Friday, 20 December 2019

Konsep dan implementasi CSR di Indonesia

Pengaturan CSR di Indonesia
Pengaturan CSR sebagai kewajiban hukum bagi perusahaan sebagaimana telah ditetapkan dalam berbagai peraturan perundanga, antra lain :  
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-
Undang  Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman  Modal (UUPM), 
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), 
Undang-Undang Nomor  22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, 
Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara 
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun  2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas 
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Pengaturan konsep CSR dalam berbagai peraturan perundangan di Indonesia telah memberikan pengakuan hukum, bahwa kehadiran perusahaan tidak hanya untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pemegang saham atau pemilik perusahaan, namun turut bertanggung jawab terhadap para pemangku kepentingan.
Meskipun pengakuan tersebut hanya diperuntukan terhadap perusahaan tertentu, yakni sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. 
Sedangkan konsep tanggung jawab terhadap seluruh stakeholders, sejatinya merupakan konsepsi umum, yakni berlaku terhadap seluruh perusahaan.
Selain itu, secara normatif pengaturan tersebut memberikan dasar perlindungan hukum kepada para pimpinan atau manajer perusahaan untuk melaksanakan CSR secara patut dan wajar.
Pengaturan ini juga dapat mencegah upaya memaksimalisasi keuntungan bagi para pemegang saham mayoritas semata, khususnya terhadap perusahaan atau grup perusahaan yang dimiliki oleh keluarga tertentu, dimana para pimpinan perusahaan merupakan pemegang saham mayoritas dan/atau masih satu keluarga. Dengan demikian turut memberikan perlindungan terhadap stakeholders sekaligus para pemegang saham minoritas.

Pada tahun 2015 Lembaga Transformasi untuk Keadilan (TuK) dan Profundo merilis laporan "Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia". Memaparkan 25 grup perusahaan kelapa sawit di Indonesia menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa. Perusahaan itu dikendalikan 29 taipan (Bos Besar) yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek. Namun, perusahaan tersebut tidak sungguh-sungguh terbuka dan dimiliki publik, karena para taipan memegang kendali dominan atas perusahaan, dengan penguasaan 20-80 persen saham. Mereka adalah Grup Wilmar (dimiliki Martua Sitorus dkk), Sinar Mas (Eka Tjipta Widjaja), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Batu Kawan (Lee Oi Hian asal Malaysia), Salim (Anthoni Salim), Jardine Matheson  (Henry Kaswick, Skotlandia), Genting  (Lim Kok Thay, Malaysia), Sampoerna (Putera Sampoerna), Surya Dumai (Martias dan Ciliandra Fangiono), dan Provident Agro (Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno). Lalu Grup Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo (George Tahija), Bakrie  (Aburizal Bakrie), BW Plantation-Rajawali (Peter Sondakh), Darmex Agro (Surya Darmadi), DSN (TP Rachmat dan Benny Subianto), Gozco (Tjandra Gozali), Harita (Lim Hariyanto Sarwono), IOI (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana Agri (Henry Maknawi), Musim Mas (Bachtiar Karim), Sungai Budi (Widarto dan Santosa Winata), Tanjung Lingga (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi, Stefanus Joko, dan Budhi Istanto), dan Triputra (TP Rachmat dan Benny Subianto). 

Tanpa adanya pengakuan dari peraturan perundangan, maka tidak ada perlindungan hukum bagi para manajer dari tekanan para pemegang saham. Misalnya di Amerika, dimana pengakuan hukum pertama kalinya bagi para manajer untuk melaksanakan kegiatan amal atau sosial, tercermin dalam putusan Mahkamah Agung New Jersey dalam AP Smith Mfg. Co. v. Barlow di tahun 1953. Dimana sebelumnya, pada tahun 1919, Mahkamah Agung Michigan dari Dodge v. Ford Motor Co mendefinisikan korporasi sebagai entitas yang “diatur dan dijalankan dengan dan untuk keuntungan pemegang saham”.   

Selain itu, beberapa ahli juga berpendapat, bahwa desakan pelaksanaan CSR sebagai “tindakan sukarela saja” menyesatkan karena hukum perusahaan tentu akan memiliki dampak yang sangat mendasar pada CSR. Misalnya sistem hukum perusahaan seperti di Inggris, yang dirancang untuk memaksimalkan laba dan pengambilan risiko dengan sedikit pengembalian dari sistem hukum, tidak kondusif bagi penegakan CSR yang efektif. Konsep hukum perusahaan tentang pertanggungjawaban terbatas dan kepribadian hukum yang terpisah dari firma bertindak sebagai penghalang untuk menahan perusahaan dan pemegang saham untuk mempertanggungjawabkan bahaya mereka, bahkan ketika, menurutnya, perusahaan global terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. 

Sebelum adanya UUPT dan UUPM, perdebatan tentang CSR di Indonesia sangatlah minim. Oleh karenanya, meskipun tidak ada penelitian yang secara khusus terhadap kehadiran pengaturan konsep CSR dalam UUPT dan UUPM, namun kehadirannya telah menimbulkan perdebatan terhadap CSR, sehingga secara langsung ataupun tak langsung telah meningkatkan animo dan pengetahuan masyarakat, termasuk perusahaan terhadap konsep dan penerapan CSR di Indonesia. 


Konsep CSR Indonesia

Konsep dari TJSL, CSR dan PKBL. Keselarasan konsep antara berbagai peraturan serta implikasi kewenangannya (kementerian BUMN, KLHK atau Kemensos). 
CSR pertama sekali diatur oleh pemerintah dalam KepmenBUMN 236/MBU/2003, dimana Kepmen ini telah diganti dan bahkan beberapa kali mengalami perubahan, adapun kini yang berlaku adalah Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PermenBUMN 09/ MBU/07/2015).
Menurut Pasal 1 angka 6 dan angka 7 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Program Kemitraan BUMN adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri. Program Bina Lingkungan adalah adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN.
Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, disebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. 
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Konsep Triple Bottom Line.
Konsep dalam TJSL dan CSR dan PKBL memiliki kesamaan konsep, dengan tujuan yang sama dengan konsep Triple P (Profit, People, and Planet) yang dipopulerkan oleh John Elkingkton.

Penegasan konsep CSR di Indonesia, CSR dalam UUPM berlaku general menunjukan CSR secara General, sedangkan dalam UUPT, juga menekankan aspek lingkungan terkait dampak usaha di bidang SDA. Selain itu penegasan sumber dana CSR, dimana bukan diambil dari keuntungan seperti dalam PKBL, yakni Triple Bottom Line.

No comments:

Post a Comment