Dua Sisi Kebijakan Pembatasan Impor Sawit Uni Eropa
ELSA EMIRIA LEBA
6 Juli 2019 · 19:22 WIB
Dinamika perselisihan antara negara pengekspor minyak sawit mentah (CPO) dan Uni Eropa terus bergulir. Uni Eropa membuat kebijakan untuk membatasi hingga menghentikan impor minyak sawit sebagai bahan bakar nabati dengan alasan sawit menyebabkan deforestasi.
Indonesia dan Malaysia, sebagai pengekspor sawit terbesar di dunia, menganggap Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi perdagangan. Pasalnya, UE akan tetap menggunakan minyak nabati lainnya hasil produksi perusahaan Eropa yang membutuhkan lahan lebih luas dari sawit, seperti minyak rapa dan biji bunga matahari.
Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles-Michel Geurts, di Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, pembatasan impor minyak sawit tidak membuat UE melarang impor seluruh produk minyak sawit.
Menurut dia, lebih dari setengah komoditas minyak sawit yang dikonsumsi Eropa bukan untuk biodiesel. Oleh karena itu, tetap ada peluang bagi Indonesia untuk mengirim produk sawit ke pasar Eropa.
”Kabar baiknya adalah UE ingin mengonsumsi produk yang berkelanjutan. Indonesia juga berkomitmen yang sama untuk memproduksi produk dengan prinsip yang sama. Saya yakin, jalan UE dan Indonesia akan bertemu,” tutur Geurts.
Indonesia telah mendorong dan mengampanyekan produksi sawit yang berkelanjutan guna memenuhi permintaan pasar Eropa. Strategi telah dilakukan, antara lain, dengan menerbitkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), mengeluarkan kebijakan moratorium perizinan kelapa sawit, dan menanam kembali pohon di lahan yang sama.
Sejumlah pengamat mengeluarkan pendapat yang mengkritik atau mendukung UE ataupun Indonesia. Namun, beberapa pihak kini menyoroti sisi lain dari keputusan UE untuk membatasi dan menghentikan impor sawit untuk biodiesel.
Dosen Ekonomi Lingkungan University of Reading, Elizabeth Robinson, serta Dosen Manajemen dan Tata Kelola Hutan Institut Pertanian Bogor, Herry Purnomo, menulis artikel berjudul ”Palm oil: an EU ban won’t save Asian rainforests, but here’s what might help” yang dirilis The Conversation pada 3 Mei 2019. Salah satu poin utama tulisan adalah kebijakan UE kemungkinan hanya memberikan dampak positif yang kecil terhadap lingkungan.
Menurut Robinson dan Purnomo, Indonesia mengekspor dua pertiga produksi minyak sawit untuk biodiesel dan hanya satu perlima dari jumlah itu yang dikirim ke UE. Pembatasan kuota tersebut justru akan menyebabkan Indonesia meningkatkan penjualan minyak sawit ke negara importir lainnya, seperti India dan China.
Upaya Indonesia untuk memproduksi dan memperdagangkan minyak kelapa sawit dengan prinsip berkelanjutan dapat terganggu. Selain UE, negara importir lainnya juga belum berkomitmen penuh untuk membeli produk yang diproses menggunakan prinsip berkelanjutan.
”Larangan itu bahkan dapat merusak lingkungan dengan mengakhiri upaya untuk bekerja dengan negara-negara yang mengembangkan produksi minyak sawit berkelanjutan yang juga dapat mengurangi kemiskinan,” tulis Robinson dan Purnomo.
Pertanyaan yang sering muncul, apakah dengan mengantongi sertifikat berkelanjutan bisa menjamin mereka mendapatkan harga jual layak.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, perusahaan-perusahaan Indonesia berupaya untuk menerapkan prinsip berkelanjutan, salah satunya melalui sertifikat ISPO yang tidak mudah dan murah untuk diperoleh. Adapun dari sekitar 700 perusahaan anggota Gapki, baru sekitar 400 yang sudah bersertifikat ISPO.
”Bagi mereka (perusahaan berskala kecil dan petani individu), pertanyaan yang sering muncul, apakah dengan mengantongi sertifikat berkelanjutan bisa menjamin mereka mendapatkan harga jual layak,” ujar Togar (Kompas, 1/7/2019).
Kilas balik
Perseteruan antara UE dan negara pengekspor minyak nabati bukan cerita baru. Namun, kondisi semakin genting memasuki tahun ini.
Pada 13 Maret 2019, Komisi Eropa mengadopsi aturan pelaksanaan dari Pedoman Energi Terbarukan (RED II). Salah satu rekomendasi RED II adalah minyak sawit tidak lagi diakui sebagai bahan bakar nabati di Eropa. Hal ini dapat mengancam ekspor sawit sejumlah negara, antara lain Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Keputusan itu berdasarkan hasil kajian yang didanai oleh Komisi Eropa pada 2015. Hasil kajian menyebutkan, minyak sawit dan kedelai merupakan kontributor tidak langsung terbesar terhadap emisi gas rumah kaca. Penanaman kedua jenis tanaman ini dinilai menyebabkan deforestasi.
Kajian tersebut dilakukan sebagai bagian dari komitmen UE untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setidaknya 40 persen pada 2030 di bawah level yang ada pada 1990. Komitmen ini disebutkan dalam Perjanjian Paris pada 2016 yang bertujuan untuk mengontrol pemanasan global.
Menurut rencana, jika tidak ada keberatan, aturan pelaksanaan RED II yang telah diadopsi akan disahkan setelah dua bulan.
Pada 13 Juni 2019, UE akhirnya sepakat untuk secara bertahap mengurangi penggunaan minyak sawit untuk biodiesel hingga 2030. Menurut anggota Parlemen Eropa, Bas Eickhout, jumlah penggunaan minyak kelapa sawit akan dibatasi selama 2019-2023 dan selanjutnya berkurang secara bertahap hingga nol pada 2030.
UE selama ini menggunakan minyak sawit sebagai salah satu bahan baku untuk bahan bakar nabati. Harga minyak kelapa sawit lebih murah daripada minyak nabati lainnya yang diproduksi di Eropa, seperti minyak rapa dan biji bunga matahari.
Mengutip data Copenhagen Economics, kebutuhan UE terhadap minyak sawit untuk biodiesel sebenarnya menunjukkan tren peningkatan selama 2010-2015. Pada 2015, UE mengimpor total 7,3 juta ton minyak sawit, terdiri dari 46 persen untuk biodiesel, 9 persen untuk listrik dan pemanas, serta 45 persen untuk makanan dan industri.
Jika Amerika Serikat dan Brasil dapat meninggalkan kesepakatan, kami juga dapat mempertimbangkannya. Kenapa tidak?
UE mengimpor minyak sawit kebanyakan dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pada 2017, UE mengimpor minyak sawit senilai 7 miliar dollar AS dan setengahnya digunakan untuk biodiesel.
Strategi Indonesia
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia bereaksi keras atas kebijakan UE. UE adalah salah satu pasar ekspor minyak sawit terbesar.
Setelah Indonesia dan Malaysia mengirim surat bersama kepada Komisi Eropa pada 8 April 2019, Indonesia juga sedang bersiap membawa persoalan tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Bahkan, Indonesia pernah mengancam untuk keluar dari Perjanjian Paris. UE dinilai terus memberikan tekanan terhadap sawit Indonesia. Padahal, perkebunan sawit membutuhkan lahan yang lebih sedikit dibandingkan perkebunan rapa atau kedelai.
Selain itu, pemerintah telah menunjukkan itikad untuk mengurangi emisi karbon melalui moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit. ”Jika Amerika Serikat dan Brasil dapat meninggalkan kesepakatan, kami juga dapat mempertimbangkannya. Kenapa tidak?” kata Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Indonesia juga mendorong pengembangan pencampuran biodiesel dari minyak sawit dengan solar untuk bahan bakar kendaraan melalui program B20 sejak 2016 dan B30 pada 2020. Strategi ini dilakukan untuk menyerap produksi minyak sawit sekaligus mengurangi impor minyak.
Pemerintah juga menargetkan satu peta sawit selesai dikerjakan pada Agustus 2019. Peta ini akan memberikan data yang lebih aktual terkait industri kelapa sawit dan dampaknya terhadap lingkungan. (REUTERS)
Koran Kompas. Editor Khaerudin Khaerudin
Diakses 13 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment