Friday, 30 July 2021

Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia

1972 : Stockholm Conference

1982 : Undang progresif. Dimana telah mengintegrasikan peran serta masyarakat dan ketentuan strict liability.

1987 : WCED - Our Common Future

1992 : Konferensi RIO merupakan konferensi monumental yang menghadirkan begitu banyak perhatian dari kepala negara di seluruh dunia - Deklarasi RIO dan Agenda 21

1997 : Amandemen UULH menjadi UUPLH 1997

2000 : MDGs dikembangkan

2002 : Amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 telah mengakui visi pembangunan berkelanjutan sebagai visi pembangunan di Indonesia. 

2009 : UUPPLH

2015 : Pengembangan SDGs dari 8 menjadi 15 

WSSD yang memperkuat deklarasi Rio

2020 : Indonesia menjadi bagian dari kesepakatan global sustainable ocean economic dan UUCK

Sunday, 18 July 2021

Etika Lahan (Land of Ethic) Aldo Leopold

Leopold memperkenalkan ‘‘The Land of Ethic’’dalam sebuah karya tulis berjudul A Sand County Almanac, and Sketches Here and There (1949). Dalam pandangan sebagian besar pembaca, substansi etika Aldo Leopold dinyatakan, bahwa ‘‘is  right  when it tends to  preserve  the  integrity,  stability,  and  beauty of the biotic community’’ dan ‘‘is wrong when it tends otherwise’’. (Leopold 1949, hlm. 224–225)

Etika tanah telah mengubah pandangan terhadap peran manusia (Homo sapiens) sebagai penakluk komunitas menjadi anggota biasa satu kesatuan dalam suatu ekosistem/ komunitas biotik. Ini menyiratkan rasa hormat terhadap sesama anggotanya, dan juga rasa hormat terhadap komunitas itu sendiri.

Leopold pada prinsipnya menjelaskan, hubungan antara manusia dengan tanah (Land). Pengertian "Land" yang dimaksud Leopold tidak hanya saja sebatas "Tanah", namun oleh leopold diistilahkan dengan "komunitas biotik/ Biotic Community". Etika tanah Leopold berlandaskan pada pemahaman, bahwa manusia merupakan bagian dalam suatu komunitas kehidupan yang terintegrasi, yang juga mencakup hewan, tumbuhan, batu, tanah, dan air lainnya. Manusia adalah "anggota dan warga biasa" dari komunitas biotik ini, kata Leopold (Leopold 1949), hlm. 204), dan karena itu memiliki kewajiban moral untuk bertindak secara konsisten dengan kesejahteraan jangka panjang komunitas tersebut. Kesejahteraan itu terkait dengan cara komunitas berfungsi secara ekologis; dengan kapasitasnya, di bawah pemanfaatan oleh manusia, untuk tetap subur dan produktif dalam jangka panjang.

Saturday, 17 July 2021

Masalah Lingkungan di Perkotaan Indonesia

Sampah Kota. Tak perlulah berargumen, bahwa masyarakat adalah pihak yang seolah PALING bertanggung jawab terhadap permasalahan sampah di kawasan perkotaan. Sebab pada sisi lain, pemerintah belumlah mampu mengakomodir sebuah sistem pengelolaan sampah yang ideal.

Merujuk Statistik Lingkungan Hidup 2020 yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta berada di urutan pertama produksi sampah perkotaan, sebanyak 8.291,81 ton per hari pada 2019. IRONISNYA, sampah yang dihasilkan tersebut tidak semuanya terangkut truk sampah. Hanya 92,9 persen sampah di Jakarta yang terangkut setiap harinya. Kondisi tersebut juga dialami oleh kota lainnya, misalnya kota Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Denpasar, Pontianak, Serang dan jambi.

Masalah pencemaran udara di Jakarta. Sebagai ibu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi, polusi udara yang merupakan salah satu dimensi penilaian sudah menjadi persoalan laten bagi Jakarta.

Tahun 2017, merujuk catatan Greenpeace Indonesia, stasiun pemantauan udara milik kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan menunjukkan, hanya 14 hari kualitas udara di Jakarta masuk kategori ”baik” sepanjang Januari hingga September 2017. Bahkan, di tahun 2019 hanya 10 hari udara sehat tercatat di Jakarta, berdasar parameter kadar debu partikulat (PM 2,5).

Sumber : Kompas, Alarm Kepedulian Lingkungan Berdering Lebih Keras.

Air merupakan kebutuhan primer untuk kegiatan sehari-hari masyarakat atau dikenal dengan kebutuhan air domestik (rumah tangga). Besarnya kebutuhan air domestik tergantung dari status wilayah dan jumlah penduduk. Konstanta untuk wilayah perkotaan adalah 120 liter per hari per kapita, sementara untuk perdesaan 60 liter per hari per kapita. 

Masalah Penyediaan Air Bersih. Menurut pakar tata air dari Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Rudy P Tambunan, bahwa di wilayah perkotaan sejatinya penyediaan air bagi masyarakat adalah melalui perpipaan. Menyedot air tanah untuk kota dengan penduduk sebanyak Jakarta akan membahayakan lingkungan. Padahal, menurut Direktur Utama Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya Priyatno Bambang Hernowo menjelaskan bahwa baru 64 persen warga Jakarta yang memiliki akses ke air perpipaan. Sisanya masih menyedot air tanah ataupun membeli dari bakul.

Lebih lanjut, Rudy P Tambunan mencontohkan proyek pembangunan sumur resapan Pemprov DKI Jakarta. Data Dinas SDA DKI menyebutkan, tahun 2021 akan ada pembangunan sumur di lima wilayah Jakarta dengan daya serap total 90.000 meter kubik. Selama air tanah tetap disedot, keberadaan sumur resapan tidak akan membantu pencegahan penurunan tanah. Menurutnya, ”Beredar konsep keliru di masyarakat bahwa sumur resapan untuk mengganti air yang telah disedot dan air yang telah diresap nanti bisa dipakai untuk kebutuhan harian warga. Ini akhirnya jadi gali lubang dan tutup lubang. Tujuan sumur resapan murni untuk menjaga keawetan air,” katanya. 

Sumber : Kompas, Target 82 Persen Wilayah DKI Terlayani Air Perpipaan dalam Dua Tahun (https://www.kompas.id/baca/metro/2021/03/23/target-82-persen-wilayah-dki-terlayani-air-perpipaan-dalam-dua-tahun)

Konsep compact city, menurut penelitian ”Penanganan Masalah Permukiman Perkotaan Melalui Penerapan Konsep Kota Kompak dan Transit Oriented Development” (tim UGM), yaitu lahan-lahan di perkotaan akan dimanfaatkan seefisien mungkin menjadi permukiman berkepadatan tinggi dengan berbagai macam fungsi perkotaan. Misalnya, pusat permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa, yang dilengkapi dengan sekolah serta fasilitas kesehatan. Konsep tersebut akan mengurangi mobilitas di dalam satu kota dan mendorong orang berjalan kaki serta bersepeda dalam satu pusat kegiatan. 

Sumber : Kompas, Mewujudkan Transportasi Ideal di Ibu Kota Negara, (https://www.kompas.id/baca/riset/2020/03/26/mewujudkan-transportasi-ideal-di-ikn)

Setidaknya ada lima fungsi utama situ di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pertama, situ merupakan bagian dari sistem ekologi dan tata air kewilayahan. Kedua, kawasan serapan air permukaan dan air hujan sehingga tidak terjadi buangan air tanpa ada pemanfaatan sama sekali. Fungsi selanjutnya sebagai sarana tampungan air permukaan dan imbuhan air tanah. Keempat, sebagai modal pembangkit listrik tenaga air dan penahan intrusi air laut di wilayah pesisir. Terakhir, menjadi lokasi wisata, budidaya perikanan, dan sumber irigasi pertanian.

Alih Fungsi SITU. Diketahui, pada Tahun 1960-an terdapat sekitar 400-600 situ-situ yang sebelumnya ada di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sedangkan menurut Hadi Susilo Arifin, Guru Besar IPB di Bidang Pengelolaan Lanskap, mengatakan, pada 1960-an terdapat 800 waduk dan danau di Jabodetabek. Pada 1980-an diketahui jumlahnya berkurang menjadi 400 waduk/danau (Kompas, 5 Juni 2013). Saat ini diketahui hanya tersisa 187 Situ dan terancam terus menghilang atau berkurang jumlahnya. Liputan investigasi Kompas sepanjang September 2019 yang dimuat di Kompas, 10 Oktober 2019, mengungkapkan, penguasaan situ oleh korporasi dan individu terjadi bertahun-tahun.

Sementara itu, berdasarkan data terkini miliki  BBWSCC  yang berasal dari inventarisasi pemerintah daerah, jumlah situ tersisa 208. Sebanyak 102 situ terletak di Kota dan Kabupaten Bogor. Di Kota dan Kabupaten Bekasi terdapat 28 situ. Sementara di Kota dan Kabupaten Tangerang terdapat 37 situ. Sisanya tersebar di Depok (26 situ), Tangerang Selatan (9 situ), dan di Jakarta (16 situ). Mengacu pada data tahun 1980-an, jumlah situ berkurang hampir 50 persen. Banyaknya situ yang hilang berarti mengubah tatanan ekologi Jabodetabek sebab peran situ dalam lingkungan turut lenyap.

Sumber : kompas, 

(https://www.kompas.id/baca/metro/2020/01/15/situ-situ-terus-menghilang)

(https://www.kompas.id/baca/utama/2020/01/16/penetapan-lahan-akan-lindungi-situ)

Situ Hilang Ancam Lingkungan Jabodetabek (https://www.kompas.id/baca/utama/2019/10/10/situ-hilang-ekologi-terbilang)









Tuesday, 13 July 2021

1 Pengantar - Definisi Green Building atau Bangunan Hijau Yang Ramah Lingkungan

Bangunan telah menjadi tempat tinggal, belajar, bekerja, berolahraga, berbelanja, bersantai dan aktivitas manusia lainnya. Mulai dari tahap awal pembangunan, operasional oleh penggunanya dan tahap pembongkaran atau seluruh kegiatannya tentu akan selalu berdampak terhadap fungsi lingkungan hidup. Bangunan yang kita tempati memiliki dampak besar pada kehidupan kita. Kita menghabiskan lebih dari 80% waktu kita di dalam suatu gedung dan bangunan, yang secara langsung memengaruhi kesehatan, kebahagiaan, dan rasa sejahtera (well being) kita.  

Secara global telah diketahui, bahwa bangunan gedung, baik  secara langsung maupun tidak langsung, bertanggung jawab atas pemanfaatan sumber daya yang sangat besar, seperti sumber daya energi, listrik, air, dan sumber daya lainnya sehingga berdampak signifikan terhadap perubahan iklim.

Green Building yang dalam bahasa indonesia berarti Bangunan hijau, merupakan sebuah konsep yang holistik, dalam upaya untuk meminimalisir dampak lingkungan negatif yang ditimbulkan dari kegiatan terkait sektor bangunan gedung. Karena sifat holistik itulah, maka konsep green building sangatlah luas dan memiliki beragam istilah, definisi, indikator dan implementasi yang berbeda-beda. Beberapa istilah tersebut, antara lain sustainable building, green architecture, high-performance building, dan green office. 

Friday, 9 July 2021

Etika Deep Ecology - Arne Naess

Ekologi dalam adalah filosofi lingkungan dan gerakan sosial yang didasarkan pada keyakinan bahwa manusia harus secara radikal mengubah hubungannya dengan lingkungan hidup dari hubungan yang menghargai alam semata-mata karena manfaatnya bagi manusia, menjadi hubungan yang mengakui bahwa alam atau lingkungan hidup memiliki nilai yang melekat. 

Kadang-kadang disebut “ekosofi”, ekologi dalam menawarkan definisi diri yang berbeda dari pengertian tradisional dan merupakan gerakan sosial yang terkadang bernuansa religius dan mistis. Ungkapan ini berasal dari tahun 1972 oleh filsuf Norwegia Arne Naess, yang, bersama dengan ahli lingkungan Amerika George Sessions, mengembangkan platform delapan prinsip pengorganisasian untuk gerakan sosial ekologi dalam. Ekologi dalam membedakan dirinya dari jenis lingkungan lain dengan membuat klaim filosofis yang lebih luas dan lebih mendasar tentang metafisika, epistemologi, dan keadilan sosial.

Mereka berpendapat bahwa gerakan ekologi arus utama peduli dengan berbagai isu lingkungan (seperti polusi, kelebihan populasi, dan konservasi) hanya sejauh isu-isu tersebut memiliki efek negatif pada ekologi suatu daerah dan mengganggu kepentingan manusia.

Ahli ekologi dalam sering membandingkan posisi mereka sendiri dengan apa yang mereka sebut sebagai "ekologi dangkal" dari para pencinta lingkungan lainnya.

Selama awal 1970-an, Naess menyarankan bahwa gerakan pencinta lingkungan perlu melakukan lebih dari sekadar melestarikan dan melindungi lingkungan. Dia berpendapat bahwa evaluasi ulang radikal dari pemahaman tentang sifat manusia diperlukan. Secara khusus, ia mengklaim bahwa degradasi lingkungan kemungkinan disebabkan oleh konsepsi diri manusia yang telah didefinisikan dengan buruk di masa lalu. Naess berpendapat bahwa individu terputus dari orang lain dan dunia sekitarnya ketika diri dilihat sebagai ego yang soliter dan independen di antara ego yang soliter dan independen lainnya. Pemisahan itu mengarah pada perangkap antroposentrisme dan degradasi lingkungan. Dia percaya bahwa pemahaman baru tentang diri (disebut "realisasi diri") diperlukan."

Menurut deep ecology, diri harus dipahami sebagai terhubung secara mendalam dengan dan sebagai bagian dari alam, tidak terlepas darinya. Ahli ekologi dalam sering menyebut konsepsi tentang sifat manusia itu sebagai “ecological self,” dan itu mewakili manusia yang bertindak dan berada dalam harmoni dengan alam, bukan bertentangan dengannya. Menurut Naess, ketika diri ekologis diwujudkan, ia akan mengenal dan mematuhi norma-norma etika lingkungan yang akan mengakhiri penyalahgunaan alam yang mencirikan diri tradisional, yang terjebak dalam sikap antroposentris. Selain itu, diri ekologis akan mempraktikkan “egalitarianisme biosentris”, di mana setiap entitas alami dianggap sama secara inheren dengan setiap entitas lainnya.

Haduhhh...coba translate...tapi gak bisa baca dan mengerti...

Penganut gerakan ekologi dalam tidak menyukai sistem nilai yang berpusat pada manusia di inti budaya industri Eropa dan Amerika Utara. Ekologi dalam berpendapat bahwa filsafat lingkungan harus mengakui nilai-nilai yang melekat secara objektif di alam terlepas dari keinginan, kebutuhan, atau keinginan manusia.

Popularitas deep ecology terbentang dari aktivis lingkungan yang menjadi berita utama yang mengenakan kostum coyote hingga para sarjana dari berbagai latar belakang dan minat yang menakjubkan. Penulis telah membuat hubungan antara ekologi dalam dan ilmu ekologi (Golley 1987), agama dari seluruh dunia (Barnhill dan Gottlieb 2001), spiritualitas Zaman Baru (LaChapelle 1978), aksi langsung/sabotase ekologi (Foreman 1991), puisi Robinson Jeffers (Sesi 1977), etika tanah Aldo Leopold (Devall dan Sesi 1985), monisme Baruch Spinoza (Sesi 1977, 1979, 1985; Naess 2005), dan fenomenologi Martin Heidegger (Zimmerman 1986). Keragaman seperti itu menyegarkan, tetapi sulit untuk menemukan benang merah dalam semua manifestasi ekologi dalam yang beragam ini. Sebagai salah satu komentator telah mengamati, ''Setiap orang yang mencoba untuk mendamaikan Heidegger dengan kontribusi Leopold untuk ekologi dalam menemukan akan kasar'' (Oelschlaeger 1991, hlm. 304). (Untuk membedakan antara penggunaan akademis yang luas dan sempit dari ekologi dalam, istilah Ekologi Dalam akan digunakan untuk menunjukkan yang terakhir.)

Jauh lebih sempit, ekologi dalam mewakili psikologi filsafat lingkungan. Ekologi dalam dalam pengertian ini mengacu pada filosofi lingkungan egaliter dan holistik yang didasarkan pada metodologi fenomenologis. Melalui pengalaman langsung dari sifat non-manusia, seseorang mengakui nilai intrinsik yang sama dari semua biota serta keterkaitan ekologisnya sendiri dengan dunia kehidupan dalam segala kelimpahannya.

Memahami Ekologi Dalam dalam pengertian akademisnya menuntut membaca karya empat filsuf lingkungan: Arne Naess dari Norwegia, George Sessions dan David Rothenberg dari Amerika, dan Warwick Fox dari Australia. Deep Ecology terkait erat dengan Naess (Katz et al. 2000, hlm. xv) dan sangat penting baginya. Banyak kekuatan Naess—kemauan yang kuat, sikap rendah hati, kepribadian yang menyenangkan, reputasi akademis yang dapat dipercaya, keengganan untuk menghakimi, kecenderungan untuk inklusivitas, dan campuran minat yang aneh—telah mendorong banyak orang lain untuk menghabiskan banyak waktu, bakat, dan energi menggoda keluar nuansa wawasan kreatifnya.


ASAL MULAI GERAKAN EKOLOGI DALAM

Arne Naess menemukan istilah deep ecology dalam artikel berbahasa Inggris tahun 1973 yang terkenal, ''The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary.''

Dengan ''gerakan ekologi'' Naess berarti kosmologi atau pandangan dunia. Naess menyalahkan peradaban Eropa dan Amerika Utara karena arogansi instrumentalisasi sifat non-manusia yang berpusat pada manusia. Dia mengkontraskan pandangan dunia ekologi barunya yang “dalam” (atau radikal) dengan paradigma dominan “dangkal” (atau reformasi). Pandangan dunia yang dangkal, yang dia temukan sebagai tipikal dari lingkungan arus utama, hanyalah perpanjangan dari antroposentrisme Eropa dan Amerika Utara—alasannya untuk melestarikan hutan belantara dan melestarikan keanekaragaman hayati selalu terkait dengan kesejahteraan manusia, dan itu menghargai sifat non-manusia terutama untuk penggunaannya- nilai. Pandangan dunia ekologis yang mendalam, sebaliknya, mempertanyakan asumsi mendasar dari antroposentrisme Eropa dan Amerika Utara—yaitu, menggali secara konseptual lebih dalam (Fox 1995, hlm. 91-94). Dengan demikian, pemikiran ekologis yang mendalam '' bukanlah reformasi kecil dari masyarakat kita saat ini, tetapi reorientasi substansial dari seluruh peradaban kita'' (Naess 1989, hal. 45 [cetak miring dalam aslinya]). Radikalisme ini telah mengilhami para aktivis lingkungan dari banyak kalangan untuk mengangkat Deep Ecology sebagai panji mereka dalam menyerukan tidak kurang dari pengalihan sejarah manusia (Manes 1990).

Naess, seperti Socrates, tidak mengklaim kepastian. Dalam kata dan perbuatan, Naess malah telah mengilhami orang lain untuk terlibat dalam pertanyaan filosofis yang mendalam melalui contoh. Filosofi lingkungan Naess sendiri, ecosophy T (1986, hlm. 26–29)—dinamai untuk gubuk borealnya yang terpencil, Tvergastein (Naess 1989, hlm. 4)—dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi ekosofi pribadi lainnya (filsafat ekologi) .

DEFINISI AKADEMIK EKOLOGI DALAM

Ekologi dalam dalam arti akademis yang sempit bertumpu pada dua dasar: aksiologi (Studi tentang kriteria sistem nilai dalam etika) "egalitarianisme biosentris" dan ontologi (studi tentang keberadaan) holisme metafisik yang menegaskan bahwa biosfer tidak terdiri dari entitas-entitas diskrit melainkan individu-individu yang terkait secara internal yang membentuk keseluruhan ontologis yang tidak terputus. Kedua prinsip tersebut berakar pada epistemologi intuitif yang mengingatkan pada kriteria "jelas dan berbeda" Descartes — begitu Anda memahaminya, kebenarannya tidak diragukan lagi.

Prinsip pertama, egalitarianisme biosentris—dikenal juga dengan frasa lain yang menggabungkan biosentris, biosfer, dan ekologis dengan kesetaraan dan egalitarianisme (Naess 1973, hlm. 95; Devall and Sessions 1985, hlm. 67-69)—menyatakan bahwa biota memiliki hak intrinsik yang sama. nilai; itu menyangkal penilaian diferensial organisme. Dalam kata-kata Naess, ''hak yang sama untuk hidup dan berkembang adalah aksioma nilai yang jelas dan intuitif'' (1973, hlm. 96 [penekanan Naess]). Dalam kata-kata sosiolog Bill Devall, menulis dengan George Sessions, ''semua organisme dan entitas di ekosfer, sebagai bagian dari keseluruhan yang saling terkait, adalah setara dalam nilai intrinsik'' (1985, hlm. 67). Naess dengan cerdik mencegah serangan yang tidak berubah-ubah pada gagasan tentang nilai yang sama dari semua organisme dengan menambahkan kualifikasi '' pada prinsipnya '' karena '' setiap praksis realistis memerlukan beberapa pembunuhan, eksploitasi, dan penindasan '' (1973, hlm. 95) . Kualifikasi ini tidak, bagaimanapun, mencegah kritik terhadap egalitarianisme biosentris.

Menghargai manusia atas bentuk kehidupan lain dalam teleologi dari rantai besar makhluk (Lovejoy 1936) telah menjadi fitur kunci dari tradisi intelektual Eropa-Amerika Utara—dan, yang mengecewakan para ahli ekologi dalam, juga merupakan fitur beberapa varian etika lingkungan yang menonjol (Birch dan Cobb 1981; Bookchin 1982; Rolston 1988). Egalitarianisme biosentris bertujuan langsung pada target ini. Dengan menolak pertimbangan moral khusus manusia, Deep Ecology tidak hanya nonantroposentris, tetapi juga anti-antroposentris (Watson 1983).

Sessions dengan tegas menolak setiap aksiologi diferensial dengan alasan bahwa hierarki nilai meletakkan dasar bagi klaim superioritas moral. Mengutip John Rodman (1977, hlm. 94), Sessions memperingatkan bahwa aksiologi komparatif apa pun hanya mengembalikan '' urutan kekuasaan di lumbung moral ini'' (Sessions 1985, p. 230). Pada konferensi 1979 yang ditujukan untuk mengingatkan para filsuf tentang tujuan disiplin mereka (yaitu, pertanyaan mendalam), Sessions memperingatkan para ahli etika lingkungan tentang godaan untuk mencari metafisika berdasarkan intensitas perasaan. "Intinya bukanlah apakah manusia pada kenyataannya memang memiliki tingkat perasaan terbesar di planet ini (walaupun lumba-lumba dan paus mungkin memberikan kebalikannya), ahli ekologi mendalam berpendapat bahwa tingkat perasaan tidak relevan dalam hal bagaimana manusia berhubungan dengan yang lain. Alam'' (Sesi 1985, hal. 18).

Prinsip kedua adalah holisme metafisik. Seseorang dapat memahami keterkaitan ontologis melalui pencerahan atau '' realisasi diri '' (Devall and Sessions 1985, hlm. 67-69; Naess 1987). Seperti yang dikatakan Fox, ''Ini adalah gagasan bahwa kita tidak dapat membuat pemisahan ontologis yang tegas dalam kenyataan antara alam manusia dan nonmanusia. . . . [Sejauh] kita memahami batas-batas, kita gagal mencapai kesadaran ekologis yang dalam” (Fox 1984, hlm. 196). Melalui kebangkitan ini, batas-batas ontologis diri meluas ke luar, memasukkan semakin banyak dunia kehidupan ke dalam diri. Wawasan ini mengungkapkan bahwa pada kenyataannya hanya ada satu Diri besar, dunia kehidupan, sebuah gagasan yang dikembangkan dalam artikel ''Dunia Adalah Tubuh Anda'' (Watts 1966).

Metode realisasi diri ini adalah identifikasi: Dengan mengenali nilai intrinsik makhluk hidup lain, seseorang mengakui solidaritas semua bentuk kehidupan. Naess, saat melihat seekor kutu mengorbankan dirinya sendiri dalam penangas asam di bawah mikroskop, berempati dengan kutu yang menderita, diidentifikasi dengannya, dan dengan demikian merasa sangat terhubung dengan seluruh dunia kehidupan (1987, hlm. 36).

Begitu batas ontologis antara makhluk hidup diakui sebagai ilusi, orang menyadari bahwa kepentingan biosfer adalah miliknya sendiri. Devall dan Sessions menegaskan bahwa '' jika kita merusak alam, maka kita merugikan diri kita sendiri. Tidak ada batasan dan semuanya saling terkait'' (1985, hlm. 68). Dalam kata-kata aktivis lingkungan John Seed, pernyataan ''Saya melindungi hutan hujan'' berkembang menjadi '''Saya bagian dari hutan hujan yang melindungi diri saya sendiri.' Saya adalah bagian dari hutan hujan yang baru-baru ini muncul ke dalam pemikiran. . . . . [Perubahan] adalah perubahan spiritual, berpikir seperti gunung, kadang-kadang disebut sebagai 'Ekologi Dalam'' (Devall and Sessions 1985, hlm. 199). Karena hutan hujan adalah bagian dari aktivis Benih, ia secara inheren berkewajiban untuk menjaga kesejahteraannya. Kesejahteraan dan kebutuhan hutan hujan tidak dapat dibedakan dari Seed's.

Naess dan Sessions dengan tegas menekankan semangat fenomenologis dari deep ecology dan dikta yang diremehkan; realisasi psikologis holisme metafisik membuat etika berlebihan. Seperti yang dikatakan Naess, ''Saya tidak terlalu tertarik pada etika atau moral. Saya tertarik pada bagaimana kita mengalami dunia. . . . '' (Fox 1995, hal. 219). Dalam kata-kata Sesi, ''Pencarian . . . bukan untuk etika lingkungan tetapi untuk kesadaran ekologis'' (Fox 1995, hlm. 225).

PLATFORM DELAPAN TITIK

Tumbuh dari pengetahuan tentang kandungan konkret alam adalah pengakuan akan kebutuhan akan beberapa jenis tindakan politik. Untuk tujuan ini Naess and Sessions menyusun program delapan poin yang sering dikutip (yang mereka buat saat berkemah di Death Valley pada tahun 1984) Misalnya (Naess 1986, hlm. 24), dalam diagram Buddhis, filosofis sekuler, dan Prinsip pertama Kristen (payudara) bertemu di platform delapan titik (pinggang), yang kemudian membenarkan serangkaian aktivisme (rok [lihat Gambar 1]). Metafisika Buddhis mungkin mengalir melalui pinggang prinsip-prinsip ekologi yang dalam yang menyerukan tindakan lingkungan untuk mengurangi konsumsi; metafisika sekuler mungkin mengalir melalui pinggang Deep Ecology yang menyerukan tindakan untuk mengurangi pertumbuhan populasi manusia; atau metafisika Kristen mungkin mengalir melalui pinggang Deep Ecology untuk menyerukan tindakan untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Baik platform delapan titik maupun diagram apron menyiratkan bahwa Ekologi Dalam di atas segalanya adalah sebuah ontologi dan secara kebetulan merupakan sebuah etika.

KRITIK EKOLOGI DALAM

Prinsip-prinsip ekologi-dalam dari egalitarianisme biosentris dan holisme metafisik telah menimbulkan kritik yang kuat. Beberapa perdebatan paling menarik berpusat pada status normatif Ekologi Dalam. Naess berpendapat bahwa Ekologi Dalam pada dasarnya bersifat deskriptif. Untuk Naess empirisme tak tanggung-tanggung atau '' ekofenomenologi '' (Brown dan Toadvine 2003) mempromosikan pengalaman langsung kualitas alam-''konten isinya'' (Naess 1985). Ekologi Dalam, menurutnya, hanyalah sebuah enumerasi prinsip-prinsip umum yang memerintahkan persetujuan orang-orang yang terbuka untuk pemahaman langsung tentang alam.

Para sarjana telah menemukan penyangkalan bahwa Ekologi Dalam bukanlah sistem normatif—dan tidak boleh dinilai demikian—tidak jujur. Mereka telah memperlakukan Deep Ecology sebagai objek yang sah dari analisis filsafat moral. Beberapa orang menganggap Ekologi Dalam sebagai egalitarianisme aksiologis yang keras yang tidak berguna dalam mengadili kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Jika semua organisme memiliki nilai yang sama, maka tidak ada dasar untuk membuat resep karena jenis perbedaan nilai yang diperlukan untuk mengevaluasi situasi moral etika lingkungan sengaja didiskualifikasi. Prinsip egalitarianisme biosentris, dalam pandangan ini, menjadikan Deep Ecology impoten sebagai teori etika. Etika lingkungan didasarkan pada kemungkinan aksiologi nonegalitarian. Dalam kata-kata filsuf Amerika Bryan Norton, ''Rusa ke-120.000 tidak dapat diperlakukan sama dengan salah satu condor California terakhir—tidak, setidaknya, dengan etika lingkungan yang masuk akal'' (1991, hlm. 224). Baird Callicott telah menduga bahwa etika lingkungan harus secara nyata tidak ''menyesuaikan nilai moral yang sama untuk masing-masing dan setiap anggota komunitas biotik'' (1980, hal. 327). Oleh karena itu, para sarjana ini berpendapat bahwa egalitarianisme biosentris harus dihapuskan (Sylvan 1985).

Dalam nada yang sama, Fox berpendapat bahwa aksiologi perataan Ekologi Dalam ortodoks harus ditinggalkan. Jika semua organisme benar-benar memiliki nilai intrinsik yang sama, doktriner ekologi dalam mungkin juga memakan daging sapi muda seperti halnya sayuran (Fox 1984). Kenyataannya, Fox meramalkan, ahli ekologi dalam mungkin cenderung menjadi vegetarian, karena—dalam kata-kata Alan Watts—“sapi berteriak lebih keras daripada wortel” (Fox 1984, hlm. 198). Ekologi Dalam Ortodoks, menurut Fox,

merugikan dirinya sendiri dengan menggunakan definisi antroposentrisme yang terlalu eksklusif sehingga mengutuk kurang lebih teori nilai apa pun yang mencoba memandu '' praksis realistis. . . . Kecuali jika ahli ekologi dalam menerima tantangan ini dan menggunakan definisi antroposentrisme yang dapat diterapkan, mereka mungkin dikenal sebagai pendukung "Etika Procrustean" karena mereka berusaha menyesuaikan semua organisme dengan dimensi nilai intrinsik yang sama. (Fox 1984, hlm. 198–99).

Tidak ingin dicap sebagai ahli etika procrustean, Fox secara persuasif berpendapat untuk posisi yang meninggalkan egalitarianisme biosentris dan sebaliknya menegaskan bahwa semua biota memiliki nilai intrinsik tetapi tidak sama dalam nilai intrinsik karena ''kekayaan pengalaman'' berbeda (Fox 1984 , hal.198). Pada titik ini Fox menyelaraskan dirinya dengan etika lingkungan yang diilhami Whiteheadian berdasarkan intensitas perasaan (Ferre´ 1994) yang ditentang dengan keras oleh Sessions.

Untuk menandai perbedaan antara perumusan ulang pemikiran ekologi mendalamnya yang canggih dari Ekologi Dalam ortodoks, Fox mengubah teorinya ekologi transpersonal (1995). Fox telah bergerak melampaui Deep Ecology dan telah mengembangkan pendekatan yang lebih terintegrasi yang mencakup etika antarmanusia, etika lingkungan alam, dan etika lingkungan buatan manusia (Fox 2006). Sebaliknya, Sessions telah menegaskan kembali pentingnya realisme ekologi deep ecology sebagai lawan dari konstruktivisme sosial (2006) sebagai landasan filosofis untuk ''environmentalisme baru abad kedua puluh satu'' (1995).

Naess dengan gigih menolak gradasi atau diferensiasi nilai intrinsik di antara organisme sehubungan dengan kritik semacam itu. Menanggapi Fox, Naess menulis bahwa beberapa nilai intrinsik mungkin berbeda, tetapi bukan jenis yang dia bicarakan. Dia dan Fox, kata Naess, ''mungkin tidak berbicara tentang pandangan intrinsik yang sama'' (Naess 1984, hlm. 202). Naess telah menegaskan kembali intuisinya bahwa ''makhluk hidup memiliki hak, atau nilai intrinsik atau inheren, atau nilai dalam diri mereka, yang sama untuk mereka semua'' (Naess 1984, hlm. 202). Seperti yang diakui Naess sejak awal (1973), realitas biosfer yang kejam memerlukan beberapa bentuk pembunuhan, eksploitasi, dan penindasan makhluk hidup lain; tujuannya adalah untuk berbuat lebih baik daripada merugikan, untuk menghormati secara setara hak setiap bentuk kehidupan untuk berkembang (Naess 1984). Namun demikian, beberapa filsuf telah menemukan pedoman seperti itu pada dasarnya hampa, seperti bersumpah jujur ​​sampai berbohong dibenarkan (Sylvan 1985a), sehingga merusak fondasi prinsip itu sendiri. Jika ada praktik realistis yang berurusan dengan beberapa situasi di mana biota dapat dihargai secara setara, maka prinsipnya kosong.

Menurut beberapa kritikus, ada ketegangan struktural yang tak terpecahkan antara egalitarianisme biosentris dan holisme metafisik dalam sistem nilai ekologis (Keller 1997). Mereka berargumen bahwa, mengingat fungsi nyata dari sistem alam yang hidup, tidak mungkin bahkan mendekati untuk menegaskan baik kemampuan semua individu untuk berkembang hingga usia tua maupun integritas dan stabilitas ekosistem. Perlunya memusnahkan hewan berkuku seperti kambing dan babi demi kesehatan ekosistem pulau tropis yang rapuh hanyalah salah satu contohnya. Oleh karena itu, memperhatikan kesehatan seluruh ekosistem mungkin memerlukan perlakuan yang berbeda terhadap individu, karena individu dari spesies yang berbeda memiliki utilitas (atau disutilitas) yang tidak sama untuk keseluruhan; jika itu masalahnya, maka dilihat dari sudut pandang keseluruhan ekosistem, egalitarianisme biosentris dan holisme metafisika mungkin saling eksklusif dan tidak konsisten satu sama lain sejauh setidaknya satu harus ditinggalkan—atau mungkin keduanya (Keller 1997).

Pada tahun 1984 Naess and Sessions menyusun pernyataan delapan poin sebagai platform, untuk ekologi dalam. Pernyataan itu ditawarkan bukan sebagai manifesto yang kaku atau dogmatis, melainkan sebagai seperangkat prinsip yang cukup umum yang dapat membantu orang mengartikulasikan posisi ekologis mendalam mereka sendiri. Itu juga dimaksudkan untuk menjadi panduan menuju pembentukan gerakan ekologi dalam.

DELAPAN PRINSIP EKOLOGI DALAM

1. The well-being and flourishing of human and non- human life on Earth have value in themselves (synonyms: intrinsic value, inherent worth). These values are independent of the usefulness of the non-human world for human purposes.

Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan non-manusia di Bumi memiliki nilai dalam dirinya sendiri (sinonim: nilai intrinsik, nilai yang melekat). Nilai-nilai ini tidak tergantung pada kegunaan dunia non-manusia untuk tujuan manusia.

2. Richness and diversity of life forms contribute to the realization of these values and are also values in themselves.

Kekayaan dan keragaman bentuk kehidupan berkontribusi pada terwujudnya nilai-nilai tersebut dan juga nilai-nilai itu sendiri.

3. Humans have no right to reduce this richness and diversity except to satisfy vital needs.

Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keragaman ini kecuali untuk memenuhi kebutuhan vital.

The flourishing of human life and cultures is compatible with a substantially smaller human population. The flourishing of non-human life requires a smaller human population.

4. Berkembangnya kehidupan dan budaya manusia sejalan dengan populasi manusia yang jauh lebih kecil. Berkembangnya kehidupan non-manusia membutuhkan populasi manusia yang lebih kecil.

5. Present human interference with the non-human world is excessive, and the situation is rapidly worsening.

Campur tangan manusia saat ini dengan dunia non-manusia berlebihan, dan situasinya memburuk dengan cepat.

6. Policies must therefore be changed. These policies affect basic economic, technological, and ideological structures. The resulting state of affairs will be deeply different from the present.

Oleh karena itu, kebijakan harus diubah. Kebijakan ini mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi dasar. Keadaan yang dihasilkan akan sangat berbeda dari sekarang.

7. The ideological change will be mainly that of appreciating life quality (dwelling in situations of inherent value) rather than adhering to an increasingly higher standard of living. There will be a profound awareness of the difference between bigness and greatness.

Perubahan ideologi terutama akan menghargai kualitas hidup (berdiam dalam situasi nilai yang melekat) daripada mengikuti standar hidup yang semakin tinggi. Akan ada kesadaran mendalam tentang perbedaan antara kebesaran dan kehebatan.

8. Those who subscribe to the foregoing points have an obligation directly or indirectly to try to implement the necessary changes (Naess 1986, p. 14).

Mereka yang menganut poin-poin di atas memiliki kewajiban secara langsung atau tidak langsung untuk mencoba menerapkan perubahan yang diperlukan (Naess 1986, hlm. 14).


Arus dalam gerakan sosial

Sejak awal, deep ecology telah memiliki serangkaian pengikut yang berasal dari kelompok yang berbeda seperti feminis (atau "ekofeminis"), "ekolog sosial", pasifis, mistikus, dan postmodernis. Masing-masing kelompok yang beragam itu memiliki perspektifnya sendiri tentang seperti apa seharusnya deep ecology dan ke mana arahnya.

Para ekofeminis, misalnya, mengklaim bahwa androsentrisme (keberpusatan pada laki-laki), daripada antroposentrisme, adalah penyebab sebenarnya dari degradasi alam. Mereka mempertahankan bahwa androsentrisme seperti yang terlihat dalam masyarakat patriarki pemegang kekuasaan tradisional bertanggung jawab atas upaya untuk mendominasi alam. Sama seperti laki-laki yang selalu berusaha untuk mendominasi perempuan, demikian pula mereka mencoba membuat alam tunduk dan tunduk pada kehendaknya..

Sebaliknya, ahli ekologi sosial berpendapat bahwa masalah lingkungan disebabkan oleh hierarki otoriter yang juga bertanggung jawab atas penyakit seperti rasisme, seksisme, dan kelasisme. Mereka berpendapat bahwa masalah seperti pemanasan global atau kepunahan spesies disebabkan dengan cara yang sama seperti masalah sosial seperti kemiskinan dan kejahatan dan semua dapat dikaitkan dengan struktur sosial di mana hanya beberapa yang menikmati kekuatan nyata, sementara mayoritas tetap tidak berdaya. Mereka mengklaim bahwa degradasi lingkungan akan terus berlanjut sampai kondisi sosial seperti itu diatasi.

Kritik

Beberapa kritikus ekologi dalam mengklaim bahwa gerakan itu didasarkan pada mistisisme dan tampaknya lebih merupakan agama daripada pendekatan rasional terhadap masalah lingkungan. Para kritikus itu menunjuk pada pembentukan Gereja Ekologi Dalam (the Church of Deep Ecology) di Minnesota pada tahun 1991 sebagai contoh bagaimana gerakan itu telah beralih ke pendekatan spiritual dan mistik terhadap alam daripada cara untuk memecahkan masalah lingkungan.

Ekofeminis dan ahli ekologi sosial, kelompok yang memiliki banyak kesamaan dengan ahli ekologi dalam, juga menemukan kesalahan pada gerakan sosial. Beberapa praktisi ekofeminisme dan ekologi sosial menuduh deep ecologists memiliki spiritualitas yang tidak autentik dan dangkal serta tidak cukup menghargai isu gender, kelas, dan ras.


Sumber :

https://www.britannica.com/topic/deep-ecology

Encyclopedia-of-Environmental-Ethics-and-Philosophy-2 DEEP ECOLOGY

Friday, 2 July 2021

Green Building (Bangunan Hijau Ramah Lingkungan); Perubahan Iklim; dan Paris Agreement

Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang ke 21 di Paris tahun 2015 atau COP21/CMP11 UNFCCC, diselenggarakan tanggal 30 November-12 Desember 2015. Paris Climate Change Conference melibatkan 195 negara peserta, lebih dari 19.000 peserta pemerintah (termasuk 150 kepala negara), lebih dari 6000 perwakilan LSM dan bisnis, termasuk banyak CEO, dan sekitar 2800 anggota pers.

COP 21 juga menghasilkan kesepakatan baru yang disebut Paris Agreement, atau Persetujuan Paris, yang salah satunya menghasilkan kesepakatan mengenai NDC yang mengatur dan memproyeksikan potensi penurunan emisi GRK dilakukan oleh para Negara Pihak dalam kerangka waktu pasca-2020. 

Perjanjian Paris disebut bersejarah karena ini adalah pertama kalinya bagi negara maju dan berkembang, secara bersama-sama berkomitmen menjaga kenaikan suhu bumi. Dengan kesepakatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka untuk mencapai tujuan untuk menjaga ambang batas kenaikan temperature di bawah 2 derajat celcius (2C) di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan temperatur ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi. Berbeda dengan protokol kyoto yang mengikat, maka Paris Agreement bersifat tidak mengikat agar tidak bernasib sama seperti Protokol Kyoto yang ditentang oleh beberapa negara maju, seperti Australia dan Amerika Serikat. 

Salah satu hasil utamanya adalah keputusan Decision 1/ CP.21 on Adoption of the Paris Agreement sebagai bentuk kesetaraan dan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan sesuai kapabilitas Negara Pihak, dengan mempertimbangkan kondisi nasional yang berbeda-beda. Inilah bentuk mekanisme tanggung jawab yang dikenal dengan istilah CRBD (common responsibilities but differentiate), yang istilah sebelumnya adalah “common but differentiated responsibilities”. 

Indonesia telah menandatangani perjanjian tersebut dan meratifikasinya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), dan telah diundangkan pada tanggal 25 Oktober 2016. 

Pada saat yang hampir bersamaan, Indonesia menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) ke Sekretariat UNFCCC, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dan menggantikan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang disampaikan Indonesia sebelum COP-21 Paris. Sebagai bagian dari komitmen pre-2020, Indonesia telah membuat upaya penurunan emisi GRK secara sukarela sejak tahun dengan menuangkan target penurunan emisi GRK sebesar 26% dari BaU di tahun 2020, dan sampai dengan 41% apabila terdapat dukungan internasional.

Sektor konstruksi dan operasional gedung pada tahun 2019 menyumbang 35%, yang merupakan bagian terbesar dari total konsumsi energi global serta menghasilkan sebanyak 38% emisi CO2 yang terkait dari penggunaan energi listriknya.

Sektor bangunan menawarkan yang potensi paling hemat biaya mitigasi dari setiap sektor industri (IPCC AR4,2014) dan berbagai manfaat tambahan yang terdokumentasi dengan baik termasuk penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas udara dalam dan luar ruangan, peningkatan ketahanan iklim dan kapasitas adaptif (IEA, 2014; IPCC AR5, 2014). Sayangnya, hanya seratus tiga puluh enam (136) pihak yang memiliki tindakan yang direferensikan yang diperlukan oleh bangunan dan/atau sektor konstruksi di NDC mereka. Sangat sedikit tindakan pada sektor bangunan yang terintegrasi dalam NDC yang menentukan mitigasi target, dan jika diterapkan sepenuhnya, saat ini hanya mencakup sekitar 60% dari emisi GRK terkait bangunan (IEA/UNEP,2018).