Wednesday, 28 August 2019

Download Pdf

Putusan PT PALANGKARAYA Nomor 36/PDT/2017/PT PLK Tahun 2017terhadap gugatan ARIE ROMPAS. dkk .pdf

Putusan Mahkamah Agung Terhadap Gugatan ARIE ROMPAS. dkk .pdf

Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak pengajuan kasasi Gugatan ARIE ROMPAS. dkk .pdf
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/1e0bf42adc1961b853c5f86e82b69e48/pdf


DALAM EKSEPSI : - Menolak eksepsi dari para Tergugat untuk seluruhnya; DALAM PROVISI : - Menolak tuntutan provisi dari para Penggugat; DALAM POKOK PERKARA :

1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan PARA TERGUGAT telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;

3. Menghukum TERGUGAT I untuk menerbitkan Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat yaitu:
1). Peraturan Pemerintah tentang tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan Hidup;
2). Peraturan Pemerintah tentang baku mutu lingkungan, yang meliputi: baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
3). Peraturan Pemerintah tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
4). Peraturan Pemerintah tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup;
5). Peraturan Pemerintah tentang analisis risiko lingkungan hidup;
6). Peraturan Pemerintah tentang tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan
7). Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup;

4. Menghukum TERGUGAT I untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang menjadi dasar hukum terbentuknya tim gabungan yang terdiri dari TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV dan TERGUGAT VI;

5. Menghukum TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV dan TERGUGAT VI untuk membuat tim gabungan dimana fungsinya adalah :
1). Melakukan peninjauan ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
2). Melakukan penegakan hukum lingkungan perdata, pidana maupun administrasi atas perusahan-perusahaan yang lahannya terjadi kebakaran;
3). Membuat roadmap (peta jalan) pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan;

6. Menghukum TERGUGAT I beserta TERGUGAT II, TERGUGAT V dan TERGUGAT VI segera mengambil tindakan :
1). Mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Propinsi Kalimantan Tengah yang dapat diakses gratis bagi Korban Asap;
2). Memerintahkan seluruh rumah sakit daerah yang berada di wilayah provinsi Kalimantan Tengah membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang terkena dampak kabut asap di Provinsi Kalimantan Tengah;
3). Membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna antispasi potensi kebakaran hutan dan lahan yang berakibat pencemaran udara asap;
4). Menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar;

7. Menghukum TERGUGAT I beserta TERGUGAT II dan TERGUGAT VI untuk membuat:
1). Peta kerawanan kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
2). Kebijakan standart peralatan pengendalian kebakaran hutan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;

8. Menghukum TERGUGAT II untuk segera melakukan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 41 Tahun 2011 tentang Standar Fasilitasi Sarana Dan Prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model;

9. Menghukum TERGUGAT II dan TERGUGAT VI untuk :
1). Mengumumkan kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya;
2). Mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
3). Mengumumkan dana jaminan lingkungan hidup dan dana penanggulangan yang berasal perusahaan – perusahaan yang lahannya terbakar;
4). Mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan;

10. Menghukum TERGUGAT VI untuk membuat tim khusus pencegahan dini kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang berbasis pada wilayah Desa yang beranggotakan masyarakat lokal, untuk itu TERGUGAT VI wajib:
1). Mengalokasikan dana untuk operasional dan program tim;
2). Melakukan pelatihan dan koordinasi secara berkala minimal setiap 4 bulan dalam satu tahun;
3). Menyediakan peralatan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan;
4). Menjadikan tim tersebut sebagai sumber informasi pencegahan dini dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah;

11. Menghukum TERGUGAT VI dan TERGUGAT VII segera menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Perlindungan kawasan lindung seperti diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

12. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya;

13. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng sebesar Rp2.501.000,00 (dua juta lima ratus satu ribu rupiah);



Download
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47/Permentan/OT.140/4/2014 tanggal 4 April 2014 tentang Brigade dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan serta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun.pdf
disini : Ngayal...

download pdf
Rencana Strategis Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 – 2019.pdf


Saturday, 24 August 2019

Standar CSR - Panduan OECD untuk Perusahaan-Perusahaan Multinasional (OECD Guidelines)

Pada tanggal 4 May 2010, para pemerintah dari 42 Negara OECD dan yang Non-Negara OECD yang mengikatkan diri pada Deklarasi OECD mengenai Investasi Internasional dan Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Guidelines for International Investment and Multinational Enterprises OECD (Panduan OECD) adalah bagian dari deklarasi OECD. 
Panduan telah memberikan pedoman untuk operasional secara konkret bagi negara-negara anggota OECD, dengan ruang lingkup nilai-nilai etika di bidang-bidang, seperti investasi (prinsip pengungkapan), Hak-Hak Asasi Manusia, Ketenagakerjaan dan Hubungan industrial, Lingkungan Hidup, Pemberantasan Suap, Permintaan Suap dan Pemerasan, Kepentingan-Kepentingan Konsumen, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Persaingan Usaha dan Perpajakan.
Panduan OECD yang ditujukan oleh para pemerintah kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk menerapkan asas-asas dan standar-standar kesukarelaan untuk perilaku bisnis yang bertanggung jawab yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan standar-standar internasional yang diakui kepada perusahaan. 
Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa operasi-operasi berbagai perusahaan ini sejalan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, untuk menguatkan dasar dari rasa saling percaya antara perusahaan-perusahaan dengan masyarakat di mana mereka beroperasi, untuk memperbaiki iklim investasi asing dan untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan yang berkesinambungan yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Saat ini Panduan OECD telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa negara untuk memudahkan implementasinya. 
Panduan OECD klik disini

Tuesday, 20 August 2019

Larangan Ekspor Sawit - Kliping Berita

Dua Sisi Kebijakan Pembatasan Impor Sawit Uni Eropa
ELSA EMIRIA LEBA
6 Juli 2019 · 19:22 WIB

Dinamika perselisihan antara negara pengekspor minyak sawit mentah (CPO) dan Uni Eropa terus bergulir. Uni Eropa membuat kebijakan untuk membatasi hingga menghentikan impor minyak sawit sebagai bahan bakar nabati dengan alasan sawit menyebabkan deforestasi.

Indonesia dan Malaysia, sebagai pengekspor sawit terbesar di dunia, menganggap Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi perdagangan. Pasalnya, UE akan tetap menggunakan minyak nabati lainnya hasil produksi perusahaan Eropa yang membutuhkan lahan lebih luas dari sawit, seperti minyak rapa dan biji bunga matahari.

Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles-Michel Geurts, di Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, pembatasan impor minyak sawit tidak membuat UE melarang impor seluruh produk minyak sawit.

Menurut dia, lebih dari setengah komoditas minyak sawit yang dikonsumsi Eropa bukan untuk biodiesel. Oleh karena itu, tetap ada peluang bagi Indonesia untuk mengirim produk sawit ke pasar Eropa.

”Kabar baiknya adalah UE ingin mengonsumsi produk yang berkelanjutan. Indonesia juga berkomitmen yang sama untuk memproduksi produk dengan prinsip yang sama. Saya yakin, jalan UE dan Indonesia akan bertemu,” tutur Geurts.
Indonesia telah mendorong dan mengampanyekan produksi sawit yang berkelanjutan guna memenuhi permintaan pasar Eropa. Strategi telah dilakukan, antara lain, dengan menerbitkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), mengeluarkan kebijakan moratorium perizinan kelapa sawit, dan menanam kembali pohon di lahan yang sama. 
Sejumlah pengamat mengeluarkan pendapat yang mengkritik atau mendukung UE ataupun Indonesia. Namun, beberapa pihak kini menyoroti sisi lain dari keputusan UE untuk membatasi dan menghentikan impor sawit untuk biodiesel.

Dosen Ekonomi Lingkungan University of Reading, Elizabeth Robinson, serta Dosen Manajemen dan Tata Kelola Hutan Institut Pertanian Bogor, Herry Purnomo, menulis artikel berjudul ”Palm oil: an EU ban won’t save Asian rainforests, but here’s what might help” yang dirilis The Conversation pada 3 Mei 2019. Salah satu poin utama tulisan adalah kebijakan UE kemungkinan hanya memberikan dampak positif yang kecil terhadap lingkungan.

Menurut Robinson dan Purnomo, Indonesia mengekspor dua pertiga produksi minyak sawit untuk biodiesel dan hanya satu perlima dari jumlah itu yang dikirim ke UE. Pembatasan kuota tersebut justru akan menyebabkan Indonesia meningkatkan penjualan minyak sawit ke negara importir lainnya, seperti India dan China. 
Upaya Indonesia untuk memproduksi dan memperdagangkan minyak kelapa sawit dengan prinsip berkelanjutan dapat terganggu. Selain UE, negara importir lainnya juga belum berkomitmen penuh untuk membeli produk yang diproses menggunakan prinsip berkelanjutan.
”Larangan itu bahkan dapat merusak lingkungan dengan mengakhiri upaya untuk bekerja dengan negara-negara yang mengembangkan produksi minyak sawit berkelanjutan yang juga dapat mengurangi kemiskinan,” tulis Robinson dan Purnomo.

Pertanyaan yang sering muncul, apakah dengan mengantongi sertifikat berkelanjutan bisa menjamin mereka mendapatkan harga jual layak.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, perusahaan-perusahaan Indonesia berupaya untuk menerapkan prinsip berkelanjutan, salah satunya melalui sertifikat ISPO yang tidak mudah dan murah untuk diperoleh. Adapun dari sekitar 700 perusahaan anggota Gapki, baru sekitar 400 yang sudah bersertifikat ISPO.
”Bagi mereka (perusahaan berskala kecil dan petani individu), pertanyaan yang sering muncul, apakah dengan mengantongi sertifikat berkelanjutan bisa menjamin mereka mendapatkan harga jual layak,” ujar Togar (Kompas, 1/7/2019).

Kilas balik
Perseteruan antara UE dan negara pengekspor minyak nabati bukan cerita baru. Namun, kondisi semakin genting memasuki tahun ini.
Pada 13 Maret 2019, Komisi Eropa mengadopsi aturan pelaksanaan dari Pedoman Energi Terbarukan (RED II). Salah satu rekomendasi RED II adalah minyak sawit tidak lagi diakui sebagai bahan bakar nabati di Eropa. Hal ini dapat mengancam ekspor sawit sejumlah negara, antara lain Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Keputusan itu berdasarkan hasil kajian yang didanai oleh Komisi Eropa pada 2015. Hasil kajian menyebutkan, minyak sawit dan kedelai merupakan kontributor tidak langsung terbesar terhadap emisi gas rumah kaca. Penanaman kedua jenis tanaman ini dinilai menyebabkan deforestasi.
Kajian tersebut dilakukan sebagai bagian dari komitmen UE untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setidaknya 40 persen pada 2030 di bawah level yang ada pada 1990. Komitmen ini disebutkan dalam Perjanjian Paris pada 2016 yang bertujuan untuk mengontrol pemanasan global.

Menurut rencana, jika tidak ada keberatan, aturan pelaksanaan RED II yang telah diadopsi akan disahkan setelah dua bulan.

Pada 13 Juni 2019, UE akhirnya sepakat untuk secara bertahap mengurangi penggunaan minyak sawit untuk biodiesel hingga 2030. Menurut anggota Parlemen Eropa, Bas Eickhout, jumlah penggunaan minyak kelapa sawit akan dibatasi selama 2019-2023 dan selanjutnya berkurang secara bertahap hingga nol pada 2030.

UE selama ini menggunakan minyak sawit sebagai salah satu bahan baku untuk bahan bakar nabati. Harga minyak kelapa sawit lebih murah daripada minyak nabati lainnya yang diproduksi di Eropa, seperti minyak rapa dan biji bunga matahari.
Mengutip data Copenhagen Economics, kebutuhan UE terhadap minyak sawit untuk biodiesel sebenarnya menunjukkan tren peningkatan selama 2010-2015. Pada 2015, UE mengimpor total 7,3 juta ton minyak sawit, terdiri dari 46 persen untuk biodiesel, 9 persen untuk listrik dan pemanas, serta 45 persen untuk makanan dan industri.

Jika Amerika Serikat dan Brasil dapat meninggalkan kesepakatan, kami juga dapat mempertimbangkannya. Kenapa tidak?
UE mengimpor minyak sawit kebanyakan dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pada 2017, UE mengimpor minyak sawit senilai 7 miliar dollar AS dan setengahnya digunakan untuk biodiesel.

Strategi Indonesia
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia bereaksi keras atas kebijakan UE. UE adalah salah satu pasar ekspor minyak sawit terbesar.
Setelah Indonesia dan Malaysia mengirim surat bersama kepada Komisi Eropa pada 8 April 2019, Indonesia juga sedang bersiap membawa persoalan tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Bahkan, Indonesia pernah mengancam untuk keluar dari Perjanjian Paris. UE dinilai terus memberikan tekanan terhadap sawit Indonesia. Padahal, perkebunan sawit membutuhkan lahan yang lebih sedikit dibandingkan perkebunan rapa atau kedelai.
Selain itu, pemerintah telah menunjukkan itikad untuk mengurangi emisi karbon melalui moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit. ”Jika Amerika Serikat dan Brasil dapat meninggalkan kesepakatan, kami juga dapat mempertimbangkannya. Kenapa tidak?” kata Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Indonesia juga mendorong pengembangan pencampuran biodiesel dari minyak sawit dengan solar untuk bahan bakar kendaraan melalui program B20 sejak 2016 dan B30 pada 2020. Strategi ini dilakukan untuk menyerap produksi minyak sawit sekaligus mengurangi impor minyak.
Pemerintah juga menargetkan satu peta sawit selesai dikerjakan pada Agustus 2019. Peta ini akan memberikan data yang lebih aktual terkait industri kelapa sawit dan dampaknya terhadap lingkungan. (REUTERS)

Koran Kompas. Editor Khaerudin Khaerudin
Diakses 13 Agustus 2019





Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Tajuk Rencana
Mencegah Kebakaran Hutan
14 Agustus 2019
Artikel Kompas

Kebakaran hutan yang kita khawatirkan terjadi lagi. Pada musim kemarau yang kering saat ini, yang terbakar ialah hutan gambut di Riau dan hutan di Kalimantan.

Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali secara khusus untuk mencegah agar kebakaran hutan tidak terulang. Presiden juga mengingatkan kembali kepada kapolda dan pangdam agar bersungguh-sungguh menangani kebakaran hutan atau risikonya akan dimutasi.

Setiap tahun kebakaran hutan selalu terjadi di beberapa daerah, biasanya di Sumatera dan Kalimantan. Catatan di dalam arsip harian Kompas memperlihatkan, kebakaran hutan setidaknya sejak tahun 1961 sudah terjadi di kawasan hutan dekat Palembang dan menyebabkan ibu kota Provinsi Sumatera Selatan itu diselimuti asap tebal.

Kebakaran hutan merugikan masyarakat yang langsung terkena dampak dan secara nasional. Kerugian akibat kebakaran hutan tahun 2015 diperkirakan triliunan rupiah. Masyarakat di sekitar kawasan hutan yang terbakar terpaksa menghirup udara bercampur asap, yang berdampak pada kesehatan, terutama ibu hamil, anak balita, dan warga lansia. Asap akibat kebakaran hutan diketahui dapat menyebabkan kematian lebih awal.

Kebakaran hutan berarti hilangnya plasma nutfah di suatu wilayah, yang boleh jadi endemik dan memiliki manfaat yang belum diketahui. Kebakaran hutan di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, saat ini mengancam habitat gajah sumatera. Potensi ekonomi pariwisata juga menurun dan Indonesia akan kesulitan memasuki pasar negara maju yang menggunakan syarat ramah lingkungan untuk produk impor mereka.

Kerugian juga terjadi ketika asap mengganggu negara tetangga, seperti kebakaran hutan tahun 2013 dan 2015 yang mengganggu Singapura dan Malaysia. Pada tahun 2015 Presiden Jokowi memotong waktu kunjungannya ke Amerika Serikat karena kebakaran hebat melanda Sumatera dan Kalimantan.

Mencegah selalu lebih baik daripada memadamkan. Berbagai pelajaran dari kebakaran hutan seharusnya membuat semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, pemda, lembaga lain, pemilik perkebunan, hingga masyarakat sekitar, sama-sama berupaya bersiap lebih baik lagi, apalagi saat ini musim kemarau tergolong kering.

Untuk berhasil mencegah kebakaran hutan, pertama-tama semua pihak harus sepakat tentang penyebab utama dan penyebab ikutannya. Saat ini di antara para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, belum sepakat apakah penyebabnya alamiah, sengaja dibakar pemilik perkebunan untuk meluaskan areal tanam, dibakar peladang berpindah sebagai bagian dari cara bercocok tanam, penyebab lain, atau kombinasinya. Sepanjang identifikasi penyebab belum selesai, kebakaran hutan kemungkinan akan terjadi akibat cara untuk mencegah salah.

Dengan kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi, kita berharap ke depan pencegahan menjadi ujung tombak kerja lembaga yang mendapat tanggung jawab mencegah karhutla. Ada sanksi tegas terhadap pelanggar aturan pembukaan lahan serta aparat yang mendapat tanggung jawab.

Diakses Tanggal : 14 Agustus 2019


Saturday, 17 August 2019

Standar CSR - Pedoman GRI (Global Reporting Initiative Standards)

Standar global untuk pelaporan adalah satu-satunya cara untuk memastikan respons global yang terkoordinasi terhadap masalah sosial dan lingkungan. Inisiatif Pelaporan Global (GRI) memberikan dasar untuk standardisasi tersebut melalui Pedoman Pelaporan Keberlanjutan tahun 2002 ('Pedoman GRI').  Pedoman ini dirancang oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) yang bekerjasama dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pedoman GRI mendominasi pelaporan keberlanjutan dalam pasar global serta memiliki pengaruh yang kuat terhadap praktik pengungkapan informasi. 
Pedoman GRI didasarkan pada konsep “triple bottom line” yang dikembangkan oleh Elkington, yang ruang lingkup pelaporannya mencakup 3 kategori kinerja perusahaan, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Sedangkan aspek sosial mencakup 4 subkategori, yakni Praktik Ketenagakerjaan, dan Kenyamanan Bekerja, Hak Asasi Manusia Masyarakat, dan Tanggung Jawab atas Produk. 
Pilihan ini didukung oleh gagasan, bahwa untuk mencapai keberlanjutan membutuhkan keseimbangan hubungan kompleks antara kebutuhan ekonomi, lingkungan, dan sosial saat ini dengan cara yang tidak membahayakan kebutuhan di masa depan (penekanan ditambahkan). Tujuan dari Pedoman GRI adalah untuk memberikan “kerangka kerja yang tepercaya dan kredibel untuk pelaporan keberlanjutan yang dapat digunakan oleh organisasi dari berbagai ukuran, sektor, atau lokasi” dan dapat memfasilitasi dialog terbuka tentang keberlanjutan menggunakan“.  
Perusahaan yang mengadopsi pendekatan GRI memiliki peluang untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial dengan menghasilkan laporan dua bagian. Bagian 1 menjelaskan prinsip-prinsip yang telah digunakan untuk mendefinisikan informasi dalam pelaporan perusahaan (misalnya untuk memutuskan apa yang relevan, siapa pemangku kepentingan, apa batas laporan) dan mengomentari kualitasnya (misalnya keseimbangan, keakuratan, dan keandalannya). Pada Bagian 2 perusahaan melaporkan strategi, profil, pendekatan manajemen dan kinerjanya terhadap indikator yang dipilih. 
Laporan keberlanjutan yang disiapkan berdasarkan Pedoman GRI memiliki lima komponen, yaitu :
1) Strategi (strategy), mendeskripsikan strategi organisasi pelapor berkenaan dengan keberlanjutan, termasuk pernyataan dari CEO atau pimpinan perusahaan.
2) Profil (profile), yang memberikan gambaran umum tentang struktur dan operasi organisasi perusahaan serta ruang lingkup laporan.
3) Struktur Pemerintahan dan Sistem Manajemen (Governance Structure and Management Systems), mendeskripsikan struktur organisasi, kebijakan, dan sistem manajemen, termasuk upaya keterlibatan para pemangku kepentingan.
4) Muatan Indeks GRI (GRI Content Index), menyajikan tabel informasi yang tercantum dalam Bagian C dari Pedoman GRI di dalam laporan organisasi.
5) Indikator Kinerja (Performance Indicators) - ukuran dampak atau pengaruh organisasi pelapor yang dibagi menjadi indikator kinerja terintegrasi, ekonomi, lingkungan, dan sosial. (GRI, 2002)

Tuesday, 13 August 2019

Politik Penegakan Hukum Lingkungan KLHK - Gugatan KLHK Terhadap Pertamina Akibat Pencemaran Teluk Balikpapan

Gugatan KLHK terhadap Pertaminan Dalam Kasus Pencemaran Teluk Balikpapan
Langkah KLHK untuk menggugat perusahaan BUMN, yaitu Pertamina dengan total ganti kerugian sebesar 10 Triliun atas pencemaran minyak di teluk Balikpapan tentunya wajar untuk dipertanyakan.
Pada dasarnya, Pertamina telah mengakui dan menyatakan sikapnya untuk bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Sehingga dari awal tragedi sampai dengan berakhirnya tragedi, Pertamina telah melakukan tindakan proaktif, dalam upaya penanggulangan pencemaran minyak di laut teluk Balikpapan.
Selain itu, sebelumnya KLHK juga telah menjatuhkan sanksi administrasi, yang dirahasiakan kepada masyarakat, kepada Pertamina.
Sehingga seharusnya secara administrasi, maka langkah-langkah pengendalian tumpahan minyak dan ganti kerugian terhadap lingkungan hidup telah terintegrasi ke dalam sanksi administrasi tersebut. Oleh karenanya, apabila memang sanksi administrasi tidak diindahkan, maka seharusnya langkah KLHK adalah melanjutkan ke sanksi berikutnya, yaitu sanksi Pidana termasuk di dalamnya adanya pidana denda dalam rangka penanggulangan tumpahan minyak.
Sikap kooperatif Pertamina seharusnya dapat mewujudkan suatu kerjasama yang baik bersama KLHK untuk mengatasi tumpahan minyak. Namun, kenyataanya, tanpa adanya keterangan yang jelas dari KLHK, kemudian KLHK menggugat Pertamina karena tragedi di Balikpapan tersebut.
Apakah sangat sulit untuk mendudukan secara bersama, antara KLHK dan Kementerian BUMN dan ESDM, secara bersama-sama membahas solusi penanggulangan tumpahan minyak tersebut?
Mengapa mesti dibawa ke pengadilan?
Kasus tersebut menggambarkan, bahwa antara PT. Pertamina sebagai perusahaan PLAT MERAH yang secara tidak langsung ada di bawah Kementerian ESDM dan/atau BUMN dan KLHK saling BERMUSUHAN.

ANGGARAN 800 JUTA
Padahal KLHK membebankan dana atau anggaran sebesar 800 juta untuk biaya penyelesaian sengketa lingkungan tersebut. Jumlah yang cukup besar tentunya untuk menyelesaikan suatu kasus dalam penegakan hukum lingkungan. Padahal, anggaran lembaga KPK saja untuk penanganan perkara korupsi, yang rerata berjumlah 433 juta per/kasus, menjadi sorotan berlulang-ulang setiap tahunnya oleh DPR. (Baca sini dan ini)
Tidak bisakah para pihak duduk bersama. Yaitu 3 kementerian bersama pertamina bersikap saling kooperatif menyelesaikan kasus tumpahan minyak secara bersama-sama. Dengan adanya pendekatan yang kooperatif, maka seharusnya biaya 800 juta tersebut tidak diperlukan. Kemudian alangkah baiknya apabila dana tersebut malah dipergunakan untuk membantu upaya pertamina dalam rangka pemulihan ekosistem teluk Balikpapan.
Dengan begitu, maka upaya pemulihan lingkungan tidak berlarut-larut, menunggu selesainya sengketa gugatan yang diajukan oleh KLHK terhadap Pertamina.
Kapankah selesainya sengketa tersebut???.
Kapankah pemulihan terhadap kerugian lingkungan direalisasikan???
Kapankah kerugian masyrakat direalisasikan???

Kasus Pencemaran Montara 
Sikap KLHK terhadap perusahaan asing dalam kasus pencemaran sumur minyak Montara justru MEMBLE. KLHK terkesan melunak terhadap pencemaran Laut Timor akibat meledaknya Sumur minyak Montara yang ada di negara di Australia. Padahal sebaliknya, masyarakat yang dirugikan dan LSM berjibaku sampai ke negeri Kangguru untuk meminta pertanggungjawaban PTTEP selaku operator sumur minyak Montara. 
Anehnya lagi, pada awalnya pemerintah berencana menggugat sebesar 24 Triliun atau 23 Triliun.
Namun tidak jadi dilaksanakan. Pemerintah malah menyetujui untuk menerima DANA KOMPENSASI yang jumlahnya, jauh dari rencana gugatan awal, yaitu sebanyak 5 Juta dolar, yang kemudian DITERIMA oleh pemerintah dengan berbagai alasannya.

Kliping Berita :
Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK Jasmin Ragil Utomo mengatakan penyelesaian kasus Montara tidak bisa diselesaikan lewat jalan damai di luar pengadilan. Upaya damai bisa dilakukan di pengadilan pada tahap mediasi.
Menurut Jasmin, PTT EP bisa saja melakukan Corporate Social Responsibilty (CSR) kepada masyarakat terdampak. Namun, proses hukum tetap berjalan. "Kesimpulannya bahwa proses di pengadilan tetap berjalan bersamaan dengan pelaksanaan CSR," ujar dia kepada Katadata.co.id, Jumat (13/4).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya menyatakan akan mencari format pembayaran ganti rugi tumpahan minyak kilang sumur Montara. Format ini diperlukan apabila perusahaan Thailand ini bersepakat dengan pemerintah menyelesaikan permasalahan ini di luar pengadilan.
Ketika ditanyakan apakah mekanisme penggantian kerugian ini menggunakan dana Corporate Social Responsibilty (CSR) atau dibebankan ke cost recovery PTTEP, Luhut tidak menjawab. Dia hanya mengatakan pemerintah masih mencari format ganti rugi terbaik. "Yang penting kami bela kepentingan rakyat, tapi tidak perlu dengan berkelahi," kata Luhut di kantornya, Jakarta, Rabu (11/4)
Pemerintah sebelumnya menggugat PTTEP dan afiliasinya karena diduga mencemari perairan di Nusa Tenggara Timur akibat bocornya minyak mentah dari unit pengeboran di Montara tahun 2009. Pemerintah mengajukan tuntutan sebesar Rp 27,4 triliun yang terdiri dari dua komponen.
Pertama, komponen ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp 23 triliun. Kedua, biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp 4,4 triliun.
Reporter: Anggita Rezki Amelia


Saturday, 10 August 2019

Penaatan Hukum Lingkungan dan Dilema Penegakan Hukum Lingkungan

Peraturan dan izin menetapkan ketentuan bahwa kegiatan harus memenuhi agar mematuhi hukum. Pemantauan dan inspeksi membantu dalam mengidentifikasi apakah kepatuhan terjadi. Namun, mereka bukan satu-satunya cara yang digunakan untuk mengidentifikasi ketidakpatuhan. Misalnya, publik dapat mengidentifikasi kasus-kasus ketidakpatuhan (atau dugaan ketidakpatuhan), seperti emisi yang mencurigakan atau limbah yang dibuang secara ilegal. Publik dapat melaporkan contoh-contoh ini kepada otoritas penegakan lingkungan sehingga dapat menginvestigasi dan mengambil tindakan. Di banyak negara ada juga kesempatan bagi publik untuk mengambil tindakan hukum langsung terhadap perusahaan (dan memang terhadap otoritas penegakan lingkungan jika mereka menganggap bahwa mereka bertindak dengan cara yang lalai). Mungkin juga bagi otoritas penegak lingkungan untuk mendorong perusahaan untuk melaporkan contoh ketidakpatuhan itu sendiri.

Ketidakpatuhan muncul karena berbagai alasan. Ini termasuk:
• Ketidaktahuan tentang persyaratan yang harus dijalani suatu bisnis. Ini dapat terjadi untuk kegiatan kecil yang tidak memerlukan izin, tetapi di mana bisnis tidak mengetahui persyaratan umum yang berlaku untuk mereka. Hal ini juga dapat terjadi untuk kegiatan yang lebih besar di mana kondisi izin tidak jelas dan kondisi dalam izin tidak dipahami secara memadai.
• Ketidakpatuhan yang tidak disengaja. Suatu bisnis dapat sepenuhnya memahami persyaratannya dan membuat setiap upaya untuk patuh, tetapi secara tidak sengaja melanggar kondisinya,
misalnya selama masalah teknis dalam pengoperasian proses.
• Ketidakpatuhan yang disengaja . Dalam hal ini bisnis sepenuhnya memahami persyaratannya, tetapi dengan sengaja melanggar persyaratan tersebut, mis. dengan terbang-tip sampah daripada membayar untuk pembuangannya.

Bentuk ketidakpatuhan dapat bervariasi. Beberapa pelanggaran kondisi perizinan bisa kecil tanpa konsekuensi lingkungan. Sebagai contoh, sebuah industri mungkin memiliki kondisi izin untuk karbon monoksida dengan nilai batas emisi 50mg / m3. Namun, untuk waktu yang singkat mungkin melebihi 5mg / m3. Ini adalah ketidakpatuhan, tetapi tidak menyebabkan masalah. Sebaliknya, suatu industri dapat memancarkan sejumlah besar zat beracun yang melanggar kondisi izinnya yang mengancam lingkungan dan kesehatan populasi lokal.
Jadi ketidakpatuhan adalah spektrum alasan dan bentuk. Tanggapan terhadap ketidakpatuhan harus, akibatnya, mencerminkan ini. Hal ini juga harus mencerminkan sikap operator terhadap ketidakpatuhan yang pernah diidentifikasikan.

Penegakan hukum lingkungan diperlukan untuk:
• memberikan sanksi yang sesuai untuk pelanggaran kriminal;
• memastikan bahwa tindakan pencegahan atau perbaikan diambil untuk melindungi lingkungan;
• memastikan kepatuhan terhadap rezim pengaturan.

Sumber : Handbook of Environmental Protection and Enforcement  Principles and Practice, Andrew Farmer

Meskipun demikian, tindakan pemerintah yang tidak patuh harus dicatat karena mereka menambah konteks di mana bisnis akan menanggapi hukum dan karena pemerintah sering bertanggung jawab langsung atas perilaku ilegal perusahaan.
Kotamadya gagal mematuhi perilaku yang berkisar dari membuang bahan yang melanggar standar federal hingga melepas perangkat kontrol emisi pada mobil polisi mereka.34 Kantor Akuntansi Umum menemukan bahwa dalam satu tahun, 1980, setidaknya 43% dari 65.000 air masyarakat di negara itu sistem tidak mematuhi standar air minum federal yang aman; lebih dari 146.000 pelanggaran dicatat. 35 Sebuah studi EPA tahun 1978 melaporkan bahwa hanya 35% dari 14.000 tempat pembuangan sampah kota di negara itu mematuhi peraturan negara, 36 dan penyelidikan tahun 1983 menyimpulkan bahwa lebih dari 60% dari fasilitas yang disurvei tidak memenuhi persyaratan pemantauan air tanah. 37 Pemerintah gagal mengikuti persyaratan prosedural seperti di bawah Undang-Undang Kebijakan Lingkungan Nasional38 dan gagal memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan secara legislatif untuk mengeluarkan aturan. 39


Pemerintah juga terlibat dalam cara-cara yang memengaruhi kepatuhan bisnis. Agen dapat memberikan pedoman yang keliru untuk bisnis yang kemudian digugat melalui inisiatif lembaga lain, atau oleh warga negara swasta atau kelompok kepentingan publik. Sebagai contoh, General Motors menemukan dirinya terlibat dalam gugatan karena mengikuti arahan EPA untuk mengimbangi emisi mobil dengan pengurangan model masa depan; pada kenyataannya, badan tersebut secara hukum diharuskan untuk menarik kembali 1979 Pontiacs yang tidak memenuhi persyaratan federal.

Ketidaktepatan resmi dapat menyebabkan ketidakpatuhan. Suatu gugatan Teamsters Union menuduh bahwa pejabat EPA telah menjelaskan kepada seorang pemohon bagaimana persetujuan diskresi dari fasilitas pembuangan dapat diperoleh, meskipun persetujuan akan melanggar ketentuan Undang-Undang Pengendalian Zat Beracun dan UU Konservasi Sumberdaya dan Pemulihan.

Untuk kasus lain, sulit untuk memastikan sifat pasti dari tindakan yang tidak patuh atau pihak atau pihak yang bertanggung jawab. Seorang pejabat menyimpulkan: "Kami merasa mereka semua bagian dari itu ... Mereka semua memiliki kebocoran, dan kami tidak dapat memilah siapa yang kehilangan lima galon dan siapa yang kehilangan 100 galon." Setiap perusahaan diperintahkan untuk berkontribusi dalam pembersihan.

Ketidakpatuhan perusahaan dalam upaya pengelolaan lingkungan, dengan demikian, merupakan masalah besar di semua sektor ekonomi. Pelanggaran dihasilkan dari tindakan individu yang tidak bersalah dan dari rencana halus kelompok kriminal yang canggih. Pemerintah, yang bertanggung jawab untuk penegakan dan kepatuhan, sering terlibat dalam pelanggaran. Kebijakan yang dikembangkan untuk mempromosikan kepatuhan menghadapi berbagai perilaku agen dan perusahaan.

Ada perbedaan mendasar antara kepatuhan spesifik dan komitmen penaatan. Kepatuhan khusus mengacu pada respons bisnis yang ditargetkan oleh insentif atau sanksi yang diyakini konsisten dengan tujuan atau peraturan masyarakat. Kepatuhan umum mengacu pada perilaku responsif dari semesta bisnis yang ingin dicapai oleh kinerja pemerintah yang patuh hukum.

Kepatuhan adalah proses yang berkelanjutan; oleh karena itu, penentuan waktu sangat penting. Biasanya, pemerintah dan bisnis akan berbeda pada berapa lama industri harus diberikan untuk memenuhi.

Ambang batas kepatuhan juga bisa menjadi kontroversial. Pada titik mana pemerintah harus menyimpulkan bahwa upaya penegakan atau tanggapan resmi lainnya diperlukan? Dapat dikatakan bahwa tidak ada kebijaksanaan dan interpretasi tidak boleh terlibat. Pemerintah harus bertindak ketika ada pelanggaran yang jelas. Tetapi penegakan lingkungan seperti banyak bidang penegakan hukum. Tidak mungkin mendeteksi semua pelanggaran, dan pemerintah tidak mampu mengejar semua yang terdeteksi. Upaya itikad baik, maka, dapat disamakan dengan kepatuhan, atau kepatuhan dengan "sebagian besar peraturan, sebagian besar waktu" dapat menjadi standar. Mungkin hanya mereka yang jatuh ke dalam pola pelanggaran atau mereka yang tindakannya secara signifikan mempengaruhi lingkungan akan dikutip. Pelanggaran de minimis dengan demikian terbukti tidak menarik.
Haruskah kegagalan sesekali untuk mencapai standar dikategorikan sebagai ketidakpatuhan yang pantas dilakukan tindakan pemerintah? Limpasan langka dari kolam pertanian ke saluran air tetangga, satu tong bocor di antara ribuan barel yang disimpan, kegagalan tunggal untuk merekam dalam sistem manifes transfer produk berbahaya dari produsen ke disposer, salah fungsi emisi seribu dari satu juta mobil, atau 50% atau lebih dari kelompok mobil yang ditarik, seperti yang dikemukakan Chrysler dalam kasus keempat kami? Haruskah pemerintah mempertimbangkan ketidakpatuhan ini?

Wednesday, 7 August 2019

Standar CSR - Prinsip Equator (The Equator Principles).

Prinsip Equator (PE) dapat digambarkan sebagai salinan perlindungan lingkungan dan sosial International Finance Corporation (IFC) yang berupaya menjadikannya berlaku untuk proyek-proyek yang dibiayai oleh bank komersial. IFC sendiri memainkan peran yang kuat dalam memprakarsai Prinsip-prinsip Ekuator. Ketika IFC pertama kali mulai mengadakan pemodal proyek komersial untuk membahas kemungkinan perlindungan lingkungan dan sosial bagi mereka, empat bank terlibat: ABN Amro, WestLB, Barclays dan Citibank. Pada awal 2000-an, keempat bank tersebut telah menjadi sasaran kampanye masyarakat sipil besar terhadap proyek kontroversial yang mereka biayai. 
WestLB telah banyak diserang sejak tahun 2002 oleh aliansi LSM yang dipimpin oleh Greenpeace yang memprotes pendanaannya untuk memotong pipa melalui hutan hujan Ekuador. Pada September 2002, aktivis Greenpeace naik ke markas besar WestLB dengan memperlihatkan spanduk protes selama dua minggu. Barclays adalah target kampanye Friends of the Earth pada tahun 2002, menuduh bank tersebut membiayai perusakan hutan hujan besar-besaran di Indonesia melalui kepemilikan sahamnya yang besar di Asia Pulp and Paper, yang diduga sebagai salah satu perusahaan kertas paling merusak di dunia. Rainforest Action Network menargetkan multi-tahun ‘Kampanye Keuangan Global’ di Citigroup, mengkritik keterlibatannya dalam perusakan ekosistem yang terancam punah di seluruh dunia, termasuk melalui pembiayaan pipa Camisea di hutan hujan Peru serta ekstraksi minyak sawit di habitat Orangutan Indonesia. ABN Amro, akhirnya, menjadi sasaran beberapa kampanye, di satu sisi berpusat pada pembiayaan perusahaan pertambangan kontroversial Freeport, yang terlibat dalam proyek-proyek yang sangat merusak di Indonesia dan Papua Nugini dan, di sisi lain, mengenai keikutsertaannya dalam konsorsium membiayai pipa Baku-Tbilisi-Jeyhan. 
PE pada dasarnya adalah respons terhadap kritik eksternal dan upaya untuk menjaga reputasi bank. Para pengamat dan orang dalam setuju bahwa ketika IFC mengadakan pertemuan pertama keempat bank ini pada Oktober 2002, mereka sudah bertekad untuk menjadi aktif di bidang ini. 
Saat ini PE telah menjadi kerangka kerja manajemen risiko, yang diadopsi oleh lembaga keuangan, untuk menentukan, menilai dan mengelola risiko lingkungan dan sosial dalam proyek dan terutama dimaksudkan untuk memberikan standar minimum untuk uji tuntas dan pemantauan untuk mendukung risiko pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. PE berlaku secara global, untuk semua sektor industri dan untuk empat produk keuangan 1) Layanan Penasihat Keuangan Proyek (Project Finance Advisory Services); 2) Keuangan Proyek (Project Finance), 3) Pinjaman Korporasi Terkait Proyek (Project-Related Corporate Loans) dan 4) Pinjaman Jembatan (Bridge Loans). PE menerapkan prinsip-prinsipnya dalam kebijakan, prosedur dan standar lingkungan dan sosial lembaga keuangan yang mengadopsinya terhadap proyek-proyek pembiayaan.
Ketika Prinsip-prinsip Ekuator diumumkan secara terbuka pada bulan Juni 2003, mereka sudah memiliki 10 anggota dan jumlah keanggotaan terus bertambah. Struktur tata kelola Prinsip Ekuator diformalkan pada tahun 2010 ketika mereka dimasukkan sebagai asosiasi di bawah hukum Inggris. Pada Januari 2019 diketahui 94 lembaga keuangan dari 37 negara telah mengadopsi. Lembaga-lembaga tersebut dikenal sebagai Lembaga Keuangan Prinsip-Prinsip Ekuator (Equator Principles Financial Institution/ EPFI).  
Prinsip-prinsip Ekuator diterapkan pada semua aplikasi pendanaan untuk proyek-proyek baru, keuangan yang melibatkan total biaya modal US $ 10 juta atau lebih, atau untuk mendanai ekspansi proyek-proyek yang ada, EPFI berkomitmen untuk memberikan pinjaman hanya untuk proyek-proyek yang sesuai dengan sepuluh prinsip yang ditentukan. Apabila seorang peminjam tidak mematuhi perjanjian sosial dan lingkungannya, EPFI akan bekerja dengan peminjam untuk mengembalikannya ke tingkat kepatuhan sejauh mungkin, dan jika peminjam gagal membangun kembali kepatuhan dalam suatu menyetujui tenggang waktu, EPFI berhak untuk melakukan pemulihan, yang menurut mereka sesuai.
PE menggunakan proses penyaringan untuk proyek-proyek yang didasarkan pada proses penyaringan sosial dan lingkungan IFC. Setiap proyek diberikan kategorisasi sebagai A, B atau C (risiko lingkungan atau sosial tinggi, sedang atau rendah), sebagaimana diterapkan oleh Bank Dunia atau IFC. Untuk proyek A dan B (risiko tinggi dan menengah), peminjam menyelesaikan penilaian sosial dan lingkungan yang membahas masalah lingkungan dan sosial yang diidentifikasi dalam proses kategorisasi. Setelah konsultasi yang tepat dengan pemangku kepentingan lokal yang terkena dampak, proyek kategori A dan, ketika berlokasi di negara non-OECD atau negara OECD 'tidak ditunjuk sebagai proyek Penghasilan Tinggi', kategori B, harus menyiapkan rencana tindakan yang membahas mitigasi dan pemantauan risiko lingkungan dan sosial. Kekuatan lain dalam Prinsip-prinsip Equator terletak pada upayanya untuk memastikan pemantauan dan pelaporan yang berkelanjutan selama masa pinjaman proyek.  
Prinsip-prinsip tersebut dibangun berdasarkan pengakuan bahwa risiko lingkungan dan sosial dapat diterjemahkan menjadi risiko finansial dan dirancang untuk meningkatkan prosedur manajemen risiko bank yang berpartisipasi agar dapat memperhitungkan dengan lebih baik potensi konsekuensi negatif dari pembiayaan proyek kontroversial. Mereka tidak dimaksudkan untuk membatasi perilaku bank anggota dalam istilah absolut apa pun tetapi untuk memungkinkan mereka untuk lebih sepenuhnya menghargai risiko yang mereka hadapi di negara-negara berkembang dan pada saat gerakan protes global. Karenaya, dapat dikatakan, bahwa prinsip-prinsip tersebut cenderung menjadi manajemen risiko daripada alat regulasi. 

Monday, 5 August 2019

Perlindungan Satwa

Radford mengidentifikasi bahwa hukum tentang hewan secara luas memiliki sejumlah tujuan, sebagai berikut:
mencegah kekejaman dan mengurangi penderitaan
meningkatkan kesehatan hewan (dan sebagai konsekuensinya, kesehatan manusia)
perlindungan dan konservasi satwa liar
mempromosikan kesejahteraan hewan dan menentukan apa yang merupakan penerimaan-mampu standar kesejahteraan minimum
mengamankan keamanan publik
menjaga kepentingan komersial mendorong kepemilikan hewan yang bertanggung jawab dan
mencerminkan konsensus moral
(Radford, 2001: 122)

Salah satu permasalahan terkait undang-undang satwa liar adalah tujuan penggunaannya sebagai konservasi-atau peraturan pengelolaan satwa liar, alih-alih sebagai perlindungan spesiesdan / atau legislasi peradilan pidana. Hukum margasatwa nasional, saat ini mengimplementasikan perspektif internasional dan domestik tentang perlindungan satwa liar yang memungkinkan eksploitasi berkelanjutan terhadap satwa liar secara rutin.
Undang-undang tentang satwa liar terutama dimaksudkan sebagai sumber daya alam atau undang-undang servis yang tujuannya adalah pengelolaan satwa liar secara efektif sebagai sumber daya. 
Jadi, sementara hukum margasatwa sering menentukan pelanggaran dan hukuman dalam kaitannya dengan penyalahgunaan satwa liar, itu sering didasarkan pada sebuah anggapan untuk memungkinkan eksploitasi berkelanjutan terhadap satwa liar dan secara tegas mengizinkan ini dalam batas-batas hukum. 
CITES misalnya, tidak memberikan larangan mutlak untuk perdagangan kehidupan di alam liar; melainkan memfasilitasi perdagangan berkelanjutan satwa liar yang berkelanjutan, yaitu perdagangan yang dapat berlanjut selama spesies yang diperdagangkan tidak didorong menuju ke kepunahan.
Undang-undang perlindungan satwa liar lainnya termasuk tindakan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi pengendalian satwa liar, ketentuan untuk mengelola populasi satwa liar di tingkat yang dianggap berkelanjutan dan dihargai Bersamaan dengan kepentingan manusia (yaitu memastikan populasi tidak menjadi terlalu besar atau terlalu kecil) tetapi juga berurusan dengan satwa liar 'hama' atau 'gangguan'khususnya hewan yang dianggap bermasalah di lingkungan perkotaan. 
Schaffner (2011) mengidentifikasi bahwa kebijakan terhadap satwa liar 'pengganggu' menggambarkan penghargaan rendah di mana mereka dipegang oleh para pembuat kebijakan dan kenyataan itutidak semua hukum satwa liar tentang perlindungan. 
Analisisnya mengidentifikasi hal itu'Operator pengontrol kerusakan satwa liar mendapat untung dari membunuh hewan-hewan ini dan sekarang biasa di perkotaan AS dengan sedikit pengawasan pemerintah '(Schaffner, 2011: 141). 
Sementara beberapa negara bagian AS mengatur operator pengendalian satwa liar, ini belum menjadi persyaratan dan kontrol secara universal, spesies seperti tupai, rakun, dan kelelawar yang 'biasanya berjalan ke puluhan ribu di negara bagian tempat mereka telah melacak angkanya tidak didasarkan pada membuktikan kerusakan yang sebenarnya ke properti atau ancaman terhadap keselamatan manusia (Schaffner, 2011: 141). 
Demikian pula di Inggris, serangkaian lisensi umum terbuka memungkinkan pemilik tanah atau penjajah untuk membunuh berbagai spesies 'hama' yang ditunjuk tanpa terlebih dahulu memilikiuntuk mengajukan izin selama mereka melakukannya untuk mencegah kerusakan atau penyakit, menjaga kesehatan masyarakat atau keselamatan publik atau konservasi flora atau fauna. 
Hukum margasatwa dengan demikian mengandung dualitas; perlindungan dantrol artinya bahwa dalam hukum satwa liar nasional, hewan dapat menempati beragam status sebagai spesies yang terancam punah, sumber daya alam, spesies game dan hama dengan tingkat perlindungan tergantung pada klasifikasi yang diterapkan.




Saturday, 3 August 2019

Perubahan Iklim, Protokol Kyoto dan Paris Agreements

Perubahan Iklim
Persoalan perubahan iklim dan dampaknya dirasakan semakin meningkat seiring dengan konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang terus meningkat. Berdasarkan hal tersebut, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992, menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC).
Konvensi perubahan iklim bertujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi yang dimaksud harus dapat dicapai dalam satu kerangka waktu tertentu sehingga memberikan waktu yang cukup kepada ekosistem untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim dan dapat menjamin produksi pangan tidak terancam dan pembangunan ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan.

Friday, 2 August 2019

CSR - Mengenal Konsep Triple Bottom Line

Konsep dipopulerkan melalui buku John Elkington pada tahun 1997, yang berjudul “Cannibals with Forks: the Triple Bottom Line of 21st”.
Pendekatan Triple bottom line (TBL) memfokuskan perusahaan tidak hanya pada nilai ekonomi yang mereka tambahkan, tetapi juga pada nilai lingkungan dan sosial yang mereka tambahkan - dan hancurkan. Pada titik tersempitnya, istilah triple bottom line digunakan sebagai kerangka kerja untuk mengukur dan melaporkan kinerja perusahaan terhadap parameter ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada umumnya, istilah ini digunakan untuk menangkap seluruh rangkaian nilai, masalah, dan proses yang harus diatasi perusahaan untuk meminimalkan kerugian yang diakibatkan aktivitas mereka dan untuk menciptakan nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) berdasarkan “triple bottom line” memungkinkan perusahaan untuk terlibat dengan seluruh aspek masalah pembangunan berkelanjutan. 

Perusahaan yang operasinya menyebabkan gangguan atau potensi bahaya bagi masyarakat di dekat lokasi mereka dapat memperoleh keuntungan untuk mengadopsi pendekatan triple bottom line, yang mencakup pelaporan tahunan tentang kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan. Transparansi dan kemauan untuk terlibat dengan kelompok luar dapat membangun kepercayaan dan mencegah publisitas yang merugikan. Ini berlaku juga untuk masalah-masalah non-lokal, termasuk aktivitas perusahaan di negara berkembang, seperti penggunaan pekerja anak atau pembayaran upah kemiskinan. 

Sebagian pemegang saham telah mulai menunjukan kekhawatiran, bahwa kinerja sosial dan lingkungan yang buruk dapat merusak laba. Investor institusional, seperti perusahaan modal ventura dan dana pensiun, telah mulai menunjukkan pendekatan yang lebih intervensionis, menuntut perubahan bagi perusahaan jika dianggap bahwa masalah ini sedang diabaikan (Nelson et al. 2001). Saat ini, perusahaan dana pensiun Inggris diwajibkan untuk melaporkan investasi mereka setiap tahun, menggunakan pendekatan triple bottom line. Selain itu, di Inggris ada peningkatan jumlah dana Investasi Bertanggung Jawab Sosial (SRI) yang investasinya dipilih menggunakan kriteria sosial dan/atau lingkungan. Hanya perusahaan yang aktivitasnya memenuhi kriteria ini yang akan memenuhi syarat untuk sumber modal ini. Langkah tersebut telah mendorong dan membantu perusahaan dalam peningkatan berkelanjutan dalam kinerja lingkungan dan sosial.

Ketika kita memasuki milenium ketiga, kita sedang memulai revolusi budaya global. Bisnis, jauh lebih dari pemerintah atau organisasi non-pemerintah, akan berada di kursi pengemudi. Terdapat 7 aspek pendorong perubahan tersebut, yaitu Markets, Values, Transparency, Life-cycle technology, Partnerships, Time dan Corporate governance.
7 Prinsip (Drivers)
Pasar (Markets)
Revolusi 1 akan didorong oleh persaingan, sebagian besar melalui pasar. Dalam tatanan dunia yang sedang berkembang, seluruh pasar juga akan berubah, menelan seluruh perusahaan, bahkan industri. Belajar untuk melihat kondisi pasar dan faktor-faktor yang dapat memicu proses ini akan menjadi kunci untuk kelangsungan hidup dan kesuksesan perusahaan di masa depan. Kondisi lingkungan yang luar biasa ini akan mendorong semakin banyak perusahaan sudah menemukan diri mereka ditantang oleh pelanggan dan pasar keuangan tentang aspek komitmen dan kinerja TBL mereka. Pada masa mendatang, perusahaan akan beroperasi di dalam pasar dengan kompetisi semakin terbuka, baik domestik maupun internasional. Dalam jangka panjang, bisnis akan beralih ke pendekatan baru, menggunakan pemikiran dan akuntansi TBL untuk membangun kasus bisnis untuk tindakan dan investasi. 

Nilai-nilai (Values)
Revolusi 2 didorong oleh perubahan nilai kemanusiaan dan sosial di seluruh dunia. 
Ingat revolusi damai Nyonya Aquino di Filipina? Atau perubahan luar biasa di Eropa Timur pada tahun 1989? Ingat pengalaman Shell selama Brent Spar dan kontroversi di Nigeria dimana raksasa perusahaan minyak kemudian mengumumkan bahwa mereka di masa depan akan berkonsultasi dengan LSM tentang masalah-masalah lingkungan dan hak asasi manusia sebelum memutuskan opsi pembangunan? Pikirkan juga tentang Texaco. Perusahaan minyak AS membayar US $ 176 juta dalam out-of-penyelesaian pengadilan dengan harapan akan mengubur kontroversi tentang orang miskin dalam catatan untuk mengintegrasikan etnis minoritas. Sekarang, dengan fajar abad ke-21, kami memiliki roll-call baru dari perusahaan yang jatuh dan terbakar karena krisis berbasis nilai, di antaranya Enron dan Arthur Andersen.

Transparansi (Transparency)
Revolusi 3 sedang berjalan, sedang didorong oleh meningkatnya transparansi internasional dan akan dipercepat. Akibatnya, bisnis akan menemukan pemikiran, prioritas, komitmen, dan aktivitasnya di bawah pengawasan yang semakin intensif di seluruh dunia. Beberapa bentuk pengungkapan akan bersifat sukarela, tetapi yang lain akan berkembang dengan sedikit keterlibatan langsung dari sebagian besar perusahaan. Dalam banyak hal, revolusi transparansi sekarang 'di luar kendali'. Bahkan Cina dipaksa untuk membuka diri oleh faktor-faktor seperti epidemi SARS global yang membantu mereka untuk berkembang biak. Proses pembukaan ini sendiri didorong oleh penyatuan sistem nilai baru dan teknologi informasi yang sangat berbeda, dari televisi satelit ke internet. Runtuhnya banyak bentuk otoritas tradisional juga berarti bahwa berbagai pemangku kepentingan yang berbeda semakin menuntut informasi tentang apa yang akan terjadi dan perencanaan bisnis. Mereka juga semakin banyak menggunakan informasi itu untuk membandingkan, membandingkan, dan memberi peringkat kinerja perusahaan yang bersaing. Peresmian Global Reporting Initiative (GRI) tahun 2001, yang dibangun di atas fondasi TBL, adalah salah satu simbol paling kuat dari tren ini.

Teknologi siklus hidup (Life-cycle technology)
Revolusi 4 didorong oleh dan - pada gilirannya - mendorong revolusi transparansi.
Perusahaan ditantang tentang implikasi TBL baik dari industri atau kegiatan pertanian jauh di belakang rantai pasokan atau tentang implikasinya produk mereka dalam perjalanan, digunakan dan - semakin - setelah masa manfaatnya berakhir. Di sini kita melihat pergeseran dari perusahaan yang berfokus pada penerimaan produk mereka pada titik penjualan ke penekanan baru pada kinerja mereka dari buaian ke liang kubur - yaitu, dari ekstraksi bahan baku sampai untuk daur ulang atau pembuangan. Mengelola siklus hidup teknologi dan produk berbeda seperti baterai, jet jumbo dan rig minyak lepas pantai akan menjadi kunci yang muncul fokus bisnis abad ke-21. Nike telah menjadi 'anak poster' bagi para pegiat kampanye Di area ini; tetapi kita akan melihat banyak perusahaan lain menjadi korban bermain bolak-balik di sepanjang rantai pasokan mereka.

Mitra (Partnerships)
Revolusi 5 secara dramatis akan mempercepat laju di mana bentuk baru dari kemitraan bermunculan antara perusahaan, dan antara perusahaan dan organisasi lainnya - termasuk beberapa kelompok kampanye terkemuka. Organisasi itu sekali melihat diri mereka sebagai musuh bebuyutan akan semakin menggoda dan melamar bentuk-bentuk baru hubungan dengan lawan yang terlihat memegang beberapa kunci untuk sukses di orde baru. Bahkan kelompok seperti Greenpeace telah bersiap untuk pendekatan baru ini, kita telah melihat percepatan lebih lanjut dari tren itu mendorong revolusi keberlanjutan ketiga dan keempat. Tak satu pun dari ini berarti kita akan mengakhiri gesekan dan, kadang-kadang, konflik langsung. Sebagai gantinya, kelompok-kelompok kampanye perlu mencari cara-cara yang menantang secara bersamaan dan bekerja dengan industri yang sama - atau bahkan perusahaan yang sama.

Waktu (Time)
Waktu singkat, kita diberitahu. Waktu adalah uang. Tapi, didorong oleh keberlanjutan Agenda, Revolusi 6 akan mempromosikan perubahan besar dalam cara kita memahami dan mengatur waktu. Saat berita terbaru meletus melalui CNN dan lainnya saluran dalam beberapa detik dari peristiwa terkait yang terjadi di sisi lain dunia, dan lebih dari US $ 1 triliun setiap kasbok di seluruh dunia hari kerja, jadi bisnis menemukan bahwa waktu saat ini menjadi semakin 'luas'. Ini melibatkan pembukaan dari dimensi waktu, dengan semakin banyak terjadi setiap menit setiap hari. Persyaratan pelaporan triwulanan - dan bahkan online - adalah pendorong utama menuju dunia yang luas ini.
Sebaliknya, agenda keberlanjutan mendorong kita ke arah lain - menuju waktu yang 'lama'. Mengingat bahwa sebagian besar politisi dan pemimpin bisnis merasa sulit untuk berpikir dua atau tiga tahun ke depan, skala tantangan ditunjukkan oleh fakta bahwa agenda yang muncul membutuhkan pemikiran lintas dekade, generasi dan, dalam beberapa kasus, berabad-abad. Sebagai kompetisi berbasis waktu, membangun di atas platform yang dibuat oleh teknik seperti 'tepat waktu', terus mempercepat laju persaingan, kebutuhan untuk membangun dimensi 'lama' dimana pemikiran dan perencanaan bisnis yang lebih kuat akan menjadi semakin mendesak. Penggunaan skenario, atau visi alternatif masa depan, adalah salah satu cara di mana kita dapat berkembang cakrawala waktu kita dan memacu kreativitas kita.

Tata kelola perusahaan (Corporate governance)
Pada akhirnya, apa pun pendorongnya, tujuan bisnis dari agenda TBL adalah tanggung jawab dewan perusahaan. Revolusi 7 didorong oleh masing – masing revolusi lain dan juga menghasilkan putaran yang sama sekali baru pada Windows sudah debat tata kelola perusahaan yang energik. Sekarang, alih-alih hanya fokus pada isu-isu seperti paket gaji direktur 'kucing gemuk', pertanyaan baru sedang diajukan tanya. Misalnya, untuk apa bisnis? Siapa yang harus memiliki suara dalam caranya perusahaan dijalankan? Apa keseimbangan yang tepat antara pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya? Dan keseimbangan apa yang harus dicapai pada tingkat triple Bottom Line? Semakin baik sistem tata kelola perusahaan, semakin besar peluang itu kita dapat membangun menuju kapitalisme yang benar-benar berkelanjutan. 
Namun hingga saat ini, sebagian besar Juru kampanye TBL belum memfokuskan kegiatan mereka di dewan; juga, dalam banyak kasus, apakah mereka memiliki pemahaman terperinci tentang bagaimana dewan dan sistem tata kelola perusahaan bekerja. Ini, bagaimanapun, merupakan tanah jousting kunci besok. Bersama Koalisi untuk Ekonomi Bertanggung Jawab Lingkungan (CERES) bersama menjelajah dengan Innovest pada aspek tata kelola perusahaan dari risiko terkait dengan perubahan iklim adalah contoh awal dari tren ini.
Jelas bahwa semakin banyak proporsi masalah keberlanjutan perusahaan berputar tidak hanya di sekitar proses dan desain produk, tetapi juga di sekitar desain korporasi dan rantai nilai mereka, 'ekosistem bisnis' dan, pada akhirnya, pasar. Pengalaman menunjukkan bahwa cara terbaik untuk memastikan itu diberikan korporasi sepenuhnya membahas agenda TBL adalah untuk membangun persyaratan yang relevan ke dalam DNA korporatnya sejak awal - dan ke dalam parameter pasar yang ingin dilayani. Contoh awal di sini adalah Chicago Pertukaran Iklim (CCX), yang sedang bereksperimen dengan perdagangan emisi rumah kaca.
Jelas, kita masih jauh dari mencapai tujuan ini; tapi cukup besar kemajuan telah dibuat dalam beberapa dekade terakhir. Pusat gravitasi bumi debat bisnis berkelanjutan sedang dalam proses bergeser dari PR ke keunggulan kompetitif dan tata kelola perusahaan - dan, dalam prosesnya, dari pagar pabrik ke ruang rapat (lihat Tabel 1.1). Serangkaian tekanan politik gelombang telah mendorong pergeseran ini.

Dari tahun 1960 hingga saat ini, tiga gelombang besar tekanan publik telah membentuk agenda lingkungan. Peran dan tanggung jawab pemerintah dan sektor publik telah bermutasi sebagai respons terhadap masing-masing dari ketiga gelombang ini - dan akan terus melakukannya. Meskipun setiap gelombang aktivisme telah diikuti oleh gelombang turun dari kekhawatiran publik, setiap gelombang berturut-turut telah secara signifikan memperluas agenda politik dan bisnis:
• Gelombang 1 membawa pemahaman bahwa dampak lingkungan dan tuntutan sumber daya alam harus dibatasi, menghasilkan berbagai bentuk perhatiannya pada lahrinya legislasi lingkungan. Respons bisnis bersifat defensif dimana cenderung berfokus pada kepatuhan. Padahal Kebijakan dan peraturan yang dirancang untuk memaksa perusahaan mematuhi standar lingkungan minimum sudah tidak memadai untuk mendorong kewirausahaan yang kreatif dan bertanggung jawab secara sosial yang diperlukan untuk mengembangkan bentuk-bentuk baru penciptaan kekayaan yang berkelanjutan - dalam apa yang kita sebut 'ekonomi kepompong'.
Gelombang tekanan pertama - 'Batas' - dibangun sejak awal 1960-an. Gelombang itu meningkat pada akhir dekade, memuncak dari 1969 hingga 1973. Sepanjang pertengahan 1970-an, gelombang undang-undang lingkungan menyapu wilayah Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dan industri beralih ke mode kepatuhan. Gelombang pertama mengikuti, berjalan dari pertengahan 1970-an hingga 1987. Hujan asam memiliki dampak besar pada politik Uni Eropa (UE) selama awal 1980-an; tetapi ini, secara keseluruhan, adalah periode politik konservatif, dengan upaya penuh semangat untuk membatalkan undang-undang lingkungan. Namun, titik balik utama tercapai pada 1987.

• Gelombang 2 membawa kesadaran yang lebih luas bahwa jenis teknologi produksi baru dan jenis produk baru diperlukan, yang berpuncak pada wawasan bahwa proses pengembangan harus berkelanjutan - dan perasaan bahwa bisnis sering harus memimpin. Respons bisnis mulai lebih kompetitif.
Gelombang tekanan kedua - 'Hijau' - dimulai pada tahun 1988 dengan publikasi Our Common Future oleh Komisi Brundtland (UNWCED, 1987), menyuntikkan istilah 'pembangunan berkelanjutan' ke dalam arus utama politik.
Isu-isu seperti penipisan ozon dan perusakan hutan hujan membantu mendorong gerakan baru: Konsumerisme hijau. Puncak gelombang kedua berlangsung dari tahun 1988 hingga 1991. Gelombang kedua diikuti pada tahun 1991. KTT Bumi PBB 1992 di Rio menunda gelombang yang akan datang, memicu 'lonjakan' dalam liputan media tentang isu-isu seperti perubahan iklim dan keanekaragaman hayati, tetapi terhadap tren menurun dalam kepedulian publik. Namun, trennya tidak semuanya turun: ada lonjakan lebih lanjut, didorong oleh kontroversi di sekitar perusahaan seperti Shell, Monsanto dan Nike, dan oleh keprihatinan publik - setidaknya di Eropa - tentang 'penyakit sapi gila' dan makanan yang dimodifikasi secara genetik.

• Gelombang 3 berfokus pada pengakuan yang berkembang bahwa pembangunan berkelanjutan akan membutuhkan perubahan besar dalam tata kelola perusahaan dan dalam seluruh proses globalisasi, menempatkan fokus baru pada pemerintah dan masyarakat sipil. Sekarang, selain dimensi kepatuhan dan kompetitif, respons bisnis perlu fokus pada penciptaan pasar.
Gelombang tekanan ketiga - 'Globalisasi' - dimulai pada tahun 1999. Protes terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Kelompok 8 negara industri (G8), Forum Ekonomi Dunia dan lembaga-lembaga lain yang disebut perhatian terhadap peran penting lembaga publik dan internasional dalam mempromosikan - atau menghambat - pembangunan berkelanjutan. KTT Dunia PBB 2002 tentang Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) membawa isu tata kelola untuk pembangunan berkelanjutan ke agenda global - meskipun tidak pada agenda pemerintah AS. AS, yang membantu memicu dan memimpin dua gelombang pertama, tetap berada dalam gelombang penurunan dalam kaitannya dengan isu-isu seperti perubahan iklim, berlawanan dengan opini publik dan tekanan di negara-negara OECD lainnya.

Kunci untuk mengembangkan kebijakan lingkungan yang memfasilitasi transisi menuju keberlanjutan adalah memahami bahwa peran pemerintah harus berbeda dalam kaitannya dengan empat jenis korporasi atau 'jaringan nilai' yang berbeda, di sepanjang jalur evolusi menuju ekonomi kepompong - yaitu, corporate ‘belalang (locusts), ulat bulu (caterpillars), kupu-kupu (butterflies) and lebah madu (honeybees). Sebagai contoh, perusahaan berkarakter kupu-kupu dan lebah madu perlu diperlakukan sangat berbeda dari ulat dan belalang perusahaan.

Beberapa perusahaan beroperasi sebagai belalang yang merusak sepanjang siklus hidupnya; yang lain hanya sesekali menampilkan perilaku mirip belalang. Ada perusahaan belalang di mana-mana yang menghancurkan nilai sosial dan lingkungan dan merusak fondasi untuk pertumbuhan ekonomi masa depan. Beberapa bagian Afrika, Asia, Amerika Latin dan wilayah yang pernah dikuasai oleh Uni Soviet lama benar-benar merangkak bersama mereka.
Di antara karakteristik utama dari perusahaan belalang adalah:
penghancuran modal alam, manusia, sosial dan ekonomi;
secara kolektif, 'tingkat pembakaran' yang tidak berkelanjutan, berpotensi menciptakan dampak regional atau bahkan global;
model bisnis yang tidak berkelanjutan dalam jangka panjang;
periode tembus pandang, ketika sulit untuk membedakan ancaman yang akan datang;
kecenderungan untuk berkerumun (berpikir emas mengalir), melebihi daya dukung sistem sosial, ekosistem atau ekonomi; dan
ketidakmampuan untuk memperkirakan efek sistem negatif, ditambah dengan keengganan untuk mengindahkan peringatan dini dan belajar dari kesalahan.
Ketika sebagian besar perusahaan adalah belalang, maka pemerintah harus mengambil langkah ofensif. Tugas utama adalah untuk membasmi pelaku terburuk dan perilaku seperti belalang dalam bisnis secara keseluruhan. Dalam dunia yang mengglobal, satu tantangan utama bagi lembaga perlindungan lingkungan adalah untuk memperluas jangkauan pengaturan dan penegakan hukum mereka ke perusahaan bermasalah yang beroperasi di luar yurisdiksi formal mereka.

Biasanya, ulat lebih sulit dikenali daripada belalang karena dampaknya lebih bersifat lokal. Tetapi jika Anda tinggal atau bekerja bersebelahan dengan ulat perusahaan, dampak degeneratif mereka mungkin menyulitkan untuk melihat bahwa perusahaan-perusahaan ini memiliki potensi yang signifikan untuk metamorfosis. Ulat perusahaan cenderung untuk:
menghasilkan dampak yang relatif lokal, sebagian besar waktu;
menunjukkan pengabdian dengan pikiran tunggal pada tugas bisnis yang dihadapi;
bergantung pada 'tingkat pembakaran' yang tinggi, meskipun biasanya bentuk modal yang dapat diperbarui dari waktu ke waktu;
beroperasi pada model bisnis yang tidak berkelanjutan ketika diproyeksikan maju ke dunia yang lebih adil dengan 8 hingga 10 miliar orang;
memiliki potensi untuk transformasi menjadi kedok yang lebih berkelanjutan, sering kali didasarkan pada model bisnis yang bermutasi; dan
beroperasi di sektor-sektor di mana terdapat bukti bahwa perusahaan perintis sudah mulai bermetamorfosis ke arah bentuk penciptaan nilai yang lebih berkelanjutan.
Di sini tantangan bagi pemerintah adalah untuk menyediakan kondisi yang sesuai bagi bisnis lama untuk berkembang dan bisnis baru tumbuh, tetapi pada saat yang sama menggunakan insentif peraturan dan ekonomi untuk memastikan bahwa bisnis ini berkembang sejalan dengan tujuan pembangunan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Peran kunci di sini termasuk:
dukungan untuk penelitian dan pengembangan (R&D) dan program demonstrasi teknologi;
kemitraan publik-swasta;
pembelian hijau;
penghapusan subsidi jahat; dan
reformasi pajak ekologis.
Perusahaan Kupu-kupu mudah dikenali, meskipun sebagian besar relatif kecil. Secara alami, mereka sering sangat mencolok dan, dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak diliput di media (pikirkan Ben & Jerry's, the Body Shop dan Patagonia). Sistem ekonomi yang cocok untuk kupu-kupu perusahaan hampir pasti akan menjadi dunia yang baik menuju keberlanjutan.
Namun, seperti yang dikemukakan Paul Hawken, bahkan jika setiap perusahaan di dunia meniru modelnya pada perusahaan semacam itu, ekonomi kita masih tidak akan berkelanjutan. Untuk itu, kita perlu mengembangkan dan memanggil kekuatan sarang lebah madu dari perusahaan. Meski begitu, kupu-kupu perusahaan memiliki peran penting untuk dimainkan dalam evolusi 'kapitalisme kepompong'. Di antara hal-hal lain, mereka memodelkan bentuk-bentuk baru penciptaan kekayaan berkelanjutan untuk ditiru lebah madu dan, yang paling penting, ditingkatkan. Beberapa karakteristik termasuk:
model bisnis yang berkelanjutan, meskipun ini mungkin menjadi kurang berkelanjutan karena keberhasilan mendorong pertumbuhan, ekspansi dan peningkatan ketergantungan pada pasar keuangan dan mitra perusahaan besar;
komitmen yang kuat untuk agenda tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pembangunan berkelanjutan (SD);
kecenderungan untuk menentukan posisinya dengan merujuk pada belalang dan ulat bulu;
jaringan yang luas, meskipun tidak di antara belalang atau lebah madu;
semakin banyak, keterlibatan dalam hubungan simbiosis;
hubungan tidak langsung yang persisten dengan kegiatan degeneratif;
kapasitas potensial untuk memicu perubahan prioritas konsumen yang tidak proporsional dan, sebagai akibatnya, dalam sistem ekonomi yang lebih luas; dan
visibilitas tinggi dan suara kuat yang tidak proporsional untuk penerangan ekonomi yang demikian.
Seperti rekan alami mereka, kupu-kupu korporat cenderung muncul dalam 'pulsa'. Setelah hujan, misalnya, padang pasir tiba-tiba bisa hidup dengan kupu-kupu. Dengan cara yang hampir sama, pulsa kupu-kupu perusahaan adalah fitur dari tahun 1960-an, dengan booming dalam penerbitan alternatif, bisnis makanan utuh dan teknologi energi terbarukan, dan lagi selama tahun 1990-an, ketika sektor-sektor seperti ekowisata, makanan organik, konsultasi SD dan investasi yang bertanggung jawab secara sosial (SRI) mulai menjadi arus utama. Kebijakan pemerintah yang dirancang untuk membantu ulat perusahaan yang sehat umumnya juga akan melayani kupu-kupu perusahaan dengan baik. Pemerintah juga dapat mendorong perubahan dengan mengidentifikasi, mendukung, dan merayakan setiap perusahaan yang bergerak dari tahap ulat ke tahap kupu-kupu.

Perusahaan Lebah Madu (Corporate honeybees). Ini adalah domain di mana semakin banyak lembaga pemerintah, inovator, pengusaha dan investor akan memimpin dalam beberapa dekade mendatang. Ekonomi global yang berkelanjutan akan bersenandung dengan aktivitas perusahaan lebah madu dan versi ekonomi sarang lebah. Meskipun lebah secara berkala berkerumun seperti belalang, dampaknya tidak hanya berkelanjutan tetapi juga sangat regeneratif. Karakteristik kunci dari lebah madu perusahaan meliputi:
model bisnis yang berkelanjutan, meskipun didasarkan pada inovasi yang konstan;
serangkaian prinsip bisnis berbasis etika yang jelas dan tepat;
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan strategis;
kapasitas untuk angkat berat yang berkelanjutan;
kemampuan bersosialisasi dan evolusi kemitraan simbiotik yang kuat;
produksi berkelanjutan modal alam, manusia, sosial, kelembagaan dan budaya; dan
kapasitas untuk memoderasi dampak ulat perusahaan dalam rantai pasokannya, untuk belajar dari kesalahan belalang perusahaan dan, dalam keadaan tertentu, untuk meningkatkan upaya kupu-kupu perusahaan.