Thursday, 21 November 2019

Caving dan Kelestarian Ekosistem Gua


Tak perlu diperdebatkan kiranya, apabila kegiatan Caving atau yang juga dikenal dengan istilah susur gua atau spelelogi club telah menjadi ancaman bagi ekosistem Gua, yang rentan, sensitif dan secara geologis bersifat khusus, yang merupakan habitat flora dan fauna langka dan/atau endemik serta bersifat irreversible (apabila terjadi kerusakan sulit untuk dipulihkan kembali).

Bahkan saat ini, lokasi prasejarah berupa lukisan gua yang paling terkenal di dunia telah ditutup selama bertahun-tahun. Hal tersebut menggambarkan, bahwa kehadiran pengunjung ke dalam Gua terbukti mengakibatkan perubahan lingkungan alam yang halus, sehingga menurunkan kualitas lukisan atau situs prasejarah pada dinding Gua.
Orang mengunjungi gua karena berbagai alasan, mungkin yang utama karena hobi atau kesenangan dan karena ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, meskipun memiliki peminat yang jauh lebih rendah daripada olahraga outdoor lainnya (mountainering dan climbing), namun pendidikan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tetap layak untuk diwajibkan kepada para cavers.




Gua yang juga dikenal dengan berbagai istilah, seperti liang atau lubang, lolong, luweng, leang san dolina merupakan sebuah lubang bawah tanah alami yang cukup besar untuk dapat dimasuki oleh manusia. Sedangkan kamus Bahasa Inggris Oxford mendefinisikan 'gua' sebagai "a hollow place opening more or less horizontally under the ground; a cavern, den, habitation in the earth". 
Gua merupakan laboratorium penting untuk studi geomorfologi, dimana karakteristik erosi dan akumulasi sedimentasi tersimpan, sehingga menjadi rekaman lingkungan hidup di dataran tinggi pada masa lalu. Wajarlah adanya, mengingat proses evolusi suatu Gua umumnya membutuhkan waktu yang sangat panjang, bahkan sebuah lorong gua dengan diameter satu meter berkembang dalam waktu 10.000 tahun. (Karst and Caves of Great Britain) 
Sejak zaman prasejarah, gua telah berfungsi sebagai rumah pertama bagi manusia, atau tempat perlindungan dan pemakaman, serta situs keagamaan. Tidak seperti kebanyakan lingkungan lain, suhu dan kelembaban yang hampir konstan dalam gua dapat melestarikan beberapa situs arkeologis dan kebudayaan yang sangat sensitif selama ribuan tahun
Bukti paling awal yang diketahui untuk manusia di Kalimantan yang ditemukan di dalam gua adalah tengkorak manusia dari Niah, diyakini berusia lebih dari 35.000 tahun (Harrisson dan Harrisson 1971; Bellwood 1978).






Air yang mengandung mineral terlarut merembes melalui celah-celah di batu, menciptakan "speleothem," di lantai, langit-langit, dan dinding gua, yang biasa kita sebut dengan istilah ornamen gua. Berbagai ornamen tersebut tumbuh perlahan, terkadang selama ribuan tahun dan akibat perubahan cuaca atau pola drainase permukaan. Umumnya terdiri atas, stalaktit, stalagmit, helictites, draperies, pearls, flowstone, rimstone, dan columns. Sentuhan atau gerakan yang tidak disengaja oleh para Cavers termasuk penggunaan peralatan atau perlengkapan dalam kegiatan Caving berpotensi menghancurkan apa yang telah dibentuk dalam ratusan atau ribuan tahun, dan sekali rusak atau hancur, ornamen gua mungkin tidak dapat beregenerasi kembali.


Gambar : Ilustrasi lingkungan gua (mostateparks.com)

Kerusakan berbagai ornamen di dalam Gua, yang tidak terlihat secara kumulatif diyakini telah mempengaruhi ekosistem Gua yang akibatnya tidak dapat dikembalikan sebagaimana adanya (irreversible). Sebagai Aley (1976) mengemukakan "Daya dukung gua adalah Nol,". Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan. 
Bahkan, serpihan kulit dan beberapa helai rambut yang terjatuh di dalam Gua dapat mempengaruhi ekosistemnya. Dengan kata lain, maka kegiatan "apapun" di dalam Gua tetap berpotensi menimbulkan kerusakan dan perubahan lingkungan Gua. Meskipun hanya sekedar meninggalkan jejak langkah saja, tetap berpotensi mengakibatkan kerusakan ekosistem atau lingkungan hidup Gua yang mungkin tidak dapat dipulihkan kembali.
Pada praktiknya, tentu akan dijumpai kondisi fungsi lingkungan hidup yang berbeda dapat ditemukan pada Gua yang berbeda-beda, dimana tingkat keragamannya akan sangat bervariasi. Karenya akan diperlukan identifikasi secara lebih lanjut terhadap daya dukung lingkungan di setiap Gua sekaligus model konservasi gua yang akan dieksplorasi. Namun, selaras dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), maka hal tersebut layak menjadi prinsip dasar atau "Konstitusi" yang harus diajarkan sejak awal pendidikan lingkungan bagi seluruh cavers atau di seluruh komunitas pencinta alam Indonesia. 
Suatu hal yang selama ini entah kenapa masih kurang begitu tersosialisasikan atau ditekankan dengan lebih optimal dalam dunia kepencinta-alaman atau kepariwisataan alam di Indonesia. 

Inilah yang membedakan penelusuran Gua sangatah berbeda dengan kegiatan Outdoor lainnya. Pada kegiatan outdoor lain, seperti panjat tebing, pendakian gunung dan arung jeram misalnya, dalam kegiatannya tidaklah menimbulkan kerusakan pada ekosistem secara keseluruhan. Kerusakan akibat jejak langkah oleh para pendaki gunung misalnya, tidak berdampak penting atau dapat dipulihkan kembali oleh kemampuan daya dukung atau ekosistem gunung. Kerusakan pada batuan Tebing misalnya, tidaklah terlalu penting atau sampai dapat mempengaruhi siklus kehidupan ekosistem di permukaan tebing. Karenanya, persepsi yang mempersamakan antara dampak kegiatan outdoor lainnya dengan kegiatan caving, patutlah dipertanyakan kebenarannya.


Foto : Papan himbauan Konservasi Gua/ Bahkan untuk pemasangan Pin stainless pada Papan tersebut telah menimbulkan masalah tersendiri. (Sumber : CNCC Natural England)


Tentu akan terasa berat bagi seluruh pengelola kawasan wisata ataupun komunitas Caver di seluruh dunia kiranya, apabila dibenturkan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) untuk melanjutkan kegiatan Caving. Sebab tanpa adanya pembenaran secara ilimiah untuk menjamin pemanfaatan ekosistem Gua yang tetap lestari dalam setiap kegiatannya, maka daya dukung Gua yang sangat rentan mungkin cukup untuk memaksa mereka menghentikan kegiatannya.
Bahkan wajarlah adanya, apabila seluruh komunitas pencinta alam di Indonesia telah dapat mempertimbangkan kembali, adanya kegiatan sekedar penyaluran hobi semata dalam kegiatan Caving dalam komunitasnya. Alangkah baiknya apabila, kegiatan caving yang ada di komunitas pencinta alam agar diberikan tanggung jawab yang lebih besar, yaitu dengan menjadikan tujuan konservasi lingkungan gua sebagai tujuan utama, dalam kegiatan penelusuran gua.  
Sedari awal para cavers dan/atau wisatawan Gua selalu diberikan informasi atau transparansi terhadap potensi dampak yang dapat ditimbulkan dari kegiatannya. Sehingga mereka dapat memahami, bahwa dengan memutuskan untuk masuk ke dalam lingkungan Gua, maka mereka juga telah memutuskan untuk menimbulkan potensi kerusakan terhadap ekosistem Gua yang sangat sensitif/ rentan dan bersifat irreversible
Tujuannya adalah agar anggota caver yang baru dapat memahami dan mengerti tanggung jawabnya dalam berkegiatan di Gua. Sehingga seluruh cavers dengan penuh kesadaran dapat lebih bertanggung jawab untuk memikul beban dari dampak yang dapat ditimbulkannya. Harapannya adalah, kegiatan caving yang akan dilaksanakan selalu berupaya untuk meminimalisir dampak sekaligus meningkatkan peran sertanya dalam upaya konservasi Gua. 
Begitupula dengan transparansi kepada wisatawan gua, yang akan turut berpotensi meningkatkan peran sertanya. Adanya kesadaran akan dampak yang ditimbulkannya, mungkin saja akan semakin meningkatkan peran serta para wisatawan, melalui dorongan terhadap pengelola wisata Gua, agar menerapkan langkah-langkah konservasi yang lebih optimal dalam mengelola kawasan wisatanya. Sehingga pengelolaan wisata gua dan upaya konservasi Gua menjadi lebih baik.
Pembenaran yang mungkin dirasakan paling masuk akal bagi para Caver untuk melanjutkan kegiatannya adalah, bahwa sampai saat ini, mungkin hampir keseluruhan ekosistem Gua yang ada di seluruh dunia, masih cenderung tidak terlindungi. Sebagian besar masih diabaikan serta tidak memiliki strategi atau perencanaan untuk konservasi, apalagi untuk implementasinya.
Pada saat ini, terdapat 25 Gua yang telah dilindungi sebagai situs warisan dunia. Beberapa juga dilindungi oleh Konvensi Ramsar, Biosphere Reverse, Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage. (lihat selengkapnya dalam : Unesco the World Heritage Sites). Sedangkan hanya beberapa negara yang diketahui telah memberikan perlindungan secara legal atau aktual, masih banyak negara yang belum menetapkan kebijakan konservasi, sehingga banyak Gua yang telah menderita kerusakan atau kehancuran ekosistem.
Sudah sepantasnya dan sangatlah diharapkan agar perilaku atau tindakan individu dalam berkegiatan Caving selalu berupaya meminimalisir kerusakan lingkungan yang dapat ditimbulkannya seoptimal mungkin.

Konservasi Gua
Ilmuwan membagi tiga zona gua, yaitu zona masuk (entrance zone), zona senja (twilight zone), dan zona gelap (dark zone).
  1. Zona masuk (Entrance) memiliki kondisi lingkungan yang sebagian besar sama dengan permukaan Gua. Hewan telah lama mencari perlindungan di zona masuk, dan manusia telah menggunakannya untuk tempat perlindungan dan pemakaman zaman prasejarah. Gua Russell di Alabama menunjukkan bukti adanya tempat tinggal manusia sejak sembilan ribu tahun yang lalu. Digali di jendela Gua Atas di Zhoukoudian dekat Beijing (Peking) adalah alat-alat batu dan sisa-sisa kerangka penanggalan Homo sapiens (manusia modern) kembali sekitar tiga puluh ribu tahun. 
  2. The twilight zone terlindung dari sinar matahari langsung dan memiliki lebih lingkungan sedang dari zona tetangganya. Ini adalah rumah bagi seorang populasi hewan yang besar dan beragam, termasuk salamander, kelelawar, dan, selama musim dingin yang parah, beruang. Beberapa hewan hibernasi di zona senja, tetapi sebagian besar keluar untuk memberi makan. Juga ada yang menambahkannya dengan Zona transisi : dimana cahaya tidak ada di sini, dimana lingkungan berfluktuasi terhadap lingkungan permukaan yang masih terasa, seperti suhu dan kelembaban. Jangkrik gua sering berkumpul di sini, dan pada malam yang tepat usahakan di luar gua untuk mencari makan untuk makanan.
  3. Zona gelap (Dark zone), lingkungan gua yang sebenarnya, adalah sebagai diam dan gelap seperi makam. Ini adalah wilayah yang luar biasa stabil, dengan sedikit angin, kerabat kelembaban dekat 100 persen, dan suhu yang relatif konstan. Zona gelap dapat dibagi lagi menjadi tiga zona yang berbeda: zona transisi di mana peristiwa iklim di permukaan masih mempengaruhi atmosfer, terutama kelembaban relatif (RH); zona dalam di mana RH tetap konstan pada 100%; dan zona udara paling stagnan di dalam di mana pertukaran udara terlalu lambat untuk menyiram penumpukan karbon dioksida dan gas dekomposisi lainnya. Batas antara masing-masing zona sering ditentukan oleh bentuk atau penyempitan dalam bagian tersebut. Di banyak gua, batas-batasnya dinamis dan berubah seiring musim.


Foto : Schematic profile view of the cave habitat (Encyclopedia Ecology)

Gua menghasilkan habitat yang tidak biasa bagi hewan seperti kelelawar, burung, beruang, mamalia lain, ikan, dan serangga. Hewan yang hidup secara permanen di gua sering menunjukkan perkembangan evolusi yang tidak biasa, misalnya, ikan buta putih (white blind fish), salamander buta, dan berbagai serangga yang terkadang memiliki masa hidup yang sangat panjang.
Pada zona dalam atau kegelapan gua, tidak ada sinar matahari atau cahaya, sehingga tumbuhan hijau tidak dapat tumbuh. Akibatnya pasokan makanannya untuk makhluk hidup yang ada di dalam gua akhirnya harus bersumber dari permukaan. Karenanya, ekosistem gua secara langsung bergantung pada lingkungan hidup permukaan di sekitarnya. Ini berarti sangat penting bagi kita untuk memelihara tanah, vegetasi, dan kualitas air alami di sekitar gua. Sifat khusus karst membuatnya khusus rentan terhadap degradasi dan daerah-daerah tersebut harus diperlakukan dengan perawatan khusus. 
Zona gelap gua adalah rumah bagi kelompok yang sangat khusus hewan yang telah membuat evolusi atau adaptasi yang unik, termasuk bakteri, yang tidak memerlukan cahaya, dan lusinan spesies ikan kecil, udang, salamander, lobster, kumbang, kaki seribu, dan laba-laba. Fauna dari sebagian besar habitat gua di dunia masih banyak yang belum diketahui oleh ilmu pengetahuan, dan spesies baru terus ditemukan pada penelitian yang dilakukan di gua-gua. 
Habitat gua terlindungi oleh batuan di sekitarnya, sehingga faktor abiotik dapat ditentukan dengan sangat teliti. Jumlah spesies dalam suatu komunitas biasanya dapat dikelola dan dapat dipelajari secara keseluruhan. 
Habitat dan Organisme di dalam Gua itu cenderung tetap, karenanya pasokan makanan atau nutrisi bagi organisme Gua sangatlah bergantung dengan ekosistem permukaan Gua. Sehingga masuknya atau terbawa keluarnya zat organik ke dalam Gua akan sangat mempengaruhi kehidupan bagi mikroorganisme yang ada dalam Gua. Karenanya, keberadaan Guano menjadi sangat penting dalam menjaga kehidupan dalam ekosistem suatu Gua. Hal yang patut menjadi perhatian adalah, bahwa beberapa helai rambut saja dapat berpotensi menjadi nutrisi dan menimbulkan ledakan mikroorganisme di dalam gua yang mungkin dengan kematian mikroorganisme lainnya.
Makhluk hidup di zona dalam telah berevolusi pada kehidupan di kegelapan, tidak lagi membutuhkan penglihatan. Di dalam kondisi gelap total setiap harinya, mata memang tidak dibutuhkan lagi. Kulit hewan troglobit-pun mengalami perubahan pigmen, yaitu menjadi tembus cahaya atau tidak berwarna. Mereka disebut troglobite, mereka mungkin punya pigmen tubuh dan mata yang lemah dan kaki serta antena lebih panjang untuk membantu mereka menemukan makanan di dalam kegelapan. Hanya sedikit makanan yang bisa mencapai kedalaman zona sehingga troglobite harus bertahan hidup dalam waktu lama tanpa makanan.


Foto : Fauna Gua

Fauna gua umumnya endemik, sangat langka, dan seringkali sangat khusus yang disesuaikan untuk hidup dalam habitatnya di lingkungan Gua. Banyak dari fauna tersebut selain sangat langka juga memiliki bentuk kuno, yang primitif dan tidak lagi ditemukan di permukaan. Troglobites misalnya, tidak dapat hidup di luar gua, dan kelangsungan hidup mereka mungkin terancam jika terjadi perubahan atau kerusakan pada lingkungan gua. Polusi air, lalu lintas pengunjung, sampah, banjir, dan perubahan pola dan suhu udara dapat mengganggu atau merusak jaringan makanan dan ekosistem gua yang rapuh. Setelah hancur, hanya ada sedikit kemungkinan bahwa ekosistem ini dapat beregenerasi, akibatnya mungkin troglobit yang unik akan hilang selamanya. Hewan lainnya yang menjadikan Gua sebagai habitatnya, namun keluar mencari makanan di permukaan dikenal dengan istilah Trogloxenes. Misalnya beruang, rubah, kelelawar, katak, kalajengking, keong, laba-laba, kumbang, udang, walet, ngengat dan ikan gua.

Foto : Jangkrik Albino di Gua Petruk Jawa Tengah (Foto : Majestic 55 Mapa FH UGM)

Pada Gua vertikal, dimana akses masuk (entrance) hanya dapat dilalui dengan menggunakan peralatan (single rope technique), akan selalu berpotensi mengakibatkan kerusakan pada permukaan atau batuan entrance serta erosi batuan yang ada di sekitar entrance. Peningkatan keahlian bagi para caver dapat meminimalisir kerusakan pada entrance. Semakin baik keahlian, maka peluang kerusakan mungkin saja dapat semakin diminimalisir. Selain itu, kehati-hatian para cavers sangat diperlukan untuk meminimalisir dampak yang disebabkan karena kealpaan. Oleh karenanya, pendidikan lingkungan hidup yang kemudian disertai dengan pelatihan gerakan tanpa kealpaan secara hati-hati atau perlahan-lahan, merupakan pendidikan utama yang harus dikembangkan dalam pendidikan Cavers bagi para pemula juga bagi yang telah berpengalaman.
Mungkin kutipan dari Cave Conservation Handbook (from National Caving Association—NCA) yaitu : “competent cavers are not necessarily good conservationists”, dapatlah menjadi pengingat penting bagi para cavers berpengalaman untuk tetap meningkatkan kualitas pendidikan lingkungannya. Sebagai strategi jangka panjang yang diharapkan dapat mencegah kerusakan pada ekosistem Gua yang sensitif. Sehingga kelestarian lingkungan Gua menjadi terintegrasi dalam kegiatan caving serta tertanam pada seluruh komunitas Cavers. Sebagaimana pula telah disarankan oleh Britton (1975), “only unpopular actions are effective in preserving caves and unpopular actions succeed only when the prevailing climate of opinion renders them acceptable.”
Iklim kompetisi bagi para cavers mungkin sepantasnya tidak ditoleransi. Adanya berbagai bentuk kompetisi dalam kegiatan caving, yang berpotensi untuk mengarahkan atau meningkatkan animo kompetisi akan kontradiktif dengan upaya untuk mewujudkan suatu gerakan yang perlahan-lahan dan hati-hati. Kegiatan seperti perlombaan waktu dalam penggunaan SRT yang lazim diselenggarakan oleh komunitas pencinta alam misalnya, patut dipertimbangkan kembali oleh cavers di Indonesia.
Bagi para pemula, mungkin saja dapat disarankan agar meningkatkan keahliannya untuk berkegiatan dengan mengeksplorasi berbagai Gua Wisata terlebih dahulu sekaligus untuk dapat memuaskan hasrat petualangannya. 
Patutlah dipertimbangkan oleh seluruh komunitas pencinta alam, agar melaksanakan pendidikan dasar atau pendidikan lanjutan pada Gua wisata. Dalam literatur, maka strategi konservasi ini disebut dengan istilah Goa Pengorbanan. Selain itu, bukankah pengenalan ornamen Gua dapat dilaksanakan di Gua wisata?. Bukankah Gua Wisata menjadi objek wisata karena pengakuan terhadap kekayaan berbagai ornamen Gua sehingga tentunya tidak kalah dibandingkan Gua non wisata. Begitupula dengan pelaksanaan pendidikan pemetaan, fotografi dan latihan bersama. Apalagi hanya sekedar untuk melatih kemampuan ascending dan descending (SRT) yang sesungguhnya dapat dilaksanakan dimana saja. Sehingga alangkah baiknya apabila proses pendidikan bagi para cavers yang lazim diselenggarakan oleh komunitas pencita alam di Indonesia, tidak dilaksanakan pada Gua-Gua alami atau Gua non-pengorbanan.
Juga dapat dipertimbangkan untuk menjelajahi Gua yang ada di dalam wilayah non-konservasi daripada Gua yang berlokasi di dalam kawasan konservasi. Sehingga memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap Gua yang berlokasi di sekitar kawasan konservasi.
Setelah keahliannya meningkat, maka terlebih dahulu diberikan pendidikan dan pengetahuan di bidang lingkungan hidup lebih mendalam, sebagai pendidikan lanjutan atau persyaratan pemberian izin oleh komunitasnya masing-masing untuk memasuki Gua-Gua Non-wisata atau Gua di Kawasan konservasi. Mungkin saja dengan begitu, para cavers dapat dipaksa untuk memahami, bahwa kegiatan Susur Gua seharusnya tidaklah sekedar menyalurkan hobi atau bersifat petualangan semata. Namun lebih jauh telah mensyaratkan adanya tanggung jawab terhadap upaya konservasi atau kelestarian fungsi lingkungan Gua yang sangat sensitif.




Foto : Kehati-hatian sangat dibutuhkan agar tidak terjadi sentuhan atau benturan dengan berbagai ornamen Gua seperti Stalagtit. (Youtube)

Kehadiran para Caver di dalam Gua juga mempengaruhi habitat makhluk hidup di dalam Gua, kelelawar misalnya. Kegaduhan atau kebisingan suara yang ditimbulkan oleh para cavers dapat mengganggu ketenangan habitat fauna di dalam gua. Bahkan, tanpa tindakan apapun yang dilakukan, maka kehadiran cavers di dalam Gua telah mempengaruhi suhu dan kelembaban. Dimana kehadiran para cavers meningkatkan karbondioksida dari respirasi dan suhu yang bersumber dari tubuh, yang secara akumulatif dapat mempengaruhi keadaan uap air atau kelembaban di dalam Gua. Sehingga dapat mempengaruhi tumbuhan alga yang ada di dinding-dinding Gua.


Foto : Salah satu bentuk mitigasi jejak langkah Cavers


Foto : Kerusakan sedimen Guano yang mungkin terbentuk setelah ratusan tahun akibat jejak langkah dan tindakan pasca rehabilitasi (formation repair) Guano

Sedimen atau tutupan tanah di dalam gua membentuk habitat banyak organisme dan berisi catatan sejarah lingkungan masa lalu. Jejak langkah yang ditinggalkan pada lantai Gua, telah merusak sedimentasi yang 
dalam proses pembentukannya mungkin telah berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun lamanya. Pemadatan sedimen tanah pada lantai Gua yang sebelumnya “lembut dan basah” dapat mempengaruhi kehidupan organik di dalam Gua untuk beradaptasi terhadap sedimen tanah yang telah mengeras akibat jejak langkah para CaversTerbawanya lumpur secara tidak sengaja dari dalam Gua, yang menempel pada sepatu, pakaian dan peralatan Cavers, sedikit demi sedikit telah mengakibatkan kerusakan dan hilangnya tutupan tanah alamiah sebagai bagian dari ekosistem Gua. 

Foto : Lumpur yang menempel pada cavers saja dapat menyebabkan perubahan signifikan terhadap ekosistem Gua

Cavers karenanya harus berusaha untuk tidak meninggalkan jejak langkah, bahkan pada sedimen lantai dan harus menghindari tindakan yang dapat mengotori atau menyebarkan lumpur pada sedimen batuan atau ornamen Gua. Pada prinsipnya, para Cavers seharusnya hanya menggunakan satu jalur “utama” saja, tidak berkeliaran kesana kemari sehingga dapat meminimalisir kerusakan pada tutupan tanah di dalam Gua. Seiring berkembangnya komunitas caving yang lebih cepat daripada jumlah gua yang dapat dieksplorasi, maka jargon klasik untuk "tidak meninggalkan apa-apa selain jejak langkah" mungkin sudah tidak lagi memadai.
Kita juga harus mengakui, bahwa kontaminasi silang mikroba dari dan di dalam gua melalui masuknya zat organik ke dalam gua atau lumpur yang terbawa ke luar gua, mungkin dapat menjadi ancaman paling serius (dan tidak terlihat) terhadap lingkungan gua di masa depan.

Foto : Berbagai langkah Cavers untuk meminimalisir menempelnya lumpur pada ornamen gua  saat melakukan explorasi. (Paul De Bie, Avalon Caving Club, Belgium)

Pengambilan foto dengan upaya mengabadikan foto bersama-sama latar belakang ornamen Gua oleh para cavers, tak jarang telah semakin meningkatkan potensi kealpaan tersentuhnya berbagai ornamen Gua. Kealpaan yang hanya akan meningkatkan potensi merusak atau menyentuh ornamen Gua, seperti Stalagtit dan Stalagmit sehingga mengakibatkan kerusakan pada ornamen gua. Selain pencahayaan yang tidak perlu, tindakan berpose, bergaya, berselfie, atau berbaris bersama-sama untuk pengambilan foto hanyalah akan menambah potensi kebisingan atau kegaduhan serta meningkatnya potensi kerusakan pada permukaan sedimen tanah di dalam Gua.
Sudah selayaknya dipertimbangkan kembali tujuan dan manfaat dari pendidikan "Fotografi Dalam Gua" yang lazim diselenggarakan oleh komunitas Caving di Indonesia. Alangkah baiknya tidak hanya untuk sekedar mempertontonkan kemampuan mendapatkan foto terbaik di dalam kegelapan Gua, namun lebih jauh dapat menjadi langkah konservasi melalui pemantauan dan pendokumentasiaan terhadap kelestarian lingkungan hidup Gua. Mungkin diperlukan kajian lebih lanjut, terhadap nilai-nilai pendidikan fotografi sehingga dapat memberikan manfaat yang konkrit terhadap upaya mencegah terjadinya kerusakan lingkungan Gua.


Foto : Pengambilan foto dalam Gua yang berorientasi tidak untuk kelestarian gua. (Berbagai sumber di internet)

Mungkin jargon, “take nothing but picture” untuk kegiatan caving juga layak dipertimbangkan kembali. Larangan terhadap kegiatan pencahayaan dan/atau tindakan lainnya yang tidak diperlukan, seperti pengambilan foto di dalam Gua dengan alasan klasik, dalam rangka mengukur besaran antara ornamen Gua dan tubuh cavers sudah saatnya dipertanyakan kembali kebenarannya. Alangkah baiknya apabila hasil pengambilan Foto oleh para Caver dapat dibatasi, seluruh hasilnya menjadi pendataan yang terpadu, dikirimkan dan dikumpulkan dalam suatu wadah yang bertujuan untuk konservasi, dengan seleksi yang ketat. Mungkin juga dapat dipertimbangkan untuk menetapkan tujuan kebijakan fotografi oleh komunitas tertentu pada saat kegiatan Gua tertentu, dengan memberikan publikasi untuk pendidikan konservasi Gua yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilimiah. Sehingga dapat mencegah tindakan "narsisme" sekaligus memberikan manfaat yang nyata terhadap kelestarian lingkungan Gua.

Selain itu, kebiasaan ngopi dan merokok bagi para cavers khususnya pada twilight zone dan zona gelap, dimana ekosistem (sirkulasi udara) gua yang semakin tertutup, juga telah mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem Gua. Asap tembakau yang mengandung insektisida kuat, meskipun tidak membunuh, tetapi sangat berpotensi untuk meracuni kehidupan invertebrata, kelelawar, atau habitat dalam Gua. Sedapat mungkin untuk tidak meninggalkan "apapun" di dalam Gua yang sangat sensitif. Patut ditegaskan, bahwa air ludah, muntahan, air seni dan bahkan potongan rambut dan kulit ataupun sampah lainnya harus dipastikan untuk dibawa keluar dari dalam Gua.

Wisata Gua - Gua Wisata
Memang dampak yang ditimbulkan oleh para cavers, mungkin tidaklah separah daripada kerusakan di beberapa Gua yang secara khusus telah menjadi objek wisata. Misalnya saja Gua Lowo, Gua Jatijajar, Gua Petruk, serta Gua Pindul dan Gua Seplawan di Yogyakarta atau Gua Gong di Pacitan. Tindakan atau manajemen pengelolaan wisata yang secara sengaja mengubah lingkungan Gua menjadi lingkungan buatan, seperti pembangunan jalan serta sistem pencahayaan buatan dalam Gua untuk menunjang kegiatan wisata alam. Keadaan yang sama juga dialami terhadap Gua yang telah diperuntukan untuk fungsi lainnya, seperti sebagai sumber air bagi masyarakat sekitar. Dimana peletakan peralatan berupa kabel, pipa dan pompa terkadang kurang mempertimbangkan aspek-aspek kelestarian lingkungan Gua.



Foto : Memperlihatkan Gua di Bermuda, dimana tampak begitu banyak stalagtit yang telah dipotong untuk memberikan ruang bagi para wisatawan. (Springer: Photo by Aldemaro Romero)


Foto : Pembangunan tangga di Gua Mammoth (Gua Terpanjang di dunia) sebagai sarana wisata, telah mengakibatkan akses biota Gua terhambat.  (Springer: Photo by Aldemaro Romero) 

Foto : Pembangunan tangga di Gua Gong Pacitan Jawa Tengah (Baca juga: efek wisata pada Gua)

Sebagaimana penelitian yang disajikan oleh Kurniawan dan Rahmadi terhadap gua Gong, tabuhan dan Semedi, bahwa pemanfaatan Gua di Pacitan untuk pariwisata selain memberikan dampak positif sebagai salah satu destinasi wisata Kabupaten Pacitan, juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan Gua. Beberapa dampak terhadap lingkungan gua yang terjadi karena pariwisata adalah pertumbuhan lampenlora, debu tebal yang menutupi speleothem, dan warna-warna speleothem. Tindakan yang menyebabkan dampak negatif tersebut, yaitu 1. Pemasangan infrastruktur di dalam gua, seperti trotoar semen, berbagai lampu listrik berwarna, dan blower besar dengan parfum kamar, 2. Regulasi yang lemah untuk membatasi jumlah pengunjung dan kegiatan selama kunjungan 3. Mematahkan dan merusak speleothem dan 4. aplikasi berbahaya zat untuk mengurangi bau guano dan mengusir biota kavernisol.

Sudah saatnya untuk mengkaji ulang manajemen Gua wisata, termasuk di Indonesia.
Paradigma wisata alam semata harus ditinggalkan, untuk kemudian dikembalikan menjadi wisata pendidikan lingkungan. Sehingga langkah-langkah pembangunannya, harus dikembangkan bersama dengan para ahli atau komunitas spelelogis. Pembangunan instalasi permanen, seperti jalan beton sudah tidak layak untuk diterapkan yang kemudian diganti dengan yang bersifat non permanen, seperti plastik atau tangga besi portable. Instalasi pencahayaan yang dibangun harus dapat meminimalisir kerusakan Gua, dengan mencegah pemasangan instalasi lampu dan kabel listrik yang menyentuh, merusak dan memanfaatkan ornamen Gua. Pada pokoknya, konservasi Gua harus mendapatkan pertimbangan utama daripada pertimbangan ekonomi dari pembangunan wisata pendidikan Gua.
Paradigma yang seharusnya diterapkan dalam kegiatan penelusuran Gua untuk tujuan petualangan.


Foto : Membludaknya pengunjung di Gua Pindul (Sumber Internet)

Selain itu, kegiatan pertambangan seperti kegiatan penambangan batu gamping yang mengabaikan prinsip kelestarian lingkungan misalnya, merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan biotik dan abiotik di kawasan karst atau ekosistem gua. Ancaman yang secara khusus tentu saja bersumber dari industri semen, yang menggunakan "batuan" sebagai bahan baku utamanya. 
Umumnya keberadaan Gua, merupakan satu kesatuan dengan ekosistem Karst. Minimnya perlindungan terhadap ekosistem Karst di Indonesia, tentu saja akan turut berdampak terhadap kelestarian ekosistem Gua. Sayangnya, meskipun telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kenyataanya berbagai Gua tetap tidak luput dari kerusakan lingkungan. Seolah ekosistem Gua tidak menjadi satu kesatuan dengan ekosistem kawasan konservasi Karst. Diperlukan kajian lebih mendalam untuk mengintegrasikan antara kebijakan konservasi lingkungan gua dan konservasi Karst.
Langkah KLHK dengan menerbitkan Booklet Wisata Gua di 5 Kawasan Taman Nasional di Indonesia, yaitu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Taman Nasional Boganinani Wartabone, Taman Nasional Manusela, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Taman Nasional Aketejawe Lolobata mungkin patut dikaji kembali. Begitupula publikasi oleh Kementeran Pariwisata tentang potensi wisata di Gua yang ada di Kalimantan. Tanpa adanya penerapan prinsip kehati-hatian dan prinsip pencegahan (preventive principle) terlebih dahulu, melalui penyusunan suatu pedoman atau manajemen penulusuran Gua yang secara ilimiah dapat dipertanggungjawabkan, maka kegiatan wisata gua hanya akan menambah potensi timbulnya kerusakan pada lingkungan Gua.

Strategi Konservasi Gua
Terdapat berbagai strategi untuk konservasi Gua, yang akan tergantung dari sifat dan kondisi Gua yang akan dikonservasi. Dimana setiap Gua dapat memiliki keragaman yang mungkin harus diperlakukan secara berbeda-beda. Gua menyediakan lingkungan yang unik tetapi juga tantangan unik bagi ahli konservasi. Misalnya, Gua yang lebih populer akan membutuhkan strategi yang lebih mendalam daripada gua yang jarang dikunjungi. Namun, apa pun status gua itu, haruslah ditekankan, bahwa sekali kerusakan telah terjadi, maka mungkin tidak dapat diperbaiki kembali selama kita hidup, karena bisanya ekosistem gua telah berkembang selama ribuan tahun dan terkadang jauh lebih lama.


Foto : Vandalisme di Gua Batu Cermin di Labuhan Bajo (https://travel.detik.com/)


Huddart memaparkan berbagai langkah dan upaya konservasi Gua oleh para cavers, antara lain, konservasi rahasia (secret conservation), akses nol (zero acces), akses terbatas (Restricted Access), Pemesanan (Booking), akses periodik (Periodical Access), pembangunan gerbang (Gating), Gua yang dikorbankan (Sacrificial Caves), Konservasi Daya Tahan (Endurance Conservation), Hambatan Buatan (Artificial Obstacles), Menonaktifkan Zona (Zoning Off), Perbaikan Formasi (Formation Repair), Kerangka Kerja Explorasi (Work Exploration Policy), Skema Adopsi Gua (Cave Adoption Schemes), Manajemen Fauna Gua (Cave Fauna Management), Gua Kelelawar Buatan (Artificial Bat Caves), dan Manajemen Pengelolaan Gua Wisata (Management of Lampenflora in Show Caves). Selengkapnya akan dipaparkan, berikut ini :
1. Pengelolaan Gua secara kelembagaan, yang telah diterapkan di Amerika misalnya. Biro Pengelolaan Tanah (the Bureau of Land Management/BLM) bertanggung jawab terhadap pengelolaan 800 gua di 11 negara bagian barat. Sedangkan pengelola taman nasional (the National Park Service/NPS) telah mengelola gua dan pemandangan karst di 120 taman (81 gua yang telah dieksplorasi dan lebih dari 3900 gua yang diketahui berada di seluruh sistem taman nasional).
2. Pengklasifikasian Gua menjadi beberapa Kelas. Misalnya pengelola taman nasional di Kanada yang mengkategorikan Gua menjadi 3 Kelas. Pengkasifikasian tersebut didasarkan atas pertimbangan tiga faktor, yaitu: (a) sumber daya gua, (b) sumber daya permukaan, dan (c) potensi kecelakaan dan penyelamatan.
Gua Kelas 1 adalah dimana akses masuk wajib memiliki izin, dimana kategori Gua memiliki nilai sumber daya tertinggi, bukan untuk rekreasi, setiap kunjungan harus ditambahkan pengetahuan, atau memberi manfaat bagi konservasi gua.
Gua Kelas 2 adalah akses dengan izin di mana penggunaan rekreasi diizinkan, di sana ada beberapa masalah manajemen dan pendidikan/ orientasi dimungkinkan selama proses perizinan.

Gua Kelas 3 memiliki akses publik yang tidak terbatas dengan sedikit atau tidak ada masalah manajemen dan tidak ada izin yang diperlukan.
3. Perjanjian dan Penutupan Akses. Merupakan cara paling konkrit untuk mengendalikan kerusakan Gua dengan mengontrol akses masuk ke dalam gua dan/atau membangun penghalang fisik ke pintu masuk. Misalnya, di Inggris yang menerapkan negosisasi perjanjian akses masuk oleh Council for Northern Caving Clubs (CNCC) yang publikasikan dalam situs web mereka, dimana mereka menetapkan berbagai ketentuan wajib yang harus dipatuhi untuk dapat memperoleh izin akses masuk ke dalam Gua.
4. Lanjut besok..besok ah.... 


Foto : Pembangunan gerbang untuk membatasi akses ke dalam Gua/ Gambar bawah tampak menyediakan akses untuk kelelawar. (Springer, Huddart)


Sedangkan kebijakan konservasi, berupa berbagai kode etik atau pedoman yang telah dikembangkan oleh pemerintah yang berwenang serta komunitas cavers juga telah dikembangkan, antara lain yaitu :
  1. Cave Conservation Code, Cave Conservation Handbook, and Protect Our Caves dari BCA/ NCA.
  2. Minimal Impact Caving Code (1995) dari the Australian Speleological Federation
  3. Speleological Union of Ireland Conservation and Access Policy, the Caving Care Code yang diterbitkan oleh Departemen Konservasi New Zealand (the Department of Conservation, Te Papa Atawhai), dan the Minimal Impact Guidelines dari BCA (2017).
  4. A Guide to Responsible Caving yang dipublikasikan oleh the National Speleological Society (2009).
  5. Konferensi Tahunan tentang dampak Caving terhadap ekologi gua, oleh The BCRA yang disebut dengan “Hidden Earth”, dengan tujuan memberikan perkembangan terkini dalam komunitas caving. Selain itu, majalah the British national caver’s selalu meliput berita tentang lingkungan hidup, ekologi dan penelitian terkait bidang spelelogi.
  6. US NPS memiliki situs web komprehensif yang menyediakan informasi kepada masyarakat umum, guru, dan akademisi serta buletin dan nesletter (NPS Cave and Karst Outreach Inside Earth Newsletter) berkala yang berisi informasi tentang pengelolaan lingkungan Gua dan Karst.
  7. Pendidikan bersertifikat bagi para cavers, melalui Cave Leaders and Cave Instructors Certificate Schemes di Inggris.
  8. National Caving Association Cave Conservation Policy 1990, yang dikembangkan oleh Nature Inggris inisiatif bersama dengan NCA untuk tujuan konservasi gua.
  9. Kebijakan konservasi gua (Cave Conservation Plans).
Sedangkan di Indonesia, mungkin telah banyak komunitas Caver dengan keanekaragaman pendidikan atau ketentuan pengaturan atau Standars Operational Prosedur (SOP) yang dimilikinya. Namun, berbagai norma yang ada cenderung ditujukan untuk menjaga keselamatan para Cavers. Beberapa hal yang sifatnya cenderung "relatif", bahkan ditetapkan sebagai aturan secara lebih "konkrit" dan lebih "mengikat", yang seolah-olah menjadi "kewajiban" bagi para cavers. Misalnya saja kewajiban memakai Helm, Headlamp, Sepatu Boot, Pakaian Khusus, serta kewajiban penggunaan peralatan khusus lainnya untuk memasuki Gua Vertikal. Berbagai bentuk pendidikan atau "Etika dan Moral Penelusuran Gua" pada saat ini masih terpaku pada semboyan "abstrak", dari jaman nenek moyang pencinta alam Indonesia sejak dahulu kala, yaitu "Take nothing but picture, Kill nothing but time, Leave nothing but footprint".
Sedangkan norma terkait untuk menjaga kelestarian lingkungan Gua yang "konkrit" terhadap tindakan atau kegiatan Caving masih jauh dari kata Optimal. Mungkin saat ini beberapa etika telah diterapkan, namun belumlah menyeluruh apalagi bersifat "mengikat" bagi para cavers.
Tindakan tersebut antara lain, yaitu tidak menyentuh atau menginjak ornamen Gua secara berlebihan, larangan untuk menjauhi kelelawar atau penghuni habitat gua lainnya, larangan menyinari kelelawar, tidak menimbulkan cahaya berlebihan, kewajiban membawa botol air seni, mengambil foto hanya dengan tujuan tertentu, tidak menimbulkan suara berlebihan/kegaduhan, meminimalisir jejak kaki dengan berjalan berbaris beriringan, tidak berkeliaran kesana kemari, tidak merokok apalagi memasak di dalam gua, tidak menggaruk kepala dan kulit secara berlebihan, menggunakan pakaian yang bersih atau tidak menggunakan pakaian yang sama dari Gua satu ke Gua lainnya (membawa zat organik seperti lumpur yang melekat pada pakaian), berupaya untuk meminimalisir lumpur yang menempel pada pakaian, mengelola sampah serta aspek lainnya terkait kelestarian Gua yang secara explisit belumlah dituangkan secara konkrit dalam Kebijakan Konservasi atau kode etik Caving. 
Sedangkan yang menjadi catatan utama adalah, bahwa "Konstitusi" gua, yakni konsekuensi bagi Gua akibat kegiatan cavers mungkin belumlah terlalu terdengar suaranya.
Tindakan yang mementingkan ego petualangan tidaklah pantas mengesampingkan kelestarian lingkungan Gua yang tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible). Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan dengan memperbandingkan secara "apple to aplle", maka sesungguhnya sikap mengutamakan "safety" untuk para cavers daripada aspek "safety" untuk ekosistem gua yang rentan, terlihat sangat egois.
Padahal kebijakan safety yang lebih cenderung diwajibkan mungkin saja dapat diintegrasikan dengan aspek pendidikan konservasi Gua. Misalnya saja kewajiban memiliki keahlian untuk memasuki Gua non-wisata, dengan tujuan menjaga keselamatan cavers sekaligus dalam rangka meminimalisir kelalaian yang mengakibatkan kerusakan ornamen Gua atau kewajiban penggunaan helm sebagai alat pengaman cavers sekaligus sebagai upaya untuk mencegah jatuhnya rambut atau kulit rambut tertinggal dalam ekosistem Gua. 
Memang akan diperlukan kajian lebih lajut dan lebih mendalam untuk itu. Dibutuhkan upaya pembangunan Pendidikan lingkungan yang dapat mengintegrasikan secara konkrit dengan nilai-nilai konservasi yang telah berkembang. Tujuannya adalah agar kelestarian lingkungan gua dapat lebih terjaga.
Mungkin ungkapan Ludwig Wittgenstein (1889–1951) dapat memacu semangat implementasi pendidikan lingkungan bagi para Cavers. Menurutnya Gua itu "not a something, but not a nothing either" (Wittgenstein). Bukankah, hinaan tersebut terasa menyakitkan???. Sudah saatnya, membuktikan keindahan Gua pada masyarakat secara lebih bertanggung jawab. Tentunya tidak hanya melalui aspek fotografi semata. Namun disertai nilai-nilai keindahan yang tercermin dalam suatu pendidikan lingkungan dalam penelusuran Gua, dengan tujuan konservasi atau perlindungan terhadap suatu keindahan dan keunikan yang terdapat dalam Gua.  


Foto : Semboyan "usang" yang menjadi pedoman bagi etika lingkungan bagi para pencinta alam sudah selayaknya dikembangkan untuk meningkatkan upaya konservasi atau kelestarian lingkungan.


Kelelawar


Salah satu fauna yang menjadi penghuni Gua adalah kelelawar. Kelelawar terdapat di seluruh dunia, kecuali daerah yang beriklim sangat dingin. Dunia mencatat ada sekitar 977 jenis kelelawar. Di Indonesia ada sekitar 205 jenis dari 53 famili seperti Pteropopidae, Megadermotidae, dan Rhinolophidae. Dari jumlah itu 72 jenis pemakan buah dan 133 jenis pemakan serangga. Pemakan serangga tak melulu menetap di gua, 50 persen tinggal di pepohonan. Demikian pula pemakan buah, 80 persen tinggal di pohon, sisanya di dalam gua. (http://lipi.go.id/berita/kebajikan-sang-kampret/4136)

Meskipun banyak ditemukan populasi yang endemik. Beberapa kelelawar hidup sendirian, sementara yang lain hidup di koloni lebih dari satu juta. Hidup di koloni besar mengurangi risiko bagi individu pemangsaan. Sebagai hewan yang mitosnya atau tepatnya “fitnah”, karena selalu diidentikan dengan hal-hal yang negatif di hampir seluruh dunia, kelelawar secara populer telah dikaitkan dengan hal-hal negatif, seperti drakula atau vampir, kegelapan, kedengkian, sihir, dan kematian. Hal tersebut telah mengakibatkan perlakuan yang penuh kebencian terhadap hewan ini, sehingga mengancam kehidupannya. 



Padahal kelelawar sangat diperlukan secara ekologis. Mereka penting dalam ekosistemnya untuk menyerbuki bunga dan buah-buahan serta menyebarkan benih. Banyak tanaman tropis bergantung sepenuhnya pada kelelawar untuk layanan ini. Kotoran kelelawar telah ditambang sebagai guano dari gua dan digunakan sebagai pupuk. Kelelawar mengkonsumsi hama serangga, mengurangi kebutuhan pestisida. Habitat dan keberadaan kelelawar cukup banyak telah dijadikan tempat wisata, dan digunakan sebagai bahan makanan di seluruh Asia dan Lingkar Pasifik.




Kelelawar adalah mamalia seperti manusia, yang telah memberi berbagai manfaat, namun juga memiliki potensi negatif. Mereka adalah reservoir alami dari banyak patogen zoonosis, seperti rabies dan mungkin virus ebola. Mobilitasnya yang tinggi (sangat mobile) dan meluas, cenderung berkelompok (sosial), dan berumur panjang, membuat kelelawar menjadi tuan rumah yang menguntungkan dan vektor penyakit. Dibandingkan dengan tikus, kelelawar membawa lebih banyak virus zoonosis per spesies, dan setiap virus dibagi dengan lebih banyak spesies.
Populasi kelelawar diyakini telah menurun dengan cepat di seluruh dunia. Manusia telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies kelelawar, yang terbaru adalah pipistrelle Pulau Natal (Pipistrellus murrayi), yang dinyatakan punah pada tahun 2009. Hilangnya atau terganggunya habitat telah menjadi ancaman serius bagi kelelawar. Kelelawar memilih hibernacula mereka di gua, yang sebagian besar sama setiap tahunnya, dimana berdasarkan suhu dan kelembabannya menjadi tempat hibernasinya. Banyak kelelawar yang bertengger di gua di daerah sedang berhibernasi sendirian atau dalam kelompok kecil. Sebaliknya, kelelawar tropis lebih cenderung membentuk koloni besar.
Gua sangat penting untuk kelangsungan hidup ratusan spesies kelelawar di seluruh dunia, karena mereka sering memberikan perlindungan bagi sebagian besar fauna kelelawar suatu negara. Di zona beriklim sedang, gua menyediakan tempat berteduh untuk hibernasi dan untuk beberapa spesies, berkembang biak di musim panas, sedangkan di daerah yang lebih hangat, mereka mendukung kekayaan spesies sepanjang tahun dan sebagai koloni besar yang dapat mempertahankan jasa ekosistem yang besar. (baca : Conservation Ecology of Cave Bats
Sebagai contoh di Missouri Amerika misalnya, dimana sekitar 800.000 kelelawar abu-abu, yang bertengger di gua sepanjang tahun, mengonsumsi 490 metrik ton serangga per tahun (Departemen Konservasi Missouri, 2010). Di daerah tropis, kelelawar yang memakan buah dan menyerbuki tanaman sering bertengger di gua. Jadi, meskipun beberapa kelelawar tidak menggunakan gua, namun jaringan keterkaitan diatara kelelawar dan ekosistem gua itu penting.
Selain itu, kehadiran kelelawar diiringi dengan Guano, sebagai salah satu penunjang kehidupan invertebrata di dalam Gua. Guano juga diyakini menjadi salah satu sumber makanan bagi spesies vertebrata di dalam Gua. Beberapa penelitian telah membuktikan, Guano menjadi santapan beberapa jenis spesies di dalam Gua, seperti ikan dan salamander jenis tertentu. Suhu Gua juga terpengaruh dengan kehadiran Guano, dimana selaras dengan meningkatnya suhu menjadi lebih hangat sehingga meningkatkan kenyamanan bagi kelelawar untuk berkembang biak.
Salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan untuk membantu melindungi dan menjaga kelelawar adalah dengan meninggalkan mereka tanpa gangguan (just leave it). Ini adalah masalah besar bagi para cavers, dimana secara tidak sengaja mungkin mengganggu masa hibernacula kelelawar. Padahal, apabila kelelawar terganggu, maka akan membangunkan kelelawar dari hibernasinya. Akibatnya, kelelawar terbang, kemudian mengurangi atau menghabiskan cadangan lemak penting yang dibutuhkan untuk melewati masa hibernasinya, sehingga mungkin saja menyebabkan kematian karena kelaparan. 
Selain itu, kelelawar memiliki kebutuhan habitat yang terjaga untuk membesarkan anaknya, dimana gangguan yang tidak semestinya dapat menyebabkan mereka meninggalkan habitat hibernasinya secara permanen. Tingginya tingkat kematian kelelawar adalah akibat terganggu dan dipaksa untuk terbang saat makanan tidak tersedia (pada saat musim dingin/ bukan musim buah-buahan) telah mengganggu siklus hibernasinya. Dampak tersebut mungkin akan tegak lurus dan semakin membesar terhadap koloni kelelawar yang semakin besar. Oleh karena itu, apabila cavers hendak memasuki gua yang berpotensi mengganggu hibernasi koloni kelelawar, maka sebaiknya janganlah memasuki gua saat itu... 
Kelompok-kelompok seperti Bat Conservation International bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan peran ekologis kelelawar dan ancaman lingkungan yang mereka hadapi. Di Inggris, semua kelelawar dilindungi di bawah Undang-Undang Margasatwa dan Pedesaan, dan mengganggu kelelawar atau sarangnya dapat dihukum dengan denda berat. Begitupula dengan sebagian besar negara Eropa, dimana semua spesies kelelawar dan sarangnya dilindungi secara ketat oleh hukum. Sedangkan di Sarawak, Malaysia, "semua kelelawar" dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar 1998, tetapi spesies seperti kelelawar tak berbulu (Cheiromeles torquatus) masih dimakan oleh masyarakat setempat. 
Begitupula di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang berkeyakinan, bahwa komsumsi kelelawar merupakan obat dari berbagai macam jenis penyakit, asma misalnya. Sehingga perburuan terhadap kelelawar masih terus berlangsung. Menurut IUCN, diketahui dari 143 spesies dari kawasan karst di dunia yang terancam secara global, terdapat 31 spesies yang berasal di Asia Tenggara.


Foto : Pembangunan pagar supaya mencegah akses masuk untuk Konservasi kelelawar. (Bats, Smithsonian)

Menurut Medellin dan Wiederholt, maka meskipun penelitiannya secara khusus membahas gua kelelawar, namun mengingat pentingnya semua gua dan statusnya yang berbahaya, maka sudah saatnya sekarang untuk menarik perhatian para pembuat kebijakan atau pengambil keputusan tentang kebutuhan mendesak untuk meluncurkan inisiatif konservasi gua di seluruh dunia. Sehingga keberadaan Gua yang ada saat ini tetap terjaga untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. 
Baca lebih lanjut dalam artikel : Konservasi Kelelawar dan Perlindungan Terhadap Ekosistem Gua
Semoga...


No comments:

Post a Comment