Perubahan Iklim
Persoalan perubahan iklim dan dampaknya dirasakan semakin meningkat seiring dengan konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang terus meningkat. Berdasarkan hal tersebut, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992, menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC).
Konvensi perubahan iklim bertujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi yang dimaksud harus dapat dicapai dalam satu kerangka waktu tertentu sehingga memberikan waktu yang cukup kepada ekosistem untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim dan dapat menjamin produksi pangan tidak terancam dan pembangunan ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan termasuk dalam negara Non-Annex I. Dengan demikian Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC atau Kerangka Kerja PBB dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.
Protokol Kyoto
Dalam rangka mengimplementasikan tujuan Konvensi Perubahan Iklim untuk menstabilkan konsentrasi GRK agar tidak mengganggu sistem iklim, pada sidang ketiga Konferensi Para Pihak (Third Session of the Conference of Parties, COP-3) yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang, tahun 1997, dihasilkan suatu konsensus berupa keputusan (Decision 1/CP.3) untuk mengadopsi Protokol Kyoto untuk Konvensi kerangka PBB tentang Perubahan Iklim.
Protokol Kyoto merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini, bertujuan mengembalikan tendensi peningkatan emisi yang secara historis dimulai di negara-negara tersebut 150 tahun yang lalu. Protokol Kyoto menempatkan beban yang lebih berat untuk negara-negara maju, dengan berdasarkan pada prinsip common but differentiated responsibilities.
Protokol Kyoto mengatur mekanisme penurunan emisi GRK yang dilaksanakan negara-negara maju, yakni: (1) Implementasi Bersama (Joint Implementation), (2) Perdagangan Emisi (Emission Trading); dan (3) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM). Joint Implementation (JI) merupakan mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi GRK. Emission Trading (ET) merupakan mekanisme perdagangan emisi yang dilakukan antar negara industri, dimana negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini bertujuan agar negara Annex I dapat mencapai target pengurangan emisi melalui program pengurangan emisi GRK di negara berkembang.
Setelah diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997, Protokol Kyoto dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25, Protokol Kyoto secara efektif akan berlaku 90 hari setelah diratifikasi oleh paling sedikit 55 Pihak Konvensi, termasuk negara- negara maju dengan total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990 dari kelompok negara-negara industri.
Protokol Kyoto memasuki awal berlakunya (entered into force) pada 16 Februari 2005. Pengaturan yang lebih rinci untuk mengimplementasikan Protokol Kyoto telah diadopsi pada COP-7 tahun 2001 di Marrakesh, Morocco, yang selanjutnya dikenal sebagai "Marrakesh Accords." Periode komitmen pertama dari pelaksanaan Protokol Kyoto telah dimulai tahun 2008 dan berakhir tahun 2012.
Indonesia telah melakukan ratifikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Dengan meratifikasi Protokol Kyoto, Indonesia dapat berpartisipasi melalui salah satu mekanisme Protokol Kyoto yaitu Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM).
Dalam perjalanannya, Protokol Kyoto dapat dikatakan berakhir dengan kegagalan dalam mencapai tujuannya.
Perjanjian Paris
Pertemuan Para Negara Pihak UNFCCC yang ke-21 atau COP21/CMP11 UNFCCC, telah diselenggarakan di Paris, Perancis tanggal 30 November – 12 Desember 2015.
Perjanjian Paris mewakili puncak fase ketiga rezim perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Fase pertama berlangsung dari 1990-1995 dan melibatkan negosiasi, adopsi, dan berlakunya UNFCCC. Yang kedua menduduki dekade 1995- 2004, dari inisiasi negosiasi Protokol Kyoto hingga berlakunya. Fase saat ini berfokus pada pengembangan pendekatan yang lebih global, yang membatasi emisi gas rumah kaca (GRK) dari semua negara.
Konferensi Paris melibatkan 195 negara peserta, lebih dari 19.000 peserta pemerintah (termasuk 150 kepala negara), lebih dari 6000 perwakilan LSM dan bisnis, termasuk banyak CEO, dan sekitar 2800 anggota pers.
Perjanjian Paris disebut bersejarah karena ini adalah pertama kalinya bagi negara maju dan berkembang, secara bersama-sama berkomitmen menjaga kenaikan suhu bumi.
Dengan kesepakatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka untuk mencapai tujuan untuk menjaga ambang batas kenaikan temperature di bawah 2 derajat celcius (2C) di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan temperatur ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi.
Kesepakatan Paris (Paris Agreement) sebagai pengganti Protokol Kyoto sebagai komitmen bersama dunia untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca yang diberlakukan pasca 2020. Namun, kesepakatan Paris tersebut bersifat tidak mengikat agar tidak bernasib seperti Protokol Kyoto.
Salah satu hasil utamanya adalah keputusan Decision 1/ CP.21 on Adoption of the Paris Agreement sebagai bentuk kesetaraan dan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan sesuai kapabilitas Negara Pihak, dengan mempertimbangkan kondisi nasional yang berbeda-beda.
Inilah bentuk mekanisme tanggung jawab yang dikenal dengan istilah CRBD (common responsibilities but differentiate), yang istilah sebelumnya adalah “common but differentiated responsibilities”. Misalnya, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi 29 persen pada tahun 2030. Komitmen Indonesia dalam agenda ini dijelaskan lewat Intended Nationally Determined Contributions (INDC), atau komitmen nasional semua negara terhadap perubahan iklim.
Perjanjian Paris secara efektif akan berlaku 30 hari setelah diratifikasi oleh paling sedikit 55 Negara Pihak Konvensi yang jumlah total emisinya sekurang-kurangnya 55 persen dari jumlah total emisi gas rumah kaca global (double steshold).
Perjanjian Paris telah melembagakan paradigma baru yang, seiring waktu, mengkatalisasi aksi global yang semakin kuat untuk memerangi perubahan iklim. Delapan aspek yang menonjol dari Perjanjian Paris, yaitu:
• Pertama, ini adalah instrumen yang mengikat secara hukum (meskipun dengan banyak elemen yang tidak mengikat), berbeda dengan Copenhagen Accord, 15 yang merupakan kesepakatan politik.
• Kedua, bersifat global. Ini berlaku tidak hanya untuk negara-negara maju, seperti target mitigasi Protokol Kyoto, tetapi juga untuk negara-negara berkembang, yang merupakan bagian dari meningkatnya emisi global. Pada 15 Maret 2016, 188 negara telah mengajukan kontribusi yang ditentukan secara nasional, mewakili sekitar 95 persen dari emisi global.16 Ini, dengan sendirinya, luar biasa.
• Ketiga, ini menetapkan kewajiban inti yang sama untuk semua negara. Dengan melakukan hal itu, ia meninggalkan pendekatan statis, berdasarkan lampiran pada diferensiasi dalam UNFCCC dan Protokol Kyoto, mendukung pendekatan yang lebih fleksibel, dikalibrasi, yang memperhitungkan perubahan-perubahan di suatu negara. keadaan dan kapasitas serta dioperasionalkan secara berbeda untuk berbagai elemen rezim.
• Keempat, itu membangun arsitektur jangka panjang, tahan lama, berbeda dengan Copenhagen Accord, yang melibatkan janji satu tembakan yang hanya menangani periode hingga 2020.
• Kelima, arsitektur jangka panjang melembagakan proses yang berulang, di mana setiap lima tahun, para pihak akan kembali ke meja untuk mempertimbangkan kemajuan kolektif mereka dan mengajukan rencana pengurangan emisi untuk periode lima tahun ke depan.
• Keenam, ini menetapkan ekspektasi tindakan yang semakin kuat dari waktu ke waktu.
• Ketujuh, ini membentuk transparansi dan kerangka kerja akuntabilitas yang ditingkatkan yang merefleksikan, Justice Brandeis’s admonition, dimana sinar matahari menjadi "best of disinfectants" Negara akan memiliki insentif untuk melaksanakan NDC mereka karena, jika tidak, semua orang akan tahu, menundukkan mereka untuk mengintip dan tekanan publik.
• Kedelapan, tampaknya memerintahkan penerimaan universal, atau hampir universal.
Sumber :
Lihat: http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1353.php
Lihat: http://www.climate-leaders.org/climate-change-resources/india-at-cop-15/unfccc-cop
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2016, Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, Dan Nationally Determined Contribution, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Jakarta.
Daniel Bodansky, The Paris Climate Change Agreement: A New Hope?, The American Journal of International Law, Vol. 110, No. 2 (April 2016), pp. 288- 319, (http://www.jstor.org/stable/10.5305/amerjintelaw.110.2.0288)
No comments:
Post a Comment