Sejatinya di masa lalu konflik manusia versus harimau di berbagai kawasan Sumatera termasuk jarang terjadi. Hal tersebut karena hubungan penduduk lokal dan harimau masih harmonis. Secara tradisi, penduduk lokal yang biasa bermukim di kawasan hutan atau sekitar hutan umumnya memiliki informasi dan persepsi positif terhadap harimau. Dampaknya, tindakan mereka terhadap harimau juga positif.
Misalnya, menurut penuturan penduduk tradisional Semende di pedalaman Desa Swarna Diwipe, Muara Enamim, Sumatera Selatan, mereka secara tradisi jika bertemu dengan harimau atau bisa disebut sebagai ghimau, akan berdiam diri dan berpura-pura seolah-olah tidak tahu. Pada akhirnya, ghimau akan pergi dengan sendirinya.
Mengapa tindakan penduduk Semende ketika bertemu harimau alih-alih lari pontang-panting dan teriak minta tolong untuk menyalamatkan diri, malah diam tidak lari? Hal tersebut, antara lain, karena penduduk tradisional Semende memiliki pengetahuan lokal atau pengetahuan ekologi tradisional secara lekat budaya hasil pewarisan dari leluhurnya antargenerasi dengan ditransmisikan secara lisan menggunakan bahasa ibu.
Transmisi pengetahuan ekologi tradisional tersebut biasanya disebarkan di antara anggota komunitasnya melalui tiga proses perkembangan dalam kehidupan suatu individu keluarga. Pertama, ketika masa kanak-kanak, anak-anak biasa mendapat pembelajaran dari kedua orangtuanya (vertical learning). Kedua, ketika menginjak masa remaja, informasinya disebarkan di antara sesama sebaya dalam komunitasnya (peer group learning). Sementara pada tahap ketiga, setelah dewasa dan bekerja, dia dapat belajar sendiri secara mandiri melalui proses trial and error (individual learning) ataupun pembelajaran melalui antargenerasi yang tidak terkait kekerabatan dalam suatu komunitas.
Berdasarkan persepsi masyarakat Semende, sejatinya satwa ghimau tidak akan mengganggu manusia selama satwa tersebut dalam kondisi normal, tidak terganggu oleh manusia. Oleh karena itu, penduduk Semende jika bertemu dengan ghimau, biasanya dia bertindak diam diri dengan berpura-pura tidak tahu, maka ghimau biasanya pergi dengan sendirinya. Pasalnya, berdasarkan persepsi penduduk Semende dalam budayanya, berdasarkan informasi dan persepsi dari para orang-orang tua (puyang) ataupun berdasarkan pengalaman pribadi, apabila satwa tersebut tidak terganggu manusia, jarang menyerang manusia secara agresif.
Penduduk tradisional Semende juga memiliki pengetahuan tentang waktu ghimau biasa masuk ke kawasan sekitar dusun, yakni saat musim durian. Warga lokal bisa mengindikasikan bahwa ketika musim durian di dusunnya biasanya akan hadir harimau di sekitar dusun. Menurut penuturan warga lokal, pada saat musim durian, warga lokal umumnya menunggui buah durian jatuh dari pohonnya. Lantas, apabila di bawah pohon durian warga desa menemukan banyak durian jatuh serta ditemukan kulit-kulit durian bekas dimakan binatang, bisa dipastikan bahwa di sekitar kawasan tersebut ada ghimau. Maka, umumnya tindakan penduduk lokal biasanya lebih baik menyingkir dan membiarkan ghimau menikmati makanannya, buah-buah durian yang jatuh dari pohonnya karena telah matang.
Berdasarkan persepsi penduduk, harimau diyakini sangat menyenangi buah durian matang. Satwa ini juga diyakini warga lokal sangat hafal tentang pohon durian mana yang buah-buahnya sudah matang ataupun buah-buah yang belum matang. Berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional tersebut, warga lokal juga bisa mengetahui kapan musim durian tiba atau tepatnya pohon durian mana yang sudah matang atau belum matang di kawasan hutan. Salah satu cara yang paling mudah bagi warga di antaranya adalah dengan melihat jejak kaki harimau dan bekas makanannya mengonsumsi buah-buah durian. Berdasarkan kebudayaan penduduk, walaupun termasuk binatang buas, harimau bukanlahlah jenis satwa yang ditakuti warga. Pasalnya, warga lokal umumnya memiliki pengetahuan ekologi tradisional tentang satwa tersebut.
Pesepsi penduduk lokal Semende sangat berbeda terhadap beruang madu (Helarctos malayanus). Mereka umumnya sangat takut bertemu beruang madu ketika sedang di hutan. Pasalnya, berdasarkan persepsi penduduk Semende dalam budayanya, kalau beruang madu bertemu manusia di hutan, satwa tersebut sering menyerangnya. Oleh karena itu, tindakan yang dianggap sesuai, yaitu diupayakan warga untuk menghindar bertemu dengan satwa tersebut. Namun, kalau kebetulan penduduk bertemu dengan beruang madu di hutan, maka dia akan lari menjauh dari satwa tersebut agar dirinya selamat (Yenrizal 2015).
Kisah lain hubungan manusia dan harimau di masa lalu dapat pula disimak dari berbagai cerita penduduk tradisional Melayu di pedalaman Provinsi Riau, seperti di Desa Alang, Bengkalis, Riau, yang kini kawasan hutannya telah dijadikan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, sejak 2009. Alkisah, menurut cerita penduduk lokal di Desa Alang, Bengkalis, di masa lalu hubungan manusia dengan harimau di desanya sungguh erat.
Misalnya, pada masa lalu, ketika penduduk desa belum padat, kawasan hutan masih luas, belum marak kebun sawit, lahan hutan belum banyak dialihfungsikan menjadi kawasan pengusahaan hutan, dan belum banyak pendatang dari luar, secara tradisi penduduk pedalaman, seperti penduduk Desa Alang, memiliki konsep tentang pembagian ruang. Ada kawasan yang diperuntukkan bagi dusun atau permukiman, kawasan budidaya untuk usaha tani sistem gilir balik (ladang) dan kebun karet, serta kawasan hutan konservasi tradisional.
Hubungan interkoneksi manusia dengan satwa liar, seperti harimau, cukup harmonis. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh warga lokal, bahwa di masa lalu, harimau kadang-kadang terlihat berjalan-jalan di kawasan permukiman dan masuk kolong rumah penduduk yang berbentuk panggung. Berdasarkan kepercayaan masyarakat lokal, harimau yang masuk kawasan dusun biasanya disebut ”harimau peliharaan” orang pintar sehingga sangat jarang ada kabar harimau memangsa ternak ataupun menyerang orang di dusun.
Pada saat itu, penduduk lokal hidup berdampingan dengan harimau. Pasalnya, penduduk percaya bahwa harimau dipelihara oleh bomo. Selain itu, di masa lalu, harimau jarang memangsa ternak ataupun menerkam manusia di dusun. Pasalnya, aneka ragam sumber pakan harimau di kawasan hutan masih banyak tersedia. Bahkan, pada masa lalu, harimau yang biasa dipanggil penduduk sebagai datuk itu kalau masuk dusun, dianggap sebagai sekadar lewat dan tidak membahayakan manusia (Royyani 2018).
Kerusakan lingkungan
Namun, lain dulu lain sekarang, ketika kini penduduk kian padat dan banyak penduduk pendatang, luas hutan telah menyusut, persepsi penduduk terhadap harimau telah banyak berubah serta pakan harimau di hutan kian langka. Konsekuensinya, harimau sering masuk dusun dan memangsa ternak, seperti ternak sapi.
Lantas, penduduk yang merasa dirugikan akibat ulah harimau biasanya balas dendam, seperti menaburkan racun pada bangkai sapi yang belum dimangsa habis harimau untuk membinasakan harimau. Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang memangsa bangkai ternak beracun tersebut akan mati karena keracunan.
Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/07/26/konflik-harimau-versus-manusia-terus-berulang
Kearifan lainnya juga diceritakan oleh leluhur masyarakat Desa Panton Luas, Kecamatan Tapak Tuan, Aceh Selatan, yang secara turun-temurun mengisahkan persahabatan mereka dengan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) atau dalam bahasa setempat dinamakan rimeung.
Sejumlah sesepuh desa yakin konflik terjadi karena masyarakat melanggar pantangan-pantangan saat berkebun. Pantangan itu antara lain tidak pergi ke kebun seorang diri, tidak kembali ke tempat harimau sempat terlihat, pintu atau lantai pondok di kebun yang tidak ditutup rapat sehingga diyakini mengundang ”penasaran” harimau, dan tidak menyalakan api saat di kebun. ”Asap dari api di kebun menandakan ada orang kerja sehingga harimau menghindar,” ujar Kepala Dusun Hulu, Panton Luas, Muhammad Navi.
Konflik rimeung dan masyarakat Panton Luas itu ironis karena sebelumnya harimau hidup berdampingan dengan masyarakat Panton Luas tanpa ada persoalan sedikitpun. Bahkan, dari leluhur orang Panton Luas, tersiar kisah-kisah persahabatan antara rimeung dan manusia.
Salah satu kisah yang populer di masyarakat adalah saat harimau sakit dan sesepuh desa menolongnya dengan memberikan air tebu. Persahabatan manusia dan rimeung yang erat, membuat manusia bisa mengenali kondisi kesehatan harimau hanya dari suaranya.
Kemudian kisah persahabatan antara seorang tunanetra perajin rotan dan rimeung. Setiap kali menganyam rotan, seekor harimau selalu datang bermain-main dengan ujung rotan yang menjulur hingga keluar rumah perajin itu.
Sebaliknya, harimau pun kerap membantu manusia. ”Seandainya ada yang tersesat di hutan, harimau akan menunjukkan jalan pulang. Asalkan niat tulus. Kalau jahat, tidak akan ditunjuk. Biasanya begitu, persahabatan manusia dengan harimau tidak terpisahkan,” kata Muhammad Navi.
Selain berupaya lebih baik dalam menjaga keasrian lingkungan, setiap dua tahun sekali masyarakat menggelar ritual untuk harimau. Sesajian berupa nasi dan telur rebus dihantar ke lokasi tertentu di dalam hutan. Mulai dari beras hingga warga yang mengantar sesajian ke hutan dipilih secara khusus. ”Rimeung Aulia (Tuan Harimau) menjaga kampung kami. Kami harus menghormatinya,” ujar Kepala Lembaga Musyawarah Desa Nasrudin.
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY, Bersahabat Kembali dengan Harimau Sumatera, 27 Januari 2020, sumber : (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/01/27/menyelaraskan-hidup-dengan-rimeung)
Kearifan di Sumatera Selatan
Pada masa silam, manusia dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) hidup berdampingan. Bahkan, di Sumatera Selatan, harimau disebut "nek ngau" dan "setue", yang berarti sosok yang dihormati atau dituakan. Kini, harimau menjadi momok menakutkan bagi warga setelah dalam tiga bulan terakhir menewaskan lima orang dan melukai dua orang.
Budiono (57), Ketua Hutan Adat Tebat Benawa, menyatakan, konflik antara harimau dan manusia yang terjadi secara beruntun pada akhir 2019 sangat mengagetkan semua pihak. Selama ini, harimau dan manusia di wilayahnya jarang berkonflik.
Bahkan, di kawasannya, harimau merupakan satwa yang paling dihormati dan memiliki panggilan nek ngau dan setue yang berarti sosok yang dihormati atau dituakan. ”Harimau dan manusia memiliki wilayahnya sendiri, kami hidup berdampingan,” katanya.
Bagi warga setempat, hutan adat Tebat Benawa sangat penting karena menjadi mude ayek atau sumber mata air dari Sungai Lematang. Mereka juga menyadari, jika banyak pembukaan lahan, permukiman mereka yang pertama kali dilanda bencana, terutama longsor. Tak heran, hutan adat juga dikenal dengan hutan larangan karena siapa pun dilarang membuka lahan. Orang yang menebang pohon atau membuka lahan secara besar-besaran akan terkena kutukan atau minimal mengalami sakit.
Hutan adat yang berbatasan langsung dengan hutan lindung ini pun relatif terjaga. Beragam tumbuhan dan satwa, termasuk harimau, bisa hidup dan berkembang di sana.
Sumber : RHAMA PURNA JATI, Menghormati ”Setue”, Menghindari Konflik", 17 Februari 2020, (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/02/17/menghormati-setue-menghindari-konflik)