Sunday, 29 December 2019

Tanggung Jawab Hukum Akibat Satwa Dilindungi - Kasus Kematian Masyarakat Akibat Harimau di Gunung Dempo

Tragedi meninggalnya masyarakat akibat diterkam Harimau di daerah Gunung Dempo tentu saja menimbulkan kesedihan bagi keluarga korban dan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
Tragedi tersebut menambah daftar panjang adanya kerugian akibat satwa liar dilindungi yang terjadi di Indonesia. 
Tragedi tersebut umumnya diistilahkan dengan istilah "Konflik", sehingga seolah-olah hanya melibatkan pihak-pihak yang bersengketa saja, yaitu antara satwa dilindungi dengan masyarakat. Akibatnya, nyaris tidak ada pembahasan lebih lanjut terhadap tanggung jawab hukum yang ditimbulkan, akibat serangan satwa dilindungi. 
Padahal pihak-pihak lainnya, seperti BKSDA dan pengelola kawasan konservasi juga memegang andil terhadap timbulnya tragedi satwa liar tersebut.
Ketidakberdayaan BKSDA misalnya, membuat upaya penangkapan atau pengendalian satwa dilindungi berjalan sangat lambat. Tak jarang akibatnya adalah semakin besarnya kerugian yang diderita oleh masyarakat. Tak etis kiranya, jika BKSDA hanya sekedar menegaskan, bahwa satwa harimau dilindungi secara hukum, seolah tanpa memperdulikan adanya penderitaan masyarakat yang telah menjadi korban dari keluarnya harimau ke pemukiman masyarakat. APalgi, saat itu Harimau masih belum ditangkap, sehingga masih berpotensi menimbulkan korban dari masyarakat. 
Ketidakpedulian pengelola kawasan konservasi juga memegang peranan yang penting. Dimana tragedi tersebut selalu berulang setiap tahunnya, tanpa ada sebuah solusi yang dapat meminimalisir keluarnya satwa dilindungi dari areal konservasi. Seharusnya pengelola kawasan konservasi dapat memastikan kawasan konservasi yang dikelolanya lestari, sehingga memnimalisasi satwa dilindungi untuk keluar kawasan konservasi dengan tujuan mencari makan akibat kerusakan kawasan konservasi yang menjadi tanggung jawabnya.
Begitupula pemerintah daerah, yang selalu terkesan melempar tanggung jawab kepada BKSDA atau Pengelola Kawasan Konservasi. Sikap Plt Bupati Muara Enim misalnya, yang memberikan peryataan seolah "ancaman", untuk segera menangkap harimau, baik Hidup atau Mati (baca : disini)

Tanggung Jawab Hukum
Patut diingat, bahwa peristiwa kehadiran Harimau di Muara Enim yang mengakibatkan korban di Muara Enim adalah bukanlah yang pertama. Pertama kalinya pada tanggal 16 November, diketahui kehadiran Harimau mengakibatkan seorang wisatawan terluka. Sejak itulah, sampai dengan 27 Desember 2019 total ada enam serangan Harimau. Lantas upaya apakah yang telah dilakukan oleh pihak-pihak tersebut???
Apakah tanggung jawab pihak-pihak tersebut dalam upaya mencegah atau menanggulangi terjadinya Tragedi Harimau di Muara Enim???
Lantas, siapakah pihak yang seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya akibat kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat satwa dilindungi???





Saturday, 28 December 2019

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Kasus Suap Monsanto

Monsanto Company adalah pengembang benih transgenik terbesar di dunia. Perusahaan ini pernah tersandung sejumlah kasus dalam persetujuan penanaman produk bioteknologi di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Pada Februari 2001, Monsanto mendapatkan persetujuan dari Menteri Pertanian Indonesia untuk mengembangkan kapas transgenik Bollgard di Sulawesi Selatan. Monsanto menutup penjualan benih kapas transgenik di Indonesia tahun 2003 setelah dua tahun mengalami kegagalan. Hal itu terjadi akibat adanya protes dari para petani mengenai produktivitas kapas tersebut yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan dan dengan harga benih. 
Akhir tahun 2001, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia berencana melakukan amandemen terhadap UU Amdal. Salah satu aturan, yakni untuk produk agrikultural tertentu, seperti kapas Bollgard Monsanto, haruslah melalui pemeriksaan dampak lingkungan sebelum ditanam di Indonesia. Kebijakan ini tampak bertentangan dengan kepentingan bisnis Monsanto di Indonesia. Karena itu, melalui perusahaan afiliasinya di Indonesia dan Kantor Konsultannya, Monsanto melalukan lobi guna menolak kebijakan itu. Suap itu dimaksudkan guna memengaruhi pejabat tinggi tersebut sehingga mencabut peraturan yang tidak kondusif bagi bisnis Monsanto. Namun, meski pembayaran telah dilakukan, peraturan tersebut tidak dicabut. 
Hasil investigasi yang dilakukan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (U.S. Department of Justice (DOJ) dan Badan Pengawas Pasar Modal AS (U.S. Securities and Exchange Commission-SEC) terhadap Monsanto Company, atas tindakan penyuapan kepada para pejabat tinggi di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia pada periode 1997-2002.
Pada 6 Januari 2005, Badan Pengawas Pasar Modal AS (U.S. Securities and Exchange Commission-SEC) melancarkan dua proses melawan Monsanto, yang dituduh melakukan korupsi di Indonesia. Menurut SEC, yang temuannya dapat dikonsultasikan di Web, perwakilan Monsanto di Jakarta telah membayar perkiraan suap sebesar $ 700.000 kepada 140 pejabat pemerintah Indonesia antara tahun 1997 dan 2002 bagi mereka untuk mendukung pengenalan kapas Bt ke negara tersebut.
Mereka, misalnya, menawarkan $ 374.000 kepada istri seorang pejabat senior di Kementerian Pertanian untuk membangun rumah mewah. Karunia yang murah hati ini, diklaim, telah ditutupi oleh faktur palsu untuk pestisida. Selain itu, pada tahun 2002, anak perusahaan Monsanto di Asia dikatakan telah membayar $ 50.000 kepada pejabat senior di Kementerian Lingkungan Hidup untuknya membatalkan keputusan yang mensyaratkan penilaian dampak lingkungan dari kapas Bt sebelum dipasarkan. 
Alih-alih menyangkal tuduhan ini, Monsanto Monsanto menandatangani perjanjian dengan SEC pada bulan April 2005, dengan komitmen akan berhenti dari segala pelanggaran lebih lanjut atas Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) dan menyediakan pembayaran denda $ 1,5 juta. Dengan kata lain, Monsanto menerima tanggung jawab penuh atas kegiatan yang tidak patut ini, dan menyatakan menyesal bahwa orang yang bekerja atas nama Monsanto terlibat dalam perilaku semacam itu. 

Wednesday, 25 December 2019

Jenis-jenis Penaatan Sukarela dalam Pengelolaan Lingkungan

Penaatan sukarela atau yang oleh Otto Soemarwoto diistilahkan dengan Atur Diri Sendiri merupakan salah satu instrumen dalam penegakan hukum lingkungan, selain command and control, instrumen ekonomi dan pengungkapan informasi (information disclosure).
Sampai saat ini, belum ada definisi standar untuk penaatan sukarela, karena dalam implementasinya dapat dikonseptualisasikan menjadi berbagai bentuk yang berbeda, seperti Kode Sukarela (code of conduct), perjanjian (agreements), dan komitmen yang mendorong perusahaan atau bisnis secara sukarela mengurangi dampak lingkungan di luar persyaratan yang ditetapkan oleh instrumen command and control.
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memberikan defenisi dari pendekatan sukarela, yaitu “whereby firms make commitments to improve their environmental performance beyond what the law demands”.
Terdapat beberapa jenis penaatan sukarela, yaitu :
Unilateral commitments made by polluters
Komitmen sepihak terdiri dari program perbaikan lingkungan yang dibuat oleh perusahaan dan dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan mereka (karyawan, pemegang saham, klien, dll.) Contohnya adalah ketika perusahaan berkomitmen untuk kombinasi pengurangan emisi sebesar 20 persen selama lima tahun, meningkatkan laju penggunaan ulang dan daur ulang, hanya menggunakan kemasan yang mudah terdegradasi, dll. Program 'Responsible Care' yang diprakarsai oleh industri kimia di Kanada, tetapi sekarang ditemukan di banyak yurisdiksi, adalah jenis ini. Setiap peserta harus menyerahkan rencana lingkungannya untuk verifikasi dan kepatuhan rutin, yang dilakukan oleh komite eksternal yang terdiri dari pakar industri dan perwakilan masyarakat. Hasil pemantauan dipublikasikan.

Public voluntary schemes
Dalam model ini, otoritas publik menetapkan standar sehubungan dengan beberapa kombinasi proses dan prosedur yang harus diikuti, atau target yang ingin dicapai, dan perusahaan yang berpartisipasi setuju untuk memenuhi target ini. Contoh dari jenis proses kesukarelaan adalah kepatuhan terhadap Eco Management and Auditing Scheme (EMAS) dari Uni Eropa, yang telah tersedia untuk perusahaan sejak tahun 1993. Perusahaan yang mengajukan sertifikasi EMAS harus memiliki kebijakan lingkungan, melakukan tinjauan lingkungan dari situsnya, tetapkan dan terapkan program perbaikan lingkungan dan sistem manajemen lingkungan, dan tinjau kebijakan dan sistem manajemennya untuk memverifikasi bahwa mereka memenuhi persyaratan. Contoh lain adalah Kovenan Belanda (the Dutch benchmarking Covenant), di mana perusahaan yang berpartisipasi setuju untuk memenuhi standar tertentu efisiensi energi

Negotiated Agreements
Ini adalah perjanjian antara sektor atau kelompok sektor untuk memenuhi satu atau lebih target keseluruhan. Contoh umum di sejumlah negara di Eropa adalah komitmen pihak-pihak dalam rantai pengemasan - produsen, grosir, pengecer - untuk memenuhi target penggunaan kembali dan daur ulang secara keseluruhan, pada tahun yang telah ditentukan sebelumnya, atau komitmen oleh produsen mobil untuk memenuhi target efisiensi bahan bakar dalam model-model baru. Ada kecenderungan untuk beberapa perjanjian yang dinegosiasikan untuk bergerak ke arah skema sukarela publik; di Denmark dan Belanda, komitmen sektoral untuk memenuhi target keseluruhan telah disesuaikan secara individual ke dalam ambang batas masing-masing perusahaan yang harus dipenuhi untuk kualitas demi kepatuhan.

Tuesday, 24 December 2019

Diskursus Perkembangan CSR - Rangkuman suka-suka

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam prakteknya telah berkembang selama lebih dari 200 tahun. Namun saat itu fokusnya adalah soal ketenagakerjaan, khususnya terkait larangan praktek perdagangan budak dari afrika yang berlangsung di Inggris. Menurut Idowu, pada saat sebelum dan selama berlangsungnya masa Revolusi Industri di Inggris, meskipun praktik-praktik yang sama dengan praktik yang saat ini diistilahkan dengan CSR tersebut belum didefenisikan. CSR merupakan istilah yang relatif modern yang digunakan untuk semua tindakan korporasi. 
Pengusaha Richard Arkwright misalnya, adalah industrialis pertama yang membangun rumah murah di dekat pabriknya untuk karyawannya di Derby pada tahun 1775. Arkwright menganggap, bahwa karyawan adalah “aset manusia” yang harus diperlakukan secara bertanggung jawab untuk mendapatkan kinerja terbaik.  

Patrick Murphy sebagaimana dikutip Carroll, mengklasifikasikan empat era CSR yang merangkul periode sebelum dan sesudah 1950-an. Secara sederhana, Murphy berpendapat bahwa periode hingga 1950-an adalah era 'filantropis' di mana perusahaan memberikan sumbangan/ amal. Periode 1953-1967 diklasifikasikan sebagai era 'kesadaran', di mana ada lebih banyak pengakuan dari tanggung jawab keseluruhan bisnis dan keterlibatannya dalam urusan masyarakat. Periode 1968-1973 disebut era 'masalah' dimana perusahaan mulai fokus pada isu-isu spesifik seperti pembusukan kota, ras diskriminasi, dan masalah polusi. Akhirnya, di era 'responsif', 1974 dan seterusnya, dimana perusahaan mulai mengambil manajemen yang serius dan tindakan organisasi untuk mengatasi masalah CSR. Tindakan ini termasuk mengubah dewan direksi, memeriksa etika perusahaan, dan menggunakan kinerja sosial pengungkapan. 

Diskusi pertama tentang apakah perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terjadi pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Saat itulah istilah tanggung jawab perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) lahir. Pada tahun 1932 Profesor E. Merrick Dodd, Jr., mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab hukum di mana manajer, sebagai wali amanat perusahaan, diwajibkan kepada penerima manfaatnya: pemegang saham, karyawan, pelanggan, dan masyarakat umum.  Dodd menyatakan, bahwa perusahaan-perusahaan besar mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat karena perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang besar. Sebaliknya Adolf Berle menyatakan, bahwa perusahaan itu adalah milik para pemegang sahamnya dan oleh karena itu harus mengikuti kebutuhan-kebutuhan mereka saja. 

Sebagai fenomena sosial, CSR dapat didefinisikan dalam banyak hal sejak tahun 1950-an. Namun menurut Carroll, tidak ada cara mudah untuk meringkas bagaimana konsep tanggung jawab sosial tumbuh di dunia industri sebelum tahun 1950-an. Literatur CSR semakin berkembang setelah terbitnya buku “Social Responsibilities of the Businessman”, yang secara khusus membahas konsep CSR karya Howard R. Bowen pada tahun 1953. Konsep CSR Bowen dilatarbelakangi adanya kepercayaan bahwa ratusan perusahaan terbesar saat itu, menjadi pusat utama kekuasaan dan pengambilan keputusan, dimana tindakan perusahaan-perusahaan ini menyentuh kehidupan masyarakat dengan berbagai cara.  

Melalui bukunya, Bowen saat itu mengajukan pertanyaan, yaitu : “What responsibility to society may businessmen reasonably be expected to assume?”, dimana sampai saat ini baik akademisi, pembuat kebijakan, konsultan dan eksekutif perusahaan telah dan masih terus mencoba menjawabnya. Menurut Bowen definisi CSR, yang ketika itu masih diistilahkan dengan Social Responsibility (SR), sebagai berikut: “The term social responsibilities of businessmen will be used frequently. It refers to the obligations of businessmen [and businesswomen] to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives and values of our society. This definition does not imply that businessmen as members of society lack the rights to criticize the values.... It is assumed, however, that as servants of society, they must not disregard socially accepted values or place their own values above those of society”.  
(Istilah tanggung jawab sosial pengusaha akan sering digunakan. Ini mengacu pada kewajiban pengusaha [dan pengusaha wanita] untuk mengejar kebijakan-kebijakan itu, untuk membuat keputusan itu, atau untuk mengikuti garis tindakan yang diinginkan dalam hal tujuan dan nilai-nilai masyarakat kita. Definisi ini tidak menyiratkan bahwa pengusaha sebagai anggota masyarakat tidak memiliki hak untuk mengkritik nilai-nilai tersebut..., Akan tetapi, diasumsikan bahwa sebagai pelayan masyarakat, mereka tidak boleh mengabaikan nilai-nilai yang diterima secara sosial atau menempatkan nilai-nilai mereka sendiri di atas nilai-nilai masyarakat)
Karya tersebut yang oleh Carroll, menyatakan dimana, Bowen sepantasnya menjadi “Bapak dari CSR”. 

Pada tahun 1960 Similarly, William C. Frederick kembali menegaskan, bahwa pengusaha harus mengawasi operasi sistem ekonomi yang sesuai dengan harapan masyarakat.
All of this suggests that when we invoke the phrase “the social responsibilities of the businessman [or businesswoman],” we mean that businessmen [or businesswomen] should oversee the operation of an economic system that fulfills the expectations of the public. And this means in turn that the economy’s means of production should be employed in such a way that production and distribution should enhance total socio-economic welfare. Social responsibility in the final analysis implies a public posture toward society’s economic and human resources and a willingness to see that those resources are utilized for broad social ends and not simply for the narrowly circumscribed inter- ests of private persons and firms. 
(Semua ini menunjukkan bahwa ketika kita menggunakan ungkapan "tanggung jawab sosial pengusaha [atau pengusaha]," kami berarti bahwa pengusaha [atau pengusaha perempuan] harus mengawasi pengoperasian sistem ekonomi yang memenuhi harapan masyarakat. Dan ini pada gilirannya berarti bahwa alat produksi ekonomi harus digunakan sedemikian rupa sehingga produksi dan distribusi harus meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi total. Tanggung jawab sosial dalam analisis akhir menyiratkan sikap publik terhadap ekonomi masyarakat dan sumber daya manusia dan kemauan untuk melihat bahwa sumber daya tersebut digunakan untuk tujuan sosial yang luas dan tidak hanya untuk kepentingan sempit pribadi dan perusahaan swasta.)

Pada tahun 1962, peraih Nobel Milton Friedman bersama istrinya Rose Friedman menulis “In such an economy, there is one and only one social responsibility of business-to use resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, engages in  open and free competitions, without deception or fraud”, yang dapat diartikan, bahwa satu-satunya tanggung jawab bisnis terhadap masyarakat adalah memaksimalkan keuntungan kepada para pemegang saham, dalam kerangka hukum dan kebiasaan etis suatu negara. 
Pada tahun 1970 di sebuah artikel terkenal yang diterbitkan di New York Times Magazine, Friedman mengulangi pemikirannya dengan mengatakan, bahwa :
What does it mean to say that the corporate executive has a “social responsibility” in his capacity as businessman? If this statement is not pure rhetoric, it must mean that he is to act in some way that is not in the interest of his employers.... That is why, in my book Capitalism and Freedom, I have called it a “fundamentally subversive doctrine” in a free society, and have said that in such a society, “there is one and only one social responsibility of business—to use its resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, engages in open and free competition without deception or fraud. 
Apa artinya mengatakan bahwa eksekutif perusahaan memiliki "tanggung jawab sosial" dalam kapasitasnya sebagai pengusaha? Jika pernyataan ini bukan retorika murni, itu harus berarti bahwa ia harus bertindak dengan cara yang tidak untuk kepentingan atasannya. . . . Itulah sebabnya, dalam buku saya, Kapitalisme dan Kebebasan, saya menyebutnya "doktrin yang secara fundamental subversif" dalam masyarakat bebas, dan telah mengatakan bahwa dalam masyarakat seperti itu, "hanya ada satu dan hanya satu tanggung jawab sosial bisnis - untuk menggunakan sumber daya dan terlibat dalam kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan keuntungannya selama itu tetap dalam aturan permainan, yang artinya, terlibat dalam persaingan terbuka dan bebas tanpa penipuan atau penipuan.

Sejak Milton Friedman menyatakan, bahwa tanggung jawab perusahaan adalah untuk meningkatkan keuntungannya, literatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) semakin berkembang secara drastis.  

Pada 1960-an dan 1970-an terjadi perdebatan besar antara Friedman yang membela perusahaan bisnis sebagai yang hanya bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai untung sebanyak mungkin yang taat hukum dan para sarjana termasuk Davis (1960, 1973), Walton (1967), dan Andrews (1971) yang berpendapat bahwa korporasi memiliki kuasa dan kekuasaan memerlukan tanggung jawab, yang oleh karena itu korporasi memiliki tanggung jawab di luar ekonomi dan hukum. 

Menurut Keith Davis & Robert L. Blomstrom (1966), defenisi CSR adalah 
The difference between social responsibility and traditional business decision making is that traditional decision makers confine themselves primarily to narrow economic and technical values, but social responsibility extends thinking to social values as well. It also requires thinking in terms of the whole social system, rather than the narrow interests of a single organization, group, or per- son. It is clearly a systems way of thinking.
Perbedaan antara tanggung jawab sosial (social responsibility-SR) dan pengambilan keputusan bisnis tradisional adalah bahwa pengambil keputusan tradisional membatasi diri mereka hanya pada nilai-nilai ekonomi dan teknis yang sempit, tetapi SR memperluas pemikiran ke nilai-nilai sosial juga. Ini juga membutuhkan pemikiran dalam hal keseluruhan sistem sosial, daripada kepentingan sempit dari satu organisasi, kelompok, atau orang. Ini jelas merupakan cara berpikir sistem. 

Arah baru muncul dalam literatur bisnis dan masyarakat, dalam konteks protes terhadap kapitalisme dan bisnis serta berkembangnya kekhawatiran sosial, yang mengarah pada peningkatan prosedur peraturan pemerintah dan persyaratan formal. 
Perkembangan di era tahun 1970-an mulai menghasilkan beberapa konsensus pemahaman tentang CSR, dan di Tahun 1979 Archie B. Carroll memperkenalkan konsep dan empat model CSR, yang kemudian lebih disempurnakan pada tahun 1991.

Archie B. Carroll (1991) membuat suatu model CSR ke dalam empat tingkatan:
1. Tanggung jawab ekonomi, bahwa perusahaan harus melakukan bisnis setidaknya untuk menutupi biaya sehari-hari. 2. Tanggung jawab hukum bahwa perusahaan tidak boleh terlibat dalam kegiatan ilegal dan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 3. Tanggung jawab etis menggambarkan kebutuhan perusahaan secara adil dan etis untuk bertindak atas undang-undang. 4. Tingkat keempat disebut tanggung jawab filantropis, yang menggambarkan keterlibatan komunitas kreatif dari perusahaan kepada harapan masyarakat. Untuk bertahan hidup perusahaan harus mematuhi dua tingkat pertama, tingkat ketiga adalah tindakan moral yang penting untuk diterima oleh masyarakat dan tingkat keempat adalah murni sukarela, tapi yang diinginkan secara sosial. CSR pada prinsipnya termasuk dalam empat tahap.

On the other hand, Elkington (1997) in his triple bottom line reporting argues that the social responsibility of a business entity is three-fold: to create Economic value by being profitable; to create Ecological value, which is to engage in activities that are beneficial to the natural environment; and to create Social value, which is to engage in activities that are beneficial to life and the community.
Di sisi lain, Elkington dalam pelaporan triple bottom line berpendapat bahwa tanggung jawab sosial dari entitas bisnis adalah mencakup tiga aspek, yaitu : untuk menciptakan nilai ekonomi dengan menjadi menguntungkan; untuk menciptakan nilai Ekologis, yaitu untuk terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan alam; dan untuk menciptakan nilai sosial, yaitu untuk terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan dan masyarakat. 

One widely cited definition comes from the World Business Council for Sustainable Development (1999, p. 3), which stated that CSR “is the continuing commitment by business to contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the community and society at large”. 
Business needs a stable social environment that provides a predictable climate for investment and trade. CSR is the means by which business contributes to that stability rather than detracting from it. By establishing and maintaining a corporate agenda which recognizes social priorities and is tailored to meet them, business displays its human face to consumers, communities and opinion leaders.–World Business Council for Sustainable Development, 2000
Bisnis membutuhkan lingkungan sosial yang stabil yang menyediakan iklim yang dapat diprediksi untuk investasi dan perdagangan. CSR adalah cara di mana bisnis berkontribusi terhadap stabilitas itu daripada mengurangi darinya. Dengan menetapkan dan memelihara agenda perusahaan yang mengakui prioritas sosial dan dirancang untuk memenuhinya, bisnis menampilkan wajah manusianya kepada konsumen, komunitas, dan memimpin opini.

The European Union (2004) CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis. Sedangkan menurut Kotler and Lee (2005) CSR is a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resources. 

Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

ISO 26000 mendefinisikan 'tanggung jawab sosial' sebagai tanggung jawab organisasi atas dampak keputusannya dan kegiatan pada masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku transparan dan etis yang: • berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat • memperhitungkan harapan para pemangku kepentingan • sesuai dengan hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma perilaku internasional dan • terintegrasi di seluruh organisasi dan dipraktikkan di Indonesia hubungannya. 

Kesimpulan dari berbagai Defenisi CSR serta Arah CSR yang dipergunakan.
Meskipun semakin penting dan pengakuan luas, tidak ada konsensus tentang definisi CSR. Ini sebagian karena konsepnya bervariasi dari waktu ke waktu, lintas konteks, dan di antara perspektif, dan tujuan penelitian.  Selain itu, penting untuk disadari bahwa mendefinisikan CSR bukan sekadar latihan deskriptif. Ini tidak sesederhana menempelkan label pada praktik bisnis tertentu, seperti halnya dengan banyak konsep bisnis lainnya. Seharusnya tidak mengherankan bahwa ada sedikit kesepakatan tentang spesifik. CSR, pada dasarnya, adalah "konsep yang pada dasarnya diperebutkan." 
Berdasarkan penelitian Idowu, bidang pengetahuan yang meliputi apa yang dianggap sebagai tindakan yang bertanggung jawab secara sosial telah banyak dijelaskan dalam literatur dan di tempat lain sebagai tanggung jawab sosial perusahaan, kewarganegaraan perusahaan, filantropi perusahaan, keterlibatan masyarakat perusahaan, pemberian perusahaan, hubungan masyarakat, urusan masyarakat, pengembangan masyarakat, tanggung jawab perusahaan , kewarganegaraan global, dan pemasaran sosial perusahaan. Orang-orang di dalam dan di luar bidang CSR mempromosikan dan mempertahankan interpretasi yang berbeda tentang apa itu dan menyebutnya sebagai apa yang mereka yakini paling dekat dengan penyebab yang menarik bagi mereka. Karenanya CSR memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda dan mengapa disarankan, bahwa CSR adalah konsep yang sulit untuk dijelaskan karena tumpang tindih dengan konsep lain seperti kewarganegaraan perusahaan, bisnis berkelanjutan, tanggung jawab lingkungan, triple bottom line, akuntabilitas sosial dan lingkungan, etika bisnis, dan akuntabilitas perusahaan. Ini akibatnya menjelaskan mengapa banyak ahli berpendapat, bahwa masih ada definisi CSR yang secara umum masih dapat diterima; masih harus dilihat apakah akan ada satu. Bidang ini menyentuh aspek luas eksistensi manusia yang tak terhingga.  
Sampai saat ini, bahawa (mungkin) hanya pandangan Friedman serta pendukungnya yang mungkin masih menyakini, bahwa perusahaan hanya bertanggung jawab untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi bagi perusahaan atau pemegang sahamnya/ shareholders. Upaya untuk mewujudkan suatu defenisi tunggal tentang CSR sesungguhnya tidaklah membangun. Pengkayaan pemahaman terhadap berbagai defenisi diharapkan pula turut mendorong pengkayaan wawasan untuk menentukan jenis atau model dan mekanisme dalam ragam implementasi konsep CSR. Oleh sebab itu, perusahaan yang berbeda atau lokasi usaha dan/atau sumber daya manusia/ manajemen yang berbeda, dapat menerapkan program CSR secara berbeda yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan perusahaan dan/atau yang dirasakan merupakan langkah terbaik untuk dilaksanakan. Selain itu, wajib pula disesuaikan dengan rambu-rambu khusus di suatu negara, dimana ketentuan CSR dianggap sukarela ataukah telah diwajibkan oleh hukum suatu negara, misalnya di Indonesia.


Monday, 23 December 2019

Ruang Lingkup CSR

Corporate Social Responsibility dalam konsep yang luas mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Azasi Manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan lingkungan hidup. Dalam pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan berada. Sebenarnya jika mengacu kepada tanggung jawab sosial perusahaan dalam arti luas berarti pasal kedua undang-undang tersebut tadi menekankan lagi perlunya perusahaan mematuhi undang-undang yang melindungi masyarakat, antara lain, perlindungan hak azasi manusia, lingkungan hidup, pekerja, dan konsumen. Namun yang ditunggu oleh masyarakat dan pengusaha adalah bagaimana perusahaan ikut mensejahterakan masyarakat sekitarnya. Berbagai perusahaan selama ini telah menjalankan community development dalam bentuk pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, prasarana jalan, beasiswa, dan bimbingan kepada usaha kecil. 

Menurut ISO 26000 Karakteristik dari Social Responbility adalah kemauan sebuah organisasi untuk mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab atas dampak dari keputusan serta aktivitas yang mempengaruhi masyarakat dan lingkungan. Dalam ISO 26000 Social Responsibility mencakup 7 aspek utama, yaitu: tata kelola organisasi, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, praktek bisnis yang adil, isu konsumen serta keterlibatan dan pengembangan masyarakat. 

Dalam Global Impact terdapat 10 prinsip utama dari 4 aspek bisnis yang bertanggung jawab sosial dan berkelanjutan, yaitu: 
Aspek Hak Asasi Manusia
Prinsip 1, Pelaku bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan terhadap hak asasi manusia yang diakui secara internasional. 
Prinsip 2, Memastikan perusahaannya tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.
Aspek Ketenegakerjaan
Prinsip 3, Pelaku bisnis harus menjunjung tinggi kebebasan para karyawannya untuk berserikat dan mengadakan perundingan.
Prinsip 4, Menghapus segala bentuk kerja paksa dan kerja wajib
Prinsip 5, Menghapus adanya pekerja anak secara efektif
Prinsip 6, Menghapus diskriminasi yang terjadi pada pekerjaan dan jabatan
Aspek Lingkungan
Prinsip 7, Pelaku bisnis harus mendukung tindakan pencegahan terhadap pengrusakan lingkungan.
Prinsip 8, Memiliki inisiatif dalam mempromosikan tanggung jawab lingkungan.
Prinsip 9, Mendorong pengembangan dan penyebaran teknologi yang ramah lingkungan.
Aspek Anti Korupsi
Prinsip 10, Pelaku bisnis harus melawan korupsi dalam segala bentuk, termasuk pemerasan dan penyuapan.

Carroll menganggap CSR sebagai konsep multi-lapis, yang dapat dibedakan menjadi empat aspek yang saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu “The social responsibility of business encompasses the economic, legal, ethical, and discretionary (philanthropic) expectations that society has of organizations at a given point in time”. Keempat tanggung jawab, yaitu ekonomi, hukum, etika dan filantropis yang berbeda ini diterapkan dalam lapisan yang saling berurutan dalam suatu piramida, yang kemudian kita kenal dengan istilah Piramida Carroll. 

Sedangkan menurut KLHK dalam buku “Pedoman CSR Bidang Lingkungan” KLHK memberikan 7 aspek CSR di bidang lingkungan, yaitu :
1. Cleaner production (produksi bersih)
2. Eco office (kantor ramah lingkungan)
3. Konservasi energi dan sumber daya alam
4. Pengelolaan sampah melalui 3r
5. Renewable energy (energi terbarukan)
6. Adaptasi perubahan iklim
7. Pendidikan lingkungan hidup

Kotler  dan Lee mengeksplorasi enam (6) bentuk  Inisiatif Sosial (CSR), yang terbagi dalam 2 kategori, pertama inisitaif yang terkait dengan aspek pemasaran (yaitu, promosi penyebab, pemasaran yang berhubungan dengan sebab, dan pemasaran sosial perusahaan) serta inisiatif yang berada di luar fungsi khas departemen pemasaran (yaitu, relawan karyawan dan bisnis yang bertanggung jawab secara sosial praktik). Keenam bentuk tersebut dapat menjadi pedoman untuk mengasimilasi praktik-praktik terbaik yang direkomendasikan dalam memilih berbagai isu sosial potensial oleh perusahaan; memilih inisiatif terbaik untuk upaya mengatasi masalah sosial maupun kemajuan korporasi; mengembangkan dan mengimplementasikan rencana program yang berhasil; dan mengevaluasi upaya program.
Keenam bentuk tersebut, yaitu :
1) Cause promotions. Perusahaan menyediakan sumber daya yang dimilikinya, seperti dana, barang, tenaga kerja atau sumber daya lain yang dimiliki oleh perusahaan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap suatu permasalahan sosial dan secara mandiri atau berkerjasama dengan mendukung kegiatan pihak lain, berupa pengumpulan dana, partisipasi masyarakat, dan penyediaan tenaga sukarela untuk suatu tujuan sosial tertentu. Contohnya Patagonia sering menampilkan kampanye lingkungan dalam katalog dan kampanye iklannya, seperti menentang pengeboran minyak di bagian sensitif Alaska, ‘Ocean as a Wilderness’ dan ‘Don’t dam Patagonia’. 
2) Cause related marketing. Suatu perusahaan berkomitmen untuk memberikan kontribusi atau menyumbangkan sebagian persentase atau pendapatan dari penjualan produknya untuk kegiatan sosial tertentu. Umumnya kegiatan ini dilaksanakan dengan jangka waktu, produk, dan untuk kegiatan sosial tertentu. Perusahaan dalam hal ini, sering bermitra dengan organisasi nirlaba dengan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan yang dirancang untuk meningkatkan penjualan produk tertentu sekaligus menghasilkan dukungan keuangan untuk amal. Misalnya ???, (Comcast menyumbangkan $ 4,95 biaya instalasi untuk layanan Internet berkecepatan tinggi untuk Ronald McDonald House Charities hingga akhir bulan tertentu). Banyak yang menganggap sebagai “win-win-win” karena memberikan konsumen kesempatan untuk berkontribusi secara gratis ke badan amal masyarakat mereka juga).
3) Corporate Social Marketing. Perusahaan mendukung pengembangan dan/atau pelaksanaan kampanye perubahan perilaku yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan, keselamatan, atau kesejahteraan lingkungan dan masyarakat. Fitur yang membedakan adalah fokus perubahan perilaku, yang membedakannya dari promosi penyebab yang fokus pada mendukung kesadaran, penggalangan dana, dan perekrutan sukarela untuk suatu tujuan. Misalnya kampanye atau larangan membawa botol minuman kemasan ke kantor atau penggunaan sedotan plastik untuk mengurangi timbulan sampah plastik, kampanye penggunaan sepeda untuk menggantikan kendaraan bermotor dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas udara atau lingkungan hidup; dan perusahaan pakaian outdoor Patagonia, mengkampanyekan “Worn Wear” atau Pakaian Usang dengan tujuan merubah perilaku konsumen untuk selalu membeli pakaian yang baru, dimana kampanye Patagonia bertolak belakang dengan upaya meningkatkan pemasarannya, yakni penjualan dari pakaian baru. Box Patagonia. contoh lainnya ????  
4) Corporate Philanthrophy. Adalah bentuk kegiatan yang paling tradisional, dimana perusahaan secara langsung memberikan bantuan atau sumbangan berupa uang tunai, jasa atau barang kepada pihak yang membutuhkan baik kepada perorangan atau kelompok. Misalnya : aksi perusahaan memberikan sembako atau uang pada saat hari raya keagamaan, memberikan bantuan dana pembangunan untuk fasilitas pendidikan, keagamaan, atau kesehatan, memberikan beasiswa kepada masyarakat yang tidak mampu dan memberikan bantuan kepada masyarakat yang menjadi korban bencana. Foto-foto ???
5) Community Volunteering: Suatu perusahaan mendukung dan mendorong karyawan atau mitra perusahaan, dan/atau anggotanya untuk menyumbangkan waktu mereka dalam upaya mendukung kegiatan sosial dari suatu organisasi atau masyarakat setempat. Kegiatan ini mungkin merupakan upaya mandiri perusahaan (yaitu, karyawan dari perusahaan teknologi tinggi yang membimbing kaum muda di sekolah menengah tentang keterampilan komputer) atau dapat dilakukan dalam kemitraan dengan organisasi nirlaba (karyawan Shell yang bekerja dengan The Ocean Conservancy di pembersihan pantai). Kegiatan sukarela dapat diselenggarakan oleh perusahaan, atau karyawan dapat memilih kegiatan mereka sendiri dan menerima dukungan dari perusahaan melalui cara-cara seperti cuti dibayar dan program pencocokan basis data sukarela. Contoh lainnya adalah partisipasi perusahaan dalam mendirikan posko-posko peristirahatan bagi para pemudik pada saat berlangsungnya tradisi mudik lebaran di Indonesia.
6) Socially Responsible Business Practice. Perusahaan mengadopsi dan melakukan praktik bisnis dan investasi diskresioner yang mendukung tujuan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melindungi lingkungan. diskresioner dimaksud adalah bentuk insiatif yang melampaui kepatuhan hukum (beyond compliance). Misalnya sebuah perusahaan mengeluarkan biaya dan upaya untuk mendapatkan sertifikasi atau standarisasi sukarela seperti, label ramah lingkungan atau standarisasi ISO 14001 dalam rangka meningkatkan manajemen pengelolaan lingkungan atau perusahaan berupaya membangun kantor ramah lingkungan atau menghasilkan listrik ramah lingkungan yang bersumber dari biogas (methana) dalam unit pengelolaan air limbahnya atau dengan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan lainnya. Selain itu saat ini banyak merek fashion terkenal telah memulai skema untuk mengambil kembali produk lama mereka dari pemakainya dan menjualnya sebagai barang bekas, baik "apa adanya" atau setelah beberapa desain ulang. Seperti Nudie Jeans, Uniqlo’s All-Product Recycling Initiative atau Patagonia’s Common Thread Initiative.  Contoh lainnya, diketahui pada tahun 1988, dimana saat itu perusahaan Ciba-Geigy membangun pabrik cat di Jakarta yang dirancang untuk tidak menghasilkan polusi sama sekali dan menjadi pabrik paling canggih di dunia dalam hal itu, sementara direktur PT Multi Bintang, produsen bir Bintang, juga telah mengungguli peraturan pemerintah dengan memperkenalkan peralatan anti-polusi terbaru pada masanya. 

CSR dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori input utama sebagai (1) tingkat mikro atau individu, (2) tingkat meso atau organisasi, dan (3) tingkat makro atau lingkungan. Pada tingkat pertama, studi-studi ini terutama berfokus pada manajer puncak dengan menyelidiki peran gender, usia, masa kerja, gaya kepemimpinan, nilai-nilai dll pada kegiatan yang bertanggung jawab secara sosial. Dalam variabel organisasi, dampak struktur kepemilikan, komposisi dewan, strategi, budaya, dan karyawan, dan karakteristik pembahasan lainnya berdasarkan temuan studi terbaru. Sebagai domain terakhir, variabel lingkungan dianalisis pada tiga tingkat, yaitu lingkungan tugas, lingkungan kelembagaan, dan lingkungan global. 

Sunday, 22 December 2019

Tujuan dan Motivasi CSR

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa CSR bertujuan untuk menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan sesuai dengan makna dalam tiga pilar pembangunan berkelanjutan.  Namun beberapa ahli telah pula memberikan pemaparan terhadap tujuan CSR. Menurut Anna Zinenko, et., al., tujuan instrumen CSR ada empat, yaitu :  
1. untuk mendorong perubahan budaya dan manajerial melalui pembangunan berkelanjutan
2. untuk mendukung akuntabilitas organisasi;
3. untuk menetapkan aturan dan prosedur untuk perilaku organisasi terkait sosial dan masalah lingkungan secara global; dan 
4. untuk membangun sistem yang efektif untuk menetapkan standar, pelaporan, audit, pemantauan dan verifikasi.

Secara umum telah terdapat penerimaan, bahwa motivasi perusahaan untuk mewujudkan kegiatan CSR bersumber dari internal dan eksternal perusahaan, yang mencakup perpaduan kebijakan pemerintah, peluang pasar, tekanan masyarakat dan budaya perusahaan. 

Motivasi perusahaan menerapkan CSR, yang diterbitkan oleh Keith Davis tahun 1973 sebagaimana dikutip oleh Brent D. Beal, yaitu kepentingan pribadi jangka panjang, citra publik, kelangsungan bisnis jangka panjang sebagai institusi, penghindaran peraturan pemerintah, kepatuhan dengan norma-norma sosial budaya, kepentingan pemegang saham, kegagalan lembaga lain untuk mengatasi masalah sosial yang sulit, kepemilikan sumber daya, kemampuan, dan kapasitas inovatif untuk mengatasi masalah sosial yang sulit, potensi untuk menemukan tidak dikenali peluang bisnis, dan terakhir mungkin lebih murah bagi perusahaan untuk secara preventif mengatasi masalah sosial sekarang daripada menunggu timbulnya masalah kemudian. 

Selain itu, menurut Idowu, beberapa manfaat CSr yang sering dikutip, yaitu : Peningkatan nilai pemegang sahamnya, Meningkatkan loyalitas pelanggan, Kemampuan untuk membentuk aliansi strategis yang bermanfaat, Kemampuan untuk menarik tenaga kerja yang bermotivasi dan berkomitmen, Media simpatik pada saat-saat kritis, Kemampuan untuk menarik karyawan kelas atas dari universitas kelas atas, dan Insentif pajak yang diberikan oleh otoritas pajak. 

Sedangkan menurut Matten, alasan perusahaan melaksanakan CSR, yaitu : 
CSR dapat meningkatkan keuntungan jangka panjang perusahaan. Mottonya adalah “There is a clear-cut business case in CSR!” (Ada bisnis yang jelas kasus dalam CSR!). CSR dilaksanakan dengan latar belakang ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan nilai saham perusahaan di mata para pemegang saham (shareholders), melalu investasi yang bertanggung jawab secara sosial, keunggulang kompetitif perusahaan dan sebagai dasar dari strategi dalam pyramida Carroll’s. 
CSR dapat memecahkan masalah manajemen perusahaan sehari-hari. Mottonya adalah “CSR enables us to manage our stakeholder relations!” (CSR memungkinkan kita untuk kelola kami pemangku kepentingan hubungan!). Pelaksanaan CSR oleh pihak manajemen perusahaan sebagai upaya untuk meningkatkan tanggung jawab dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kinerja sosial perusahaan dapat menjadi tolak ukur baik atau buruknya perusahaan di mata para pemangku kepentingan.
CSR adalah benar, yang secara moral merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan. Mottonya adalah “CSR means doing the right thing!” (CSR berarti melakukan hal yang benar!). Pelaksanaan CSR didorong oleh pendekatan Etika, dimana perusahaan secara etis telah diakui memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan keberlanjutan (sustainability).
CSR adalah cara untuk menjadi sah dan diterima sebagai anggota masyarakat. Mottonya adalah “CSR makes us a good  corporate citizen!” (CSR membuat kita a perusahaan yang baik warganegara!). pelaksanaan CSR didorong oleh faktor politis, sebagai upaya menjadi perusahaan atau subjek kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan transparan.

Deus et., al., menganalisis motivasi internal dan eksternal untuk penerapan CSR, yaitu : 
Eksternal 
Penggerak untuk adopsi standar, seperti ISO 26000 dan OHSAS 18001, serta adopsi inisiatif CSR, beragam dan tergantung pada karakteristik organisasi dan interaksi di lingkungan organisasi.
Keterkaitan dengan teori etika. Dimana terdapat keyakinan, bahwa CSR secara moral adalah sesuatu yang benar untuk dilaksanakan, itulah sebabnya organisasi harus bertanggung jawab secara sosial.
Organisasi yang memiliki perencanaan strategis formal lebih proaktif ketika berhadapan dengan masalah komersial dan non-komersial (mis., CSR). Ini karena organisasi-organisasi ini memantau lingkungan dan tindakan mengarahkan mereka untuk berbagai pertanyaan yang dirasakan, termasuk CSR. Perencanaan strategis memungkinkan organisasi untuk memiliki pandangan dan pemahaman tanggung jawab sosial yang lebih mendalam, yang memungkinkan implementasi kebijakan dan praktik CSR.
Para pemangku kepentingan sangat penting untuk memotivasi organisasi untuk mengadopsi atau mengikuti standar sosial dan untuk menerapkan inisiatif CSR. Beberapa penelitian telah mengusulkan bahwa adopsi ISO 26000 dapat meningkatkan hubungan dengan pemangku kepentingan eksternal. Dalam kasus-kasus tertentu, pemangku kepentingan mungkin memperhatikan bahwa beberapa organisasi perlu mengadopsi standar sosial atau inisiatif CSR; akibatnya, para pemangku kepentingan dapat menekan organisasi untuk mengadopsi praktik dan tindakan yang lebih ramah sosial. Ini adalah peran pemangku kepentingan untuk memberikan tekanan pada organisasi dan manajer untuk mengadopsi tindakan yang lebih ramah sosial, serta untuk mengungkapkan informasi sosial tambahan. Selain itu, ISO 26000 menghadirkan solusi untuk menyelesaikan konflik antara organisasi dan pemangku kepentingan, serta peluang untuk memperkuat hubungan mereka. Standar juga meningkatkan kapasitas organisasi untuk mempertahankan klien dan untuk mengembangkan perilaku yang bertanggung jawab dengan mereka.
Mempertimbangkan perencanaan strategis suatu organisasi, pemangku kepentingan adalah pengembangan organisasi strategis yang kritis. Dimana setiap pemangku kepentingan dapat memengaruhi adopsi standar tertentu. Sebagai contoh, klien asing dan masyarakat sangat penting untuk adopsi ISO 9001, dan investor asing sangat penting untuk adopsi ISO 14001.
Karena globalisasi, persaingan di pasar internasional dapat menjadi pendorong untuk adopsi ISO 26000. Organisasi multinasional mengadopsi ISO 26000 untuk mencapai legitimasi untuk kebijakan intern mereka tentang tanggung jawab sosial karena memfasilitasi akses ke berbagai pasar internasional. Dalam konteks ini, organisasi juga dapat menemukan peluang untuk menjadi bagian dari usaha patungan internasional, yang dapat dianggap sebagai pendorong untuk mengadopsi ISO 26000.
Reputasi adalah pendorong yang signifikan untuk adopsi ISO 26000 karena klien dan pemangku kepentingan lainnya memperhatikan tindakan proaktif tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, tindakan proaktif ini dapat meningkatkan hubungan antara organisasi dan klien dan, akibatnya, meningkatkan reputasi organisasi. Sebagai ilustrasi, penelitian tentang usaha kecil-menengah (UKM) yang terlibat dalam praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial di Bangladesh, menemukan 18% dari sampel penelitian mereka dianggap "untuk meningkatkan reputasi bisnis mereka secara keseluruhan" sebagai pendorong untuk keterlibatan dalam tanggung jawab sosial.
Keunggulan kompetitif mungkin merupakan motivator yang lebih penting untuk penerapan standar sosial. Beberapa studi menyajikan berbagai keunggulan kompetitif dari adopsi sertifikasi sosial. Sebagai contoh: keuntungan ketika berhadapan dengan pesaing, peningkatan inovasi (pengembangan bisnis baru), peningkatan inovasi sosial, peluang bisnis baru, dan peningkatan kemampuan untuk mencapai hasil keuangan atau tujuan yang diinginkan.
Penggerak penting lainnya adalah penurunan risiko di sekitar bisnis. Terkait langsung dengan keunggulan kompetitif, pendorong ini sangat penting karena adopsi inisiatif CSR membantu mengelola risiko dalam bisnis dengan mencegah dan memitigasinya.
Ketaatan pada hukum pemerintah dapat menjadi motivator untuk terlibat dalam tanggung jawab sosial. Misalnya, dalam sebuah penelitian terhadap UKM di Bangladesh, yang menganggap bahwa "untuk mematuhi hukum domestik dan internasional" adalah pendorong untuk inisiatif CSR.

Internal 
Adopsi standar sosial dan inisiatif CSR meningkatkan lingkungan kerja dan membuatnya lebih berkelanjutan dengan meningkatkan hubungan antara karyawan dan organisasi, serta antara rekan kerja. Selain itu, adopsi standar sosial dan inisiatif CSR meningkatkan peluang organisasi untuk menarik para profesional yang berbakat dan diinginkan.
Organisasi yang telah mengadopsi standar sistem manajemen internasional lainnya dapat termotivasi untuk mengadopsi ISO 26000 karena standar sosial sering selaras dengan standar lain, seperti ISO 14001. Integrasi sistem manajemen dapat mengurangi biaya, seperti biaya penempatan, dan dapat meningkatkan "efisiensi operasional, motivasi karyawan, manajemen yang efisien dan pemanfaatan sumber daya organisasi, mendapatkan keunggulan kompetitif dan untuk pembangunan berkelanjutan".
Ukuran perusahaan dapat menjadi pendorong untuk mengadopsi atau mengikuti konten ISO 26000. Misalnya, penerapan aspek kesehatan dan keselamatan di tempat kerja dan lingkungan di perusahaan konstruksi di hongkong, berkaitan erat dengan perusahaan yang memiliki 200 karyawan atau lebih.
Akhirnya, ISO 26000 adalah panduan untuk implementasi aspek CSR di berbagai jenis organisasi. Standar ini menawarkan panduan untuk meningkatkan kredibilitas CSR organisasi dan mungkin diperlukan bagi beberapa organisasi untuk mengidentifikasi definisi konsensus tema sentral terkait dengan CSR.

Sepuluh pendorong utama untuk CSR di negara berkembang
1. Cultural Tradition. Tradisi Budaya. CSR di negara berkembang mengacu pada tradisi budaya filantropi, bisnis tradisional yang mengakar kuat etika, dan keterikatan komunitas. Contoh yang paling sederhana di Indonesia adalah tradisi agama Islam melalui memberikan amal berupa hewan kurban (sapi atau kambing) ketika lebaran haji di Indonesia. 
2. Political Reform. CSR di negara berkembang tidak dapat dipisahkan dari proses reformasi sosial-politik, yang sering mendorong perilaku bisnis ke arah integrasi masalah sosial dan etika. Untuk Contohnya, De Oliveira (2006) berpendapat bahwa politik dan terkait sosial dan ekonomi perubahan di Amerika Latin sejak 1980 - an, termasuk demokratisasi, liberalisasi, dan privatisasi, telah menggeser peran bisnis ke arah mengambil tanggung jawab yang lebih besar masalah sosial dan lingkungan.
3. Socio-economic Priorities. Amaeshi et al. (2006), misalnya, berpendapat bahwa CSR di Nigeria secara khusus ditujukan mengatasi tantangan pembangunan sosial ekonomi negara, termasuk kemiskinan pengentasan, penyediaan layanan kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan pendidikan. Ini, mereka berpendapat, sangat kontras dengan banyak prioritas CSR Barat seperti konsumen perlindungan, perdagangan adil, pemasaran ramah lingkungan, masalah perubahan iklim, atau tanggung jawab sosial investasi.
CSR di negara berkembang paling langsung dibentuk oleh lingkungan sosial ekonomi di mana perusahaan memutuskan untuk beroperasional, yang berimplikasi terhadap penciptaan prioritas pembangunan di lokasi usaha terkait. Michael Spicer, CEO Yayasan Afrika Selatan dan mantan eksekutif senior untuk konglomerat pertambangan Anglo American, berpendapat bahwa memiliki CSR yang dipandu oleh masyarakat prioritas ekonomi suatu negara atau wilayah hanyalah bisnis yang baik. Selanjutnya, dia menunjukkan bahwa perusahaan di negara-negara berkembang harus secara aktif membentuk sosial- lanskap ekonomi dan politik untuk menciptakan lingkungan operasi yang kondusif untuk bisnis (Middleton, 2005).
4. Governance Gaps/ Kesenjangan Tata Kelola. CSR sering dilihat sebagai cara untuk menyambungkannya 'kesenjangan tata kelola' ditinggalkan oleh pemerintah yang lemah, korup, atau kekurangan sumber daya yang gagal menyediakan berbagai layanan sosial (perumahan, jalan, listrik, perawatan kesehatan, pendidikan, dll.). Sebuah survei oleh Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WBCSD 2000) mengilustrasikan perspektif ini: ketika ditanya bagaimana CSR harus didefinisikan, Ghanaians menekankan 'membangun kapasitas lokal' dan 'mengisi ketika pemerintah gagal'.
5. Crisis Response/ Respon Krisis. Berbagai jenis krisis yang terkait dengan negara-negara berkembang sering memiliki efek memicu tanggapan CSR. Krisis ini dapat berupa ekonomi, sosial, lingkungan, kesehatan– terkait, atau industri. Sebagai contoh, Newell (2005) mencatat bahwa krisis ekonomi di Argentina pada 2001–2 menandai titik balik yang signifikan dalam CSR, memicu perdebatan tentang peran bisnis dalam pengentasan kemiskinan. Yang lain melihat perubahan iklim (Hoffman, 2005) dan HIV / AIDS (Dunfee, 2006) sebagai krisis yang menggembleng CSR di negara berkembang. Peristiwa bencana dengan dampak langsung seringkali lebih mungkin untuk menimbulkan respons CSR, terutama dari jenis filantropis. Respons perusahaan terhadap tsunami Asia adalah a kasus klasik in point (Fernando, 2007). Namun, kecelakaan industri juga dapat terjadi tekanan untuk CSR. Contohnya termasuk respons Union Carbide terhadap Bhopal 1984 bencana di India (Shrivastava, 1995) dan respons Shell terhadap (hal. 485) menggantung dari aktivis hak asasi manusia Ken Saro-Wiwa di Nigeria pada tahun 1995 (Wheeler et al. , 2002).
6. Market Access/ Akses Pasar. Kebalikan dari pendorong prioritas sosial-ekonomi adalah untuk melihat kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi ini sebagai pasar yang belum dimanfaatkan. Gagasan ini mendasari literatur yang sedang berkembang di 'bawah strategi piramida, yang merujuk pada model bisnis yang berfokus pada pembalikan keempat miliar orang miskin di dunia menjadi konsumen (Prahalad dan Hammond, 2002; London dan Hart, 2004; Rangan et al. , 2007). CSR juga dapat dilihat sebagai enabler bagi perusahaan di negara-negara berkembang akses pasar di negara maju. CSR juga terkadang digunakan sebagai pendekatan kemitraan untuk menciptakan atau mengembangkan yang baru pasar.
7. International Standardization/ Standardisasi Internasional. kode dan standar CSR adalah pendorong utama bagi CSR di Indonesia negara berkembang. Seperti yang sudah dicatat, survei Baskin (2006) tentang praktik CSR di pasar negara berkembang menunjukkan semakin tingginya tingkat adopsi ISO 14001 dan Global Pedoman Pelaporan Keberlanjutan Inisiatif Pelaporan. Kode juga sering digunakan sebagai respons CSR di sektor-sektor yang lazim di negara berkembang, seperti hortikultura (Dolan dan Opondo, 2005), kakao (Schrage dan Ewing, 2005), dan tekstil (Kaufman et al ., 2004), serta untuk menangani tekanan sosialmasalah di negara berkembang, seperti pekerja anak (Kolk dan Van Tulder, 2002) atau perannya perempuan di tempat kerja (Prieto ‐ Carron, 2004)
8. Investment Incentives/ Insentif Investasi. Keyakinan bahwa investasi multinasional terkait erat dengan kesejahteraan sosial negara berkembang bukanlah fenomena baru (Gabriel, 1972). Namun, kian bertambah investasi ini disaring untuk kinerja CSR. Karenanya, bertanggung jawab secara sosial investasi (SRI) menjadi pendorong lain bagi CSR di negara-negara berkembang. 
9. Stakeholder Activism/ Aktivisme Stakeholder. Dengan tidak adanya kontrol pemerintah yang kuat atas sosial, etika, dan kinerja lingkungan perusahaan di negara berkembang, aktivisme oleh kelompok pemangku kepentingan telah menjadi pendorong penting bagi CSR. Lund ‐ Thomsen (2004) menggambarkan ini sebagai 'hasil dari perjuangan tingkat mikro antara perusahaan dan masyarakat atas distribusi bahaya sosial dan lingkungan yang tercipta ketika kekuatan politik dan ekonomi global berinteraksi dengan konteks lokal di sekitar dunia '(hlm. 106). Di negara berkembang, empat kelompok pemangku kepentingan muncul sebagai aktivis paling kuat untuk CSR, yaitu agen pembangunan (Jenkins, 2005), serikat pekerja (Kaufman et al. ,2004), LSM internasional (Christian Aid, 2005), dan asosiasi bisnis (WBCSD, 2000). Keempat kelompok ini menyediakan platform dukungan bagi LSM lokal, yang tidak selalu berkembang dengan baik atau sumber daya yang memadai untuk memberikan advokasi yang kuat untuk CSR. Itu media juga muncul sebagai pemangku kepentingan utama untuk mempromosikan CSR di negara-negara berkembang (Vivarta dan Canela, 2006).
10. Supply Chain/Rantai pasokan. Penggerak signifikan lain untuk CSR di negara berkembang, terutama di kalangan kecil dan perusahaan menengah, adalah persyaratan yang diberlakukan oleh perusahaan multinasional pada rantai pasokan mereka. Tren ini dimulai dengan berbagai inisiatif perdagangan etis (Blowfield, 2003, 2004), yang mengarah pada pertumbuhan audit dan pelabelan perdagangan yang adil skema untuk produk pertanian yang bersumber di negara berkembang (Dolan dan Opondo, 2005; Schrage dan Ewing, 2005). Dugaan kondisi kerja yang buruk dan hak asasi manusia pelanggaran dalam beberapa rantai pasokan multinasional profil tinggi dalam olahraga dan pakaian sektor juga merupakan katalisator yang signifikan untuk perhatian yang lebih besar terhadap persyaratan CSR.
Salah satu tanggapan adalah pengembangan standar yang dapat disertifikasi seperti SA 8000, yaitu sekarang banyak digunakan sebagai mekanisme penyaringan untuk perusahaan multinasional dalam memilih pemasok mereka di negara berkembang (Kolk dan Van Tulder, 2002). Perubahan besar juga terjadi dicapai melalui inisiatif berbasis sektor seperti Forest Stewardship Council untuk kehutanan berkelanjutan dan Dewan Penatalayanan Kelautan untuk penangkapan ikan berkelanjutan.

Hambatan 
Menurut Valmohammadi (2011) berdasarkan hasil mensurvei 130 perusahaan manufaktur di Iran dan memberi peringkat hambatan utama untuk menerapkan praktik dan inisiatif CSR: (1) kurangnya pengetahuan atau kesadaran CSR; (2) fokus pada menghilangkan hambatan dan mencapai tujuan jangka pendek daripada mengembangkan strategi jangka panjang; (3) kurangnya pengetahuan tentang bagaimana menerapkan CSR dengan strategi organisasi; (4) kurangnya komunikasi dan promosi pemangku kepentingan yang memadai; (5) perusahaan swasta percaya bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas pembangunan berkelanjutan dan kepemimpinan dalam bidang ini; (6) tindakan amal selalu dipahami untuk tetap pribadi; dan (7) mentalitas xenofobia (takut terhadap orang asing) dan adanya konspirasi (conspiracy-shaped).
1. The general lack of knowledge or awareness of CSR.
2. Entrepreneurs and businesspeople in Iran are more focused on removing obstacles and
achieving short-term goals than on developing longer-term strategies.
3. Lack of knowledge regarding how to build CSR into organization strategy.
4. Lack of effective communication and promotion of stakeholders.
5. Private companies believe that the government should be responsible for sustainable
development and lead in this field.
6. Charitable acts are always meant to remain confidential.
7. Xenophobic and conspiracy-shaped mentality as far as joint ventures or international
CSR-related activities are concerned.


Dunphy et al. Membedakan enam fase perubahan perusahaan terkait tanggung jawab sosial, yaitu penolakan, tidak responsif, kepatuhan, keterbukaan, integrasi, dan kolaborasi. Dijelasakan sebagai berikut :
Suzanne Benn, Dexter Dunphy and Andrew Griffiths, 2003, Organizational change for corporate sustainability, Routledge, London, hlm. 28-32

Fase penolakan. 
Pada fase ini, sumber daya yang tersedia, seperti karyawan, lingkungan alam, peraturan pemerintah, dan masyarakat harus dieksploitasi untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Secara sadar perusahaan menolak segala kewajiban apa pun yang tidak dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan. Aspek kesehatan dan keselamatan diabaikan atau diberikan “lip service”. Kerugian yang berasal dari etnis, jenis kelamin, kelas sosial, kemampuan intelektual dan kemahiran bahasa secara sistematis dieksploitasi untuk menguntungkan organisasi dan selanjutnya merugikan karyawan dan subkontraktor. Paksaan, ancaman kekerasan dan pelecehan digunakan untuk mempertahankan kepatuhan dan pengerahan tenaga kerja. Biaya pelatihan dijaga seminimal mungkin untuk mengoperasikan bisnis; pengeluaran untuk pengembangan pribadi dan profesional dihindari. Perusahaan tidak bertanggung jawab atas prospek kesehatan, kesejahteraan, dan karier masa depan dari para pegawainya maupun bagi masyarakat tempat organisasi itu berada. Kekhawatiran masyarakat langsung ditolak.
Lingkungan dianggap sebagai “free good” (barang gratis) untuk dieksploitasi demi keuntungan perusahaan. Pemilik/manajer memusuhi aktivis lingkungan dan tekanan pemerintah, perusahaan lain, atau kelompok masyarakat yang bertujuan mencapai keberlanjutan ekologis. Tindakan pro-lingkungan dipandang sebagai ancaman bagi organisasi. Ekstraksi sumber daya fisik dan proses produksi digunakan yang secara langsung menghancurkan kapasitas produksi masa depan dan/atau merusak ekosistem. Produk samping atau polusi dibuang ke biosfer yang menyebabkan kerusakan dan mengancam proses kehidupan. Perusahaan tidak bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari operasi yang sedang berjalan dan tidak mengubah operasinya untuk mengurangi degradasi ekologis.

Non-responsiveness
Faktor keuangan dan teknologi mendominasi strategi bisnis dengan mengesampingkan sebagian besar aspek manajemen sumber daya manusia. Strategi “Hubungan industrial” (industrial relation-IR) atau “hubungan karyawan” (employment relation-ER) mendominasi agenda manusia dengan “tenaga kerja” dipandang sebagai biaya yang harus dikurangi. Terlepas dari minimalisasi biaya, strategi IR/ER diarahkan untuk mengembangkan tenaga kerja yang patuh yang responsif terhadap kontrol manajerial. Agenda pelatihan, jika ada, berpusat pada pelatihan teknis dan pengawasan. Strategi dan kebijakan sumber daya manusia yang lebih luas diabaikan begitu pula dengan masalah tanggung jawab sosial dan kepedulian masyarakat yang lebih luas.
Lingkungan ekologis tidak dianggap sebagai faktor yang relevan dalam keputusan strategis atau operasional. Faktor keuangan dan teknologi mendominasi strategi bisnis dengan mengesampingkan masalah lingkungan. Pendekatan tradisional terhadap efisiensi mendominasi proses produksi dan lingkungan diterima begitu saja. Sumber daya lingkungan yang gratis atau disubsidi (udara, air, dll.) Terbuang sia-sia dan sedikit perhatian diberikan pada degradasi lingkungan akibat kegiatan organisasi. Risiko, biaya, peluang, dan keharusan lingkungan dianggap tidak relevan atau tidak dirasakan sama sekali.

Kepatuhan (Compliance/Risk Reduction)
Faktor keuangan dan teknologi masih mendominasi strategi bisnis tetapi manajemen senior memandang perusahaan sebagai “pemberi kerja yang layak”. Penekanannya adalah pada kepatuhan terhadap persyaratan hukum dalam IR, keselamatan, standar tempat kerja dll. Fungsi sumber daya manusia seperti pelatihan, IR, pengembangan organisasi, total quality management (TQM) dilembagakan tetapi ada sedikit integrasi di antara mereka. Pada dasarnya organisasi mengejar kebijakan kepatuhan hukum ditambah paternalisme baik hati, dengan harapan kesetiaan karyawan sebagai respons. Kekhawatiran masyarakat hanya diatasi ketika perusahaan menghadapi risiko penuntutan atau di mana publisitas negatif dapat berdampak buruk pada garis bawah keuangan perusahaan.
Faktor keuangan dan teknologi masih mendominasi strategi bisnis tetapi manajemen senior berusaha untuk mematuhi undang-undang lingkungan dan untuk meminimalkan potensi kewajiban perusahaan dari tindakan yang mungkin memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Pelanggaran lingkungan yang paling jelas dihilangkan, khususnya yang dapat mengarah ke litigasi atau aksi masyarakat yang kuat yang ditujukan terhadap perusahaan. Masalah lingkungan lainnya, yang tidak mungkin menarik minat atau aksi masyarakat yang kuat, diabaikan.

Efesiensi (efficiency)
Ada upaya sistematis untuk mengintegrasikan fungsi sumber daya manusia untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi. Fungsi sumber daya manusia diintegrasikan ke dalam sistem SDM yang koheren. Orang dipandang sebagai sumber pengeluaran yang signifikan untuk digunakan seproduktif mungkin. Pelatihan teknis dan pengawasan ditambah dengan pelatihan hubungan manusia (keterampilan interpersonal). Organisasi dapat melembagakan program kerja tim di sekitar fungsi bisnis yang signifikan dan umumnya mengejar nilai tambah daripada strategi pengurangan biaya eksklusif. Ada perhitungan cermat rasio biaya/manfaat untuk pengeluaran sumber daya manusia untuk memastikan efisiensi tercapai. Proyek kemasyarakatan dilaksanakan di mana dana tersedia dan di mana manfaat biaya bagi perusahaan dapat diilustrasikan.
Praktek lingkungan yang buruk dipandang sebagai sumber penting dari biaya yang dapat dihindari. Masalah-masalah ekologis yang menghasilkan biaya ditinjau secara sistematis dalam upaya untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi dengan menghilangkan limbah dan dengan tetap mempertimbangkan proses produksi, produksi dan distribusi. Mungkin ada keterlibatan aktif dalam beberapa pendekatan sistematis seperti manajemen kualitas lingkungan total (ISO 14001). Masalah lingkungan tidak dilihat sebagai penghasil biaya yang dapat dihindari atau peningkatan efisiensi diabaikan.

Strategic Sustainability
Perpaduan keterampilan dan keragaman tenaga kerja dipandang sebagai aspek integral dan sangat penting dari strategi perusahaan dan bisnis. Modal intelektual dan sosial digunakan untuk mengembangkan keuntungan strategis melalui inovasi dalam produk/jasa. Program dilembagakan untuk merekrut talenta terbaik untuk organisasi dan untuk mengembangkan kompetensi tingkat tinggi dalam individu dan kelompok. Selain itu, keterampilan disistematisasi untuk membentuk kompetensi dasar perusahaan sehingga organisasi kurang rentan terhadap kehilangan individu-individu kunci. Penekanan ditempatkan pada inovasi produk dan layanan dan kecepatan respons terhadap tuntutan pasar yang muncul. Praktik-praktik tempat kerja yang fleksibel adalah fitur kuat dari budaya tempat kerja dan berkontribusi pada tenaga kerja yang menjalani kehidupan yang lebih seimbang. Komunitas yang terkena dampak operasi organisasi diperhitungkan dan inisiatif untuk mengatasi dampak negatif terhadap masyarakat diintegrasikan ke dalam strategi perusahaan. Lebih lanjut, korporasi memandang dirinya sebagai anggota komunitas dan sebagai hasilnya berkontribusi pada perbaikan komunitas dengan menawarkan sponsor atau waktu karyawan untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek yang ditujukan untuk mempromosikan kohesi dan kesejahteraan masyarakat.
Strategi lingkungan proaktif yang mendukung kelestarian ekologis dipandang sebagai sumber peluang bisnis strategis untuk memberikan keunggulan kompetitif. Perancangan ulang produk digunakan untuk mengurangi keseluruhan material (throughput) dan menggunakan material yang dapat didaur ulang. Produk dan proses baru dikembangkan yang menggantikan atau menggantikan produk dan proses yang merusak lingkungan yang ada atau memenuhi kebutuhan masyarakat yang muncul di sekitar masalah berkelanjutan (reboisasi; pengolahan limbah beracun). Organisasi ini mencari kepemimpinan kompetitif melalui produk dan proses ramah lingkungan tombak.

Ideological Commitment
Organisasi menerima tanggung jawab untuk berkontribusi dalam proses pembaruan dan peningkatan pengetahuan manusia dan pembentukan keterampilan dalam komunitas dan masyarakat pada umumnya, dan merupakan penggerak kuat keanekaragaman tempat kerja dan keseimbangan kerja/kehidupan sebagai prinsip tempat kerja. Ini mengadopsi posisi etika perusahaan yang kuat dan jelas berdasarkan pada berbagai perspektif pemangku kepentingan dan berusaha untuk memberikan pengaruh pada peserta kunci dalam industri dan masyarakat secara umum untuk mengejar kesejahteraan manusia, praktik sosial yang adil dan adil, dan pemenuhan potensi manusia untuk semua.
Organisasi ini menjadi proaktif terhadap nilai-nilai keberlanjutan ekologis dan berupaya memengaruhi peserta kunci dalam industri dan masyarakat secara umum. Praktik terbaik lingkungan didukung dan dilaksanakan karena merupakan hal yang bertanggung jawab untuk dilaksanakan. Organisasi mencoba untuk membantu masyarakat menjadi masyarakat yang berkelanjutan secara ekologis untuk menjadi berkelanjutan secara ekologis dan menggunakan seluruh jajaran produk dan layanannya untuk tujuan ini. Organisasi tersebut siap menggunakan pengaruhnya untuk mempromosikan kebijakan keberlanjutan positif di pihak pemerintah, restrukturisasi pasar dan pengembangan nilai-nilai masyarakat untuk memfasilitasi munculnya masyarakat yang berkelanjutan.

Friday, 20 December 2019

Konsep dan implementasi CSR di Indonesia

Pengaturan CSR di Indonesia
Pengaturan CSR sebagai kewajiban hukum bagi perusahaan sebagaimana telah ditetapkan dalam berbagai peraturan perundanga, antra lain :  
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), Undang-
Undang  Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman  Modal (UUPM), 
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), 
Undang-Undang Nomor  22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, 
Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara 
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun  2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas 
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Pengaturan konsep CSR dalam berbagai peraturan perundangan di Indonesia telah memberikan pengakuan hukum, bahwa kehadiran perusahaan tidak hanya untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pemegang saham atau pemilik perusahaan, namun turut bertanggung jawab terhadap para pemangku kepentingan.
Meskipun pengakuan tersebut hanya diperuntukan terhadap perusahaan tertentu, yakni sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. 
Sedangkan konsep tanggung jawab terhadap seluruh stakeholders, sejatinya merupakan konsepsi umum, yakni berlaku terhadap seluruh perusahaan.
Selain itu, secara normatif pengaturan tersebut memberikan dasar perlindungan hukum kepada para pimpinan atau manajer perusahaan untuk melaksanakan CSR secara patut dan wajar.
Pengaturan ini juga dapat mencegah upaya memaksimalisasi keuntungan bagi para pemegang saham mayoritas semata, khususnya terhadap perusahaan atau grup perusahaan yang dimiliki oleh keluarga tertentu, dimana para pimpinan perusahaan merupakan pemegang saham mayoritas dan/atau masih satu keluarga. Dengan demikian turut memberikan perlindungan terhadap stakeholders sekaligus para pemegang saham minoritas.

Pada tahun 2015 Lembaga Transformasi untuk Keadilan (TuK) dan Profundo merilis laporan "Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia". Memaparkan 25 grup perusahaan kelapa sawit di Indonesia menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa. Perusahaan itu dikendalikan 29 taipan (Bos Besar) yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek. Namun, perusahaan tersebut tidak sungguh-sungguh terbuka dan dimiliki publik, karena para taipan memegang kendali dominan atas perusahaan, dengan penguasaan 20-80 persen saham. Mereka adalah Grup Wilmar (dimiliki Martua Sitorus dkk), Sinar Mas (Eka Tjipta Widjaja), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Batu Kawan (Lee Oi Hian asal Malaysia), Salim (Anthoni Salim), Jardine Matheson  (Henry Kaswick, Skotlandia), Genting  (Lim Kok Thay, Malaysia), Sampoerna (Putera Sampoerna), Surya Dumai (Martias dan Ciliandra Fangiono), dan Provident Agro (Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno). Lalu Grup Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo (George Tahija), Bakrie  (Aburizal Bakrie), BW Plantation-Rajawali (Peter Sondakh), Darmex Agro (Surya Darmadi), DSN (TP Rachmat dan Benny Subianto), Gozco (Tjandra Gozali), Harita (Lim Hariyanto Sarwono), IOI (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana Agri (Henry Maknawi), Musim Mas (Bachtiar Karim), Sungai Budi (Widarto dan Santosa Winata), Tanjung Lingga (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi, Stefanus Joko, dan Budhi Istanto), dan Triputra (TP Rachmat dan Benny Subianto). 

Tanpa adanya pengakuan dari peraturan perundangan, maka tidak ada perlindungan hukum bagi para manajer dari tekanan para pemegang saham. Misalnya di Amerika, dimana pengakuan hukum pertama kalinya bagi para manajer untuk melaksanakan kegiatan amal atau sosial, tercermin dalam putusan Mahkamah Agung New Jersey dalam AP Smith Mfg. Co. v. Barlow di tahun 1953. Dimana sebelumnya, pada tahun 1919, Mahkamah Agung Michigan dari Dodge v. Ford Motor Co mendefinisikan korporasi sebagai entitas yang “diatur dan dijalankan dengan dan untuk keuntungan pemegang saham”.   

Selain itu, beberapa ahli juga berpendapat, bahwa desakan pelaksanaan CSR sebagai “tindakan sukarela saja” menyesatkan karena hukum perusahaan tentu akan memiliki dampak yang sangat mendasar pada CSR. Misalnya sistem hukum perusahaan seperti di Inggris, yang dirancang untuk memaksimalkan laba dan pengambilan risiko dengan sedikit pengembalian dari sistem hukum, tidak kondusif bagi penegakan CSR yang efektif. Konsep hukum perusahaan tentang pertanggungjawaban terbatas dan kepribadian hukum yang terpisah dari firma bertindak sebagai penghalang untuk menahan perusahaan dan pemegang saham untuk mempertanggungjawabkan bahaya mereka, bahkan ketika, menurutnya, perusahaan global terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. 

Sebelum adanya UUPT dan UUPM, perdebatan tentang CSR di Indonesia sangatlah minim. Oleh karenanya, meskipun tidak ada penelitian yang secara khusus terhadap kehadiran pengaturan konsep CSR dalam UUPT dan UUPM, namun kehadirannya telah menimbulkan perdebatan terhadap CSR, sehingga secara langsung ataupun tak langsung telah meningkatkan animo dan pengetahuan masyarakat, termasuk perusahaan terhadap konsep dan penerapan CSR di Indonesia. 


Konsep CSR Indonesia

Konsep dari TJSL, CSR dan PKBL. Keselarasan konsep antara berbagai peraturan serta implikasi kewenangannya (kementerian BUMN, KLHK atau Kemensos). 
CSR pertama sekali diatur oleh pemerintah dalam KepmenBUMN 236/MBU/2003, dimana Kepmen ini telah diganti dan bahkan beberapa kali mengalami perubahan, adapun kini yang berlaku adalah Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PermenBUMN 09/ MBU/07/2015).
Menurut Pasal 1 angka 6 dan angka 7 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, Program Kemitraan BUMN adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri. Program Bina Lingkungan adalah adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN.
Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, disebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. 
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Konsep Triple Bottom Line.
Konsep dalam TJSL dan CSR dan PKBL memiliki kesamaan konsep, dengan tujuan yang sama dengan konsep Triple P (Profit, People, and Planet) yang dipopulerkan oleh John Elkingkton.

Penegasan konsep CSR di Indonesia, CSR dalam UUPM berlaku general menunjukan CSR secara General, sedangkan dalam UUPT, juga menekankan aspek lingkungan terkait dampak usaha di bidang SDA. Selain itu penegasan sumber dana CSR, dimana bukan diambil dari keuntungan seperti dalam PKBL, yakni Triple Bottom Line.

Thursday, 19 December 2019

CSR, tanggung jawab hukum ataukah Kesukarelaan

Secara internal, pergeseran paradigma tradisional tentang tujuan perusahaan dari yang sekedar meraih keuntungan hanya untuk pemegang saham, telah berubah sesuai keadaan dan harapan masyarakat. Namun terlalu naif rasanya apabila kita banyak berharap, bahwa korporasi tidaklah sekedar mencari keuntungan semata.
Secara global, CSR telah diakui terintegrasi ke dalam bisnis inti perusahaan, sehingga memungkinkan menjamin keuntungan bagi seluruh pemangku kepentingan serta merealisasikan tujuan keberlanjutan jangka panjang perusahaan menjadi Bisnis Berkelanjutan (Sustainable Business). Namun, kenyataanya di beberapa negara, CSR tidak berjalan seperti yang diharapkan. Seperti yang terjadi di Indonesia, Ghana, Vietnam, India dan Bangladesh, dimana konsep sukarela CSR yang awalnya bersifat self regulatory berubah menjadi goverment regulation.  
Harus ditegaskan, bahwa pengaturan hukum tidaklah lebih dari satu elemen yang mungkin di antara banyak, dan seringkali bahkan bukan yang paling berguna atau yang paling penting untuk mendorong implementasi CSR.  Begitu banyak peraturan hukum di negara ini yang sekedar menjadi hitam diatas putih saja, tanpa ada implementasi dan penegakan hukum yang nyata. Dengan kata lain, baik bersifat kewajiban hukum ataupun sukarela, maka yang paling utama dan yang terpenting adalah, apakah upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mendorong atau mempromosikan ketaatan perusahaan terhadap implementasi CSR. 

Terdapat banyak elemen yang menjadi motivasi pelaksanaan CSR, baik secara eksternal maupun internal, yang berupa tekanan para pemangku kepentingan, tekanan pasar dan kesadaran etis perusahaan. Dalam konteks penegakan hukum lingkungan, maka selain command and control dan penaatan sukarela, maka implementasi CSR juga dapat didorong dengan instrumen ekonomi atau pengungkapan informasi dan/atau secara hybrid dengan menggabungkan berbagai instrumen yang berbeda. 
Regulasi Pendorong Penerapan CSR
Integrasi ini juga dapat dilihat dari perspektif masing-masing negara; negara-negara juga menerima isu-isu ini dalam strategi sosio-ekonomi mereka dan dengan demikian membangun isu-isu ini di dalam ekonomi nasional. Misalnya, di Inggris, selama 10 tahun terakhir telah ada jabatan Menteri CSR untuk mendorong tanggung jawab sosial yang lebih besar di perusahaan-perusahaan Inggris. 
Belgia mengeluarkan Undang-Undang Pensiun Kerja 2003 (Belgia) 126 yang mengharuskan manajer dana pensiun untuk mengungkapkan sejauh mana dimana mereka mempertimbangkan kriteria etis, sosial, dan lingkungan dalam kebijakan investasi mereka dalam laporan tahunan mereka. Dengan cara yang sama, Peraturan Skema Pensiun Kerja (Investasi) 1996 (Inggris) mensyaratkan bahwa wali amanat dari dana pensiun kerja mengungkapkan pertimbangan sosial, lingkungan atau etika yang telah mereka buat dalam pemilihan, retensi dan realisasi investasi mereka. Ini telah semakin diperkuat dengan arahan legislatif untuk wali menurut Trustee Act 2000 (UK). Undang-undang ini mewajibkan wali amanat investasi untuk memastikan bahwa mereka telah menerapkan 'pertimbangan etis yang relevan dengan jenis investasi yang sesuai untuk dibuat kepercayaan tersebut.' 'The Companies Act of 2006 (UK) telah memperkenalkan persyaratan pelaporan khusus tentang lingkungan dan masalah sosial. Ini memberikan pedoman komprehensif dengan implikasi potensial untuk berbagai pelaku CSR. Ini membuat tiga serangkai penting tugas direksi, manajemen risiko bisnis, dan pelaporan perusahaan secara eksplisit jangka panjang, relasional, dan peka pemangku kepentingan dalam struktur, konten, dan implementasinya. Di Jerman, sejak 2001, tersertifikasi swasta dan skema pensiun pekerjaan telah diminta untuk melaporkan apakah mereka mempertimbangkan aspek etika, ekologis, dan sosial dalam kebijakan investasi mereka. 
Denmark adalah negara pertama di dunia yang memperkenalkan undang-undang tentang pelaporan lingkungan publik yang wajib. Negara ini memberlakukan ketentuan hukum yang membuat pengumuman kinerja lingkungan kepada publik dan pemeliharaan akun lingkungan wajib bagi perusahaan. Di Belanda, di bawah skema perundang-undangan yang dibentuk oleh perpanjangan dari Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan pada bulan April 1997 dan Keputusan Pelaporan Lingkungan efektif sejak tahun 1999, kategori industri tertentu (saat ini sekitar 250) diharuskan untuk menghasilkan dua laporan lingkungan, satu untuk publik dan yang lain untuk pihak berwenang. Undang-Undang Akuntansi 1999 (Norwegia) mewajibkan semua perusahaan untuk memasukkan lingkungan informasi dalam laporan keuangan tahunan mereka, dan secara bersamaan, Departemen Lingkungan Norwegia telah mengembangkan standarnya sendiri untuk pelaporan lingkungan. Demikian juga, menurut Bagian 1013D (1) 1 dari Corporations Act 2001 (Cth), semua produk keuangan dengan komponen investasi, termasuk dana pensiun dan reksa dana, harus mencakup pengungkapan sejauh mana standar ketenagakerjaan atau lingkungan, sosial atau etika yang dipertimbangkan dalam pemilihan, retensi atau realisasi investasi.

Salah satu tindakan pemerintah dalam kerangka kerja mempromosikan dan mengembangkan CSR, seperti yang diterapkan di Eropa, adalah dengan mengidentifikasi aspek-aspek tertentu dari CSR yang dalam perkembangannya akan lebih baik apabila diwajibkan. Misalnya pengaturan terhadap pelaporan dan investasi sosial yang bertanggung jawab. (Sumber : Josep M. Lozano, Laura Albareda, Tamyko Ysa, Heike Roscher, Manila Marcuccio, 2008, Governments and Corporate Social Responsibility, Public Policies beyond Regulation and Voluntary Compliance, Palgrave Macmillan, New York, hlm.16)

Pada negara dengan ekonomi yang kuat, investor institusional, regulator, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok masyarakat sipil secara umum merespons dengan bekerja sama dengan sektor swasta untuk membuat pengaturan mandiri perusahaan lebih kuat dan efektif. Di negara-negara ini, dana pensiun, koalisi konsumen, organisasi nirlaba dan kelompok lainnya telah mengembangkan skema pemantauan yang memasukkan aspek-aspek CG ke dalam pedoman, peringkat, dan praktik terbaik CSR mereka. Namun, di sebagian besar ekonomi lemah, etos CSR belum dimasukkan ke dalam CG. Oleh karena itu, dalam ekonomi yang lemah, pengaturan diri perusahaan tidak berkontribusi besar terhadap perkembangan sosial. Secara umum, dalam ekonomi lemah padat karya di mana keberadaan koalisi sosial yang didorong CSR jarang, LSM dan media tidak mencerminkan hati nurani perusahaan dan strategi peraturan tidak memiliki fitur yang diperlukan untuk memastikan komitmen jangka panjang masyarakat korporasi untuk akuntabilitas pemangku kepentingan, regulasi mandiri perusahaan tampaknya tidak mengandung prinsip-prinsip inti CSR.  Misalnya di negara Bangladesh ini, pengaturan mandiri perusahaan tidak cukup fokus pada pengembangan tanggung jawab sosial, lingkungan dan etika perusahaan yang diatur sendiri. CG tidak memupuk peraturan internal berdasarkan konsep yang ditetapkan. Karena tidak adanya budaya perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial, perusahaan sering menganggap tanggung jawab sosial, lingkungan dan etika mereka sebagai masalah sampingan. Oleh karena itu peran pengaturan diri perusahaan dalam pengembangan budaya perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial sangat sedikit di negara ini.
Dalam keadaan ini, beberapa negara berkembang berusaha memasukkan prinsip-prinsip CSR ke dalam inti peraturan perusahaan mereka dan mengadopsi strategi regulasi yang berbeda untuk tujuan ini. Mereka mereformasi undang-undang dan peraturan utama perusahaan mereka untuk membantu manajemen perusahaan untuk menghubungkan prinsip-prinsip CSR dengan peraturan mereka sendiri. 

Wednesday, 18 December 2019

Strategi-Strategi Konservasi Gua (Manajemen Perlindungan Ekosistem Gua)

Banyak daerah di Indonesia memiliki wilayah yang membentuk morfologi khas yang sebagian kondisi alamnya merupakan kawasan yang berbentuk pegunungan, memiliki berbagai sumberdaya alam antara lain berupa batu kapur, mata air, berbagai flora dan fauna, dikenal sebagai morfologi karst. Daerah kawasan karst dapat memberikan manfaat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indonesia mempunyai kawasan karst yang luasnya diperkirakan sekitar 15,4 juta hektar.

Kawasan karst yang merupakan kondisi wilayah spesifik dan khas mempunyai potensi sumberdaya alam yang tidak dimiliki oleh wilayah lainnya. Potensi yang unggul adalah dimilikinya sumberdaya air dalam jumlah yang berlimpah dan puluhan gua yang terbentuk secara alamiah melalui proses waktu yang sangat panjang.
Kenampakan endokarst seperti gua banyak sekali di jumpai di kawasan karst baik yang berair maupun gua fosil, tersebar merata di bagian tubuh dan kaki bukit karst. Gua yang ada, mempunyai stalaktit dan stalakmit yang berragam bentuk dan ukurannya. Pada umumnya antar gua saling berhubungan dan mempunyai lorong/alur sungai bawah tanah dengan panjang bervariasi. Sungai bawah tanah yang terbentuk banyak dijumpai karena proses pelarutan pada bidang rekahan dan saling berhubungan.
Terjadinya pencemaran pada salah satu ujung sungai bawah tanah akan menyebar ke beberapa alur sungai bawah tanah lainnya dan akhirnya akan mencemari mata air di sekitarnya. Perusakan pada salah satu ujung berakibat pada bagian lainnya, sehingga perlindungan pada permukaan karst atau eksokarst sangat diperlukan.

Terdapat berbagai strategi untuk konservasi Gua, yang akan tergantung dari sifat dan kondisi Gua yang akan dikonservasi. Dimana setiap Gua dapat memiliki keragaman yang mungkin harus diperlakukan secara berbeda-beda. Gua menyediakan lingkungan yang unik tetapi juga tantangan unik bagi ahli konservasi. Misalnya, Gua yang lebih populer akan membutuhkan strategi yang lebih mendalam daripada gua yang jarang dikunjungi. Namun, apa pun status gua itu, haruslah ditekankan, bahwa sekali kerusakan telah terjadi, maka mungkin tidak dapat diperbaiki kembali selama kita hidup, karena bisanya ekosistem gua telah berkembang selama ribuan tahun dan terkadang jauh lebih lama.
Huddart memaparkan berbagai langkah dan upaya konservasi Gua oleh para cavers, antara lain, konservasi rahasia (secret conservation), akses nol (zero acces), akses terbatas (Restricted Access), Pemesanan (Booking), akses periodik (Periodical Access), pembangunan gerbang (Gating), Gua yang dikorbankan (Sacrificial Caves), Konservasi Daya Tahan (Endurance Conservation), Hambatan Buatan (Artificial Obstacles), Menonaktifkan Zona (Zoning Off), Perbaikan Formasi (Formation Repair), Kerangka Kerja Explorasi (Work Exploration Policy), Skema Adopsi Gua (Cave Adoption Schemes), Manajemen Fauna Gua (Cave Fauna Management), Gua Kelelawar Buatan (Artificial Bat Caves), dan Manajemen Pengelolaan Gua Wisata (Management of Lampenflora in Show Caves). Selengkapnya akan dipaparkan, berikut ini :
1. Pengelolaan Gua secara kelembagaan, yang telah diterapkan di Amerika misalnya. Biro Pengelolaan Tanah (the Bureau of Land Management/BLM) bertanggung jawab terhadap pengelolaan 800 gua di 11 negara bagian barat. Sedangkan pengelola taman nasional (the National Park Service/NPS) telah mengelola gua dan pemandangan karst di 120 taman (81 gua yang telah dieksplorasi dan lebih dari 3900 gua yang diketahui berada di seluruh sistem taman nasional).

2. Pengklasifikasian Gua menjadi beberapa Kelas. Pengkasifikasian tersebut didasarkan atas pertimbangan tiga faktor, yaitu: (a) sumber daya gua, (b) sumber daya permukaan, dan (c) potensi kecelakaan dan penyelamatan. Pengelola taman nasional di Kanada mengkategorikan Gua menjadi 3 Kelas, yaitu : 
  • Gua Kelas 1 adalah dimana akses masuk wajib memiliki izin, dimana kategori Gua memiliki nilai sumber daya tertinggi, bukan untuk rekreasi, setiap kunjungan harus ditambahkan pengetahuan, atau memberi manfaat bagi konservasi gua.
  • Gua Kelas 2 adalah akses dengan izin di mana penggunaan rekreasi diizinkan, di sana ada beberapa masalah manajemen dan pendidikan/ orientasi dimungkinkan selama proses perizinan.
  • Gua Kelas 3 memiliki akses publik yang tidak terbatas dengan sedikit atau tidak ada masalah manajemen dan tidak ada izin yang diperlukan.
3. Perjanjian dan Penutupan Akses (Access Agreements and Physical Barriers). 
Merupakan cara paling konkrit untuk mengendalikan kerusakan Gua dengan mengontrol akses masuk ke dalam gua dan/atau membangun penghalang fisik ke pintu masuk. Misalnya, di Inggris yang menerapkan negosisasi perjanjian akses masuk oleh Council for Northern Caving Clubs (CNCC) yang dipublikasikan di situs web mereka, dimana mereka menetapkan berbagai ketentuan wajib yang harus dipatuhi untuk dapat memperoleh izin akses masuk ke dalam Gua.
Perjanjian untuk pemilik lahan di wilayah Casterton Fell, perjanjian akses dikelola atas nama Whelprigg Estate oleh CNCC. Akses klub hanya untuk klub anggota CNCC dan British Caving Association (BCA). Ini adalah kondisi perjanjian akses dengan Whelprigg Estate bahwa para pemula cavers tidak diizinkan masuk ke dalam sistem Easegill dan bahwa sistem tersebut tidak digunakan untuk melatih para cavers dalam teknik-teknik caving (selain teknik yang digunakan oleh para caver yang berpengalaman, misalnya, fotografi, survei, dan konservasi).

4. Secret Conservation (Konservasi rahasia). 
Pada prinsipnya, konservasi ini mencegah publikasi adanya penemuan Gua yang baru oleh komunitas cavers, sehingga keberadaan Gua baru hanya menjadi pengetahuan komunitas tersebut dan tetap tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya. Tujuannya adalah mencegah meningkatnya jumlah pengunjung ke dalam Gua, sehingga kelestarian Gua dapat terjaga. Dimana mereka hanya memberikan informasi kepada mereka yang secara Subyektif, dianggap telah memahami teknik penelusuran gua serta menghormati dan melindungi Gua yang baru.
Strategi ini sering diadopsi pada awal penemuan tetapi hanya cocok dalam jangka pendek karena bersifat elitis, memecah belah, kontroversial, dan sering kontraproduktif sebagai teknik konservasi. Kami telah melihat dari contoh sebelumnya informasi yang terkait dengan penemuan gua menyebar dengan cepat sehingga konservasi rahasia tidak berfungsi.
Strategi ini lazim diterapkan di komunitas cavers, misalnya komunitas National Speleological Society (NSC) di Amerika dan Komunitas Cavers di Yogyakarta Indonesia. 

5. Larangan Akses Masuk (Zero Acces)
Bentuk konservasi yang paling radikal dan revolusioner adalah tidak memiliki akses ke gua dan pemikiran di baliknya sederhana: manusia merusak gua, gua adalah lingkungan yang rentan terhadap kerusakan, dan karenanya tidak ada manusia, tidak ada kerusakan. Namun, ini menimbulkan banyak argumen mengenai aspek pendidikan, sensor, dan kebebasan bergerak dan memiliki masalah moral juga tetapi tidak dapat diabaikan sebagai strategi konservasi.
Di Inggris contoh dari pendekatan ini adalah the Stump Cross Caverns yang benar-benar sebuah gua wisata, tetapi ini tidak mencakup keseluruhan gua dan ada bagian lain yang dapat dieksplorasi. Buku Northern Caving menunjukkan bahwa izin untuk memasuki bagian-bagian gua ini tidak mungkin diberikan tetapi dimungkinkan untuk untuk mencoba dan mendapatkan akses masuknya.


Foto : Konservasi di the Stump Cross Caverns melalui pembatasan atau penutupan bagian tertentu di dalam Gua (www.tripadvisor.co.nz)


6. Pembatasan Akses (Restricted Access)
Strategi manajemen ini hanya memungkinkan kelompok-kelompok tertentu untuk memasuki sistem gua, misalnya, kelompok pendidikan, kelompok penelitian, kelompok eksplorasi, kelompok klub gua yang berafiliasi dengan komite taman nasional dan kelompok masyarakat umum di gua pertunjukan. Ada sistem masuk yang diatur. Contohnya adalah sistem pemimpin di gua Mendips untuk St. Cuthberts, Shatter, Withyhill, dan Reservoir di mana partai-partai dibatasi tidak lebih dari lima orang karena jumlah yang lebih besar diyakini meningkatkan kecerobohan dan kerusakan. 
Namun, Stanton (1982) mengemukakan bahwa dalam sistem ini "mereka menuntut banyak tekad dan dedikasi dari para pemimpin, kemerosotan masih terjadi tetapi pada tingkat yang jauh lebih lambat." Beberapa gua membutuhkan pemimpin yang diakui untuk perjalanan seperti dalam Dan tahun Ogof (Wales Selatan) di mana pemimpin umumnya seseorang dari South Wales Caving Club yang telah mengunjungi gua setidaknya tiga kali dan telah membuktikan bahwa mereka menyadari masalah konservasi dan keselamatan. Sekali lagi kelompok-kelompok pada umumnya terbatas pada lima orang sehingga setiap orang dapat berbicara satu sama lain tanpa harus menyalip orang lain dan berisiko menyimpang dari jalan dan formasi yang mengganggu. Ini dapat dipandang sebagai elitis, dan jika dikombinasikan dengan gating maka dapat secara visual telah mengganggu lingkungan alam Gua.

7. Akses Periodik (Periodical Acces)
Ini merujuk pada di mana kelompok tertentu hanya memiliki akses pada waktu tertentu dalam setahun, dengan kata lain musim caving. Ini akan mengintensifkan penggunaan selama periode waktu tunggal dan idenya adalah bahwa gua bisa pulih selama musim tertutup. Namun tidak ada bukti nyata bahwa ini adalah masalahnya. Di Yorkshire Dales, musim tertutup ini berbeda untuk sistem yang berbeda, misalnya pada Leck Fell dan sistem Pipperkin-Nipperkin, antara 1 April dan 30 Juni sementara di Mongo Gill-Shockle Shaft, selama bulan Mei dan Juli. Kesulitan utama di sini adalah penegakan akses.

8. Pemesanan (Booking)
Strategi ini paling baik dicapai melalui strategi manajemen, tetapi kurangnya spontanitas dan kekakuan dengan harus memesan untuk mengambil bagian dalam hobi yang dipilih seseorang dapat menunda orang untuk mengambil bagian atau memesan. Sekali lagi sistem Leck Fell memerlukan aplikasi tertulis ke CNCC satu bulan sebelumnya, dan masalahnya adalah bagaimana menegakkan sistem ini. Di Amerika Serikat, misalnya, Taman Nasional Great Basin di Nevada memiliki lebih dari 40 gua, dan untuk gua harus ada aplikasi untuk izin gua setidaknya 2 minggu sebelum perjalanan. Mereka disetujui untuk mereka yang dapat menunjukkan pengalaman dengan teknik horisontal dan vertikal, etika konservasi gua, dan keahlian dengan peralatan yang diperlukan dan dapat menyatakan bahwa peralatan mereka bersih dan didesinfeksi. Izin ini harus dimiliki saat mengalah, dan grup ini dibatasi antara tiga dan enam orang.

9. Pembangunan Penutup Akses (Gating)
Ini menciptakan penghalang bagi pengguna gua. Bentuk yang paling umum adalah gerbang gembok ke sistem di mana caver harus terlebih dahulu mendapatkan kunci sebelum turun. Bentuk pembatasan ini efektif karena gua harus dimiliki oleh klub gua yang diakui dan diperkirakan bahwa anggota klub tersebut memiliki rasa hormat yang lebih besar terhadap gua yang dimaksud dan menggunakannya dengan sensitivitas yang lebih besar, tetapi itu tidak selalu berhasil karena kerusakan masih terjadi yang disebabkan oleh club cavers. Ini tidak selalu praktis baik karena beberapa gua memiliki terlalu banyak pintu masuk. 
Ini melibatkan pengajuan dan pemesanan setidaknya dua minggu sebelum perjalanan yang diusulkan dan melibatkan informasi seperti nama klub atau organisasi caving, nama pemimpin, jumlah dalam kelompok, tanggal kunjungan yang diusulkan, setoran, dan amplop beralamat dicap. Pada saat menerima informasi ini, sebuah keputusan akan dibuat untuk mengizinkan akses, dan jika akses diizinkan kunci dikirimkan kepada pemimpin. Ini hanya berlaku untuk perjalanan caving yang “normal”, dan izin tambahan diperlukan untuk berkemah di bawah tanah, survei, eksplorasi, atau menyelam. Izin dapat ditolak karena alasan apa pun yang dianggap sekretariat izin itu sah.

10. Gua Pengorbanan (Sacrificial Caves)
Di Inggris, BCA mendorong kelompok pemula untuk menghindari gua-gua yang sensitif dan memfokuskan kegiatan pada gua-gua yang mampu mempertahankan tekanan. Ini adalah pendekatan manajemen honeypot dan bahwa dengan menyetujui gua-gua tertentu sebagai pengorbanan di mana kepentingan konservasi tidak lagi menjadi pertimbangan utama, itu akan mengurangi tekanan pada gua-gua lainnya yang akan dikonservasi.
Contoh terbaik di Yorkshire Dales adalah sistem Long Churn atau Great Douk dan di South Wales, sistem Porthyr Ogof, tempat parkir mobil dibangun untuk mendorong penggunaan. Gua-gua ini harus memiliki nilai pendidikan yang tinggi, dan harus ada contoh perlunya konservasi, jika tidak, bahayanya adalah terlalu rendah prioritas ditempatkan pada pendidikan dalam kegiatan dan generasi baru dari caver dapat dibuat tanpa menyadari perlu untuk konservasi.
Strategi ini mungkin dapat diterapkan bagi pendidikan cavers yang lazim dilaksanakan oleh komunitas pencinta alam. Misalnya melalui pelaksanaan pendidikan dasar (Diksar atau Diklat) serta pendidikan lanjutan (Dikjut atau Lantap), yang lebih baik difokuskan dilaksanakan pada Gua Wisata/ Memiliki daya dukung yang baik.

Lanjut besok..besok ah....