Pada akhir tahun 2017, Pemerintah kembali meluncurkan Program baru untuk pengendalian pencemaran air sungai, yaitu Program Citarum Harum.
Harapannya adalah, untuk menjadikan sungai citarum kembali bersih dan harum... wkwkwk.
Namun, saya akan meyakinkan anda, bahwa harapan citarum harum hanyalah menjadi sebuah angan-angan belaka.
Pertama : bahwa sejak tahun 1980-an, melalui Program Kali Bersih (Prokasih) pemerintahan di era Soeharto telah mencoba mengatasi permasalahan pencemaran sungai. Namun hasilnya sampai saat ini dapat terlihat. Hampir seluruh sungai di indonesia dalam kondisi tercemar.
Kedua : Program Citarum Bestari yang memberikan harapan selangit, dengan menjadikan air sungai citarum dapat diminum pada tahun 2018. Juga berakhir dengan.... begitulah....
Seriusan...
Ketiga : Apa dan siapakah yang menyebabkan sungai citarum tercemar ?
Sampai saat ini, tidak ada kesatuan data, yang dapat menjawab pertanyaan diatas.
Lantas bagaimanakah solusinya, apabila kita tidak memiliki satu kesatuan pemahaman terhadap pertanyaan penyebab tercemarnya sungai citarum.
Solusinya serahkan saja ke pemerintah. Meskipun tanpa adanya kesepahaman penyebab tercemarnya sungai citarum, mereka dapat memberikan janji-janji palsu sesuka hatinya.
Catatan pengakan hukum Citarum :
Melihat berbagai upaya penindakan oleh aparat TNI terhadap perusahaan yang DIDUGA mencemari sungai citarum di channel Youtube, sungguh sangat menyedihkan. Tuduhan aparat TNI tersebut sungguh tidak berdasar, dan menegaskan, bahwa kita ini hidup bukannya di Negara Hukum. Tapi di Negara Penegak Hukum.
Penulis sangat ingin sekali mengetahui, apakah Markas TNI di seluruh Indonesia beserta Perumahan TNI telah memiliki fasilitas pengolahan air limbah domestik?. Atau pertanyaan lebih "hukum"nya lagi adalah, apakah bangunan kantor milik TNI telah memiliki dokumen lingkungan, baik Amdal atau UKL-UPL?.. Sehingga mereka dengan gagahnya mempertanyakan ketidakmampuan perusahaan untuk mengelola limbah?.
Kutipan terjemahan sebuah Buku tentang Hukum Lingkungan :
"Sebelum dengan penuh semangat mengeluarkan denda dan pelanggaran, kita harus mempertimbangkan kerumitan mematuhi ratusan halaman peraturan lingkungan federal dan negara bagian. Bahkan mantan administrator EPA, Carol Browner, telah menyebut skema pengaturan lingkungan saat ini “sistem hukum dan peraturan yang rumit dan sulit dan meningkatkan konflik dan kemacetan.” Pada tahun 1993 National Law Journal melaporkan bahwa dua pertiga dari pengacara korporat yang disurvei menunjukkan bahwa mereka perusahaan telah melanggar beberapa undang-undang lingkungan dalam satu tahun terakhir karena ketidakpastian dan kompleksitas, dan 70% percaya bahwa tidak mungkin untuk sepenuhnya mematuhi semua undang-undang lingkungan negara bagian dan federal ”(Volokh 1996).
Indikasi lain dari kompleksitas hukum lingkungan adalah pernyataan dari hakim tentang Konservasi Sumberdaya dan Pemulihan UU: "Orang-orang yang menulis ini harus masuk penjara" (Volokh 1996).
Kadang-kadang izin yang diamanatkan oleh undang-undang bahkan lebih kompleks daripada hukum itu sendiri. Sebagai contoh, izin Sistem Eliminasi Pembuangan Polutan Nasional yang disyaratkan oleh Undang-Undang Air Bersih seringkali berjalan hingga 100 halaman atau lebih, termasuk batasan efluen, metode pengambilan sampel, persyaratan pelaporan, dan pencatatan. Tidak mudah bagi industri untuk mematuhi peraturan yang sedemikian rumit, bahkan ketika berjuang untuk kewarganegaraan perusahaan yang baik. Dalam karir profesional saya, saya telah menghabiskan ratusan jam membaca peraturan berulang kali mencoba memahami apa artinya. Permintaan umum oleh pabrik-pabrik yang saya dukung adalah menafsirkan peraturan dan memasukkannya ke dalam Bahasa Inggris sehingga mereka dapat mengerti dan mematuhi.
Karena itu, kebijakan lingkungan yang efektif harus memperhitungkan sulitnya kepatuhan. Mengeluarkan denda dan hukuman karena tidak mematuhi peraturan yang sulit dipahami akan mengurangi tujuan meningkatkan kualitas lingkungan. Contoh ekstrem adalah kasus perusahaan kimia besar di Texas yang diancam dengan tuntutan hukum yang dapat mengakibatkan denda jutaan dolar karena ketidaksetujuan EPA dengan negara bagian Texas tentang interpretasi persyaratan polusi udara. "
Artinya, jikalau aparat TNI atau LSM atau Akademisi Universitas hendak mempertanyakan ketaatan atau kepatuhan hukum perusahaan, maka penulis hanya ingin memberikan catatan :
Apakah anda mengetahui peraturan lingkungan yang terkait dengan anda atau institusi anda? Misalnya,
Apakah Kantor atau sekretariat LSM atau Universitas telah mematuhi hukum lingkungan?, kepatuhan terhadap pemilahan sampah sebanyak lima jenis sampah, atau kepemilikan dokumen lingkungan Amdal, UKL-UPL atau SPPL untuk kantor sekretariat LSM?. Apakah anda pernah melihat di universitas anda telah memiliki fasilitas pengolahan sampah? atau memiliki pengolahan limbah domestik? melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor miliki kantor atau dinas anda? dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saya pribadi belum pernah melihat Badan Lingkungan Hidup di seluruh indonesia telah memiliki Fasiltas pemilahan 5 jenis sampah, apalagi melihat upaya pengolahan sampah secara mandiri sebagaimana amanat peraturan perundangan yang berlaku.
Belum lagi kalau kita berbicara secara personal/ individual, apakah kita tau bagaimanakah pengolahan Olie Bekas dari kendaraan bermotor kita? bagaimanakah membuang batu baterai bekas kita, bekas kemasan tinta catridge dari printer kita? atau kemasan bekas detergen atau pembasmi hama yang ada di rumah kita... Itu hukum bukan?
Intinya, kalau belum pernah mencoba taat hukum, jangan seenaknya menegakan hukum...
Apakah aparat TNI telah memiliki kapasitas penegakan hukum?, sehingga dianggap layak untuk diberikan wewenang dan merasa memiliki kapasitas untuk mendikte perusahaan dalam mengelola lingkungannya. Sudah seperti penyidik saja tingkahnya. Besok-besok mungkin bisa jadi jaksa atau hakim (di yutub banyak nih) sekalian.... wkwkwkwk.
Kutipan terjemahan sebuah Buku tentang Hukum Lingkungan :
"Sebelum dengan penuh semangat mengeluarkan denda dan pelanggaran, kita harus mempertimbangkan kerumitan mematuhi ratusan halaman peraturan lingkungan federal dan negara bagian. Bahkan mantan administrator EPA, Carol Browner, telah menyebut skema pengaturan lingkungan saat ini “sistem hukum dan peraturan yang rumit dan sulit dan meningkatkan konflik dan kemacetan.” Pada tahun 1993 National Law Journal melaporkan bahwa dua pertiga dari pengacara korporat yang disurvei menunjukkan bahwa mereka perusahaan telah melanggar beberapa undang-undang lingkungan dalam satu tahun terakhir karena ketidakpastian dan kompleksitas, dan 70% percaya bahwa tidak mungkin untuk sepenuhnya mematuhi semua undang-undang lingkungan negara bagian dan federal ”(Volokh 1996).
Indikasi lain dari kompleksitas hukum lingkungan adalah pernyataan dari hakim tentang Konservasi Sumberdaya dan Pemulihan UU: "Orang-orang yang menulis ini harus masuk penjara" (Volokh 1996).
Kadang-kadang izin yang diamanatkan oleh undang-undang bahkan lebih kompleks daripada hukum itu sendiri. Sebagai contoh, izin Sistem Eliminasi Pembuangan Polutan Nasional yang disyaratkan oleh Undang-Undang Air Bersih seringkali berjalan hingga 100 halaman atau lebih, termasuk batasan efluen, metode pengambilan sampel, persyaratan pelaporan, dan pencatatan. Tidak mudah bagi industri untuk mematuhi peraturan yang sedemikian rumit, bahkan ketika berjuang untuk kewarganegaraan perusahaan yang baik. Dalam karir profesional saya, saya telah menghabiskan ratusan jam membaca peraturan berulang kali mencoba memahami apa artinya. Permintaan umum oleh pabrik-pabrik yang saya dukung adalah menafsirkan peraturan dan memasukkannya ke dalam Bahasa Inggris sehingga mereka dapat mengerti dan mematuhi.
Karena itu, kebijakan lingkungan yang efektif harus memperhitungkan sulitnya kepatuhan. Mengeluarkan denda dan hukuman karena tidak mematuhi peraturan yang sulit dipahami akan mengurangi tujuan meningkatkan kualitas lingkungan. Contoh ekstrem adalah kasus perusahaan kimia besar di Texas yang diancam dengan tuntutan hukum yang dapat mengakibatkan denda jutaan dolar karena ketidaksetujuan EPA dengan negara bagian Texas tentang interpretasi persyaratan polusi udara. "
Artinya, jikalau aparat TNI atau LSM atau Akademisi Universitas hendak mempertanyakan ketaatan atau kepatuhan hukum perusahaan, maka penulis hanya ingin memberikan catatan :
Apakah anda mengetahui peraturan lingkungan yang terkait dengan anda atau institusi anda? Misalnya,
Apakah Kantor atau sekretariat LSM atau Universitas telah mematuhi hukum lingkungan?, kepatuhan terhadap pemilahan sampah sebanyak lima jenis sampah, atau kepemilikan dokumen lingkungan Amdal, UKL-UPL atau SPPL untuk kantor sekretariat LSM?. Apakah anda pernah melihat di universitas anda telah memiliki fasilitas pengolahan sampah? atau memiliki pengolahan limbah domestik? melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor miliki kantor atau dinas anda? dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saya pribadi belum pernah melihat Badan Lingkungan Hidup di seluruh indonesia telah memiliki Fasiltas pemilahan 5 jenis sampah, apalagi melihat upaya pengolahan sampah secara mandiri sebagaimana amanat peraturan perundangan yang berlaku.
Belum lagi kalau kita berbicara secara personal/ individual, apakah kita tau bagaimanakah pengolahan Olie Bekas dari kendaraan bermotor kita? bagaimanakah membuang batu baterai bekas kita, bekas kemasan tinta catridge dari printer kita? atau kemasan bekas detergen atau pembasmi hama yang ada di rumah kita... Itu hukum bukan?
Intinya, kalau belum pernah mencoba taat hukum, jangan seenaknya menegakan hukum...
Apakah aparat TNI telah memiliki kapasitas penegakan hukum?, sehingga dianggap layak untuk diberikan wewenang dan merasa memiliki kapasitas untuk mendikte perusahaan dalam mengelola lingkungannya. Sudah seperti penyidik saja tingkahnya. Besok-besok mungkin bisa jadi jaksa atau hakim (di yutub banyak nih) sekalian.... wkwkwkwk.
Penulis tidaklah membela perusahaan, apalagi menyatakan bahwa perusahaan bukanlah biang keladi dari rusaknya ekosistem citarum. Namun keadilan harus tetap ditegakkan. Jangan asal menindak, tanpa memiliki dasar hukum yang kuat.
Penulis pernah melihat sebuah publikasi, yang menyatakan bahwa pencemar terbesar sungai citarum adalah berasal dari limbah domestik atau limbah rumah tangga. Umumnya bersumber dari kegiatan, mandi dan mencuci oleh seluruh masyarakat. Bukannya air limbah perusahaan.
Kita sebagai masyarakat juga harus menggunakan panca indra kita. Kemanakah air got mengalir? Bukankah ke sungai!. Siapakah yang bertanggung jawab menyediakan saluran Got tersebut?. Pemerintah. Jadi siapakah pencemar terbesar sungai citarum?. Yah bisa kita jawab sendiri tentunya...
Dengan kata lain, meskipun seluruh industri tidak membuang limbah yang kotor ke sungai, yakinlah pencemaran sungai citarum akan tetap berlangsung.
Lanjutin kapan-kapan deh... wwkwkwk