Amdal atau yang diluar negeri dikenal dengan istilah Environmental impact assessment (EIA) memiliki beragam definisi, antara lain :
Munn (1979), “to identify and predict the impact on the environment and on man’s health and well-being of legislative proposals, policies, programmes, projects and operational procedures, and to interpret and communicate information about the impacts”.
UK DoE (1989) definisi operasional : “The term ‘environmental assessment’ describes a technique and a process by which information about the environmental effects of a project is collected, both by the developer and from other sources, and taken into account by the planning authority in forming their judgements on whether the development should go ahead.”
The UNECE (1991) secara singkat mendefinisikan: “an assessment of the impact of a planned activity on the environment”.
Pada pokoknya, AMDAL adalah sebuah proses, proses sistematis yang mengkaji potensi dampak lingkungan dari kegiatan pembangunan, sebelum dilaksanakan. Penekanannya, dibandingkan dengan banyak mekanisme lain untuk perlindungan lingkungan, adalah pada pencegahan.
Tentu saja, para perencana secara tradisional telah menilai dampak pembangunan terhadap lingkungan, tetapi tidak selalu dengan cara yang sistematis, holistik dan multidisiplin seperti yang disyaratkan oleh AMDAL.
Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (P4LH) merupakan pelaksanaan amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang telah merubah, menambah serta mencabut beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. P4LH telah merubah berbagai ketentuan yang sebelumnya diatur dalam 7 Peraturan Pemerintah, yang terdiri dari 13 BAB, 534 Pasal dan 15 Lampiran.
Beberapa ketentuan yang telah dirubah antara lain tentang: izin lingkungan, komisi penilai Amdal, peran serta masyarakat dalam penyusunan dokumen Amdal dan ketentuan penjatuhan sanksi. Menurut KLHK, pengintegrasian izin lingkungan (peniadaan) ke dalam izin usaha pada prinsipnya mengikuti ketentuan dari Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997, yang mengintegrasikan kewajiban dokumen lingkungan (Amdal/UKL-UPL) dalam izin usaha.
Salah satu hal yang menarik dari ketentuan P4LH adalah ketentuan Persetujuan Pemerintah. Kehadiran persetujuan pemerintah seolah-olah menjadi "pemutih" atau langkah peniadaan kewajiban Amdal/UKL-UPL bagi kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. KLHK beralasan, bahwa kegiatan pemerintah bukanlah pelaku usaha, sehingga tidak memiliki NIB. Banyak pertanyaan yang patut dikaji lebih mendalam. Salah satunya adalah, bagaimana bentuk "Persetujuan Pemerintah" terhadap kegiatan pemerintah yang sudah berjalan... Inilah yang memberikan kesimpulan, bahwa Persetujuan Pemerintah merupakan pemutihan dokumen lingkungan terhadap kegiatan pemerintah. Teladan yang baik...hihihi....
Pada prinsipnya pemerintah melakukan suatu kegiatan, yang wajib memiliki dokumen lingkungan sebagai langkah untuk meminimalisir dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pembangunan bangunan gedung, jalan kereta, jalan, waduk, rumah sakit, normalisasi sungai, penghijauan, dan lain sebagainya. Kembali mengingatkan, sesungguhnya banyak kasus terkait sikap abai pemerintah terhadap kewajiban lingkungan. Hal tersebut terlihat dalam kasus penetapan ibukota baru, pembangunan bandara di yogyakarta, dan pembangunan rel kereta untuk jalur Jakarta-Bandung.
Berita di bawah ini dapat menggambarkan sikap pemerintah, terkait kewajiban dokumen AMDAL.
BANDARA KULON PROGO : PENGURUSAN AMDAL TIDAK BERMASALAH
Selasa, 08 November 2016
YOGYAKARTA, KOMPAS — Badan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta menilai, prosedur pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan pembangunan bandar udara di Kabupaten Kulon Progo tidak bermasalah. Pengurusan amdal bisa dilakukan sesudah pembebasan lahan seperti yang terjadi pada bandara Kulon Progo. "Saat ini, kan, masih tahap perencanaan pembangunan bandara sehingga penyusunan amdal itu tidak masalah," kata Kepala BLH DIY Joko Wuryantoro seusai tatap muka dengan warga yang keberatan dengan pembangunan bandara Kulon Progo, Senin (7/11), di Yogyakarta. Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan warga penolak bandara yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) mempertanyakan rencana pengurusan amdal bandara Kulon Progo. Mereka menilai pengurusan amdal oleh PT Angkasa Pura I menyalahi aturan karena baru diurus sesudah pembebasan lahan berjalan (Kompas,5/11/2016). Joko menyatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan memang mengharuskan amdal disusun dalam tahap perencanaan suatu usaha atau kegiatan. Namun, hal itu tak berarti amdal harus disusun sebelum proses pembebasan lahan suatu proyek. Senin siang, ratusan warga yang tergabung dalam WTT mendatangi Kantor BLH DIY untuk berunjuk rasa. Mereka mempertanyakan proses pengurusan amdal bandara Kulon Progo. Didampingi aktivis LBH Yogyakarta, perwakilan WTT juga beraudiensi dengan BLH DIY untuk menyampaikan aspirasi mengenai pengurusan amdal bandara Kulon Progo. "Ada beberapa hal yang kami sampaikan ke BLH DIY tentang rencana studi amdal bandara Kulon Progo, salah satunya tentang prosedurnya yang kami nilai tak sesuai aturan," ujar Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta Yogi Zulfadhli. Kepala Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono meyakini, bandara baru itu akan mendorong perekonomian daerah. "Oh, jelas akan meningkatkan perekonomian di sana. Akan muncul efek berganda ekonomi dari pembangunan itu. Bagi pihak yang menolak, tak sadar saja betapa besar potensi pertumbuhan ekonomi yang akan ditimbulkan," ujarnya. (HRS/BKY)....................SUMBER, KOMPAS, SELASA 8 NOPEMBER 2016, HALAMAN 23
Pemerintah seyogyanya memberikan teladan kepada masyarakat, dengan menunjukan sikap dan perilaku yang terpuji. Tunjukanlah jika memang benar adanya, Dokumen lingkungan seperti Amdal atau UKL-UPL adalah dokumen yang penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
No comments:
Post a Comment