Banyak kata dalam mendeskripsikan keindahan dalam berkegiatan Panjat Tebing (rock climbing), seperti elegant, powerful, penuh penghargaan dan kadang membuat frustrasi namun MANGSTAB POKOKMEN. wkwkwkwk...
Tebing adalah ekosistem unik dengan keanekaragaman tanaman yang luar biasa namun relatif belum diketahui, menyimpan spesies langka, endemik, dan
terancam punah, namun juga spesies spesialis batuan atau generalis yang
dapat menjadi umum secara lokal dan dominan di tebing.
Tebing adalah formasi bebatuan, tanah atau es yang tinggi dan menjulang secara vertikal. (britannica) Karena sulitnya diakses, ekosistem tebing
menjadi salah satu
ekosistem yang paling sedikit mengalami gangguan di seluruh dunia. Dindingnya dapat
menampung komunitas yang kaya akan tanaman langka, lumut, burung yang
bersarang, dan kelelawar. Penelitian menunjukkan bahwa tebing menampung setidaknya 35% spesies tumbuhan asli, dan menjadi tempat perlindungan bagi sejumlah hewan penghuni batu.
Jumlah pemanjat telah meningkat di seluruh dunia, karena popularitas panjat tebing sebagai kegiatan olahraga terus semakin populer, yang diperkirakan akan semakin besar setelah pertama kalinya dipertandingkan pada Olimpiade Tokyo 2021. Popularisme tersebut akan turut meningkatkan potensi dampak yang terjadi. Di seluruh dunia, terdapat antara 40 dan 50 juta pemanjat dan antusiasme terhadap olahraga ini terus meningkat. Bagi banyak pemanjat tebing dan boulderer, kesempatan untuk menyatu dengan alam di lokasi terpencil dan asri merupakan bagian dari daya tariknya. Namun meningkatnya popularitas panjat tebing membuat beberapa ahli ekologi khawatir.
Sebagaimana kegiatan outdoor lainnya, kegiatan maka Panjat Tebing juga dapat menimbulkan berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Namun, menurut
Hearn sebagaimana dikutip David Huddart, yang menyatakan ketika
mempertimbangkan langkah konservasi alam dan panjat tebing di Cornwall
(Inggris), maka secara nasional dampak lingkungan dari panjat tebing,
lebih kecil jika dibandingkan dengan efek dari pertanian, pariwisata dan
aktivitas pemanfaatan bentang alam lainnya serta pertambangan.
Beberapa bentuk dampak negatif tersebut, antara lain gangguan terhadap flora dan fauna tebing, kerusakan permukaan tebing akibat bekas piton, baut, sling, dan tali serta gangguan visual dari penggunaan magnesium dan sampah. Meskipun besarannya bisa dianggap tidak terlalu siginifikan, namun seiring meningkatnya popularitas kegiatan panjat maka dampak komulatifnya dari semakin banyaknya pemanjat menjadi layak untuk diperhitungkan. Sehingga langkah pencegahan untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan tentunya sangat diperlukan.
Perubahan bentang alam yang terjadi di kawasan wisata tebing Siung dan tebing Parangdog di daerah Yogyakarta misalnya, dapat menjadi gambaran yang memperlihatkan perbandingan antara kerusakan yang diakibatkan oleh pembangunan fasilitas wisata alam seperti penginapan atau sarana pendukung untuk melihat pantai, matahari terbenam (sunset), lahan parkir dan warung makanan kuliner atau landasan paralayang, yang jauh lebih signifikan daripada kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan panjat tebing.
Kerusakan batuan yang ditimbulkan dalam pembuatan suatu jalur pemanjatan misalnya, sudah barang tentu sangatlah minim. Dimana umumnya dalam pembuatan sebuah lubang pengaman (hanger), hanya membutuhkan kerusakan sebesar jari kelingking, untuk setiap pengaman (hanger) yang dipergunakan/ dibuat. Sehingga sangat kecil jika dibandingkan dengan kerusakan akibat kegiatan pariwisata lainnya dan juga pertambangan batuan.
Foto : Perubahan bentang alam di lokasi wisata tebing alam di Bukit Paralayang (Parangdog, Yogyakarta)
Foto : Ketidaksadaran yang mengakibatkan perubahan permukaan tebing oleh pemerintah
(Sumber : https://cdn1.onetwogo.com/)
Secara historis, perkembangan panjat tebing telah menunjukan adanya kepedulian yang besar terhadap kelestarian lingkungan hidup. Beberapa tokoh panjat tebing terkenal juga mempelopori berbagai bentuk tindakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan dalam kegiatan panjat tebing. Bahkan, upaya pelestarian lingkungan tebing telah menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya berbagai inovasi dalam peralatan panjat tebing, seperti lahirnya Eco Ball sebagai alternatif penggunaan magnesium serta pengaman sisip (nuts) sebagai alternatif dan pelengkah pengaman pitons.
Yvon Leonard sebagai pemilik Patagonia (Produsen Outdoor terkemuka dari USA), sejak tahun 1970-an telah memutuskan, untuk menghentikan produksi Pitons dari perusahaannya, karena dalam penggunaanya telah diketahui mengakibatkan kerusakan pada permukaan batuan tebing. Pada tahun 1971 Tom frost dan Yvon Chouinard mendesain heksentrik, atau yang biasa disebut disebut heks/hexa/nuts, sekarang umum digunakan dalam panjat tradisional. Bahkan, sejak tahun 1970-an, produsen peralatan panjat The Eastern Trade (Inggris) yang disertai dengan essay Doug Robinson’s di tahun 1972 tentang penggunaan alat panjat yang ada dalam katalog Patagonia (Yvon) atau Royal Robbins, telah mulai mempromosikan penggunaan Nuts sebagai pengganti Pitons. Kemudian pada tahun 1978 Ray Jardine menciptakan perangkat camming modern pertama yang dilengkapi pegas (SLCD atau cam) yang dirancang untuk mempertahankan sudut camming konstan dengan batu, juga digunakan dalam memanjat trad, atau yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Friend.
Tindakan fisik memanjat telah terbukti mempengaruhi permukaan tebing, spesies hewan dan tumbuhan, begitu pula penggunaan magnesium dalam olahraga.
Salah satu dampak fisik utama yang timbul akibat kegiatan panjat tebing adalah timbulnya kerusakan terhadap permukaan batuan tebing. Kerusakan batuan terutama ditimbulkan dari pembuatan jalur atau rute pemanjatan baru, yang secara khusus dibutuhkan dalam sport climbing. Pemasangan hanger dengan menggunakan paku tebing (bolts), dalam pelaksanaanya tentu saja akan mengakibatkan kerusakan batuan, meskipun secara kuantitas batuannya, teramat sangatlah kecil. (Lihat Gambar hanger di bawah)
Kerusakan pada permukaan tebing juga ditimbulkan pada saat kegiatan pemanjatan yang dilakukan. Penggunaan peralatan tebing seperti tali, nuts/chocks (hexa), dan pitons (pasak tebing), akan selalu mengakibatkan kerusakan pada permukaan batuan di jalur atau rute yang ada. Mungkin dampak yang paling besar adalah melalui penggunaan Pitons, yang menjadi salah satu pengaman paling lama dan paling dibutuhkan oleh pemanjat. Yvon Chouinard mulai memproduksi piton pada akhir 1950-an, yang kemudian dengan cepat berkembang dimana pada awal 1960-an, setiap pemanjat telah dapat membeli piton yang diproduksi Yvon.
Meskipun dampaknya lebih kecil, tetapi penggunaan pengaman sisip pada celah batuan yang dipopulerkan pada tahun 1970 oleh para pemanjat Inggris, juga berpotensi mengikis batuan dan merusak permukaan batuan. Penggunaan nuts (hexa) karenanya disarankan agar mempertimbangkan potensi kerusakan pada batuan tebing. Secara teknis, yaitu dengan menggunakan besaran nuts yang sesuai dengan celah yang terdapat pada tebing. Semakin besar celah tebing, maka nuts yang dipergunakan seharusnya semakin besar atau sedapat mungkin dipilih ukuran yang tepat (properly) antara besar peralatan dan besaran celah atau retakan (crack) pada tebing. Tujuannya untuk meminimalisir tekanan yang diberikan oleh nuts pada batuan tebing, sehingga semakin meminimalisir tergerus atau terkikisnya permukaan batuan atau crack.
Besaran dampak terhadap permukaan batuan tebing juga ditentukan dari jenis batuan pada permukaan tebing. Misalnya tebing di negara Ceko, yang umumnya merupakan tebing dengan karakter batuan pasir (Sandstone), memiliki tingkat kerentanan yang lebih besar daripada jenis batuan andesit ataupun granit. Pada tebing jenis tersebut, maka penggunaan pengaman seperti Piton, mungkina saja hanya akan merusak batuan Tebing.
Sayangnya, saat ini penggunaan magnesium pada seorang pemanjat yang berguna untuk meningkatkan cengkreman tangan seolah-olah telah melekat sebagai citra dari Panjat Tebing. Bahkan, mungkin karena ketidaktahuannya, beberapa komunitas panjat tebing telah menjadikannya sebagai suatu simbol bagi organisasinya. Seperti yang dilakukan oleh salah satu komunitas di Yogyakarta, yang menggunakan "Salam Magnesium" sebagai salam dalam rangka menunjukan identitas bagi anggotanya. Mungkin sudah saatnya dipertimbangkan, agar menggantinya dengan istilah "Save Magnesium" atau "Magnesium Lestari" sebagai simbolisasi yang lebih konservasionis.
Selain itu pemanjat juga dapat menggunakan magnesium yang warnanya seragam dengan warna permukaan tebing yang akan dipanjat. Bahkan ada sekelompok orang Inggris pada tahun 1970 yang dikenal sebagai "Clean Hand Gang," termasuk Steve Findlay dan Pat Little john, yang semuanya menolak penggunaan chalk atau magnesium. Tokoh lainnya seperti pendiri Patagonia Yvon Chouinard juga telah lama menghindari chalk, seperti halnya tokoh perintis free-climbing Colorado Jim Erickson.
Memang membutuhkan kajian lebih lanjut terhadap urgensi pembatasan atau penggunaan magnesium oleh para pemanjat dan dampak negatif terhadap flora dan fauna di Tebing. Tetapi dalam rangka meminimalisir dampak, maka alangkah baiknya apabila para pemanjat selalu berupaya meminimalisir penggunaan magnesium dan/atau dengan menggunakan magnesium yang warnanya selaras dengan warna batuan tebing. Oleh karenanya, "mitos" penggunaan magnesium seperti dapat mengurangi kerusakan pada kulit tangan karena dapat meminimalisir gesekan antara kulit dan permukaan tebing dapat dikaji lebih cermat, sehingga langkah-langkah penghematan dalam penggunaan magnesium dapat dipraktikan dan disosialisasikan secara seragam ke seluruh para pemanjat dengan lebih baik.
Dampak Terhadap Flora dan Fauna
Selain itu, tebing merupakan habitat atau tempat tinggal bagi berbagai jenis flora dan fauna, seperti mamalia dan burung. Kehadiran para pemanjat ketika melakukan pemanjatan suatu tebing, dapat dianggap sebagai pengganggu oleh satwa penghuni habitat tebing. Gangguan tersebut akan berdampak lebih besar apabila terjadi pada masa satwa sedang berkembang biak (musim kawin).
Sebagai contoh, di Amerika dan Eropa telah diketahui, jika kegiatan panjat tebing mengganggu habitat burung Elang Peregrine (the peregrine falcon). Otoritas disana kemudian sepakat untuk melakukan pembatasan waktu untuk kegiatan climbing, dimana jalur tertentu akan ditutup pada saat tertentu (musim kawin misalnya), karena melalui atau mendekati lokasi sarang burung yang berpotensi mengganggu kenyamanan burung untuk berkembang biak. Hal yang sama mungkin saja dialami oleh satwa mamalia lainnya, seperti Musang dan Monyet liar yang umumnya menjadikan tebing sebagai habitatnya.
Karenanya, kehadiran habitat satwa liar atau satwa yang dilindungi di sekitar lokasi pemanjatan selayaknya selalu menjadi pertimbangan bagi para pemanjat. Sayangnya di Indonesia, sampai sekarang masih banyak jalur pemanjatan yang belum memiliki data tentang keanekaragaman hayati yang terdapat di lokasi pemanjatan, alih-alih memiliki strategi manajemen konservasi. Sehingga dampak atau upaya konservasi hanya didasarkan atas pengamatan secara visual dan kesadaran para pemanjat ketika berada di lokasi pemanjatan. Oleh karenanya, mungkin akan lebih baik jika di setiap lokasi pemanjatan, diberikan suatu papan himbauan atau peringatan untuk dapat mengingatkan para pemanjat, agar tidak mengganggu habitat satwa di Tebing.
Sebagai gambaran, pemanjatan di Rute Kuda Laut yang terdapat pada tebing Siung yang ada di Jogja misalnya, dimana dijumpai habitat burung di bawah teras yang ada di sebelah jalur pemanjatan Kuda Laut. Lebih jelasnya lihat Video di bawah ini :
Dampak Terhadap Vegetasi
Selain itu panjat tebing juga mengakibatkan kerusakan pada vegetasi yang ada di permukaan tebing, khususnya terhadap flora berjenis lumut-lumutan. Pembersihan vegetasi tumbuhan dan lumut dari permukaan tebing adalah kegiatan utama yang menimbulkan gangguan terhadap flora permukaan tebing. Pembersihan memang merupakan suatu prasyarat, mungkin menjadi yang utama, agar para pemanjat dapat menggunakan cengkeraman tangan dan kakinya ketika melakukan suatu pemanjatan.
Foto : Penggunaan Hanger dalam Sport Climbing (Climbing Anchoring)
Jenis pemanjatan yang akan dilakukan juga turut mempengaruhi tingkat kerusakan permukaan batuan tebing. Pemanjatan sport (sport climbing) diketahui memiliki dampak tiga kali lipat daripada pendakian tradisonal (trad climbing). Meskipun memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar bagi para pemanjat, namun dampak trad climbing terhadap lingkungan mungkin lebih rendah. Pembuatan jalur pemanjatan baru, khususnya untuk jenis sport climbing tentu saja akan “merusak” permukaan tebing untuk pemasangan bolt dan hanger sekaligus juga merusak vegetasi alamiah pada permukaan tebing alam.
Foto : Kerusakan batuan akibat penggunaan tali panjat di Zion National Park. (Huddart)
Penggunaan Pitons sebagai pengaman awal dalam sejarah climbing telah dinyatakan sebagai faktor utama penyebab kerusakan permukaan tebing. Karenanya, telah disepakati pula, bahwa penggunaan palu untuk pemasangan Pitons idealnya apabila 75% Pitons telah dapat dimasukan dalam crack tebing. Lihat video : (Penggunaan Pitons) Bahkan, UIAA Mountaineering Commission menerbitkan sebuah Pedoman sebagai panduan bagi para pemanjat dalam pembuatan jalur pemanjatan baru atau perubahan jalur pemanjatan. Dokumen tersebut berjudul "To Bolt Or Not To Be".
Sedangkan penggunaan Nuts pada permukaan tebing tidak menimbulkan kerusakan signifikat terhadap permukaan tebing, karena dapat dipasang dan dilepaskan kembali tanpa harus merusak batuan tebing. Sehingga memungkinkan pemanjatan yang lebih bersih atau lebih ramah terhadap lingkungan tebing. Begitupula dengan lahirnya pengaman sisip model Cam/Friend atau dikenal dengan istilah Spring Loaded Camming Device (SLCD). Berbagai penemuan revolusioner berupa pengaman sisip telah mendorong sebagian besar komunitas untuk menyepakati, bahwa penggunaan Pitons yang dapat merusak permukaan tebing adalah alternatif terakhir, apabila tidak terdapat lagi pengaman yang dapat dipergunakan saat melakukan pemanjatan.
Sedangkan penggunaan Nuts pada permukaan tebing tidak menimbulkan kerusakan signifikat terhadap permukaan tebing, karena dapat dipasang dan dilepaskan kembali tanpa harus merusak batuan tebing. Sehingga memungkinkan pemanjatan yang lebih bersih atau lebih ramah terhadap lingkungan tebing. Begitupula dengan lahirnya pengaman sisip model Cam/Friend atau dikenal dengan istilah Spring Loaded Camming Device (SLCD). Berbagai penemuan revolusioner berupa pengaman sisip telah mendorong sebagian besar komunitas untuk menyepakati, bahwa penggunaan Pitons yang dapat merusak permukaan tebing adalah alternatif terakhir, apabila tidak terdapat lagi pengaman yang dapat dipergunakan saat melakukan pemanjatan.
Foto : Kerusakan tebing akibat penggunaan Pitons di Tebing Yosemite (Foto SuperTopo)
Meskipun dampaknya lebih kecil, tetapi penggunaan pengaman sisip pada celah batuan yang dipopulerkan pada tahun 1970 oleh para pemanjat Inggris, juga berpotensi mengikis batuan dan merusak permukaan batuan. Penggunaan nuts (hexa) karenanya disarankan agar mempertimbangkan potensi kerusakan pada batuan tebing. Secara teknis, yaitu dengan menggunakan besaran nuts yang sesuai dengan celah yang terdapat pada tebing. Semakin besar celah tebing, maka nuts yang dipergunakan seharusnya semakin besar atau sedapat mungkin dipilih ukuran yang tepat (properly) antara besar peralatan dan besaran celah atau retakan (crack) pada tebing. Tujuannya untuk meminimalisir tekanan yang diberikan oleh nuts pada batuan tebing, sehingga semakin meminimalisir tergerus atau terkikisnya permukaan batuan atau crack.
Besaran dampak terhadap permukaan batuan tebing juga ditentukan dari jenis batuan pada permukaan tebing. Misalnya tebing di negara Ceko, yang umumnya merupakan tebing dengan karakter batuan pasir (Sandstone), memiliki tingkat kerentanan yang lebih besar daripada jenis batuan andesit ataupun granit. Pada tebing jenis tersebut, maka penggunaan pengaman seperti Piton, mungkina saja hanya akan merusak batuan Tebing.
Foto : Penggunaan cam/friend secara tepat dengan bantuan kode warna. (Climbing Anchoring)
Dampak negatif lainnya adalah dampak yang ditimbulkan dari penggunaan magnesium. Magnesium (chalk) dalam climbing pertama kali diperkenalkan oleh John Gill (godfather of bouldering). Saat ini penggunaan magnesium telah diketahui berpotensi mengakibatkan dampak negatif berupa kerusakan pada permukaan tebing, terutama pada pori-pori batuan tebing (porous sandstone cliffs). Magnesium berasal dari mineral Magnisite, yang lazimnya digunakan para pemanjat untuk mencegah keringat atau mengeringkan tangan sehingga semakin meningkatkan cengkeraman jari pemanjat. Secara visual dapatlah terlihat dampak menurunnya nilai keindahan atau estetika pada batuan tebing, karena adanya jejak berwarna putih yang menetap atau tertinggal pada permukaan batuan tebing yang berwarna gelap. Dampak lanjutannya yang mungkin ditimbulkan adalah efek magnesium yang tertinggal di permukaan tebing bagi flora dan fauna di Tebing. Jamur misalnya, diyakini paling rentan terhadap keberadaan magnesium di permukaan tebing.
Sebuah studi menunjukan, bahwa di sepanjang jalur pendakian, peningkatan konsentrasi kapur pendakian dapat terjadi bahkan ketika tidak ada jejak kapur yang terlihat. Studi tersebut juga menunjukkan adanya pengaruh negatif yang signifikan, meskipun bervariasi, dari peningkatan konsentrasi kapur panjat terhadap organisme pada ekosistem teing batuan, yaitu perkecambahan dan kelangsungan hidup pakis dan lumut.
Beberapa upaya telah dilaksanakan, untuk meminimalisir kerusakan terhadap batuan tebing akibat penggunaan magnesium (kapur) oleh para pemanjat. Misalnya dengan menggunakan Eco Ball yang efektif menyerap kelembapan berlebih sehingga memberikan friksi yang baik. Namun kelemahannya adalah bahwa eco ball umumnya tidak dapat diisi ulang, dan harganya cukup mahal. Penciptaan Eco ball dimaksudkan untuk digunakan di daerah-daerah di mana bekas warna putih dari magnesium pada batu dapat mengurangi keindahan alam daerah tersebut.
Foto : Eco Ball sebagai salah satu alternatif pengganti magnesium
Sayangnya, saat ini penggunaan magnesium pada seorang pemanjat yang berguna untuk meningkatkan cengkreman tangan seolah-olah telah melekat sebagai citra dari Panjat Tebing. Bahkan, mungkin karena ketidaktahuannya, beberapa komunitas panjat tebing telah menjadikannya sebagai suatu simbol bagi organisasinya. Seperti yang dilakukan oleh salah satu komunitas di Yogyakarta, yang menggunakan "Salam Magnesium" sebagai salam dalam rangka menunjukan identitas bagi anggotanya. Mungkin sudah saatnya dipertimbangkan, agar menggantinya dengan istilah "Save Magnesium" atau "Magnesium Lestari" sebagai simbolisasi yang lebih konservasionis.
Selain itu pemanjat juga dapat menggunakan magnesium yang warnanya seragam dengan warna permukaan tebing yang akan dipanjat. Bahkan ada sekelompok orang Inggris pada tahun 1970 yang dikenal sebagai "Clean Hand Gang," termasuk Steve Findlay dan Pat Little john, yang semuanya menolak penggunaan chalk atau magnesium. Tokoh lainnya seperti pendiri Patagonia Yvon Chouinard juga telah lama menghindari chalk, seperti halnya tokoh perintis free-climbing Colorado Jim Erickson.
Foto : Penggunaan Magnesium dengan pilihan warna yang berbeda (sumber : climbing.com)
Selain itu, tebing merupakan habitat atau tempat tinggal bagi berbagai jenis flora dan fauna, seperti mamalia dan burung. Kehadiran para pemanjat ketika melakukan pemanjatan suatu tebing, dapat dianggap sebagai pengganggu oleh satwa penghuni habitat tebing. Gangguan tersebut akan berdampak lebih besar apabila terjadi pada masa satwa sedang berkembang biak (musim kawin).
Sebagai contoh, di Amerika dan Eropa telah diketahui, jika kegiatan panjat tebing mengganggu habitat burung Elang Peregrine (the peregrine falcon). Otoritas disana kemudian sepakat untuk melakukan pembatasan waktu untuk kegiatan climbing, dimana jalur tertentu akan ditutup pada saat tertentu (musim kawin misalnya), karena melalui atau mendekati lokasi sarang burung yang berpotensi mengganggu kenyamanan burung untuk berkembang biak. Hal yang sama mungkin saja dialami oleh satwa mamalia lainnya, seperti Musang dan Monyet liar yang umumnya menjadikan tebing sebagai habitatnya.
Karenanya, kehadiran habitat satwa liar atau satwa yang dilindungi di sekitar lokasi pemanjatan selayaknya selalu menjadi pertimbangan bagi para pemanjat. Sayangnya di Indonesia, sampai sekarang masih banyak jalur pemanjatan yang belum memiliki data tentang keanekaragaman hayati yang terdapat di lokasi pemanjatan, alih-alih memiliki strategi manajemen konservasi. Sehingga dampak atau upaya konservasi hanya didasarkan atas pengamatan secara visual dan kesadaran para pemanjat ketika berada di lokasi pemanjatan. Oleh karenanya, mungkin akan lebih baik jika di setiap lokasi pemanjatan, diberikan suatu papan himbauan atau peringatan untuk dapat mengingatkan para pemanjat, agar tidak mengganggu habitat satwa di Tebing.
Sebagai gambaran, pemanjatan di Rute Kuda Laut yang terdapat pada tebing Siung yang ada di Jogja misalnya, dimana dijumpai habitat burung di bawah teras yang ada di sebelah jalur pemanjatan Kuda Laut. Lebih jelasnya lihat Video di bawah ini :
Video : Habitat fauna burung di bawah teras di sebelah jalur kuda laut (Siung Jogja)
Oleh karenanya, para pemanjat diharapkan dapat selalu berusaha untuk meminimalisir agar aktivitas pemanjatan yang dilakukannya tidak menggangu habitat satwa-satwa yang ada. Meskipun hanya hal yang dianggap sepele, misalnya saja dengan tidak mengabaikan keberadaan satwa kecil seperti kupu-kupu atau tawon misalnya, yang kemudian bepotensi untuk merusak dan menggangu sarang atau habitatnya. Kepedulian tersebut, diharapkan semakin menumbuhkan partisipasi dan peran serta para pemanjat dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan tebing .
Dampak Terhadap Vegetasi
Selain itu panjat tebing juga mengakibatkan kerusakan pada vegetasi yang ada di permukaan tebing, khususnya terhadap flora berjenis lumut-lumutan. Pembersihan vegetasi tumbuhan dan lumut dari permukaan tebing adalah kegiatan utama yang menimbulkan gangguan terhadap flora permukaan tebing. Pembersihan memang merupakan suatu prasyarat, mungkin menjadi yang utama, agar para pemanjat dapat menggunakan cengkeraman tangan dan kakinya ketika melakukan suatu pemanjatan.
Vegetasi tebing memiliki keunikan daripada tanaman di permukaan tanah, dimana tumbuhan yang ada telah berevolusi sehingga dapat beradaptasi dengan kelangkaan air, media tumbuh dengan komposisi terbesar atas batuan tebing, dan habitat hidup vertikal. Sehingga jika dibandingkan dengan flora di permukaan tanah, maka jenis flora yang dapat hidup di permukaan tebing sangatlah sedikit jumlahnya. Karakteristik vegetasi setiap tebing tentunya bervariasi atau berbeda-beda, tergantung dari jenis batuan dan karakteristik tebing yang menjadi habitatnya.
Begitupula dengan penggunaan pengaman pada akar atau batang tanaman, yang memiliki potensi merusak kulit tanaman. Meskipun tidak menimbulkan kematian bagi tanaman, kerusakan pada kulit tanaman akibat friksi dengan pengaman (penambat) dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karenanya, mungkin patut dipertimbangkan untuk menjadikan akar pohon atau bagian tumbuh-tumbuhan sebagai pengaman yang terakhir. Beberapa taman nasional di Amerika diketahui telah melarang pemanjat untuk menggunakan pohon sebagai pengaman ketika melakukan pemanjatan.
Jika memang para pemanjat terpaksa menggunakan tumbuhan sebagai pengaman, maka perlu dipertimbangkan agar dapat mendahulukan penggunaan webing dengan permukaan yang lebih besar daripada menggunakan Prusik pada saat memasang pengaman (penambatan) pada batang atau akar tanaman. Tujuannya adalah untuk meminimalisir kerusakan kulit tanaman dengan mengurangi terjadinya friksi antara pengaman dan permukaan kulit tanaman (batang atau akar).
Selain itu, dampak penting lainnya yang layak untuk diingatkan kepada para pemanjat ataupun komunitas pencinta alam dan komunitas terkait lainnya, adalah untuk tidak merusak atau selalu berupaya untuk meminimalisir kerusakan pada vegetasi tanaman dan tutupan tanah di sekitar lokasi pemanjatan. Sebagian besar lokasi pemanjatan, umumnya berada pada tingkat kemiringan yang tinggi (terjal atau curam). Daerah tersebut sangatlah sensitif dan mudah sekali untuk mengalami erosi atau terjadinya guguran batuan. Kondisi tersebut sangat berpotensi mengakibatkan kerusakan pada vegetasi atau tutupan lahan di sekitar areal pemanjatan. Mungkin hal tersebut akan lebih dapat dipahami, dengan mencoba memaknai arti yang terkandung dalam papan himbauan, pada gambar di bawah ini....
Kedepannya diharapkan perilaku pemanjatan yang lebih ramah lingkungan dapat semakin berkembang di seluruh kalangan komunitas pencinta alam dan komunitas panjat tebing. Sehingga dapat meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan tebing sekaligus meningkatkan langkah-langkah pelestarian lingkungan tebing di Indonesia.
SEMOGA....
Foto Perbedaan Warna ( Lumut) dan/atau Vegetasi Tebing
Dampak Terhadap Benda Cagar Budaya
Selain dampak tersebut diatas, maka dampak lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah dampak negatif terhadap kelestarian benda-benda peninggalan cagar budaya atau benda warisan tradisi masyarakat sekitar. Hal sangat terkait erat dengan adanya kebudayaan suku bangsa atau masyarakat tertentu, khususnya masyarakat Sulawesi yang telah menjadikan tebing sebagai tempat pemakaman sejak jaman dahulu kala. Karakteristik kebudayaan tersebut menjadi salah satu ciri khas dari lokasi pemanjatan tebing yang ada di Indonesia. Contohnya, lokasi pemanjatan tebing yang dikenal adalah Tebing Mandu yang menjadi lokasi pemakaman sejak jaman prasejarah dan Tebing Uluwatu di Bali yang menjadi lokasi pusat kegiatan keagaamaan di pulau Dewata.
Sebagai gambarannya, Tebing Mandu yang berlokasi di pinggir sungai Mata Allo, di Dusun Tontonan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Tebing batu dengan kemiringan hampir mencapai 90 derajat ini menyimpan keunikan tersendiri. Di tengah-tengah tebing terdapat lubang memanjang bak dipahat oleh tangan manusia, yang didalamnya berjejer rapi kuburan-kuburan tua. Uniknya, kuburan-kuburan ini terbuat dari kayu yang dibentuk menyerupai perahu-perahu dan di dalamnya masih terdapat tengkorak-tengkorak manusia.
Kehadiran para pemanjat di tebing tersebut, sudah barang tentu dapat menimbulkan potensi yang berdampak negatif terhadap peninggalan cagar budaya yang ada disana. Karenanya, patut dipertimbangkan kembali rute pemanjatan yang ada, dengan memastikan agar tidak berdekatan atau sedapat mungkin untuk menjauhi lokasi kuburan yang ada di sana. Adalah tanggung jawab masyarakat, termasuk komunitas pencinta alam, untuk turut serta menjaga kelestarian tebing termasuk kekayaan tradisi kebudayaan yang telah melekat di Tebing Mandu. Sudah selayak dipertimbangkan, untuk mengintegrasikan secara eksplisit dalam kode etik pemanjatan, terkait langkah-langkah dalam perlindungan terhadap kelestariaan budaya atau benda peninggalan budaya.
Selain dampak tersebut diatas, maka dampak lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah dampak negatif terhadap kelestarian benda-benda peninggalan cagar budaya atau benda warisan tradisi masyarakat sekitar. Hal sangat terkait erat dengan adanya kebudayaan suku bangsa atau masyarakat tertentu, khususnya masyarakat Sulawesi yang telah menjadikan tebing sebagai tempat pemakaman sejak jaman dahulu kala. Karakteristik kebudayaan tersebut menjadi salah satu ciri khas dari lokasi pemanjatan tebing yang ada di Indonesia. Contohnya, lokasi pemanjatan tebing yang dikenal adalah Tebing Mandu yang menjadi lokasi pemakaman sejak jaman prasejarah dan Tebing Uluwatu di Bali yang menjadi lokasi pusat kegiatan keagaamaan di pulau Dewata.
Sebagai gambarannya, Tebing Mandu yang berlokasi di pinggir sungai Mata Allo, di Dusun Tontonan, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Tebing batu dengan kemiringan hampir mencapai 90 derajat ini menyimpan keunikan tersendiri. Di tengah-tengah tebing terdapat lubang memanjang bak dipahat oleh tangan manusia, yang didalamnya berjejer rapi kuburan-kuburan tua. Uniknya, kuburan-kuburan ini terbuat dari kayu yang dibentuk menyerupai perahu-perahu dan di dalamnya masih terdapat tengkorak-tengkorak manusia.
Kehadiran para pemanjat di tebing tersebut, sudah barang tentu dapat menimbulkan potensi yang berdampak negatif terhadap peninggalan cagar budaya yang ada disana. Karenanya, patut dipertimbangkan kembali rute pemanjatan yang ada, dengan memastikan agar tidak berdekatan atau sedapat mungkin untuk menjauhi lokasi kuburan yang ada di sana. Adalah tanggung jawab masyarakat, termasuk komunitas pencinta alam, untuk turut serta menjaga kelestarian tebing termasuk kekayaan tradisi kebudayaan yang telah melekat di Tebing Mandu. Sudah selayak dipertimbangkan, untuk mengintegrasikan secara eksplisit dalam kode etik pemanjatan, terkait langkah-langkah dalam perlindungan terhadap kelestariaan budaya atau benda peninggalan budaya.
Sebagai pemanjat, maka sangat penting untuk dididik dan menyadari serta mempraktikan etika dalam pemanjatan yang telah mengintegrasikan kegiatan panjat tebing dengan kelestarian lingkungan tebing. Penting juga untuk selalu mempertahankan etika yang tumbuh dan berkembang disekitar lokasi pemanjatan, yang umumnya dikenal dengan istilah kearifan (lingkungan) lokal. Misalnya, etika panjat tebing seperti prinsip “Leave No Trace” (Misalnya : https://www.rei.com/learn/expert-advice/climbing-ethics.html) dan Prinsip “Climber’s Manifesto” yang diterbitkan oleh International Olympic Committee (IOC).
Kedepannya diharapkan perilaku pemanjatan yang lebih ramah lingkungan dapat semakin berkembang di seluruh kalangan komunitas pencinta alam dan komunitas panjat tebing. Sehingga dapat meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan tebing sekaligus meningkatkan langkah-langkah pelestarian lingkungan tebing di Indonesia.
SEMOGA....
Dah cocok masuk National Geographic Indonesia ini.
ReplyDelete"Salam magnesium", KPTY ya? Coba diomongin langsung ke komunitasnya XD