Sejak tahun 1988 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan perubahan iklim sebagai masalah bersama umat manusia.
Majelis Umum PBB dibantu badan lainnya secara langsung menyusun skema negosiasi perjanjian untuk mengatasi perubahan iklim.
Skema perubahan iklim pertama dihasilkan melalui United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam Konferensi Bumi 1992 di Rio De Janiero (Rio+10). Konferensi Para Pihak (conference of parties/COP) adalah badan pengambilan keputusan tertinggi yang dipercayakan mengorganisasikan pelaksanaan konferensi tahunan UNFCCC.
UNFCCC yang sekarang beranggotakan 197 negara mengembangkan skema kedua, yaitu Protokol Kyoto pada COP 3 tahun 1997 di Jepang. Skema terakhir yang berjalan saat ini adalah Paris Agreement di COP 21 tahun 2015.
Pada pokoknya, tujuan dari UNFCCC adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change-IPCC) ke 4 Tahun 2007 telah menetapkan tingkat pemanasan global maksimal 2° C.
Ambang batas tersebut diyakini para ahli IPCC sebagai batasan adaptasi daya dukung bumi untuk menstabilkan iklim.
Kenaikan suhu global lebih dari 2° diperkirakan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan, baik generasi sekarang maupun akan datang.
Perjanjian Paris menyepakati upaya menurunkan kenaikan suhu pada tingkat yang lebih rendah, hingga 1,5°C setiap tahunnya agar semakin meminimalisir risiko dan dampak perubahan iklim.
Karenanya setiap negara harus bertindak. Seluruh pihak, termasuk komunitas dan orang perorangan sewajarnya turut serta dalam mencegah terjadinya pemanasan global.
Pesimisme Paris Agreement
Perjanjian Paris mempelopori pendekatan bottom-up dalam hukum internasional. Dimana negara diminta berkomitmen secara sukarela menetapkan janji, berupa kontribusi secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC).
Begitu negara melaksanakannya, maka komitmen NDC menjadi mengikat secara hukum. Sehingga negara wajib mematuhi mekanisme pelaporan, verifikasi dan keefektifan dalam pelaksanaan NDC.
Implementasi Perjanjian Paris karenanya bergantung pada respon keseriusan dan strategi jangka panjang suatu negara untuk mengambil tindakan yang dirumuskan dalam NDC.
COP ke-26 UNFCCC yang sedang berlangsung di Glasgow, Inggris merupakan tindak lanjut pemenuhan target pengurangan emisi karbon dunia sebagaimana ditetapkan Perjanjian Paris.
Pada Desember 2020, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan, suhu bumi sudah naik 1,2 derajat celsius dibandingkan era pra-industri. (Kompas, 23 April 2021)
Sehingga COP 26 diyakini sebagai langkah terakhir, untuk memastikan jaminan penurunan kenaikan suhu iklim global. Langkah meniadakan kesenjangan atara komitmen penurunan emisi dan kebutuhan penurunan emisi yang diharapkan.
Laporan UNEP berjudul “Emissions Gap Report 2021” menyebutkan, bahwa NDC yang diperbarui dan janji pengurangan emisi negara untuk tahun 2030 belum mampu memenuhi target pengurangan emisi global pada tahun 2030. Proyeksi pengurangan emisi tahun 2030 diperkirakan hanya sebesar 7,5 per persen. Padahal dibutuhkan 30 persen untuk dapat menekan pemanasan hingga 2°C dan 55 persen diperlukan untuk 1,5 ° C. Jika kondisi tersebut terus berlangsung maka kenaikan suhu mencapai 2,7°C.
Sementara itu, di sisi negara-negara berkembang ada kesulitan meningkatkan kinerja penurunan emisi tanpa bantuan pendanaan iklim. Sedangkan di lain sisi, negara maju belum memenuhi bantuan pendanaan sebesar 100 miliar dollar yang disepakati untuk membantu negara berkembang.
Meskipun Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memperkirakan, peluang keberhasilan COP 26 mencapai skala 6 dari 10 (Kompas, 31 Oktober 2021).
Namun tanpa upaya yang lebih serius dari pemimpin dunia, maka bencana iklim akan semakin menjelang.
Mungkin inilah yang memicu kegeraman aktivis muda asal Swedia, Greta Thunberg, dalam ungkapan, ”how dare You.”, kepada para pemimpin dunia di Sidang Majelis Umum ke-74 PBB Tahun 2019.
Wajarlah sikap pesimis atas hasil dari COP26 semakin tumbuh.
Skema Baru Perjanjian Paris
Pada tahun 2017, walikota Pittsburgh membantah peryataan Presiden Amerika Trump, “I was elected to represent the citizens of Pittsburgh, not Paris,” sebagai alasan penarikan diri AS dari Perjanjian Paris.
Sebaliknya, Walikota menyatakan jika Kota Pittsburg akan berkomitmen mendukung Perjanjian Paris. Setahun setelahnya, 350 daerah di Amerika mengikuti langkah Pittsburgh.
Pihak non-negara (Non state actors) seperti Pittsburgh adalah alternatif atas lemahnya komitmen negara di COP 26.
Mungkin masih banyak komunitas lokal, perempuan, masyarakat adat dan pemerintah daerah/kota yang terlibat dalam upaya mencegah pemanasan global di seluruh dunia.
Misalnya Program Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) di Indonesia. Dimana sepuluh daerah percontohan berkomitmen atas perubahan iklim pada Desember 2020. Kota tersebut adalah Cirebon, Bandar Lampung, Samarinda, Kupang, Banjamarsin, Pangkalpinang, Mataram, Gorontalo, Pekanbaru dan Ternate. Komitmen iklim nantinya dituangkan dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah (RJPMD) Pro-Iklim.
Kemudian ada Lembaga Masyarakat Adat Malamoi di Papua Barat mengambil keputusan untuk mendukung keputusan Bupati Sorong mencabut izin perkebunan kelapa sawit, pada pertengahan oktober lalu.
Presiden Jokowi bahkan menyatakan akan membangun 20.000 kampung iklim (Proklim) pada 2024 akhir Januari lalu, dalam Climate Adaptation Summit 2021.
Langkah non state actor mungkin lebih besar daripada yang dicatat dalam skema implementasi perjanjian Paris oleh suatu Negara.
Karenanya diperlukan mekanisme implementasi Perjanjian Paris baru. Dimana memungkinkan non-state actors untuk berpartisipasi secara lebih aktif.
Sayangnya, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) peran non state actors dalam COP 26 seperti masyarakat adat cenderung diabaikan.
Lazimnya pihak dalam perjanjian Internasional adalah Negara. Perjanjian Paris sesungguhnya meminta negara mengakui partisipasi non-state actors, tetapi tidak memperlakukan sebagai entitas tersendiri yang dapat mengimplementasikan Perjanjian Paris.
Pekerjaan rumahnya adalah, bagaimana memformulasikan mekanisme agar “non-state actors” dapat terintegrasi dalam mekanisme perjanjian internasional, seperti Perjanjian Paris?.
Kecuali alokasi NDC meningkat secara masif, sehingga menutup kesenjangan antara ambisi dan kenyataan, maka peran non state actors harus dipertimbangkan.
No comments:
Post a Comment