Saturday, 17 July 2021

Masalah Lingkungan di Perkotaan Indonesia

Sampah Kota. Tak perlulah berargumen, bahwa masyarakat adalah pihak yang seolah PALING bertanggung jawab terhadap permasalahan sampah di kawasan perkotaan. Sebab pada sisi lain, pemerintah belumlah mampu mengakomodir sebuah sistem pengelolaan sampah yang ideal.

Merujuk Statistik Lingkungan Hidup 2020 yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta berada di urutan pertama produksi sampah perkotaan, sebanyak 8.291,81 ton per hari pada 2019. IRONISNYA, sampah yang dihasilkan tersebut tidak semuanya terangkut truk sampah. Hanya 92,9 persen sampah di Jakarta yang terangkut setiap harinya. Kondisi tersebut juga dialami oleh kota lainnya, misalnya kota Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Denpasar, Pontianak, Serang dan jambi.

Masalah pencemaran udara di Jakarta. Sebagai ibu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi, polusi udara yang merupakan salah satu dimensi penilaian sudah menjadi persoalan laten bagi Jakarta.

Tahun 2017, merujuk catatan Greenpeace Indonesia, stasiun pemantauan udara milik kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan menunjukkan, hanya 14 hari kualitas udara di Jakarta masuk kategori ”baik” sepanjang Januari hingga September 2017. Bahkan, di tahun 2019 hanya 10 hari udara sehat tercatat di Jakarta, berdasar parameter kadar debu partikulat (PM 2,5).

Sumber : Kompas, Alarm Kepedulian Lingkungan Berdering Lebih Keras.

Air merupakan kebutuhan primer untuk kegiatan sehari-hari masyarakat atau dikenal dengan kebutuhan air domestik (rumah tangga). Besarnya kebutuhan air domestik tergantung dari status wilayah dan jumlah penduduk. Konstanta untuk wilayah perkotaan adalah 120 liter per hari per kapita, sementara untuk perdesaan 60 liter per hari per kapita. 

Masalah Penyediaan Air Bersih. Menurut pakar tata air dari Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Rudy P Tambunan, bahwa di wilayah perkotaan sejatinya penyediaan air bagi masyarakat adalah melalui perpipaan. Menyedot air tanah untuk kota dengan penduduk sebanyak Jakarta akan membahayakan lingkungan. Padahal, menurut Direktur Utama Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya Priyatno Bambang Hernowo menjelaskan bahwa baru 64 persen warga Jakarta yang memiliki akses ke air perpipaan. Sisanya masih menyedot air tanah ataupun membeli dari bakul.

Lebih lanjut, Rudy P Tambunan mencontohkan proyek pembangunan sumur resapan Pemprov DKI Jakarta. Data Dinas SDA DKI menyebutkan, tahun 2021 akan ada pembangunan sumur di lima wilayah Jakarta dengan daya serap total 90.000 meter kubik. Selama air tanah tetap disedot, keberadaan sumur resapan tidak akan membantu pencegahan penurunan tanah. Menurutnya, ”Beredar konsep keliru di masyarakat bahwa sumur resapan untuk mengganti air yang telah disedot dan air yang telah diresap nanti bisa dipakai untuk kebutuhan harian warga. Ini akhirnya jadi gali lubang dan tutup lubang. Tujuan sumur resapan murni untuk menjaga keawetan air,” katanya. 

Sumber : Kompas, Target 82 Persen Wilayah DKI Terlayani Air Perpipaan dalam Dua Tahun (https://www.kompas.id/baca/metro/2021/03/23/target-82-persen-wilayah-dki-terlayani-air-perpipaan-dalam-dua-tahun)

Konsep compact city, menurut penelitian ”Penanganan Masalah Permukiman Perkotaan Melalui Penerapan Konsep Kota Kompak dan Transit Oriented Development” (tim UGM), yaitu lahan-lahan di perkotaan akan dimanfaatkan seefisien mungkin menjadi permukiman berkepadatan tinggi dengan berbagai macam fungsi perkotaan. Misalnya, pusat permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa, yang dilengkapi dengan sekolah serta fasilitas kesehatan. Konsep tersebut akan mengurangi mobilitas di dalam satu kota dan mendorong orang berjalan kaki serta bersepeda dalam satu pusat kegiatan. 

Sumber : Kompas, Mewujudkan Transportasi Ideal di Ibu Kota Negara, (https://www.kompas.id/baca/riset/2020/03/26/mewujudkan-transportasi-ideal-di-ikn)

Setidaknya ada lima fungsi utama situ di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pertama, situ merupakan bagian dari sistem ekologi dan tata air kewilayahan. Kedua, kawasan serapan air permukaan dan air hujan sehingga tidak terjadi buangan air tanpa ada pemanfaatan sama sekali. Fungsi selanjutnya sebagai sarana tampungan air permukaan dan imbuhan air tanah. Keempat, sebagai modal pembangkit listrik tenaga air dan penahan intrusi air laut di wilayah pesisir. Terakhir, menjadi lokasi wisata, budidaya perikanan, dan sumber irigasi pertanian.

Alih Fungsi SITU. Diketahui, pada Tahun 1960-an terdapat sekitar 400-600 situ-situ yang sebelumnya ada di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sedangkan menurut Hadi Susilo Arifin, Guru Besar IPB di Bidang Pengelolaan Lanskap, mengatakan, pada 1960-an terdapat 800 waduk dan danau di Jabodetabek. Pada 1980-an diketahui jumlahnya berkurang menjadi 400 waduk/danau (Kompas, 5 Juni 2013). Saat ini diketahui hanya tersisa 187 Situ dan terancam terus menghilang atau berkurang jumlahnya. Liputan investigasi Kompas sepanjang September 2019 yang dimuat di Kompas, 10 Oktober 2019, mengungkapkan, penguasaan situ oleh korporasi dan individu terjadi bertahun-tahun.

Sementara itu, berdasarkan data terkini miliki  BBWSCC  yang berasal dari inventarisasi pemerintah daerah, jumlah situ tersisa 208. Sebanyak 102 situ terletak di Kota dan Kabupaten Bogor. Di Kota dan Kabupaten Bekasi terdapat 28 situ. Sementara di Kota dan Kabupaten Tangerang terdapat 37 situ. Sisanya tersebar di Depok (26 situ), Tangerang Selatan (9 situ), dan di Jakarta (16 situ). Mengacu pada data tahun 1980-an, jumlah situ berkurang hampir 50 persen. Banyaknya situ yang hilang berarti mengubah tatanan ekologi Jabodetabek sebab peran situ dalam lingkungan turut lenyap.

Sumber : kompas, 

(https://www.kompas.id/baca/metro/2020/01/15/situ-situ-terus-menghilang)

(https://www.kompas.id/baca/utama/2020/01/16/penetapan-lahan-akan-lindungi-situ)

Situ Hilang Ancam Lingkungan Jabodetabek (https://www.kompas.id/baca/utama/2019/10/10/situ-hilang-ekologi-terbilang)









No comments:

Post a Comment