Etika dapat juga dipahami juga dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas. Dalam pengertian ini, etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus tertentu.
Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret. Bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia? Bagaimana manusia harus bertindak? Terhadap pertanyaan ini, etika dan moralitas dalam pengertian pertama akan menjawab: bertindaklah sebagaimana kebiasaan, norma dan nilai yang dikenal sejauh ini. "Dengan kata lain, ada pegangan baku dalam bentuk norma dan nilai tertentu yang siap pakai.
Misalnya, janji harus ditepati, jangan menipu, katakan yang sejujurnya, bantulah orang yang berada dalam kesulitan, dan sebagainya. Tetapi, dalam situasi konkret sehari-hari, jawaban dari etika dan moralitas dalam pengertian pertama belum tentu memadai dan membantu. Sering kali, situasi konkret yang dihadapi adalah situasi dilematis, situasi di mana kita dihadapkan pada dua atau lebih pilihan nilai yang sama-sama sahnya, dan kita hanya bisa memilih salah satu dan berarti melanggar yang lain. Dalam situasi demikian, etika dan moralitas dalam pengertian pertama tidak memadai.
Refleksi kritis ini menyangkut tiga hal. Pertama, refleksi kritis tentang norma dan nilai yang diberikan oleh etika dan moralitas dalam pengertian pertama, tentang norma dan nilai yang kita anut selama ini. Apakah norma dan nilai moral itu harus saya patuhi begitu saja dalam situasi konkret yang saya hadapi? Ataukah, saya boleh melanggarnya? Atas dasar apa saya boleh melanggarnya, tetapi kendati demikian saya tetap bertindak sebagai orang yang baik? Kedua, refleksi kritis tentang situasi khusus yang kita hadapi dengan segala keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja. Misalnya, paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat dan sistem sosial-politik, sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya. Refleksi kritis yang ketiga ini penting untuk menentukan pilihan dan prioritas moral yang akan diutamakan, baik dalam hidup sehari- hari maupun dalam situasi dilematis.
Ketiga hal ini harus dikaji dan dipertimbangkan secara kritis untuk sampai kepada sebuah keputusan, mana di antara norma dan nilai yang saling bertentangan itu yang harus pilih. Berdasarkan refleksi kritis itu, kita harus yakin bahwa apa yang kita putuskan, apa yang kita lakukan dalam situasi khusus itu benar, dan menurut keyakinan moral kita semua orang yang berada dalam situasi yang sama akan melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan.
Etika lingkungan adalah studi tentang hubungan moral antara manusia dan lingkungan alaminya. Etika lingkungan mengasumsikan bahwa norma-norma moral dapat dan memang mengatur perilaku manusia terhadap dunia alami. Oleh karena itu, sebuah teori etika lingkungan berusaha memberikan penjelasan sistematis tentang norma-norma tersebut dengan menjelaskan kepada siapa, atau kepada apa, manusia memiliki tanggung jawab dan bagaimana tanggung jawab ini dibenarkan.
Menurut Arne Naess, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Yang sekarang dibutuhkan adalah sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta.
Dengan melihat persoalan ini, dapat dikatakan bahwa krisis lingkungan global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Oleh karena itu, pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.
Dengan melihat persoalan ini, dapat dikatakan bahwa krisis lingkungan global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Oleh karena itu, pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.
Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret. Bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia? Bagaimana manusia harus bertindak? Terhadap pertanyaan ini, etika dan moralitas dalam pengertian pertama akan menjawab: bertindaklah sebagaimana kebiasaan, norma dan nilai yang dikenal sejauh ini. "Dengan kata lain, ada pegangan baku dalam bentuk norma dan nilai tertentu yang siap pakai.
Misalnya, janji harus ditepati, jangan menipu, katakan yang sejujurnya, bantulah orang yang berada dalam kesulitan, dan sebagainya. Tetapi, dalam situasi konkret sehari-hari, jawaban dari etika dan moralitas dalam pengertian pertama belum tentu memadai dan membantu. Sering kali, situasi konkret yang dihadapi adalah situasi dilematis, situasi di mana kita dihadapkan pada dua atau lebih pilihan nilai yang sama-sama sahnya, dan kita hanya bisa memilih salah satu dan berarti melanggar yang lain. Dalam situasi demikian, etika dan moralitas dalam pengertian pertama tidak memadai.
Refleksi kritis ini menyangkut tiga hal. Pertama, refleksi kritis tentang norma dan nilai yang diberikan oleh etika dan moralitas dalam pengertian pertama, tentang norma dan nilai yang kita anut selama ini. Apakah norma dan nilai moral itu harus saya patuhi begitu saja dalam situasi konkret yang saya hadapi? Ataukah, saya boleh melanggarnya? Atas dasar apa saya boleh melanggarnya, tetapi kendati demikian saya tetap bertindak sebagai orang yang baik? Kedua, refleksi kritis tentang situasi khusus yang kita hadapi dengan segala keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja. Misalnya, paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat dan sistem sosial-politik, sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya. Refleksi kritis yang ketiga ini penting untuk menentukan pilihan dan prioritas moral yang akan diutamakan, baik dalam hidup sehari- hari maupun dalam situasi dilematis.
Ketiga hal ini harus dikaji dan dipertimbangkan secara kritis untuk sampai kepada sebuah keputusan, mana di antara norma dan nilai yang saling bertentangan itu yang harus pilih. Berdasarkan refleksi kritis itu, kita harus yakin bahwa apa yang kita putuskan, apa yang kita lakukan dalam situasi khusus itu benar, dan menurut keyakinan moral kita semua orang yang berada dalam situasi yang sama akan melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan.
Etika lingkungan adalah studi tentang hubungan moral antara manusia dan lingkungan alaminya. Etika lingkungan mengasumsikan bahwa norma-norma moral dapat dan memang mengatur perilaku manusia terhadap dunia alami. Oleh karena itu, sebuah teori etika lingkungan berusaha memberikan penjelasan sistematis tentang norma-norma tersebut dengan menjelaskan kepada siapa, atau kepada apa, manusia memiliki tanggung jawab dan bagaimana tanggung jawab ini dibenarkan.
Menurut Arne Naess, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Yang sekarang dibutuhkan adalah sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta.
Dengan melihat persoalan ini, dapat dikatakan bahwa krisis lingkungan global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Oleh karena itu, pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.
Dengan melihat persoalan ini, dapat dikatakan bahwa krisis lingkungan global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Oleh karena itu, pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.
Beberapa pendekatan etika lingkungan berpendapat bahwa tanggung jawab manusia terkait dengan lingkungan hanya bersifat tidak langsung. Etika lingkungan antroposentris (berpusat pada manusia) berpendapat bahwa hanya manusia yang memiliki nilai moral. Jadi, meskipun kita mungkin memiliki tanggung jawab mengenai dunia alami, kita tidak memiliki tanggung jawab langsung ke dunia alami. Etika lingkungan antroposentris biasanya melibatkan penerapan prinsip-prinsip etika standar untuk masalah lingkungan. Banyak kontroversi lingkungan, seperti polusi udara dan air, pembuangan limbah beracun, dan penyalahgunaan pestisida, muncul dari perspektif antroposentris, dan banyak pendekatan terhadap etika lingkungan sesuai dengan model etika yang diterapkan standar ini.
Banyak pekerjaan awal yang dilakukan oleh ahli lingkungan dan ahli etika lingkungan mengikuti pendekatan antroposentris ini. Silent Spring milik Rachel Carson, misalnya, memperingatkan potensi bahaya jangka panjang bagi manusia dari penggunaan pestisida. Filsuf William Blackstone berpendapat bahwa ancaman lingkungan menciptakan kebutuhan untuk mengenali hak baru, hak atas lingkungan yang layak huni. Sementara hak ini muncul dari pengakuan akan isu-isu lingkungan yang baru, hak ini berakar kuat pada hak-hak tradisional kehidupan, kebebasan, dan kebebasan dari bahaya. John Passmore berpendapat bahwa prinsip-prinsip etika yang diterima secara umum, dan umumnya kesalahan etis yang diakui, memberikan landasan etis yang cukup untuk menyimpulkan bahwa kita memiliki kewajiban untuk menahan diri dari polusi dan bahwa kita secara etis lalai untuk tidak melakukannya. Passmore juga mengimbau nilai-nilai etis dan estetika dalam kritiknya terhadap budaya materialis dan konsumeris.
Berbagai masalah lingkungan semacam itu relevan untuk bisnis dan karenanya memainkan peran dalam etika bisnis. Tanggung jawab organisasi bisnis untuk polusi udara dan air dan pembuangan limbah adalah masalah yang paling jelas untuk masuk dalam model standar ini. Kategori etika dan hukum biasa yaitu tugas, kerugian, kelalaian, pertanggungjawaban, dan keadilan kompensasi dengan mudah dibawa untuk memikul keprihatinan lingkungan ini.
Extensionisme Ethics (Perluasan Etis)
Sementara banyak pekerjaan dalam etika lingkungan terus sesuai dengan model etika yang diterapkan standar ini, masalah lain menantang ahli etika untuk memperluas prinsip-prinsip dan nilai-nilai etika utama dalam arah baru. Secara khusus, masalah lingkungan jangka panjang seperti pembuangan limbah nuklir, pertumbuhan populasi, dan deplesi sumber daya membuat banyak ahli etika lingkungan ke serangkaian pertanyaan mengenai tanggung jawab kita kepada generasi mendatang. Tanggung jawab kepada generasi mendatang tetap dalam pendekatan antroposentris di mana manusia tetap menjadi satu-satunya objek pertimbangan moral. Namun demikian, topik ini memperluas tanggung jawab kami untuk memasukkan tanggung jawab kepada manusia yang belum ada.
Dimulai pada akhir 1960-an, pertumbuhan populasi telah menjadi fokus utama kepedulian lingkungan. Paul Erhlich berpendapat bahwa ledakan pertumbuhan penduduk bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang meluas. Lainnya, misalnya, Barry Commoner, berpendapat bahwa gaya hidup yang didorong oleh konsumsi masyarakat industri daripada ukuran populasi per se lebih bertanggung jawab. Dalam banyak hal, perdebatan ini mewakili kelanjutan dari model etika terapan. Debat mengenai populasi melibatkan masalah umum kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Demikian pula, perdebatan konsumsi sering kali berfokus pada hak dan tanggung jawab ekonomi kepada masyarakat yang jauh. Kedua bidang ini juga berfokus pada masalah keadilan sosial dan ekonomi bagi orang miskin dan orang yang kehilangan haknya yang tinggal di negara berkembang. Konsep dan prinsip etika standar diterapkan pada masalah lingkungan yang muncul. Namun perdebatan ini juga mulai memusatkan perhatian filosofis pada tanggung jawab kepada orang-orang yang hidup di masa depan yang jauh. Pergeseran dari orang yang jauh secara geografis ke orang yang jauh untuk sementara menimbulkan pertanyaan filosofis yang jarang ditanyakan sebelumnya oleh para filsuf. Pertimbangan etis mulai diperluas ke sesuatu selain manusia yang hidup saat ini.
Dalam mempertimbangkan tanggung jawab kepada generasi masa depan, ahli etika sering membedakan antara dua masalah umum: tanggung jawab apa yang kita miliki mengenai ukuran populasi masa depan dan apa, jika ada, kita berutang kepada generasi masa depan yang kita anggap akan ada. Set masalah pertama, apa yang kita sebut “kebijakan kependudukan,” berkaitan dengan pertanyaan tentang ukuran populasi, pertumbuhan populasi, dan pengendalian populasi. Rangkaian isu kedua, sering disebut "tugas untuk anak cucu," berfokus pada jenis dunia yang akan diwarisi oleh orang-orang masa depan dari kita.
Pertimbangan tentang kebijakan kependudukan dan tugas terhadap keturunan memperluas etika lingkungan dengan cara yang menantang teori etika standar. Sebagai contoh, adakah tujuan populasi yang secara etis lebih disukai yang akan dipromosikan utilitarianisme? Apakah keseluruhan barang yang lebih baik lebih baik dilayani oleh populasi masa depan yang kecil dengan standar hidup yang relatif tinggi atau populasi masa depan yang besar dengan standar hidup yang relatif lebih rendah? Jika yang pertama, apakah utilitarianisme mendukung kebijakan populasi yang membatasi reproduksi di antara yang termiskin di dunia dan mendorong pertumbuhan populasi di kalangan elit dunia? Jika yang terakhir, apakah orang yang hidup di negara maju memiliki tanggung jawab utilitarian untuk bereproduksi pada tingkat setinggi mungkin?
Tantangan serupa muncul untuk pendekatan deontologis. Apakah manusia memiliki hak untuk beranak? Apakah mereka memiliki kewajiban untuk melakukannya? Apakah keinginan orang-orang di masa depan, keinginan yang hanya bisa kita duga, memiliki peran yang harus dimainkan dalam memutuskan tugas-tugas yang harus kita bayar kepada mereka? Mengingat bahwa berbagai kebijakan kependudukan yang diadopsi saat ini masing-masing akan menghasilkan populasi masa depan yang berbeda (masalah “penerima manfaat yang hilang”), apakah masuk akal untuk berbicara tentang tanggung jawab kepada orang-orang masa depan? Apakah penting untuk mengaitkan hak dengan orang yang tidak ada? Apakah keadilan dan keadilan menuntut agar orang-orang masa depan yang tidak ada memiliki klaim terhadap sumber daya alam yang setara dengan klaim orang yang hidup saat ini?
Teori-teori etis yang menekankan kepedulian dan hubungan pribadi dan antarpribadi juga menghadapi tantangan serupa. Apakah masuk akal untuk berbicara tentang merawat orang yang tidak ada, dan mungkin tidak ada jika kita tidak cukup peduli untuk mewujudkannya? Apakah kita memiliki tanggung jawab etis yang lebih besar kepada orang-orang yang sebenarnya daripada orang-orang yang mungkin? Apakah ada perasaan di mana ada hubungan interpersonal antara orang-orang yang sementara waktu?
Sementara lembaga bisnis jarang terlibat dalam masalah populasi secara langsung, lembaga ekonomi dan bisnis sangat terlibat dengan tugas potensial untuk anak cucu. Dalam istilah yang paling umum, alokasi dan distribusi sumber daya saat ini akan memiliki konsekuensi yang signifikan bagi orang yang hidup di masa depan. Pertanyaan utama dari pembangunan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan adalah pertanyaan tentang bagaimana ekonomi dapat memenuhi kebutuhan orang-orang yang hidup di masa depan. Masalah lingkungan normatif seperti perubahan iklim global, penipisan sumber daya, pembuangan limbah, agribisnis dan etika pertanian, dan pasokan energi masa depan semua melibatkan kesejahteraan generasi mendatang.
Cukup adil untuk mengatakan bahwa topik generasi masa depan memperluas batasan etika tradisional. Sementara masih dalam kerangka antroposentris, para filsuf dipaksa untuk menjawab pertanyaan tentang moral standing secara eksplisit. Mengembangkan akun energi atau kebijakan kependudukan yang secara filosofis memadai, misalnya, mengharuskan para filsuf mempertimbangkan status moral sesuatu selain manusia yang hidup saat ini. Kita dapat mengidentifikasi praktik memperluas kedudukan moral ini untuk memasukkan manusia masa depan atau mengembangkan hak asasi manusia baru sebagai ekstensiisme antroposentris. Konsep dan kategori etis diperluas melampaui batas-batas tradisional, tetapi hanya manusia yang terus memiliki kedudukan moral. Tugas kita, seperti tugas untuk tidak mencemari, tetap merupakan tugas yang berkaitan dengan lingkungan, tetapi itu bukan tugas untuk lingkungan. Tugas kita adalah untuk manusia, meskipun manusia yang tidak ada. Tetapi ini adalah langkah singkat dari memperluas pertimbangan etis kepada umat manusia yang tidak, dan mungkin tidak pernah, ada pada pertanyaan filosofis yang menjadi dasar pendirian moral.
No comments:
Post a Comment