Wednesday, 12 June 2019

Penegakan Hukum Lingkungan Terus Mengambang


Sudah 12 tahun lamanya, peristiwa bocornya sumur Banjar Panji I tanggal 29 Mei milik PT. Lapindo Barntas Inc., menimpa masyarakat di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sampai saat ini, penyingkapan atas kasus lumpur Lapindo belumlah “tuntas”.
Gugatan Walhi dan YLBHI di peradilan perdata tidaklah membuktikan, bahwa PT. Lapindo bukanlah penyebab atau pihak yang bertanggung jawab atas tragedi lumpur lapindo. Sebab hukum acara perdata lebih menekankan formalitas hukum daripada kebenaran hukum materiil.
Bayangkan apabila putusan Perdata dalam kasus lapindo digunakan sebagai asumsi, bahwa bencana gempa telah mengaktivasi retakan (sesar watukosek) sehingga mengakibatkan semburan lumpur. Apabila dikaitkan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan predikat negeri rawan bencana, maka seluruh kegiatan pengeboran oleh industri minyak dan gas bumi layak untuk ditinjau kembali. Khususnya terhadap izin pengeboran kembali PT Lapindo di Sumur Tanggulangin 1, Desa Kedungbanteng, Tanggulangin, Sidoarjo yang berjarak 2,5 Km dari pusat semburan lumpur.
Namun menyalahkan bencana “Gempa Yogya” sebagai penyebab, tentu sulit diterima. Kita seharusnya tanggap, mengingat secara geografis Indonesia adalah negeri rawan bencana karena menjadi pertemuan tiga lempeng besar dunia, yakni Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Sayangnya peradilan pidana yang memeriksa kebenaran materiil tidak berjalan. Keputusan Polda Jatim bersama kejaksaan untuk menerbitkan SP3 adalah biang keladinya.
Padahal, tragedi lapindo menimbulkan kerugian yang sangat besar. Setidaknya 12 desa dan 24 pabrik tenggelam lumpur serta 30 ribu warga terusir dari rumah mereka. Belum lagi dampak potensial dari kandungan logam berat yang berpotensi meracuni lingkungan sekitar. Tragedi itu juga membebani APBN sekitar Rp 9 triliun. Bandingkan dengan megaskandal E-KTP sebesar 2,3 triliun atau bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
Mengambangnya penegakan hukum dalam kasus lapindo menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah nasib kasus lingkungan lainnya, apakah akan senasib?.
Pertama kasus kebakaran hutan oleh PT. Kalista Alam. Kasus ini kembali mencuat setelah keluarnya Putusan PN Meulaboh No 16/Pdt-G/2017/PN.Mbo., yang membatalkan Putusan MA Nomor 1 PK/PDT/2015 yang menghukum PT Kallista Alam untuk mengganti kerugian negara akibat pembakaran hutan senilai Rp 366 miliar.
Kebalikan dari kasus Lapindo, akrobat hakim PN Meulaboh menampik kebenaran materiil peradilan pidana yang telah memutuskan, bahwa pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian lingkungan akibat kebakaran hutan adalah PT. Kalista Alam. Akibatnya ganti rugi untuk pemulihan lingkungan, menjadi tidak jelas.
Kedua, kasus pencemaran minyak mentah yang bersumber dari patahnya pipa distribusi minyak milik Pertamina di lingkungan laut teluk Balikpapan tanggal 31 Maret 2018.
Upaya penanggulangan pencemaran oleh PT Pertamina bersama seluruh institusi pemerintah dan dibantu berbagai elemen masyarakat, seharusnya dapat dipertahankan sampai pada tahap pemulihan lingkungan hidup dan proses ganti rugi terhadap masyarakat terdampak.
Menariknya, sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab bocornya pipa tersebut. Apakah karena kelalaian PT. Pertamina ataukah kapal KM Ever Judger yang diduga mematahkan pipa atau pihak KSOP dan Pelindo yang lalai menjalankan tugasnya. Sehingga pertanggungjawaban pidana masih jalan di tempat.
Sejatinya berbagai instrumen hukum lingkungan di atas kertas sudah mumpuni. Seandainya penegakan hukum berjalan optimal, seharusnya dapat diungkap secara gamblang, pihak yang harus bertanggung jawab dalam berbagai kasus lingkungan tersebut.
Jika memang ada pihak yang bersalah dan harus bertanggungjawab, maka aparat penegak hukum harus membuktikannya. Sehingga penegakan hukum berupa penjatuhan sanksi, berupa pencabutan izin dan/ atau penjatuhan denda dan/ atau sanksi pidana terhadap orang perorangan dan/ atau koorporasi dapat berjalan.
Dengan begitu tanggung jawab biaya pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak atau ganti rugi bagi masyarakat dapat dituntaskan sebagaimana mestinya.
Kita berharap, kasus-kasus tidak dibiarkan menumpuk menjadi benang kusut yang semakin sulit diurai. Penegakan hukum yang berputar-putar tanpa ada ujungnya sesungguhnya menimbulkan sikap sinisme dan apatisme masyarakat, yang kerap menjadi korban pencemaran lingkungan.
Tengoklah kasus ketiga, yaitu pencemaran minyak Montara akibat meledaknya kilang minyak Montara di teritorial laut Australia pada tanggal 21 Agustus 2009. Dampaknya menyebar sampai Indonesia, terutama di perairan Rote di Nusa Tenggara Timur. Akibatnya banyak nelayan dan petani rumput laut yang kehilangan mata pencahariannya.
Pemerintah ketika itu melalui Menteri Perhubungan Freddy Numbery, telah menyatakan akan menggugat perusahaan asal Thailand The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Australasia selaku operator kilang Montara, untuk membayar kompensasi sebesar 23 Triliun. Sayangnya rencana tersebut menguap tanpa bekas.
Masyarakat secara mandiri tanpa bantuan pemerintah, kemudian bersama-sama mengugat (class action) ganti kerugian pencemaran minyak Montara di Pengadilan Federal Sydney, Australia.
Sesungguhnya ketidakpedulian dan/ atau kegagalan negara menyelesaikan berbagai kasus lingkungan secara cepat, cermat, dan adil telah menimbulkan keraguan masyarakat tentang kesungguhan pemerintah mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi.
Wajarlah kiranya apabila masyarakat berasumsi, jangan-jangan pembongkaran berbagai polemik kasus lingkungan sekedar dikonversi menjadi “bola liar”, untuk permainan para penegak hukum, penguasa dan kepentingan politik belaka, tanpa adanya komitmen dan kesungguhan untuk menuntaskannya.

No comments:

Post a Comment