Gugatan KLHK terhadap Pertaminan Dalam Kasus Pencemaran Teluk Balikpapan
Langkah KLHK untuk menggugat perusahaan BUMN, yaitu Pertamina dengan total ganti kerugian sebesar 10 Triliun atas pencemaran minyak di teluk Balikpapan tentunya wajar untuk dipertanyakan.
Pada dasarnya, Pertamina telah mengakui dan menyatakan sikapnya untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Sehingga dari awal tragedi sampai dengan berakhirnya tragedi, Pertamina telah melakukan tindakan proaktif, dalam upaya penanggulangan pencemaran minyak di laut teluk Balikpapan.
Selain itu, sebelumnya KLHK juga telah menjatuhkan sanksi administrasi, yang dirahasiakan kepada masyarakat, kepada Pertamina.
Sehingga seharusnya secara administrasi, maka langkah-langkah pengendalian tumpahan minyak dan ganti kerugian terhadap lingkungan hidup telah terintegrasi ke dalam sanksi administrasi tersebut. Oleh karenanya, apabila memang sanksi administrasi tidak diindahkan, maka seharusnya langkah KLHK adalah melanjutkan ke sanksi berikutnya, yaitu sanksi Pidana termasuk di dalamnya adanya pidana denda dalam rangka penanggulangan tumpahan minyak.
Sikap kooperatif Pertamina seharusnya dapat mewujudkan suatu kerjasama yang baik bersama KLHK untuk mengatasi tumpahan minyak. Namun, kenyataanya, tanpa adanya keterangan yang jelas dari KLHK, kemudian KLHK menggugat Pertamina karena tragedi di Balikpapan tersebut.
Apakah sangat sulit untuk mendudukan secara bersama, antara KLHK dan Kementerian BUMN dan ESDM, secara bersama-sama membahas solusi penanggulangan tumpahan minyak tersebut?
Mengapa mesti dibawa ke pengadilan?
Kasus tersebut menggambarkan, bahwa antara PT. Pertamina sebagai perusahaan PLAT MERAH yang secara tidak langsung ada di bawah Kementerian ESDM dan/atau BUMN dan KLHK saling BERMUSUHAN.
ANGGARAN 800 JUTA
Padahal KLHK membebankan dana atau anggaran sebesar 800 juta untuk biaya penyelesaian sengketa lingkungan tersebut. Jumlah yang cukup besar tentunya untuk menyelesaikan suatu kasus dalam penegakan hukum lingkungan. Padahal, anggaran lembaga KPK saja untuk penanganan perkara korupsi, yang rerata berjumlah 433 juta per/kasus, menjadi sorotan berlulang-ulang setiap tahunnya oleh DPR. (Baca sini dan ini)
Tidak bisakah para pihak duduk bersama. Yaitu 3 kementerian bersama pertamina bersikap saling kooperatif menyelesaikan kasus tumpahan minyak secara bersama-sama. Dengan adanya pendekatan yang kooperatif, maka seharusnya biaya 800 juta tersebut tidak diperlukan. Kemudian alangkah baiknya apabila dana tersebut malah dipergunakan untuk membantu upaya pertamina dalam rangka pemulihan ekosistem teluk Balikpapan.
Dengan begitu, maka upaya pemulihan lingkungan tidak berlarut-larut, menunggu selesainya sengketa gugatan yang diajukan oleh KLHK terhadap Pertamina.
Kapankah selesainya sengketa tersebut???.
Sehingga seharusnya secara administrasi, maka langkah-langkah pengendalian tumpahan minyak dan ganti kerugian terhadap lingkungan hidup telah terintegrasi ke dalam sanksi administrasi tersebut. Oleh karenanya, apabila memang sanksi administrasi tidak diindahkan, maka seharusnya langkah KLHK adalah melanjutkan ke sanksi berikutnya, yaitu sanksi Pidana termasuk di dalamnya adanya pidana denda dalam rangka penanggulangan tumpahan minyak.
Sikap kooperatif Pertamina seharusnya dapat mewujudkan suatu kerjasama yang baik bersama KLHK untuk mengatasi tumpahan minyak. Namun, kenyataanya, tanpa adanya keterangan yang jelas dari KLHK, kemudian KLHK menggugat Pertamina karena tragedi di Balikpapan tersebut.
Apakah sangat sulit untuk mendudukan secara bersama, antara KLHK dan Kementerian BUMN dan ESDM, secara bersama-sama membahas solusi penanggulangan tumpahan minyak tersebut?
Mengapa mesti dibawa ke pengadilan?
Kasus tersebut menggambarkan, bahwa antara PT. Pertamina sebagai perusahaan PLAT MERAH yang secara tidak langsung ada di bawah Kementerian ESDM dan/atau BUMN dan KLHK saling BERMUSUHAN.
ANGGARAN 800 JUTA
Padahal KLHK membebankan dana atau anggaran sebesar 800 juta untuk biaya penyelesaian sengketa lingkungan tersebut. Jumlah yang cukup besar tentunya untuk menyelesaikan suatu kasus dalam penegakan hukum lingkungan. Padahal, anggaran lembaga KPK saja untuk penanganan perkara korupsi, yang rerata berjumlah 433 juta per/kasus, menjadi sorotan berlulang-ulang setiap tahunnya oleh DPR. (Baca sini dan ini)
Tidak bisakah para pihak duduk bersama. Yaitu 3 kementerian bersama pertamina bersikap saling kooperatif menyelesaikan kasus tumpahan minyak secara bersama-sama. Dengan adanya pendekatan yang kooperatif, maka seharusnya biaya 800 juta tersebut tidak diperlukan. Kemudian alangkah baiknya apabila dana tersebut malah dipergunakan untuk membantu upaya pertamina dalam rangka pemulihan ekosistem teluk Balikpapan.
Dengan begitu, maka upaya pemulihan lingkungan tidak berlarut-larut, menunggu selesainya sengketa gugatan yang diajukan oleh KLHK terhadap Pertamina.
Kapankah selesainya sengketa tersebut???.
Kapankah pemulihan terhadap kerugian lingkungan direalisasikan???
Kapankah kerugian masyrakat direalisasikan???
Kapankah kerugian masyrakat direalisasikan???
Kasus Pencemaran Montara
Sikap KLHK terhadap perusahaan asing dalam kasus pencemaran sumur minyak Montara justru MEMBLE. KLHK terkesan melunak terhadap pencemaran Laut Timor akibat meledaknya Sumur minyak Montara yang ada di negara di Australia. Padahal sebaliknya, masyarakat yang dirugikan dan LSM berjibaku sampai ke negeri Kangguru untuk meminta pertanggungjawaban PTTEP selaku operator sumur minyak Montara.
Anehnya lagi, pada awalnya pemerintah berencana menggugat sebesar 24 Triliun atau 23 Triliun.
Namun tidak jadi dilaksanakan. Pemerintah malah menyetujui untuk menerima DANA KOMPENSASI yang jumlahnya, jauh dari rencana gugatan awal, yaitu sebanyak 5 Juta dolar, yang kemudian DITERIMA oleh pemerintah dengan berbagai alasannya.
Kliping Berita :
Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK Jasmin Ragil Utomo mengatakan penyelesaian kasus Montara tidak bisa diselesaikan lewat jalan damai di luar pengadilan. Upaya damai bisa dilakukan di pengadilan pada tahap mediasi.
Menurut Jasmin, PTT EP bisa saja melakukan Corporate Social Responsibilty (CSR) kepada masyarakat terdampak. Namun, proses hukum tetap berjalan. "Kesimpulannya bahwa proses di pengadilan tetap berjalan bersamaan dengan pelaksanaan CSR," ujar dia kepada Katadata.co.id, Jumat (13/4).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya menyatakan akan mencari format pembayaran ganti rugi tumpahan minyak kilang sumur Montara. Format ini diperlukan apabila perusahaan Thailand ini bersepakat dengan pemerintah menyelesaikan permasalahan ini di luar pengadilan.
Ketika ditanyakan apakah mekanisme penggantian kerugian ini menggunakan dana Corporate Social Responsibilty (CSR) atau dibebankan ke cost recovery PTTEP, Luhut tidak menjawab. Dia hanya mengatakan pemerintah masih mencari format ganti rugi terbaik. "Yang penting kami bela kepentingan rakyat, tapi tidak perlu dengan berkelahi," kata Luhut di kantornya, Jakarta, Rabu (11/4)
Pemerintah sebelumnya menggugat PTTEP dan afiliasinya karena diduga mencemari perairan di Nusa Tenggara Timur akibat bocornya minyak mentah dari unit pengeboran di Montara tahun 2009. Pemerintah mengajukan tuntutan sebesar Rp 27,4 triliun yang terdiri dari dua komponen.
Pertama, komponen ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp 23 triliun. Kedua, biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp 4,4 triliun.
Reporter: Anggita Rezki Amelia
No comments:
Post a Comment