Wednesday, 12 June 2019

Opini Pelestarian Lingkungan Kawasan Bukit di Kota Bandar Lampung


Keserasian Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan

Alih fungsi perbukitan di Bandar Lampung kembali ramai menghiasai pemberitaan. Setelah bukit kunyit dan camang yang selalu muncul, kini bukit Sindi yang menjadi sorotan. Meskipun ada sebagian masyarakat yang bertanya, dimanakah Bukit Sindi dimaksud.
Patut diketahui, upaya pelestarian perbukitan telah dimulai sejak 1980-an di era Gubernur Poedjono Pranyoto. Saat itu, terdapat 39 Bukit yang akan dilestarikan, melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung Nomor: G/023/B.IV/HK/1989 tentang Pengesahan Perda Kotamadya Dati II Bandar Lampung No.7/1988 tentang Ketentuan Pengelolaan Serta Pengaturan Penggunaan Lereng, Bukit, Gunung Dalam Wilayah Dati II Bandar Lampung.
Lantas mengapa, saat ini jumlah bukit yang menjadi pemberitaan semakin simpang siur jumlahnya, yaitu 33 bukit, 13 bukit ataukah hanya 11 bukit?

Hal yang pasti adalah, sedari dulu Peraturan sudah ada. Peraturan Daerah 10/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung pun telah mengamanatkan upaya pelestarian Bukit. Sayangnya, penegakannya masih jauh panggang dari api.
Pelestarian bukit dianggap mengebiri hak masyarakat memanfaatkan lahan, sementara penyelamatan bukit seolah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerhati lingkungan saja.
Pemerintah Kota Bandar Lampung (Pemkot), yang berwenang dalam pengendalian pemafaatan tata ruang seolah tidak berdaya.
Lihat saja alih fungsi lahan yang saat ini terjadi di bukit Kunyit, Camang dan yang terhangat sekarang, bukit Sindi. Semakin mengindikasikan, bahwa setelah 3 dekade lamanya Pemkot terbukti gagal.

Langkah Pemkot
Pada 2010, Walhi memaparkan, bahwa dari 13 bukit hanya tiga yang dalam keadaan baik. Sedangkan sisanya sedang atau telah beralih fungsi menjadi pertambangan, permukiman, hotel dan restoran. Ketiganya yaitu Gunung Sulah (Sukarame), Gunung Kucing (Tanjungkarang Barat), dan Gunung Banten (Kedaton).
Pemkot dan DPRD juga sebenarnya tak tinggal diam, bahkan Walikota Herman H.N., sejak awal menjabat di tahun 2010, secara langsung telah memerintahkan larangan eksploitasi di Bukit Sukamenanti, Kunyit dan Camang. Meskipun sampai dengan saat ini (2018), terlihat tak ada perubahan yang berarti.

Ketidakjelasan status adalah akar permasalahan konversi di lahan perbukitan. Pemkot dapat mengambil langkah bersama masyarakat, untuk merencanakan kembali status dan sistem pengelolaan bukit.
Perencanaan dan penerbitan Perda yang khusus menjaga kelestarian bukit dapat menjadi langkah awal menghilangkan kegaduhan. Janji Revisi Perda yang akan dimasukan Prolegda di tahun 2016 oleh DPRD Kota dapat ditagih kembali.
Kejelasan komitmen pengelolaan bukit yang mempunyai fungsi ekologis sekaligus pula mewujudkan kepastian berusaha. Sehingga pembangunan tidak terhambat.

Pakar Hukum Lingkungan Maschtricht University Michael Faure menyatakan, meski setiap orang dianggap mengetahui hukum ketika terbitnya lembaran negara, namun hal tersebut sekedar angan-angan belaka, karena prasyarat pertama penegakan yang efektif adalah memberi informasi kepada masyarakat tentang materi peraturan perundangan.
Karenanya perencanaan pemanfaatan bukit-bukit yang telah disusun wajib diumumkan kembali kepada masyarakat.
Sosialisasikan sampai ke tingkat RT/RW atau Lingkungan. Sehingga penerbitan sertifkat tanah atau proses perizinan yang tidak sesuai dengan RTRW tidak terjadi kembali.
Inilah kunci yang dapat menjawab pertanyaan dimana letak Bukit Sindi atau berapakah jumlahnya sekaligus bagaimanakah sejatinya pengelolaan bukit di Kota Bandar Lampung.

Pembangunan Berkelanjutan
Adalah suatu kekeliruan, ketika upaya pembangunan ekonomi dibenturkan dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Tanpa kesejahteraan ekonomi, maka kemiskinan hadir, inilah biang keladi utama yang diakui sebagai penyebab permasalahan lingkungan hidup di seluruh dunia.
Pembangunan ekonomi dan lingkungan harus berjalan serasi dan seimbang. Inilah hakekat sederhana konsep dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Memperdebatkan siapa yang bersalah dan bertangung jawab sungguh tak berguna. Sebab menurut Walhi, pada tahun 2014 saja sebanyak 50% bukit telah dimiliki secara pribadi oleh orang perseorangan. Terpaku pada langkah penegakan hukum, secara historis tampaknya hanya membuang waktu dan sumber daya belaka. Iklim yang diciptakan pun “permusuhan” antara pelaku usaha melawan Pemkot.

Padahal, baik Pemkot dan masyarakat sama-sama memiliki kewajiban untuk memastikan kelestarian bukit. Bukankah kewajiban setiap orang menjaga kelestarian lingkungan hidup telah ditegaskan dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Karenanya pemkot harus duduk bersama masyarakat. Inilah peluang yang justru dapat dimanfaatkan, yaitu mengelola kawasan konservasi RTH Bukit bersama masyarakat.

Konsep pendekatan sukarela atau yang menurut Otto Soemarwoto diistilahkan dengan Atur Diri Sendiri dapat diimplementasikan. Kesadaran lingkungan diiringi kesukarelaan masyarakat menjaga kelestarian bukit diterapkan melalui pembangunan sumur resapan atau penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Tak berarti Pemkot hanya tinggal diam. Dinas Tata Kota (Distako) harus memperketat pengawasan ketentuan Koefisien Dasar Bangunan dan Koefisien Dasar Hijau. Adalah tugas Distako, memastikan pengawasan atau pelaporan perubahan, pemantauan penyimpangan dan evaluasi rencana serta upaya penertiban pemanfaatan ruang, melalui sanksi administratif, perdata dan/ atau pidana.
Sebelum perizinan diterbitkan, alangkah baiknya didahului dengan kajian lingkungan. Keberadaan Amdal/ UKL-UPL dan izin lingkungan akan memastikan, terintegrasinya pertimbangan sosial, ekologis, dan aspek kebencanaan seperti kekeringan, banjir, dan longsor dalam pengambilan keputusan.

Kedepannya kita semua harus memastikan terjaganya bukit yang kondisinya masih baik. Sedangkan bukit yang terlanjur dimanfaatkan atau dimiliki perseorangan patut diupayakan langkah mitigasi, reboisasi dan rehabilitasi dalam menjaga fungsi ekologisnya. Sehingga pembangunan dan kelestarian lingkungan berjalan serasi dan seimbang. Harapannya Kota Tapis Berseri dengan bukit sebagai ciri khasnya tak sekedar simbolisasi semata. Semoga...



No comments:

Post a Comment