Sudah
12 tahun lamanya, peristiwa bocornya sumur Banjar Panji I tanggal 29 Mei milik
PT. Lapindo Barntas Inc., menimpa masyarakat di Kecamatan Porong, Sidoarjo,
Jawa Timur. Sampai saat ini, penyingkapan atas kasus lumpur Lapindo belumlah
“tuntas”.
Gugatan
Walhi dan YLBHI di peradilan perdata tidaklah membuktikan, bahwa PT. Lapindo
bukanlah penyebab atau pihak yang bertanggung jawab atas tragedi lumpur
lapindo. Sebab hukum acara perdata lebih menekankan formalitas hukum daripada
kebenaran hukum materiil.
Bayangkan
apabila putusan Perdata dalam kasus lapindo digunakan sebagai asumsi, bahwa
bencana gempa telah mengaktivasi retakan (sesar watukosek) sehingga mengakibatkan
semburan lumpur. Apabila dikaitkan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan predikat
negeri rawan bencana, maka seluruh kegiatan pengeboran oleh industri minyak dan
gas bumi layak untuk ditinjau kembali. Khususnya terhadap izin pengeboran
kembali PT Lapindo di Sumur Tanggulangin 1, Desa Kedungbanteng, Tanggulangin,
Sidoarjo yang berjarak 2,5 Km dari pusat semburan lumpur.
Namun
menyalahkan bencana “Gempa Yogya” sebagai penyebab, tentu sulit diterima. Kita seharusnya
tanggap, mengingat secara geografis Indonesia adalah negeri rawan bencana
karena menjadi pertemuan tiga lempeng besar dunia, yakni Australia, Eurasia,
dan Pasifik.
Sayangnya
peradilan pidana yang memeriksa kebenaran materiil tidak berjalan. Keputusan Polda
Jatim bersama kejaksaan untuk menerbitkan SP3 adalah biang keladinya.
Padahal,
tragedi lapindo menimbulkan kerugian yang sangat besar. Setidaknya 12 desa dan
24 pabrik tenggelam lumpur serta 30 ribu warga terusir dari rumah mereka. Belum
lagi dampak potensial dari kandungan logam berat yang berpotensi meracuni
lingkungan sekitar. Tragedi itu juga membebani APBN sekitar Rp 9 triliun. Bandingkan
dengan megaskandal E-KTP sebesar 2,3 triliun atau bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
Mengambangnya
penegakan hukum dalam kasus lapindo menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah nasib kasus
lingkungan lainnya, apakah akan senasib?.
Pertama
kasus kebakaran hutan oleh PT. Kalista Alam. Kasus ini kembali mencuat setelah keluarnya
Putusan PN Meulaboh No 16/Pdt-G/2017/PN.Mbo., yang membatalkan Putusan MA Nomor
1 PK/PDT/2015 yang menghukum PT Kallista Alam untuk mengganti kerugian negara
akibat pembakaran hutan senilai Rp 366 miliar.
Kebalikan
dari kasus Lapindo, akrobat hakim PN Meulaboh menampik kebenaran materiil
peradilan pidana yang telah memutuskan, bahwa pihak yang bertanggung jawab terhadap
kerugian lingkungan akibat kebakaran hutan adalah PT. Kalista Alam. Akibatnya
ganti rugi untuk pemulihan lingkungan, menjadi tidak jelas.
Kedua,
kasus pencemaran minyak mentah yang bersumber dari patahnya pipa distribusi
minyak milik Pertamina di lingkungan laut teluk Balikpapan tanggal 31 Maret
2018.
Upaya
penanggulangan pencemaran oleh PT Pertamina bersama seluruh institusi
pemerintah dan dibantu berbagai elemen masyarakat, seharusnya dapat dipertahankan
sampai pada tahap pemulihan lingkungan hidup dan proses ganti rugi terhadap
masyarakat terdampak.
Menariknya,
sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab bocornya pipa tersebut. Apakah
karena kelalaian PT. Pertamina ataukah kapal KM Ever Judger yang diduga mematahkan
pipa atau pihak KSOP dan Pelindo yang lalai menjalankan tugasnya. Sehingga
pertanggungjawaban pidana masih jalan di tempat.
Sejatinya
berbagai instrumen hukum lingkungan di atas kertas sudah mumpuni. Seandainya penegakan
hukum berjalan optimal, seharusnya dapat diungkap secara gamblang, pihak yang
harus bertanggung jawab dalam berbagai kasus lingkungan tersebut.
Jika
memang ada pihak yang bersalah dan harus bertanggungjawab, maka aparat penegak
hukum harus membuktikannya. Sehingga penegakan hukum berupa penjatuhan sanksi,
berupa pencabutan izin dan/ atau penjatuhan denda dan/ atau sanksi pidana
terhadap orang perorangan dan/ atau koorporasi dapat berjalan.
Dengan
begitu tanggung jawab biaya pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak atau
ganti rugi bagi masyarakat dapat dituntaskan sebagaimana mestinya.
Kita
berharap, kasus-kasus tidak dibiarkan menumpuk menjadi benang kusut yang semakin
sulit diurai. Penegakan hukum yang berputar-putar tanpa ada ujungnya
sesungguhnya menimbulkan sikap sinisme dan apatisme masyarakat, yang kerap
menjadi korban pencemaran lingkungan.
Tengoklah
kasus ketiga, yaitu pencemaran minyak
Montara akibat meledaknya kilang minyak Montara di teritorial laut Australia pada
tanggal 21 Agustus 2009. Dampaknya menyebar sampai Indonesia, terutama di perairan
Rote di Nusa Tenggara Timur. Akibatnya banyak nelayan dan petani rumput laut
yang kehilangan mata pencahariannya.
Pemerintah
ketika itu melalui Menteri Perhubungan Freddy Numbery, telah menyatakan akan
menggugat perusahaan asal Thailand The Petroleum Authority of Thailand
Exploration and Production (PTTEP) Australasia selaku operator kilang Montara,
untuk membayar kompensasi sebesar 23 Triliun. Sayangnya rencana tersebut menguap
tanpa bekas.
Masyarakat
secara mandiri tanpa bantuan pemerintah, kemudian bersama-sama mengugat (class action) ganti kerugian pencemaran
minyak Montara di Pengadilan Federal Sydney, Australia.
Sesungguhnya
ketidakpedulian dan/ atau kegagalan negara menyelesaikan berbagai kasus
lingkungan secara cepat, cermat, dan adil telah menimbulkan keraguan masyarakat
tentang kesungguhan pemerintah mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menjamin
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan dalam
Konstitusi.
Wajarlah
kiranya apabila masyarakat berasumsi, jangan-jangan pembongkaran berbagai polemik
kasus lingkungan sekedar dikonversi menjadi “bola liar”, untuk permainan para
penegak hukum, penguasa dan kepentingan politik belaka, tanpa adanya komitmen
dan kesungguhan untuk menuntaskannya.
No comments:
Post a Comment