Keserasian
Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan
Alih fungsi perbukitan di Bandar Lampung
kembali ramai menghiasai pemberitaan. Setelah bukit kunyit dan camang yang selalu
muncul, kini bukit Sindi yang menjadi sorotan. Meskipun ada sebagian masyarakat
yang bertanya, dimanakah Bukit Sindi dimaksud.
Patut diketahui, upaya pelestarian
perbukitan telah dimulai sejak 1980-an di era Gubernur Poedjono Pranyoto. Saat
itu, terdapat 39 Bukit yang akan dilestarikan, melalui Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Lampung Nomor: G/023/B.IV/HK/1989 tentang Pengesahan Perda
Kotamadya Dati II Bandar Lampung No.7/1988 tentang Ketentuan Pengelolaan Serta
Pengaturan Penggunaan Lereng, Bukit, Gunung Dalam Wilayah Dati II Bandar
Lampung.
Lantas mengapa, saat ini jumlah bukit
yang menjadi pemberitaan semakin simpang siur jumlahnya, yaitu 33 bukit, 13
bukit ataukah hanya 11 bukit?
Hal yang pasti adalah, sedari dulu Peraturan
sudah ada. Peraturan Daerah 10/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Bandar Lampung pun telah mengamanatkan upaya pelestarian Bukit. Sayangnya,
penegakannya masih jauh panggang dari api.
Pelestarian bukit dianggap mengebiri
hak masyarakat memanfaatkan lahan, sementara penyelamatan bukit seolah menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerhati lingkungan saja.
Pemerintah Kota Bandar Lampung
(Pemkot), yang berwenang dalam pengendalian pemafaatan tata ruang seolah tidak
berdaya.
Lihat saja alih fungsi lahan yang saat
ini terjadi di bukit Kunyit, Camang dan yang terhangat sekarang, bukit Sindi. Semakin
mengindikasikan, bahwa setelah 3 dekade lamanya Pemkot terbukti gagal.
Langkah
Pemkot
Pada 2010, Walhi memaparkan, bahwa
dari 13 bukit hanya tiga yang dalam keadaan baik. Sedangkan sisanya sedang atau
telah beralih fungsi menjadi pertambangan, permukiman, hotel dan restoran.
Ketiganya yaitu Gunung Sulah (Sukarame), Gunung Kucing (Tanjungkarang Barat),
dan Gunung Banten (Kedaton).
Pemkot dan DPRD juga sebenarnya tak
tinggal diam, bahkan Walikota Herman H.N., sejak awal menjabat di tahun 2010,
secara langsung telah memerintahkan larangan eksploitasi di Bukit Sukamenanti, Kunyit
dan Camang. Meskipun sampai dengan saat ini (2018), terlihat tak ada perubahan
yang berarti.
Ketidakjelasan status adalah akar
permasalahan konversi di lahan perbukitan. Pemkot dapat mengambil langkah bersama
masyarakat, untuk merencanakan kembali status dan sistem pengelolaan bukit.
Perencanaan dan penerbitan Perda yang
khusus menjaga kelestarian bukit dapat menjadi langkah awal menghilangkan
kegaduhan. Janji Revisi Perda yang akan dimasukan Prolegda di tahun 2016 oleh
DPRD Kota dapat ditagih kembali.
Kejelasan komitmen pengelolaan bukit
yang mempunyai fungsi ekologis sekaligus pula mewujudkan kepastian berusaha. Sehingga
pembangunan tidak terhambat.
Pakar Hukum Lingkungan Maschtricht
University Michael Faure menyatakan, meski setiap orang dianggap mengetahui
hukum ketika terbitnya lembaran negara, namun hal tersebut sekedar angan-angan belaka,
karena prasyarat pertama penegakan yang efektif adalah memberi informasi kepada
masyarakat tentang materi peraturan perundangan.
Karenanya perencanaan pemanfaatan bukit-bukit
yang telah disusun wajib diumumkan kembali kepada masyarakat.
Sosialisasikan sampai ke tingkat RT/RW
atau Lingkungan. Sehingga penerbitan sertifkat tanah atau proses perizinan yang
tidak sesuai dengan RTRW tidak terjadi kembali.
Inilah kunci yang dapat menjawab
pertanyaan dimana letak Bukit Sindi atau berapakah jumlahnya sekaligus
bagaimanakah sejatinya pengelolaan bukit di Kota Bandar Lampung.
Pembangunan
Berkelanjutan
Adalah suatu kekeliruan, ketika
upaya pembangunan ekonomi dibenturkan dengan upaya menjaga kelestarian
lingkungan.
Tanpa kesejahteraan ekonomi, maka
kemiskinan hadir, inilah biang keladi utama yang diakui sebagai penyebab permasalahan
lingkungan hidup di seluruh dunia.
Pembangunan ekonomi dan lingkungan
harus berjalan serasi dan seimbang. Inilah hakekat sederhana konsep dari pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Memperdebatkan siapa yang bersalah dan
bertangung jawab sungguh tak berguna. Sebab menurut Walhi, pada tahun 2014 saja
sebanyak 50% bukit telah dimiliki secara pribadi oleh orang perseorangan. Terpaku
pada langkah penegakan hukum, secara historis tampaknya hanya membuang waktu
dan sumber daya belaka. Iklim yang diciptakan pun “permusuhan” antara pelaku
usaha melawan Pemkot.
Padahal, baik Pemkot dan masyarakat sama-sama
memiliki kewajiban untuk memastikan kelestarian bukit. Bukankah kewajiban
setiap orang menjaga kelestarian lingkungan hidup telah ditegaskan dalam UU 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Karenanya pemkot harus duduk bersama
masyarakat. Inilah peluang yang justru dapat dimanfaatkan, yaitu mengelola
kawasan konservasi RTH Bukit bersama masyarakat.
Konsep pendekatan sukarela atau yang
menurut Otto Soemarwoto diistilahkan dengan Atur Diri Sendiri dapat diimplementasikan.
Kesadaran lingkungan diiringi kesukarelaan masyarakat menjaga kelestarian bukit
diterapkan melalui pembangunan sumur resapan atau penyediaan Ruang Terbuka
Hijau (RTH).
Tak berarti Pemkot hanya tinggal
diam. Dinas Tata Kota (Distako) harus memperketat pengawasan ketentuan Koefisien
Dasar Bangunan dan Koefisien Dasar Hijau. Adalah
tugas Distako, memastikan pengawasan atau pelaporan perubahan, pemantauan
penyimpangan dan evaluasi rencana serta upaya penertiban pemanfaatan ruang, melalui
sanksi administratif, perdata dan/ atau pidana.
Sebelum perizinan diterbitkan,
alangkah baiknya didahului dengan kajian lingkungan. Keberadaan Amdal/ UKL-UPL dan
izin lingkungan akan memastikan, terintegrasinya pertimbangan sosial, ekologis,
dan aspek kebencanaan seperti kekeringan, banjir, dan longsor dalam pengambilan
keputusan.
Kedepannya kita semua harus
memastikan terjaganya bukit yang kondisinya masih baik. Sedangkan bukit yang terlanjur
dimanfaatkan atau dimiliki perseorangan patut diupayakan langkah mitigasi,
reboisasi dan rehabilitasi dalam menjaga fungsi ekologisnya. Sehingga
pembangunan dan kelestarian lingkungan berjalan serasi dan seimbang. Harapannya
Kota Tapis Berseri dengan bukit sebagai ciri khasnya tak sekedar simbolisasi
semata. Semoga...
No comments:
Post a Comment