langsung mempertahankan kelangsungan pasokan bahan pangan untuk masyarakat Indonesia. ●Diposkan oleh Budi Santoso di 02.26 
(http://budisansblog.blogspot.co.id/2017/04/tanah-longsor-ancam-pasokan-pangan.html) download 16 april 2017

LINGKUNGAN SERING TERKALAHKAN : BENCANA MENYEBABKAN PEMISKINAN
Selasa, 21 Maret 2017
Praktik pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi telah membawa pada bunuh diri ekologi. Daya dukung lingkungan terlampaui, ditandai dengan tren peningkatan intensitas dan skala bencana. Situasi ini juga memperdalam ketimpangan sosial dan merugikan ekonomi negara. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang seharusnya bisa memperhitungkan dan mengendalikan pembangunan dalam praktiknya banyak yang melanggar rencana tata ruang. Lingkungan selalu menjadi pihak yang dikalahkan jika dihadapkan pada kepentingan investasi. ”Amdal juga sering kali datang belakangan setelah konstruksi proyeknya berlangsung,” kata Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo, Senin (20/3). Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang, Sudharto P Hadi juga menyoroti buruknya kualitas amdal yang berkontribusi besar mempercepat kerusakan lingkungan. ”Penyusun amdal rata- rata tidak memahami bahwa rohnya adalah menjamin pembangunan berkelanjutan, sementara komisi penilai juga tidak cermat,” katanya. Saat ke daerah dalam rangka kajian sebagai anggota Tim Koordinasi dan Supervisi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam-Komisi Pemberantasan Korupsi (GNPSDA-KPK), Hariadi menemukan banyak kasus penyusunan amdal yang bermasalah. ”Misalnya, kami temukan di Kalimantan Tengah, awal tahun ini, persetujuan masyarakat sebagai persyaratan studi amdal dimanipulasi. Caranya, antara lain, dengan ’membeli’ fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) dari kepala desa,” katanya. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Gellwynn Daniel Hamzah Jusuf juga mengatakan, praktik-praktik pembangunan sering kali melupakan dampaknya terhadap daya dukung lingkungan. Selain karena kurangnya pemahaman aktor-aktor pembangunan terhadap permasalahan lingkungan, aspek lingkungan juga belum dijadikan prioritas dalam pembangunan. Mekanisme pengendalian lingkungan adalah melalui amdal. Komitmen pemerintah content Amdal, kata Sudharto, adalah mekanisme di hilir dalam pengendalian pembangunan. Di bagian hulunya adalah tata ruang. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa tata ruang harus mendasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sebelum menentukan pemakaian ruang, misalnya, harus disertai kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Masalahnya, pemerintah yang mendapat mandat melakukan KLHS kerap mengabaikannya. ”Persoalannya di komitmen pemerintah sendiri,” ujar Sudharto. Menurut Hariadi, selama ini tata ruang kerap direvisi demi menyesuaikan kepentingan ekonomi atau dalam banyak kasus hanya untuk memuluskan kepentingan korporasi dan industri ekstraktif. ”Secara nasional data GNPSDA-KPK menyebutkan ada tambang liar di dalam kawasan konservasi seluas 1,37 juta hektar dan di hutan lindung seluas 4,94 juta hektar,” katanya. Pada 2016, GNPSDA-KPK juga menemukan bahwa kawasan hutan di Bogor, Jawa Barat, dengan luas hutan 69.902 ha telah dirambah 21.739 ha (31 persen). Ekspansi lahan itu terdiri dari 455 pengguna lahan untuk pertanian, sertifikat tanah 71 buku, akta jual-beli 12 buku, dan 43 bangunan permanen. ”Perambahan hutan yang bisa disebut di perkotaan itu telah mengubah fungsi hutan menjadi perumahan, vila, lahan pertanian, kebun, dan jalan. Padahal, lokasi-lokasi di Kabupaten Bogor yang dirambah itu sangat penting bagi konservasi tanah, baik untuk mengendalikan banjir maupun kekeringan,” katanya. Dampak pembangunan, berdasarkan peta indikasi jasa ekosistem ekoregion Jawa, daerah- daerah regulator air hanya tersisa di daerah-daerah hutan lindung dan konservasi. Namun, kata Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Wijayanti, daerah-daerah yang bernilai tinggi sebagai regulator air ini rentan dialihfungsikan untuk berbagai pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jalur kereta api, dan waduk. Praktik buruk pengelolaan kawasan hutan, menurut Hariadi, menyebabkan luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia saat ini mencapai 24 juta hektar. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dari 450 daerah aliran sungai (DAS), 118 DAS dalam kondisi kritis. Padahal, 30 tahun lalu, hanya 22 DAS yang kritis dan superkritis. Kemiskinan Menurunnya daya dukung lingkungan seiring peningkatan intensitas bencana tidak bisa dilepaskan dari persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. ”Umumnya yang terdampak paling parah dari bencana adalah masyarakat miskin, terutama jika menyangkut bencana lingkungan yang dipicu oleh pembangunan sehingga semakin memperparah ketimpangan,” kata Sudharto. Masyarakat korban pun semakin miskin karena kehilangan harta benda, juga pekerjaan karena lahan pertanian atau tambak hilang akibat bencana alam. Abrasi pantai di Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah, misalnya, membuat ratusan keluarga kehilangan tambak, sawah, pekarangan, dan rumah. Di Aceh, sejumlah warga jatuh miskin, tidak mempunyai rumah, karena rumahnya hilang tersapu banjir bandang. Di Kabupaten Magelang, Jateng, luas sawah warga berkurang, bahkan terancam hilang karena tergerus arus sungai. Nur Lalila (32), warga Desa Blang Bungong, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, misalnya, setelah banjir bandang pada Desember 2015 belum juga mampu membangun rumah lagi. ”Pemerintah berjanji membangun rumah bagi korban, tetapi sampai sekarang belum ada kepastian kapan akan dibangun,” katanya. (AIK/ICH/ISW/NDY/LAS/NAD/INA/EGI/AIN)..................SUMBER, KOMPAS, SELASA 21 MARET 2017, HALAMAN 1

No comments:

Post a Comment