Saturday, 26 October 2019

Ketidakadilan Tanggung Jawab Negara : Studi Perbandingan antara Kebijakan RED Uni Eropa dan REDD - (Dalam Kaitannya Dengan Kawasan Hutan Yang Dimiliki oleh Indonesia) - Draft

Perbandingan RED dan REDD
Konsep Payment Ecosystem Service (PES) dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Polemik perkebunan sawit yang mencuat pada awal tahun 2019 masih terus berlangsung sampai akhir tahun 2019. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan RED Uni Eropa yang mengakibatkan bahan bakar dari kelapa sawit "ditolak" karena memanfaatkan lahan hutan perawan atau lahan gambut dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Kebijakan RED (Arahan Energi Terbarukan - Renewable Energy Directive) 
Uni Eropa telah mengadopsi rencana yang mengikat bagi anggotanya untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan melalui Arahan energi terbarukan atau the European Union’s Renewable Energy Directive (RED I) yang baru (Directive 2009/28 / EC), diadopsi pada 23 April 2009. RED I mulai berlaku pada tanggal 25 Juni 2009 dan mandat implementasi oleh Negara Anggota pada 5 Desember 2010.
Kebijakan Uni Eropa tentang Arahan Energi Terbarukan atau RED mengejar tujuan ganda peningkatan keamanan pasokan energi dan berkurangnya Emisi GRK melalui penggantian bahan bakar fosil dengan energi terbarukan.
RED I menetapkan target untuk pemanfaatan energi terbarukan di Eropa, sebanyak 20% pada tahun 2020. Target berlaku untuk energi yang digunakan untuk pembangkit listrik, pemanas dan pendinginan dan transportasi.
Secara khusus Pasal 3.4 RED I menetapkan target wajib baru bagi semua negara anggota untuk memanfaatkan energi dari bahan bakar terbarukan mencapai 10 persen yang dikonsumsi sektor transportasi pada tahun 2020.
Pada 11 Desember 2018 Uni Eropa menerbitkan Directive (EU) 2018/2001 of the European Parliament and of the Council tentang perubahan Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive atau RED II). Melalui RED II, Uni Eropa (UE) memiliki target baru dan mengikat mengenai energi terbarukan untuk tahun 2030 yaitu sekurang-kurangnya 32%.
Kebijakan tersebut membuka peluang dengan meningkatnya permintaan terhadap bahan baku untuk bahan bakar nabati (BBN). Akibatnya tak terelakan, yakni adanya alih fungsi lahan untuk dijadikan lahan perekebunan, sebagai bahan baku BBN. Indonesia misalnya, juga turut mempromosikan penggunaan biodiesel dalam negeri dengan memberikan subsidi terutama karena meningkatnya permintaan untuk mengadakan bahan bakar fosil nasional dan kebutuhan selanjutnya untuk mengimpor minyak dan gas.
Namun yang kemudian menjadi polemik adalah, RED II telah meniadakan BBN berbasis minyak sawit dari penghitungan target Energi Terbarukan Uni Eropa. (Meskipun hal tersebut sama sekali tidak akan membatasi jumlah BBN berbasis minyak sawit yang dapat diproduksi atau diimpor dan dikonsumsi di Uni Eropa.)
Pada pokoknya, Uni Eropa menolak hasil perkebunan kelapa sawit yang berasal dari hutan atau lahan gambut yang mengandung stok karbon tinggi. Dengan kata lain, Indonesia telah mengalami tekanan yang besar untuk memanfaatkan lahannya menjadi perkebunan kelapa sawit karena dianggap meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Kebijakan REDD atau REDD+
REDD + pertama kali dibahas sebagai RED (reducing emissions from deforestation) selama Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties-COP) kesebelas pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (the United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC) pada tahun 2005, dan kemudian diluncurkan sebagai REDD + 1 pada COP UNFCCC ketiga belas. pada tahun 2007. REDD + telah dideskripsikan sebagai “percobaan terbesar di dunia dalam Pembayaran untuk Jasa Ekosistem (Payments for Ecosystem Services-PES), di mana diharapkan transfer keuangan internasional ke tingkat nasional atau sub-nasional (di negara-negara berkembang) diharapkan untuk mendorong perubahan yang mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.
Akronim REDD tetap dipertahankan meskipun kebijakan ini terus berubah, dari RED melalui REDD ke REDD + dan REDD ++ .
REDD adalah sebuah mekanisme pengurangan deforestasi dan pengrusakan hutan dengan maksud mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan tersebut.
Saat ini, emisi dari tata guna lahan menyumbang hampir seperlima (sekitar 6 GT) total emisi dunia, dan hampir seluruhnya terjadi karena deforestasi dan pengrusakan hutan.  Setengah dari emisi ini dihasilkan hanya oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Brazil.  Indonesia menghasilkan emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan dua kali lipat dari Brazil, sehingga deforestasi di Indonesia menyumbang sekitar sepertiga total emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan, atau sekitar tujuh persen total emisi dunia.
Pengenalan kebijakan REDD mengurangi perdagangan global dalam produk pertanian dan memindahkan beberapa negara berkembang ke posisi impor bersih untuk produk pertanian.
Kebijakan REDD yang ketat untuk melindungi hutan dan hutan menyebabkan harga tanah lebih tinggi di semua wilayah. Harga pangan dunia secara keseluruhan sedikit lebih tinggi dengan beberapa peningkatan regional yang signifikan, terutama di Afrika Selatan dan Indonesia, yang mengarah pada pengurangan ketahanan pangan di negara-negara ini.
Komunitas internasional telah mempromosikan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD +), yang dimasukkan ke dalam Perjanjian Paris pada sesi tahunan ke-21 Konferensi Para Pihak (COP 21) pada tahun 2015 yang menggantikan Protokol Kyoto (UNFCCC, 2016 ). Inti dari skema REDD + adalah untuk mengimbangi emisi karbon di negara-negara maju melalui implementasi pembayaran jasa ekosistem (PES) di negara-negara berkembang (Blais-McPherson dan Rudiak-Gould, 2017). Pembayaran semacam itu baik melalui transfer mata uang langsung, penyeimbang karbon, atau kredit yang dapat dijual di pasar karbon. Akibatnya, merancang insentif yang efektif telah menjadi kunci bagi skema REDD + karena REDD + pada dasarnya memberikan penghargaan kepada negara-negara berkembang untuk konservasi hutan dan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (Karsenty dan Ongolo, 2012).
REDD + memberikan peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan manfaat finansial dari cadangan hutannya dan meminimalkan konsekuensi lingkungan dan sosial dari deforestasi skala besar.
Pada tahun 2009 Indonesia dan Norwegia mengakui satu sama lain sebagai mitra potensial REDD +, Indonesia memiliki hutan dan lahan gambut yang luas, dan emisi penggunaan lahan yang tinggi yang ingin dikurangi oleh pemerintahnya, dan Norwegia ingin mendukung REDD + tropis. Mereka menandatangani Letter of Intent pada 26 Mei 2010, dengan Indonesia setuju untuk mencoba reformasi kehutanan dan Norwegia menjanjikan hingga USD 1 miliar untuk memfasilitasi dan menghargai kesuksesan. Letter of Intent membayangkan tiga fase: Fase 1 untuk membangun lembaga dan kapasitas, Fase 2 untuk mengubah pengelolaan dan tata kelola hutan, dan Fase 3 untuk memberikan pengurangan emisi yang terverifikasi. Semua diharapkan kompleks dan menantang, melibatkan banyak pemangku kepentingan dan hubungan, dan ditandai dengan perubahan arah yang lambat dalam jangka waktu yang lama.
Sayangnya, Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD +) telah diperkenalkan di lebih dari 65 negara (Program UN-REDD 2018), masa depannya masih terdapat banyak ketidakpastian.
Dengan wilayah hutan tropis terbesar ketiga, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia pada tahun 2013 (Margono dkk. 2014) dan dikenal dengan konteks tata kelola hutannya yang rumit (Contreras-Hermosilla dkk. 2005; Indrarto dkk. 2012). Akibatnya, implementasi REDD + telah mendapat banyak perhatian. Pemerintah Indonesia telah secara terbuka berkomitmen untuk REDD + dan menciptakan lembaga-lembaga REDD +, dan upaya-upaya ini telah didorong oleh janji pendanaan dari Norwegia, Jerman, dan Inggris (Government of Norway et al. 2015). Namun, laju deforestasi di Indonesia tetap tinggi (WRI 2016).
Implementasi REDD + di Indonesia menampilkan beragam struktur dan tujuan (Program Kanopi Global 2013). Tidak ada sumber pendanaan tunggal yang ada untuk proyek-proyek REDD +: banyak laporan yang menerima dana dari lembaga bantuan internasional atau bank pembangunan multilateral, beberapa proyek bekerja untuk mendapatkan pendanaan dari pasar karbon, dan proyek lainnya didanai dan difasilitasi oleh LSM. Banyak proyek masih mencari pendanaan jangka panjang yang aman.
Beberapa telah memperoleh lisensi dari pemerintah Indonesia untuk mengoperasikan Konsesi Restorasi Ekosistem (Ecosystem Restoration Concessions-ERC). Proyek-proyek juga dapat ditetapkan sebagai hutan adat resmi, status yang berpotensi memberi masyarakat hutan hak kepemilikan yang diakui secara hukum atas wilayah hutan mereka. Atau, seperti dalam kasus Carbon Fund, beberapa proyek mungkin mendekati REDD + pada skala yang lebih besar dengan melibatkan seluruh daerah dalam kegiatan REDD + (World Bank Group 2013).
Selain itu, implementasinya menjadi semakin rumit akibat dari iklim politik di Indonesia (Brockhaus et al. 2012; Enrici dan Hubacek 2016), tingginya permintaan lahan hutan untuk produksi minyak kelapa sawit (Abood et al. 2014), dan sejarah praktik pengelolaan hutan yang dipertanyakan (Transparency International 2011; HRW 2013).
Masalah besar lainnya adalah sulitnya mencari dana, yang selama ini cukup sering dilaporkan sebagai tantangan besar lainnya menuju implementasi REDD.
Sementara beberapa pemangku kepentingan internasional tampaknya berpikir ada banyak dana untuk proyek-proyek, para pemangku kepentingan tingkat lokal menekankan bahwa mendapatkan pendanaan adalah salah satu tantangan terbesar untuk memastikan efektivitas jangka panjang REDD + dan ada bukti untuk mendukung ini.
Hasil dan bukti dari dokumentasi Ashley Enrici dan Klaus Hubacek telah menunjukkan, bahwa pasar karbon belum menyediakan opsi pendanaan yang layak. Pertama, banyak kegiatan konservasi hutan, termasuk REDD +, dikeluarkan dari beberapa mekanisme pasar karbon, termasuk pasar kepatuhan (Butler et al. 2009; Carbon Market Watch 2016). Selain itu, pasar karbon masih kurang dikembangkan untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim (Johannsdottir dan McInerney 2016). Ini menunjukkan fakta bahwa keuangan REDD + mungkin tidak cukup untuk bersaing secara efektif dengan penggunaan lahan lainnya, seperti produksi minyak kelapa sawit (Butler et al. 2009). Para pemangku kepentingan sadar bagaimana ketidakseimbangan insentif ekonomi ini dapat berdampak pada REDD + dan juga dapat menimbulkan keraguan untuk keberhasilan jangka panjang.
Ketidakmampuan REDD + untuk bersaing dengan pertambangan dan kelapa sawit dapat terus menjadi masalah karena sejumlah alasan. Sebagai contoh, secara global REDD + telah menciptakan peluang baru untuk mengamankan hak tenurial lokal (Larson et al. 2013). Namun, sementara mengamankan hak-hak masyarakat dapat mengarah pada pengelolaan hutan yang lebih berhasil dalam beberapa situasi (Stevens et al. 2014), itu mungkin tidak dalam kasus-kasus di mana kegiatan-kegiatan lain dapat menawarkan kompensasi finansial lebih banyak bagi masyarakat untuk hutan komunitas mereka (Resosudarmo et al. 2014). Pada akhirnya, kurangnya dana yang dilaporkan oleh beberapa responden kami bermasalah seperti yang dicontohkan pada akhir Proyek Perintis REDD + PBB, yang ditutup karena kurangnya dana (Program UN-REDD 2013) dan ini merupakan masalah yang terus mengancam proyek REDD + lainnya di Indonesia (Diana dan Jong 2018) dan di tempat lain (Sunderlin et al. 2015).
Menurut Thorkil Casse et.al., kenyataanya fase implemntasi REDD + berjalan lambat dan tidak memenuhi harapan.
Sebaliknya, kelompok pengamat lain melihat melampaui masalah pengukuran dan membahas definisi hutan, mengklasifikasikan hutan di daerah terpencil sebagai hutan 'terdegradasi' atau produktivitas rendah. Ini, pada gilirannya, membenarkan pembukaan grosir hutan sekunder dan bahkan primer dan konversi untuk keperluan perkebunan (Barr & Sayer, 2012Barr, CM, & Sayer, JA (2012).

Diskusi
Isu deforestasi dalam negosiasi UNFCCC pada COP-11 di Montreal tahun 2005, dibawah agenda “Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara Berkembang (RED)”, serta telah direspon secara positif oleh banyak Negara. Pada prinsipnya, kebijakan RED dan REDD memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi emisi. Oleh karenanya, kedua kebijakan tentunya akan mengakibatkan tekanan terhadap pemanfaatan lahan, akibat adanya "larangan"  alih fungsi lahan hutan untuk dijadikan kegiatan pertanian atau perkebunan. Tekanan yang tentunya juga akan berdampak terhadap ketersediaan lahan pertanian untuk pangan.
Meskipun terlihat sama, namun "mungkin" saja dampaknya berbeda. Menurut Peter Dixon et.al., kedua kebijakan memiliki efek terhadap penggunaan lahan yang bertolak belakang/ berlawanan. Menurutnya, kebijakan RED ditemukan untuk memperluas penggunaan lahan sedangkan kebijakan REDD mengarah pada pengurangan keseluruhan penggunaan lahan dan intensifikasi pertanian. Kebijakan RED yang disimulasikan yang dijelaskan dalam Bagian 3 dan 4, memperluas penggunaan lahan di seluruh dunia sebesar 3% relatif terhadap BAU (bussines as usual), dengan Kanada, AS dan Indonesia memperluas penggunaan lahan pertanian mereka dan memperluas produksi. Sebaliknya, kebijakan REDD yang disimulasikan mengurangi produksi pertanian dan menyebabkan penurunan penggunaan lahan pertanian sebesar 8%.

Nilai Karbon Indonesia
Realisasi Manfaat Ekonomi penangkapan karbon, melalui REDD yang berasal dari upaya pencegahan deforestasi di kawasan hutan Indonesia, hanya memperoleh sebagian kecil dari seluruh luasan hutan yang dimiliki Indonesia.  
Menurut Profesor Gusti Anshari dari Departemen Ilmu Tanah pada Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak, dalam 1cm gambut kandungan karbon dalam CO2 yang tersimpan bisa 11-18 metrik ton CO2 per/hektar. (Sumber : BBC News, 3 November 2017, Emisi karbon gambut Indonesia yang rusak setara membakar 4.500-7.800 galon bensin, BBC.)
Sedangkan kebijakan RED oleh Uni Eropa, pada prinsipnya telah memperhitungkan seluruh nilai karbon yang berasal dari luasan hutan yang ada di Indonesia. Pada satu sisi, Indonesia dihadapkan pada kerugian ekonomi akinat kewajiban pengurangan karbon melalui upaya deforestasi, sedangkan di sisi lain, Indonesia belumlah memperoleh manfaat yang nyata, dari upaya pengurangan karbon melalui kebijakan REDD.

Kerugian Ekonomi Pelepasan Karbon Akibat Karhutla
Krisis kebakaran dan asap Indonesia tahun 2015 telah disebut sebagai “tindakan kriminal lingkungan hidup terbesar pada abad ke-21”. Menurut Bank Dunia, biaya ekonomi yang timbul akibat karhutla tahun 2015 mencapai US$16 miliar (221 triliun) dan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia senilai US$8 miliar (sekitar Rp107 triliun). Bahkan ada yang menyatakan, bahwa estimasi kerugian diperkirakan mencapai US$47 Miliar. Secara global, telah diakui, bahwa Karhutla telah menjadi salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca.
Media asing menyebut emisi karbon yang timbul akibat karhutla di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 1 gigaton.
Sementara dalam laporan kajian organisasi lingkungan hidup, World Resources Insitute, setiap hektar gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton C02 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin. (Sumber : BBC News, 3 November 2017, Emisi karbon gambut Indonesia yang rusak setara membakar 4.500-7.800 galon bensin, BBC.)

Kesimpulan
Seharusnya kebijakan REDD dapat memberikan kompensasi kepada negara pemilik hutan perawan atau lahan gambut di Indonesia, sehingga dapat menutupi kerugian ekonomi yang diderita, akibat kebijakan RED II Uni Eropa misalnya.
Perhitungan kerugian ekonomi dari nilai karbon yang dilepaskan akibat kebakaran hutan dapat dihitung oleh bank dunia. Namun, nilai ekonomi dari karbon yang berpotensi memberikan nilai ekonomi melalui REDD, sampai saat ini belumlah ada. Seharusnya, pemerintah dan lembaga internasional juga memperhatikan kepentingan negara berkembang, dengan membantu mewujudkan manfaat ekonomi dari deforestasi hutan yang dimiliki Bangsa Indonesia.
Sebagai gambaran, konversi lahan gambut dan kawasan hutan untuk perkebunan dan peruntukan lain masih terus berlanjut. Lahan gambut itu memiliki komposisi karbon yang besar, lebih besar dari tanah biasa. Indonesia memiliki 80% lahan gambut yang ada di Asia Tenggara dan 35 miliar ton karbon dari lahan gambut. Oleh karena itu, kalau hutan gambut ditebang dan gambutnya teroksidasi, maka ada 35 miliar ton yang dilepaskan ke atmosfer. Karbon sebanyak itu sangat berbahaya bagi masa depan iklim dunia.
Sebaliknya, apabila karbon yang ada dapat dikonversikan untuk pengurangan emisi karbon, maka nilai ekonominya akan menjadi jelas. Sehingga secara ekonomi, tidak diperlukan langkah-langkah untuk mencegah alih fungsi lahan karena dorongan ekonomi, misalnya menjadi lahan perkebunan atau kehutanan.
Sayangnya, potensi ekonomi dari karbon di lahan gambut atau di hutan perawan sampai saat ini (2019) masih sebatas angan-angan belaka bagi Bangsa Indonesia atau sekedar isapan jempol yang diberikan oleh negara-negara maju semata.
Sementara kerugian akibat adanya "larangan" pemanfaatan hutan atau lahan gambut menjadi perkebunan sudah terjadi. Kebijakan RED EU misalnya, pada satu sisi telah memperhitungkan timbulnya emisi dari deforestasi hutan, Namun di lain sisi, tidak memberikan harga karbon yang layak terhadap hutan yang tidak terdeforestasi.

Sumber

  • Peter Dixon, Hans van Meijl, Maureen Rimmer, Lindsay Shutes, Andrzej Tabeau, RED versus REDD: Biofuel policy versus forest conservation, Economic Modelling 52 (2016) 366–374.
  • Richaldo Y Hariandja, "Emisi Kebakaran Hutan Dihitung", Media Indonesia, 12 November 2015
  • World Bank Group, Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia, The World Bank, 25 November 2015, sumber : https://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis, diakses 3 September 2019
  • Ann J. Glauber, et.al., 2016, Kerugian dari Kebakaran Hutan : Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran tahun 2015, World Bank Group.
  • Oliver Balch, Indonesia’s forest fires: everything you need to know, the Guardian, 11 Nov 2015, sumber : http://www.theguardian.com/sustainable-business/2015/nov/11/indonesia-forest-fires-explainedhaze-
  • palm-oil-timber-burning, diakses tanggal 7 September 2019
  • Janice, Weatherley-Singh, Aarti Gupta, Drivers of deforestation and REDD+ benefit-sharing: A meta-analysis of the (missing) link, Environmental Science & Policy, Volume 54, December 2015, Pages 97-105
  • Jichuan Sheng, Neoliberal environmentality and incentive-coordinated REDD+ contracts, Land Use Policy, Volume 81, February 2019, Pages 400-407
  • Ashley Enrici, A Crisis of Confidence: Stakeholder Experiences of REDD+ in Indonesia, Human Ecology, February 2019, Volume 47, Issue 1, pp 39–50
  • Thorkil Casse, Anders Milhøj, Martin Reinhardt Nielsen, Henrik Meilby & Yanto Rochmayanto (2019) Lost in implementation? REDD+ country readiness experiences in Indonesia and Vietnam, Climate and Development, DOI: 10.1080/17565529.2018.1562870



No comments:

Post a Comment