Kerugian negara akibat PT Freeport
Jakarta, CNN Indonesia -- Greenpeace Indonesia memandang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih konservatif jika tak menyebut limbah PT Freeport Indonesia merugikan negara.Tailing Freeport disebut telah merusak sungai di Mimika, Papua, selama 30-40 dekade terakhir.
"Saya kira daya dukung eksosistem dari sungai di sana sudah menurun. Persoalan seperti ini tidak bisa dihitung dengan perhitungan ekonomi yang konservatif dengan input output yang standar. Tapi harus menghitung biaya yang harus dikeluarkan negara untuk memulihkan DAS Sungai Ajkwa di wilayah. Mimika," ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak di Jakarta, Selasa (24/10).
Dia meminta pemerintah belajar dari bencana kebakaran hutan yang setiap tahun terjadi. Potensi kerugian bencana itu sudah jelas di depan mata, sehingga bisa dihitung potensi kerugiannya.
"Sama-sama kerusakan lingkungan, kalau karhutla bisa dihitung kenapa yang ini tidak bisa dihitung kalau dilihat dari metodenya," terangnya.
Sumber :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181024005620-20-340894/sebut-freeport-tak-rugikan-negara-greenpeace-nilai-bpk-kolot
History Pembuangan limbah freeport
Duduk soal urusan limbah emas ini bermula pada 1995—meskipun Freeport sudah membuangnya ke sekitar Sungai Ajkwa sejak membuka tambang. Ketika itu, pada Januari 1995, Freeport mendapat izin membuang tailing ke Sungai Ajkwa dari Pemerintah Provinsi Irian Jaya. Anehnya, izin pemerintah itu dikeluarkan ketika Freeport Indonesia belum menyertakan hal teknis pengelolaannya.
Belum selesai urusan pengelolaan, Freeport mengajukan permintaan tambahan produksi dari 100 ribu ton per hari menjadi 300 ribu ton bahan baku mineral per hari setahun kemudian. Dari pengerukan batu-batu di Bukit Grasberg dan Eastberg seluas 100 kilometer persegi itu, hanya 3 persen yang menjadi emas. Sisanya berupa bebatuan yang menjadi sampah dan dibuang ke kolam penampungan. Pemerintah meminta limbah tersebut diubah dulu ke bentuk cair agar mudah dialirkan dari ketinggian 4.285 meter melalui ModADA.
Menurut Merah Johansyah, justru amdal 300K yang disetujui pemerintah itulah yang menjadi biang masalah pengelolaan limbah emas Freeport. “Tak ada aturan main dalam mengontrolnya,” ucapnya.
Alih-alih meminta Freeport membereskan pencegahan dampak tailing, Pemerintah Kabupaten Mimika malah mengizinkan pembukaan area baru pada 2005. Sejak itu, Freeport bisa membuang limbahnya memakai bantaran Sungai Aghawagon, Otomona, dan Minarjewi yang mengalir ke Sungai Ajkwa. Waktu itu area penambangan Freeport kian luas sehingga cara termudah mengalirkan limbah adalah melalui anak-anak sungai.
Malapetaka limbah Freeport di Mimika pun memasuki babak baru. Rupanya, keputusan Bupati Mimika Klemen Tinal itu tak berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air. Dalam aturan ini tertera ketentuan baku mutu limbah sebelum dibuang ke sungai. Dengan mengabaikan baku mutu ini, Freeport tak memiliki patokan ambang batas partikel yang mereka buang.
Sumber :
https://tabloidjubi.com/artikel-23190-investigasi--limbah-freeport-%E2%80%9Cmembunuh%E2%80%9D-sungai-ajkwa.html
Kasus freeport lainnya :
No comments:
Post a Comment