Menurut Penjelasan UUPPLH, maka “penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.”
Pemidanaan ultimum remidum diancamkan terhadap tindak pidana lingkungan yang bersifat formil, seperti dilampauinya baku mutu lingkungan hidup (limbah atau emisi).
Sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium dapat diterapkan apabila sanksi administratif (teguran tertulis maupun paksaan pemerintah) telah satu (1) kali dijatuhkan dan tidak dipatuhi; atau (2) jika pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Tujuan penerapan asas ultimum remedium ini untuk menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat umum.
Pengaturannya
Pasal 100 UUPPLH
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Dalam pasal 100 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, penegakan hukum pidana lingkungan menerapkan asas ultimum remedium, dimana mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Pasal tersebut juga telah memberikan kriteria yang lebih jelas kapan premum remedium dikesampingkan dalam penegakan hukum pidana lingkungan.
Sanksi pidana yang berdasarkan asas premium remedium tidak perlu menempuh penegakan hukum administrasi dulu agar dapat ditindaklanjuti.
Penggunaan premum remedium dalam pidana lingkungan erat kaitannya dengan batasan antara hukum pidana dan hukum administrasi.
Contoh pengaturannya :
Pasal 78 "Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana."
Mengingat persoalan lingkungan sudah sedemikian mengkuatirkan, menurut Andi Hamzah ketentuan sanksi pidana terhadap pencemaran lingkungan harus dirubah dari ketentuan yang sifatnya ultimum remidium, yang menganggap bahwa pelanggaran hukum lingkungan belum merupakan persoalan yang serius menjadi premium remidium yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen yang diutamakan dalam menangani tindak perbuatan pencemaran atau perusakan lingkungan. Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan terhadap burung atau binatang yang dilindungi.
No comments:
Post a Comment