Tuesday, 24 December 2019

Diskursus Perkembangan CSR - Rangkuman suka-suka

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam prakteknya telah berkembang selama lebih dari 200 tahun. Namun saat itu fokusnya adalah soal ketenagakerjaan, khususnya terkait larangan praktek perdagangan budak dari afrika yang berlangsung di Inggris. Menurut Idowu, pada saat sebelum dan selama berlangsungnya masa Revolusi Industri di Inggris, meskipun praktik-praktik yang sama dengan praktik yang saat ini diistilahkan dengan CSR tersebut belum didefenisikan. CSR merupakan istilah yang relatif modern yang digunakan untuk semua tindakan korporasi. 
Pengusaha Richard Arkwright misalnya, adalah industrialis pertama yang membangun rumah murah di dekat pabriknya untuk karyawannya di Derby pada tahun 1775. Arkwright menganggap, bahwa karyawan adalah “aset manusia” yang harus diperlakukan secara bertanggung jawab untuk mendapatkan kinerja terbaik.  

Patrick Murphy sebagaimana dikutip Carroll, mengklasifikasikan empat era CSR yang merangkul periode sebelum dan sesudah 1950-an. Secara sederhana, Murphy berpendapat bahwa periode hingga 1950-an adalah era 'filantropis' di mana perusahaan memberikan sumbangan/ amal. Periode 1953-1967 diklasifikasikan sebagai era 'kesadaran', di mana ada lebih banyak pengakuan dari tanggung jawab keseluruhan bisnis dan keterlibatannya dalam urusan masyarakat. Periode 1968-1973 disebut era 'masalah' dimana perusahaan mulai fokus pada isu-isu spesifik seperti pembusukan kota, ras diskriminasi, dan masalah polusi. Akhirnya, di era 'responsif', 1974 dan seterusnya, dimana perusahaan mulai mengambil manajemen yang serius dan tindakan organisasi untuk mengatasi masalah CSR. Tindakan ini termasuk mengubah dewan direksi, memeriksa etika perusahaan, dan menggunakan kinerja sosial pengungkapan. 

Diskusi pertama tentang apakah perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terjadi pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Saat itulah istilah tanggung jawab perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) lahir. Pada tahun 1932 Profesor E. Merrick Dodd, Jr., mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab hukum di mana manajer, sebagai wali amanat perusahaan, diwajibkan kepada penerima manfaatnya: pemegang saham, karyawan, pelanggan, dan masyarakat umum.  Dodd menyatakan, bahwa perusahaan-perusahaan besar mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat karena perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang besar. Sebaliknya Adolf Berle menyatakan, bahwa perusahaan itu adalah milik para pemegang sahamnya dan oleh karena itu harus mengikuti kebutuhan-kebutuhan mereka saja. 

Sebagai fenomena sosial, CSR dapat didefinisikan dalam banyak hal sejak tahun 1950-an. Namun menurut Carroll, tidak ada cara mudah untuk meringkas bagaimana konsep tanggung jawab sosial tumbuh di dunia industri sebelum tahun 1950-an. Literatur CSR semakin berkembang setelah terbitnya buku “Social Responsibilities of the Businessman”, yang secara khusus membahas konsep CSR karya Howard R. Bowen pada tahun 1953. Konsep CSR Bowen dilatarbelakangi adanya kepercayaan bahwa ratusan perusahaan terbesar saat itu, menjadi pusat utama kekuasaan dan pengambilan keputusan, dimana tindakan perusahaan-perusahaan ini menyentuh kehidupan masyarakat dengan berbagai cara.  

Melalui bukunya, Bowen saat itu mengajukan pertanyaan, yaitu : “What responsibility to society may businessmen reasonably be expected to assume?”, dimana sampai saat ini baik akademisi, pembuat kebijakan, konsultan dan eksekutif perusahaan telah dan masih terus mencoba menjawabnya. Menurut Bowen definisi CSR, yang ketika itu masih diistilahkan dengan Social Responsibility (SR), sebagai berikut: “The term social responsibilities of businessmen will be used frequently. It refers to the obligations of businessmen [and businesswomen] to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society. This definition does not imply that businessmen as members of society lack the rights to criticize the values.... It is assumed, however, that as servants of society, they must not disregard socially accepted values or place their own values above those of society”.  
(Istilah tanggung jawab sosial pengusaha akan sering digunakan. Ini mengacu pada kewajiban pengusaha [dan pengusaha wanita] untuk mengejar kebijakan-kebijakan itu, untuk membuat keputusan itu, atau untuk mengikuti garis tindakan yang diinginkan dalam hal tujuan dan nilai-nilai masyarakat kita. Definisi ini tidak menyiratkan bahwa pengusaha sebagai anggota masyarakat tidak memiliki hak untuk mengkritik nilai-nilai tersebut..., Akan tetapi, diasumsikan bahwa sebagai pelayan masyarakat, mereka tidak boleh mengabaikan nilai-nilai yang diterima secara sosial atau menempatkan nilai-nilai mereka sendiri di atas nilai-nilai masyarakat)
Karya tersebut yang oleh Carroll, menyatakan dimana, Bowen sepantasnya menjadi “Bapak dari CSR”. 

Pada tahun 1960 Similarly, William C. Frederick kembali menegaskan, bahwa pengusaha harus mengawasi operasi sistem ekonomi yang sesuai dengan harapan masyarakat.
All of this suggests that when we invoke the phrase “the social responsibilities of the businessman [or businesswoman],” we mean that businessmen [or businesswomen] should oversee the operation of an economic system that fulfills the expectations of the public. And this means in turn that the economy’s means of production should be employed in such a way that production and distribution should enhance total socio-economic welfare. Social responsibility in the final analysis implies a public posture toward society’s economic and human resources and a willingness to see that those resources are utilized for broad social ends and not simply for the narrowly circumscribed inter- ests of private persons and firms. 
(Semua ini menunjukkan bahwa ketika kita menggunakan ungkapan "tanggung jawab sosial pengusaha [atau pengusaha]," kami berarti bahwa pengusaha [atau pengusaha perempuan] harus mengawasi pengoperasian sistem ekonomi yang memenuhi harapan masyarakat. Dan ini pada gilirannya berarti bahwa alat produksi ekonomi harus digunakan sedemikian rupa sehingga produksi dan distribusi harus meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi total. Tanggung jawab sosial dalam analisis akhir menyiratkan sikap publik terhadap ekonomi masyarakat dan sumber daya manusia dan kemauan untuk melihat bahwa sumber daya tersebut digunakan untuk tujuan sosial yang luas dan tidak hanya untuk kepentingan sempit pribadi dan perusahaan swasta.)

Pada tahun 1962, peraih Nobel Milton Friedman bersama istrinya Rose Friedman menulis “In such an economy, there is one and only one social responsibility of business-to use resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, engages in  open and free competitions, without deception or fraud”, yang dapat diartikan, bahwa satu-satunya tanggung jawab bisnis terhadap masyarakat adalah memaksimalkan keuntungan kepada para pemegang saham, dalam kerangka hukum dan kebiasaan etis suatu negara. 
Pada tahun 1970 di sebuah artikel terkenal yang diterbitkan di New York Times Magazine, Friedman mengulangi pemikirannya dengan mengatakan, bahwa :
What does it mean to say that the corporate executive has a “social responsibility” in his capacity as businessman? If this statement is not pure rhetoric, it must mean that he is to act in some way that is not in the interest of his employers.... That is why, in my book Capitalism and Freedom, I have called it a “fundamentally subversive doctrine” in a free society, and have said that in such a society, “there is one and only one social responsibility of business—to use its resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, engages in open and free competition without deception or fraud. 
Apa artinya mengatakan bahwa eksekutif perusahaan memiliki "tanggung jawab sosial" dalam kapasitasnya sebagai pengusaha? Jika pernyataan ini bukan retorika murni, itu harus berarti bahwa ia harus bertindak dengan cara yang tidak untuk kepentingan atasannya. . . . Itulah sebabnya, dalam buku saya, Kapitalisme dan Kebebasan, saya menyebutnya "doktrin yang secara fundamental subversif" dalam masyarakat bebas, dan telah mengatakan bahwa dalam masyarakat seperti itu, "hanya ada satu dan hanya satu tanggung jawab sosial bisnis - untuk menggunakan sumber daya dan terlibat dalam kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan keuntungannya selama itu tetap dalam aturan permainan, yang artinya, terlibat dalam persaingan terbuka dan bebas tanpa penipuan atau penipuan.

Sejak Milton Friedman menyatakan, bahwa tanggung jawab perusahaan adalah untuk meningkatkan keuntungannya, literatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) semakin berkembang secara drastis.  

Pada 1960-an dan 1970-an terjadi perdebatan besar antara Friedman yang membela perusahaan bisnis sebagai yang hanya bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai untung sebanyak mungkin yang taat hukum dan para sarjana termasuk Davis (1960, 1973), Walton (1967), dan Andrews (1971) yang berpendapat bahwa korporasi memiliki kuasa dan kekuasaan memerlukan tanggung jawab, yang oleh karena itu korporasi memiliki tanggung jawab di luar ekonomi dan hukum. 

Menurut Keith Davis & Robert L. Blomstrom (1966), defenisi CSR adalah 
The difference between social responsibility and traditional business decision making is that traditional decision makers confine themselves primarily to narrow economic and technical values, but social responsibility extends thinking to social values as well. It also requires thinking in terms of the whole social system, rather than the narrow interests of a single organization, group, or per- son. It is clearly a systems way of thinking.
Perbedaan antara tanggung jawab sosial (social responsibility-SR) dan pengambilan keputusan bisnis tradisional adalah bahwa pengambil keputusan tradisional membatasi diri mereka hanya pada nilai-nilai ekonomi dan teknis yang sempit, tetapi SR memperluas pemikiran ke nilai-nilai sosial juga. Ini juga membutuhkan pemikiran dalam hal keseluruhan sistem sosial, daripada kepentingan sempit dari satu organisasi, kelompok, atau orang. Ini jelas merupakan cara berpikir sistem. 

Arah baru muncul dalam literatur bisnis dan masyarakat, dalam konteks protes terhadap kapitalisme dan bisnis serta berkembangnya kekhawatiran sosial, yang mengarah pada peningkatan prosedur peraturan pemerintah dan persyaratan formal. 
Perkembangan di era tahun 1970-an mulai menghasilkan beberapa konsensus pemahaman tentang CSR, dan di Tahun 1979 Archie B. Carroll memperkenalkan konsep dan empat model CSR, yang kemudian lebih disempurnakan pada tahun 1991.

Archie B. Carroll (1991) membuat suatu model CSR ke dalam empat tingkatan:
1. Tanggung jawab ekonomi, bahwa perusahaan harus melakukan bisnis setidaknya untuk menutupi biaya sehari-hari. 2. Tanggung jawab hukum bahwa perusahaan tidak boleh terlibat dalam kegiatan ilegal dan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 3. Tanggung jawab etis menggambarkan kebutuhan perusahaan secara adil dan etis untuk bertindak atas undang-undang. 4. Tingkat keempat disebut tanggung jawab filantropis, yang menggambarkan keterlibatan komunitas kreatif dari perusahaan kepada harapan masyarakat. Untuk bertahan hidup perusahaan harus mematuhi dua tingkat pertama, tingkat ketiga adalah tindakan moral yang penting untuk diterima oleh masyarakat dan tingkat keempat adalah murni sukarela, tapi yang diinginkan secara sosial. CSR pada prinsipnya termasuk dalam empat tahap.

On the other hand, Elkington (1997) in his triple bottom line reporting argues that the social responsibility of a business entity is three-fold: to create Economic value by being profitable; to create Ecological value, which is to engage in activities that are beneficial to the natural environment; and to create Social value, which is to engage in activities that are beneficial to life and the community.
Di sisi lain, Elkington dalam pelaporan triple bottom line berpendapat bahwa tanggung jawab sosial dari entitas bisnis adalah mencakup tiga aspek, yaitu : untuk menciptakan nilai ekonomi dengan menjadi menguntungkan; untuk menciptakan nilai Ekologis, yaitu untuk terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan alam; dan untuk menciptakan nilai sosial, yaitu untuk terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan dan masyarakat. 

One widely cited definition comes from the World Business Council for Sustainable Development (1999, p. 3), which stated that CSR “is the continuing commitment by business to contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the community and society at large”. 
Business needs a stable social environment that provides a predictable climate for investment and trade. CSR is the means by which business contributes to that stability rather than detracting from it. By establishing and maintaining a corporate agenda which recognizes social priorities and is tailored to meet them, business displays its human face to consumers, communities and opinion leaders.–World Business Council for Sustainable Development, 2000
Bisnis membutuhkan lingkungan sosial yang stabil yang menyediakan iklim yang dapat diprediksi untuk investasi dan perdagangan. CSR adalah cara di mana bisnis berkontribusi terhadap stabilitas itu daripada mengurangi darinya. Dengan menetapkan dan memelihara agenda perusahaan yang mengakui prioritas sosial dan dirancang untuk memenuhinya, bisnis menampilkan wajah manusianya kepada konsumen, komunitas, dan memimpin opini.

The European Union (2004) CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis. Sedangkan menurut Kotler and Lee (2005) CSR is a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resources. 

Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

ISO 26000 mendefinisikan 'tanggung jawab sosial' sebagai tanggung jawab organisasi atas dampak keputusannya dan kegiatan pada masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku transparan dan etis yang: • berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat • memperhitungkan harapan para pemangku kepentingan • sesuai dengan hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma perilaku internasional dan • terintegrasi di seluruh organisasi dan dipraktikkan di Indonesia hubungannya. 

Kesimpulan dari berbagai Defenisi CSR serta Arah CSR yang dipergunakan.
Meskipun semakin penting dan pengakuan luas, tidak ada konsensus tentang definisi CSR. Ini sebagian karena konsepnya bervariasi dari waktu ke waktu, lintas konteks, dan di antara perspektif, dan tujuan penelitian.  Selain itu, penting untuk disadari bahwa mendefinisikan CSR bukan sekadar latihan deskriptif. Ini tidak sesederhana menempelkan label pada praktik bisnis tertentu, seperti halnya dengan banyak konsep bisnis lainnya. Seharusnya tidak mengherankan bahwa ada sedikit kesepakatan tentang spesifik. CSR, pada dasarnya, adalah "konsep yang pada dasarnya diperebutkan." 
Berdasarkan penelitian Idowu, bidang pengetahuan yang meliputi apa yang dianggap sebagai tindakan yang bertanggung jawab secara sosial telah banyak dijelaskan dalam literatur dan di tempat lain sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, kewarganegaraan perusahaan, filantropi perusahaan, keterlibatan masyarakat perusahaan, pemberian perusahaan, hubungan masyarakat, urusan masyarakat, pengembangan masyarakat, tanggung jawab perusahaan , kewarganegaraan global, dan pemasaran sosial perusahaan. Orang-orang di dalam dan di luar bidang CSR mempromosikan dan mempertahankan interpretasi yang berbeda tentang apa itu dan menyebutnya sebagai apa yang mereka yakini paling dekat dengan penyebab yang menarik bagi mereka. Karenanya CSR memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda dan mengapa disarankan, bahwa CSR adalah konsep yang sulit untuk dijelaskan karena tumpang tindih dengan konsep lain seperti kewarganegaraan perusahaan, bisnis berkelanjutan, tanggung jawab lingkungan, triple bottom line, akuntabilitas sosial dan lingkungan, etika bisnis, dan akuntabilitas perusahaan. Ini akibatnya menjelaskan mengapa banyak ahli berpendapat, bahwa masih ada definisi CSR yang secara umum masih dapat diterima; masih harus dilihat apakah akan ada satu. Bidang ini menyentuh aspek luas eksistensi manusia yang tak terhingga.  
Sampai saat ini, bahawa (mungkin) hanya pandangan Friedman serta pendukungnya yang mungkin masih menyakini, bahwa perusahaan hanya bertanggung jawab untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi bagi perusahaan atau pemegang sahamnya/ shareholders. Upaya untuk mewujudkan suatu defenisi tunggal tentang CSR sesungguhnya tidaklah membangun. Pengkayaan pemahaman terhadap berbagai defenisi diharapkan pula turut mendorong pengkayaan wawasan untuk menentukan jenis atau model dan mekanisme dalam ragam implementasi konsep CSR. Oleh sebab itu, perusahaan yang berbeda atau lokasi usaha dan/atau sumber daya manusia/ manajemen yang berbeda, dapat menerapkan program CSR secara berbeda yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan perusahaan dan/atau yang dirasakan merupakan langkah terbaik untuk dilaksanakan. Selain itu, wajib pula disesuaikan dengan rambu-rambu khusus di suatu negara, dimana ketentuan CSR dianggap sukarela ataukah telah diwajibkan oleh hukum suatu negara, misalnya di Indonesia.


No comments:

Post a Comment