Tuesday, 3 December 2019

Apakah Presiden Adalah Simbol Negara?



Pendukung
Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menegaskan, presiden merupakan lambang negara, sehingga tidak boleh ada yang menghina.
Pernyataan JK ini menyusul pembahasan Pasal Penghinaan Presiden, yang tengah dibahas dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
(Sumber : https://www.liputan6.com/news/read/3263116/jk-sebut-presiden-lambang-negara-tidak-boleh-dihina)

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan presiden merupakan simbol negara. Untuk itu ia meminta masyarakat Indonesia tidak memperlakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan semena-mena.
"Ya kami melihatnya dari sisi bernegara, etika benergara, janganlah memperlakukan seorang presiden simbol negara ini semena-mena. Sembarangan seperti itu," ujar Moeldoko di kantor Staf Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/5/2019)
(Sumber : https://www.suara.com/news/2019/05/14/172727/presiden-simbol-negara-moeldoko-jangan-memperlakukan-presiden)

Menolak
Ahli hukum tata negara Dr Irmanputra Sidin saat berbincang dengan detikcom, Jumat (7/8/2015).
Irman merujuk kepada BAB XV UUD 1945, di mana pasal 35 sampai 36B menyebutkan, bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih, bahasa negara ialah Bahasa Indonesia, lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya. Simbol negara itu diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan.
Tidak disebutkan dalam konstitusi tersebut jika presiden atau wakil presiden adalah bagian dari simbol negara.
"Simbol negara itu bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaaan," ujar Irman.
Dalam pertimbangan UU Nomor 24/2009 dinyatakan  bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Tujuan UU ini adalah untuk menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan NKRI. Karena sebagai simbol, maka pidana yang diterapkan adalah delik biasa, bukan delik aduan. Aparat yang melihat penyalahgunaan simbol-simbol negara tersebut bisa langsung ditindak.
"Kalau presiden, wapres bisa berganti. Tapi bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaaan tidak akan pernah berganti," pungkas Irman.
Sumber : https://news.detik.com/berita/d-2986411/soal-pasal-penghinaan-presiden-apakah-presiden-simbol-negara

Media Indonesia
Beberapa politikus dan pakar hukum tata negara menegaskan bahwa presiden bukanlah simbol negara. Alasan mereka karena hal itu  tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahkan, dalam Pasal 2 Undang-­Undang No 24 Tahun 2009 tentang ­Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, disebutkan bahwa bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan merupakan simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden tidak disebutkan dalam UU No 24 itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, kata simbol dan lambang memiliki makna yang sama.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan simbol negara itu? Dalam Penjelasan Umum tentang UU No 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa simbol negara itu ialah ‘cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’.
Simbol negara merupakan alat pemersatu bangsa. Oleh karena itu, keberadaannya tidak boleh berubah atau dihilangkan dalam kerangka bernegara. Presiden dan wapres dapat saja diganti karena ada batas waktu kekuasaannya. Akan tetapi, meski bukan simbol negara, presiden dan wapres tetap harus dihormati dan tidak sembarangan diejek siapa pun atas dasar sopan santun dan etika bernegara.
Presiden dapat dikritik dalam kerangka untuk membangun pemerintahan yang baik dan terjaga. Yang menghina presiden pun tetap harus diberi sanksi hukum, tetapi tentu saja berbeda dengan sanksi hukum yang diberikan kepada penghina simbol ­negara.
Yang menjadi kritik soal polemik simbol negara ini ialah, jika penghinaan terhadap presiden saja ada sanksi ­hukumnya dan terukur ­proses penegakan­nya, bagaimana kalau penghinaan itu terjadi pada simbol negara yang sebenarnya? Apakah sudah dijalankan sanksi hukumnya dengan cepat, atau malah diabaikan  dan bahkan dilupakan? Contoh kecil saja soal penghormatan terhadap bahasa Indonesia. Pada Pasal 36 ayat 3 ­disebutkan, ‘­Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau ­permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia’. Apakah kewajiban itu sudah dilaksanakan hingga hari ini? ­Sudah adakah sanksi bagi pengurus gedung, perkantoran, apartemen, atau permukiman yang tidak menjalankan kewajiban dalam pasal ini? Pembiaran atau pembangkangan dari Pasal 36 ini, menurut saya, sudah bisa ­dianggap sebagai penghinaan terhadap simbol negara yang sesungguhnya dan pantas untuk diberi sanksi.
(Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/262275-simbol-negara)

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menilai pasal penghinaan presiden sulit diterapkan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Ini karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan RI merupakan produk hukum yang diadopsi dari Belanda yang menganut sistem pemerintahan parlementer.
Pasal penghinaan presiden yang telah mati dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006 kini hendak dihidupkan kembali oleh pemerintah melalui Rancangan UU KUHP yang akan mulai dibahas pemerintah bersama DPR usai masa reses pertengahan Agustus ini.
Dalam sistem parlementer Belanda, kata Arsil, raja dan ratu merupakan simbol negara, sedangkan pemerintahan di negara itu dipimpin oleh perdana menteri. Alhasil pasal penghinaan dibuat untuk melindungi dan menjaga martabat Raja dan Ratu Belanda yang berfungsi sebagai lambang negara.
Namun, ujar Arsil, Indonesia menganut sistem berbeda. Di sini, presiden bukan lambang negara, melainkan kepala negara dan kepala pemerintahan. UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan jelas menyebut lambang negara ialah Garuda Pancasila, bukan presiden.
Menurut Arsil, saat pemerintah RI mengadopsi hukum pidana Belanda, kata 'raja ratu' dalam pasal penghinaan diganti dengan kata 'presiden.' (Baca juga Yusril: Pasal Penghinaan Presiden Semula Untuk Ratu Belanda)
Dalam sistem presidensial, ujar Arsil, sulit dibedakan antara murni tindakan penghinaan terhadap presiden dengan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah. Oleh sebab itu ia menilai pasal penghinaan presiden berbahaya karena berpotensi digunakan rezim berkuasa ketika diserang kritikan. (Baca: Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden)
Arsil mengatakan, yang menjadi pokok permasalahan adalah ancaman hukuman yang diatur dalam pasal penghinaan tersebut, yakni lima tahun penjara bagi orang yang menghina presiden. (Baca: Dalih Hukum Pemerintah soal Pasal Penghinaan Presiden)
"Ketika orang demonstrasi, polisi bisa gunakan pasal itu dan bisa menahan mereka," kata Arsil.
Pendapat serupa soal pasal penghinaan presiden dikemukakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Jimly yang menjadi ketua majelis hakim yang menghapus pasal itu tahun 2006 menyebut delik penghinaan presiden bagian dari sistem feodal yang sudah tidak relevan lagi digunakan, sebab simbol negara menurut konstitusi jelas Garuda Pancasila.
Jimly mengkategorikan presiden sebagai institusi negara yang tidak memiliki perasaan sehingga tak dapat terhina. Hal tersebut berbeda dengan presiden secara pribadi. "Penghinaan itu tindak pidana. Tapi bedakan antara perasaan pribadi dan institusi. Lembaga kepresidenan tidak punya perasaan. Yang terhina itu pribadi, sama seperti warga lain," ujarnya.
(Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150806185919-32-70561/pakar-hukum-presiden-bukan-simbol-negara-tak-perlu-pasal)

Lebih lanjut menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie tidak sepakat dengan rencana pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal yang tak lagi relevan dengan era demokrasi. "Mereka anggap presiden itu simbol suatu negara. Itu teori feodal yang anggap presiden itu lambang negara," ujar Jimly di Istana Kepresidenan, Selasa (4/8/2015). Menurut dia, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah "Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika", dan bukan presiden. Jimly menceritakan, pada tahun 2006 lalu, MK yang dipimpinnya memutuskan menghapus pasal penghinaan kepada presiden karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang dibawa pada era demokrasi. Saat itu, lanjut dia, Indonesia dipuji oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Indonesia bahkan dianggap telah melampaui peradaban di negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan Belanda, yang masih menerapkan pasal penghinaan terhadap presiden. Jimly menuturkan, meski di negara-negara itu masih ada pasal penghinaan kepala negara, namun tidak pernah digunakan karena peradaban yang semakin maju. "Ngapain seorang presiden urusin fotonya diinjak? Enggak usah diurusin! Masa diinjek foto sendiri sedikit saja tersinggung," kata Jimly. Jimly khawatir apabila pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan lagi, maka budaya feodal yang ada di Indonesia akan kembali hidup. Kekhawatiran itu timbul manakala penegak hukum menjadi terlalu sensitif pada setiap penentangan terhadap kepala negara yang masih dianggap sebagai simbol negara itu. "Begitu dia lihat fotonya presiden, 'wah presiden saya marah nih, langsung lah'. Nah itu merusak kebebasan berpendapat. Kalau jadi presiden, harus siap dikritik. Kalau nggak, ya jangan," ujar Jimly.
(Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2015/08/04/20462711/Jimly.Presiden.sebagai.Simbol.Negara.adalah.Pemikiran.Feodal)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jimly: Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal", https://nasional.kompas.com/read/2015/08/04/20462711/Jimly.Presiden.sebagai.Simbol.Negara.adalah.Pemikiran.Feodal. Penulis : Sabrina Asril

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta pasal 263 dan 264 tentang penghinaan Presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) tidak perlu ada. Alasan Fahri, Presiden bukan simbol negara.
"Enggak perlu dimasukan lagi. Manusia itu bukan simbol negara, simbol negara itu kan Burung Garuda, bendera Merah Putih. Itu yang enggak boleh dihina," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (2/2).
Dalam pandangan Fahri, Presiden adalah salah satu objek kritik. Karena itu Presiden tak boleh menyucikan diri.
"Tapi kalau ada orang menghina Presiden, itu lapor saja secara pribadi," ungkapnya.
"Jangan karena dia menjadi lambang negara. Sudah enggak ada itu. Jangan menyakralkan diri lagilah," tegasnya.
(Sumber : https://www.merdeka.com/politik/presiden-bukan-simbol-negara-fahri-minta-pasal-penghinaan-tak-masuk-revisi-kuhp.html)

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, bukan simbol negara.  Hanya negara monarki feodal menempatkan kepala negara sebagai simbol negara.
"Dalam kontek negara modern, kepala negara hanya menjalankan tugas-tugas kenegaraan, bukan simbol. Itu perdebatan yang sudah usang,"  kata Bivitri di dalam diskusi RKUHP Ancam Demokrasi? di Jakarta Pusat, Sabtu (3/2).
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menganulir pasal 134 tentang penghinaan kepada presiden dan wakil presiden tahun 2006. Melalui putusan itu, MK menegaskan protes kepada kepala negara tidak sama dengan menghina simbol negara. "Simbol negara itu yah bendera, lambang dan lainnya," tutup Bivitri.
Pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden kembali muncul di dalam Rancangan KUHP (RKUHP) yang sedang dibahas DPR RI. Pasal ini telah dianulir di 2006 atas gugatan beberapa aktivis yang melakukan protes kepada Presiden SBY.

Pegiat Demokrasi Ray Rangkuti khawatir pasal ini akan dipakai asal-asalan penguasa terhadap mereka yang kritis dan melakukan protes. Batasan protes dan penghinaan jadi kabur dengan pasal ini. "Ini bisa njadi alat untuk membungkam mereka yang kritis kepada pemerintah," tutup Ray.
(Sumber : https://www.gatra.com/detail/news/306627-pakar-hukum-tata-negara-sebut-presiden-bukan-simbol-negara)



No comments:

Post a Comment